Disusun oleh:
Ahmad Amsori 11310022
Dokter Pembimbing:
dr. Dapot Parulian Gultom, SpKJ, M.Kes
II. ETIOLOGI
a. Kelainan Kromosom
i. Sindrom Down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan
kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta
anomali fisik yang beragam.1 Untuk seorang ibu usia pertengahan (> 32 tahun),
resiko memiliki anak dengan sindroma Down adalah kira-kira 1 dalam 100
kelahiran. Retardasi mental adalah cirri yang menumpang pada sindrom Down.
Sebagian besar pasien berada dlam kelompok retardasi sedang sampai berat.,
hanya sebagian kecil yang memiliki IQ di atas 50. Diagnosis sindrom Down
relative mudah pada anak yang lebih besar tetapi seringkali sukar pada neonates.
Tanda yang paling penting pada neonates adalah hipotonia umum, fisura palpebra
yang oblik, kulit leher yang berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar, tulang
pipi yang tinggi, dan lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal dan
lebar, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan, dan jari kelingking
pendek dan melengkung ke dalam.1
Gambar 3. Phenylketouria
c. Faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan
penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi
adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat
menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital.
Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi
melalui plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental
yang parah. Anak-anak yang ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir
dengan sindrom fetal dan merupakan kasus paling nyata sebagai penyebab
retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau cedera
kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, terkena racun, seperti cat
yang mengandung timah sangat berpotensi menyebabkan retardasi mental.3
d. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi dengan berat
badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis
dan intelektual yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi yang
menderita pendarahan intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama
rentan terhadap kelainan kognitif. Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya
berhubungan dengan beratnya perdarahan intrakranial.1
III. DIAGNOSIS
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III intelegensia bukan merupakan
karakteristik yang berdiri sendiri, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah
besar ketrampilan khusus yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum
bahwa semua ketrampilan ini akan berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap
individu, tetapi ada ketimpangan (discrepancy) yang luas, terutama pada
penyandang RM. Orang yang demikian mungkin memperlihatkan hendaya berat
dalam satu bidang tertentu (misalnya bahasa) atau mungkin mempunyai suatu area
keterampilan tertentu yang lebih tinggi (misalnya tugas visuospasial sederhana)
pada RM berat. Keadaan ini akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan
kriteria diagnostik dimana seorang penyandang RM harus diklasifikasikan.
Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang
tersedia, termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan
dengan latar belakang budayanya), dan hasil tes psikometrik.
Untuk diagnosis pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang
meningkatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari
lingkungan sosial biasa sehari – hari. Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai
retardasi mental mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan
penggunaan dari semua keterampilannya. Oleh karena itu kategori diagnostik
yang dipilih harus berdasarkan penilaian kemampuan global dan bukan atas suatu
hendaya atau ketrampilan khusus. Tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan
petunjuk dan seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang
keabsahan permasalahan lintas budaya.2
IQ = MA/CA x 100%
MA = Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil tes
CA = Chronological Age, umur yang didapat berdasarkan perhitungan
tanggal lahir
Berdasarkan metode pengukuran tersebut, retardasi mental berdasarkan
tingkat IQ diklasifikasikan sebagai berikut:
b. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai pasien adalah
sikap pewawancara dan cara berkomunikasi dengan pasien. Kemampuan verbal
pasien, termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sesegera mungkin
dengan mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan
pasien dan dari riwayat penyakit. Sangat membantu jika memeriksa pasien dan
pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan bahasa isyarat, pengasuh
dapat sebagai penerjemah.
Orang terertardasi mengalami kegagalan seumur hidup dalam berbagai
bidang, dan mereka mungkin mengalami kecemasan sebelum menjumpai
pewawancara. Pewawancara dan pengasuh harus berusaha untuk memberikan
pasien suatu penjelasan yang jelas, suportif, dan konkret tentang proses
diagnostik, terutama pasein dengan bahasa reseptif yang memadai. Dukungan dan
pujian harus diberikan dalam bahasa yang sesuai dengan usia dan pengertian
pasien.
