Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

Arsitektur dan Budaya merupakan salah satu mata kuliah wajib di Program Studi
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Mata kuliah ini memuat materi
perkembangan arsitektur dari masa ke masa yang dipengaruhi dan mempengaruhi tren pola
hidup dan budaya manusia. Salah satu prasyarat untuk lulus dari mata kuliah ini adalah
mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS), yang dalam hal ini diganti menjadi sebuah tugas
yaitu “Mencari data dan menganalisis inventarisasi Bale Banjar salah satu banjar di Kota
Denpasar”. Bale banjar sebagai topik bahasan dari tugas ini dipilih karena perannya sebagai
wadah dari kegiatan sosial maupun budaya yang berada di tiap-tiap desa pekraman di Bali.

Seperti yang disebutkan oleh Windhu (1985) dalam bukunya yang berjudul Bangunan
Tradisional Bali Serta Fungsinya “Bali dengan Bale Banjar sebagai ruang publiknya
merupakan suatu keunikan diantara ruang publik lainnya yang cenderung ke ruang terbuka
hijau. Bale Banjar sebagai ruang publik memiliki keunikan dimana, terikat dengan teritori
dalam menjalankan fungsinya. Bale Banjar merupakan sebuah bangunan komunal tempat
berkumpul dengan jangkauan kawasan yang tersebar di setiap desa pakraman di Bali. Bale
Banjar berfungsi utama untuk tempat musyawarah, mewadahi kegiatan adat, agama, dan
bentuk sosial lainnya”.

Selain itu Bale Banjar merupakan wadah dalam mewujudkan keseimbangan


kosmologis, dimana wadah yang diwujudkan dengan menerjemahkan Tri Hita Karana
sebagai simbol di dalam mewujudkan keharmonisan. Sebuah Bale Banjar adat biasanya
terdiri dari beberapa bangunan suci, bale adat, bale pertemuan, bale kulkul dan dapur
(Gantini, dkk. 2012). Menurut Soethama (2014:39), dinamika orang Bali adalah dinamika
sekaa (kelompok). Dinamika sekaa ini jelas tampak dalam pola kekerabatan banjar (warga).
Begitu banyak aktivitas masyarakat Bali, sejak lahir, mendapat jodoh, dan mati, tidak dapat
lepas dari keterlibatan banjar.

Oleh sebab itu Bale Banjar sebagai wadah dari sekaa (kelompok) ini memegang
peranan yang penting dalam keseharian masyarakat Bali. Segala hal yang berkaitan dengan
pembahasan masalah bersama yang ada di desa pekraman dilakukan di Bale Banjar. Karena
berbagai hal dibicarakan di Bale Banjar. Mulai dari membahas situasi desa, sampai sebagai
tempat mengurus perceraian. Banjar juga merupakan ruang publik krama, di sana mereka
merumuskan kepentingan bersama dan melakukan gotong royong (pawongan) ketika ada
krama banjar mengalami musibah. Tidak kalah penting, bale banjar menjadi ruang
kreatifitas dan kesenian generasi muda. Di tengah sempitnya lahan di perkotaan, maka bale
banjar menjadi sentrum edukasi kebudayaan bagi generasi muda. Jadi dapat disimpulkan,
fungsi bale banjar tidak hanya tercermin secara sosial, melainkan juga secara kultural dan
religius. Ketiga fungsi inilah yang membuat bale banjar membenamkan sistem nilai yang adi
luhung, maka Bale Banjar bukan hanya sebuah tempat atau wilayah melainkan berkembang
menjadi sebuah tradisi yang berkembang dari jaman dulu hingga saat ini.
BAB II

EXISTING

2.1 Pengertian dan Sejarah Banjar di Bali

Secara umum desa pakraman, dipecah menjadi wilayah-wilayah lebih kecil, yang
kemudian disebut sebagai banjar. Banjar adalah unit kecil sistem sosial masyarakat Bali
dalam menjalankan aktivitas sebagai krama yang diikat oleh sistem nilai meliputi moral,
hukum dan kebudayaan. Banjar juga merupakan wadah bersosialisasi masyarakat Bali, dan
menjadi tempat mereka melakukan tindakan komunikatif dan edukasi kebudayaan. Hal inilah
yang menyebabkan mengapa peran banjar sangat penting di Bali. Karena sejak Bali tidak lagi
berada dalam sistem puri atau kerajaan, maka banjar-lah yang menjadi ruang kebudayaan
masyarakat.