Pengendalian pasien terhadap pola motilitas harus dipastikan, dan bukti
klinis adanya distraktibilitas dan distorsi dalam persepsi dan daya ingat harus
diperiksa. Pemakaian bahasa, tes realitas, dan kemampuan menggali dan
pengalaman penting untuk dicatat. Sifat dan maturitas pertahanan pasien
(menundukkan diri sendiri menggunakan penghindaran, represi, penyangkalan,
introyeksi, da isolasi) harus diamati. Potensi sublimasi, toleransi frustasi, dan
pengendalian impuls (terutama terhadap dorongan motorik, agresif, dan seksual)
harus dinilai. Juga penting adalah citra diri dan peranannya dalam perkembangan
keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan, ketetapan hati, keingintahuan, dan
kemauan menggali hal yang tidak diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatrik pasien yang teretardasi harus
mengungkapkan bagaimana pasien mengalami stadium perkembangan. Dalam hal
kegagalan atau regresi, juga dapat mengembangkan sifat kepribadian yang
memungkinkan perencanaan logis dari penatalaksanaan dan pendekatan
pengobatan. 1
c. Pemeriksaan Fisik
Berbagai bagian tubuh memiliki karakteristik tertentu yang sering
ditemukan pada orang retardasi mental dan memiliki penyebab prenatal. Sebagai
contoh, konfigurasi dan ukuran kepala memberikan petunjuk terhadap berbagai
kondisi seperti mikrosefali, hidrosefalus, dan sindroma Down. Wajah pasien
mungkin memiliki beberapa stigmata retardasi mental yang sangat mempermudah
diagnosis. Tanda fasial tersebut adalah hipertelorisme, tulang hidung yang datar,
alis mata yang menonjol, lipatan epikantus, opasitas kornea, perubahan retina yag
letaknya rendah atau bentuknya aneh, lidah yang menonjol, dan gangguan gigi
geligi. Lingkaran kepala harus diukur sebagai bagian dari pemeriksaan klinis.
Warna dan tekstur kulit dan rambut, palatum dengan lengkung yang tinggi, ukuran
kelenjar tiroid, dan ukuran anak dan batang tubuh dan ekstremitasnya adalah
bidang lain yang digali. 1
d. Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi mental, sebagai
contoh sampai 10 persen orang retardasi mental mengalami gangguan
pendengaran empat kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Gangguan
sensorik dapat berupa gangguan pendengaran dan gangguan visual. Gangguan
pendengaran terentang dari ketulian kortikal sampai deficit pendengaran yang
ringan. Gangguan visual dapat terentang dari kebutaan sampai gangguan konsep
ruang, pengenalan rancangan, dan konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan pada
tonus otot (spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperefleksia), dan gerakan
involunter (koreoatetosis). Derajat kecacatan lebih kecil ditemukan dalam
kelambanan dan koordinasi yang buruk.1
e. Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi mental adalah
pemeriksaan urin dan darah untuk mencari gangguan metabolik. Penentuan
kariotipe dalam laboratorium genetic diindikasikan bila dicurigai adanya
gangguan kromosom.
Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic diambil dari ruang
amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16 minggu, telah
berguna dalam diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi, terutama Sindroma
Down. Amniosintesis dianjukan untuk semua wanita hamil berusia di atas 35
tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS; chorionic villi sampling) adalah
teknik skrining yang baru untuk menentukan kelainan janin. Cara ini dilakukan
pada usia kehamilan 8 dan 10 minggu. Hasilnya tersedia dalam waktu singkat
(beberapa jam atau hari), dan jika kehamilan adalah abnormal, keputusan untuk
mengakhiri kehamilan dapat dilakukan dalam trimester pertama. Prosedur
memiliki resiko keguguran antara 2 dan 5 persen. 1
f. Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis, dilakukan oleh ahli psikologis yang berpengalaman, adalah
bagian standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental. Pemeriksaan psikologis
dilakukan untuk menilai kemampuan perceptual, motorik, linguistik, dan
kognititf. Informasi tentang factor motivasional, emosional, dan interpersonal juga
penting. 1
V. DIAGNOSIS BANDING
Anak-anak dari keluarga yang sangat melarat dengan deprivasi rangsangan
yang berat (retardasi mental ini reversibel bila diberi rangsangan yang baik secara
dini). Kadang-kadang anak dengan gangguan pendengaran atau penglihatan dikira
menderita retardasi mental. Mungkin juga gangguan bicara dan “cerebral palsy”
membuat anak kelihatan terbelakang, biarpun intelegensianya normal. Gangguan
emosi dapat menghambat kemampuan belajar sehingga dikira anak itu bodoh.