Bisa dikatakan banjar merupakan produk budaya yang menghidupkan bahkan


mempertahankan eksistensi krama Bali selama ini. Secara historis istilah banjar diperkirakan
muncul pada abad ke 12. Ardika (dalam Sarad, 2000:23) menjelaskan istilah banjar baru
ditemukan saat pemerintahan Udayana di Bali. Temuan terakhir dalam prasasti Julah
menyebut istilah banjar. Namun Ardika belum bisa memastikan apakah kata kunci itu
mengacu pada pengertian banjar sekarang ini. Namun menurut Ardika banjar merupakan
hasil dari perubahan istilah wanua. Perubahan ini terjadi pada akhir pemerintahan Bali Kuno
dan masuknya Majapahit.

2.2 Banjar Terpilih

Banjar yang terpilih sebagai objek observasi adalah banjar Belaluan, Desa Dangin
Puri Kauh, Denpasar Utara. Belaluan adalah salah satu banjar yang letaknya paling dekat
dengan titik nol kota Denpasar, terutama yang dari arah Utara.
2.2.1 Sejarah

Di wilayah banjar ini terdapat sebuah peninggan budaya material sejarah berupa kuil
pemujaan, disebut Pura Pura (persis di sebelah timur Pasar Burung), Denpasar. Dari lokasi
pura ini dapat diinterpretasikan Kerajaan Kesatrya yang ditaklukkan oleh pasukan koalisi
Puri Kaler Kawan Pemecutan, Kerajaan Gianyar, dan Gria Sanur pada abad XVIII. Sesuai
dengan tradisi kaja-kelod, suci dan profan, lokasi kerajaan itu berada di sebelah barat daya
Pura Kesatrya.
Sekarang ini tidak ada bukti-bukti peninggalan budaya material yang mencirikan
pernah ada sebuah kerajaan di sekitar areal tersebut, jalan Veteran, kecuali hanya bangunan-
bangunan modern yang menjepit sebuah pura. Ada juga sebuah pasar tradisional, disebut
Peken Kesatrya, yang berada di jalan Abimanyu. Pasar inilah sebuah pintu masuk untuk
menafsirkan di mana kira-kira letak istana Kerajaan Kesatrya yang kehancurannya menjadi
tirik awal dari berdirinya Puri Denpasar, yang merupakan bagian dari Kerajaan Badung.

Pasar selalu ada dalam setiap kerajaan, yang pada umumnya terletak di depan istana.
Jika demikian, istana tersebut bisa ditafsirkan berada di sisi utara ujung timur Jalan Gatot
Kaca menghadap ke selatan. Atau bisa pula di sisi selatan jalan Abimanyu di belakang Pasar
Kesatrya menghadap ke timur. Tampaknya yang paling masuk akal adalah alternatif kedua,
sebab kalau di sisi barat jalan Gatot Kaca, istana tersebut tentu akan membelakangi Pura
Kesatrya, suatu hal yang tabu dalam tradisi budaya Bali.

Pada tahun 1920-an pada sisi timur Jalan Gatot Kaca berdiri sebuah rumah, tempat
tinggal anak-anak dari Cokorda Gede Raka Sukawati, Punggawa Agung Kerajaan Gianyar, di
Desa Ubud, karena itulah rumah tersebut diberi nama Puri Belaluan-Ubud. Lokasi rumah itu
tepatnya berada di seberang jalan Banjar Belaluan, di persimpangan Jalan Veteran, Jalan
Rambutan dan Jalan Gatot Kaca. Bangunannya bergaya Bali seluas 20 dan sisanya lagi
sekitar 6 are dipakai sebagai tempat tinggal para parekan, para abdi. (Wijaya, Nyoman)

Rumah induknya bergaya arsitektur hibrid antara bangunan tradisional Bali dan
modern Belanda. Bangunan tradisional Bali tercermin dari desain dasarnya yang berpatokan
pada model bale saren, balai tempat tidur dengan pola dasar delapan saka, tiang di bagian
dalam ruangan dan ekstensi empat saka di bagian serambi bangunan.2 Lekuk-lekuk indah
bangunan khas Bali modern rumah itu tampak jelas dari jalan raya sehingga menjadi objek
wisata gratis bagi para pengunjung pasar pagi yang letaknya persis di depannya. Sebagian
dari mereka adalah para tamu yang menginap di Bali Hotel. Hotel ini didirikan oleh KPM
(Koninklijke Pakketvaart Maatschappij) pada tahun 1928 sebagai pengganti Pesanggrahan
Denpasar (Picard, 2006).

2.2.2 Lokasi Banjar

Banjar Belaluan terletak di Jl.Veteran No.32, Dangin Puri Kauh, Denpasar Utara, Kota
Denpasar. Dengan batas-batas wilayah :

- Batas Utara : Pasar Satria - Batas Barat : Puri Tampak Siring


- Batas Timur: Banjar Sadmerta - Batas Selatan: Bali Hotel

Anda mungkin juga menyukai