“early infantile” dan skizofrenia anak juga sering menunjukkan gejala yang mirip
retardasi mental.
VI. PENATALAKSANAAN
Retardasi mental berhubungan dengan beberapa gangguan heterogen dan
berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah
pencegahan primer, sekunder, dan tersier.1
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan
gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk :
Pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum
tentang retardasi mental.
Usaha terus-menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat.
Aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal.
Eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan system saraf pusat.
Konseling keluarga dan genetik membantu menurunkan insidensi retardasi
mental dalam keluarga dengan riwayat gangguan genetic yang berhubungan
dengan retardasi mental. Untuk anak-anak dan ibu dengan sosioekonomi rendah,
pelayanan medis prenatal dan perinatal yang sesuai dan berbagai program
pelengakap dan bantuan pelayanan social dapat menolong menekan komplikasi
medis dan psikososial.
c. Pendidikan keluarga
Satu bidang yang penting dalam pendidikan keluarga dari pasien dengan
retardasi mental adalah tentang cara meningkatkan kompetensi dan harga diri
sambil mempertahankan harapan yang realistic untuk pasien. Keluarga seringkali
merasa sulit untuk menyeimbangkan antara mendorong kemandirian dan
memberikan lingkungan yang mengasuh dan suportif bagi anak retardasi mental,
yang kemungkinan mengalami suatu tingkat penolakan dan kegagalan di luar
konteks keluarga.
Orang tua mungkin mendapatkan manfaat dari konseling yang terus-
menerus dan atau terapi keluarga. Orang tua harus diberikan kesempatan untuk
mengekspresikan perasaan bersalah, putus asa, kesedihan, penyangkalan yang
terus-menerus timbul, dan kemarahan tentang gangguan dan masa depan anak.
Dokter psikiatrik harus siap untuk memberikan semua informasi medis dasar dan
terakhir tentang penyebab, terapi, dan bidang lain yang berhubungan (seperti
latihan khusus dan perbaikna defek sensorik).
d. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam terpai gangguan mental komorbid pada pasien
retardasi mental adalah banyak kesamaannya seperti untuk pasien yang tidak
mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang mendukung pemakaian
berbagai medikasi untuk pasien dengan gangguan mental yang tidak retardasi
mental. Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada pemakaian
medikasi untuk sindrom perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi
mental:
Agresi dan perilaku melukai diri sendiri
o Beberapa bukti dari penelitian telah menyatakan bahwa lithium (Eskalith) berguna
dalam menurunkan agresi dan perilaku melukai diri sendiri.
o Antagonis narkotik seperti naltrexone (Trexan) telah dilaporkan menurunkan
perilaku melukai diri sendiri pada pasien retardasi mental yang juga memenuhi
kriteria diagnostik untuk gangguan austik infantile. Satu hipotesis yang diajukan
sebagai mekanisme kerja terapi naltrexone adalah bahwa obat mempengaruhi
pelepasan opioid endogen yang dianggap berhubungan dengan melukai diri
sendiri.
o Carbamazepine (Tegretol) dan valproic acid (Depakene) adalah medikasi yang
juga bermanfaat pada beberapa kasus perilaku melukai diri sendiri.
Gerakan motorik stereotipik
Medikasi antipsikotik, seperti haloperidol (Haldol) dan chlorpromazine
(Thorazine), menurunkan perilaku stimulasi diri yang berulang pada pasien
retardasi mental, terapi medikasi tersebut tidak meningkatkan perilaku adaptif.
Beberapa anak dan orang dewasa (sampai sepertiga) dengan retardasi mental
menghadapi resiko tinggi mengalami tardive dyskinesia dengan pemakaian
kontinu medikasi antipsikotik.
Perilaku kemarahan eksplosif
Penhambat-β, seperti propranolol dan buspirone (BuSpar), telah dilaporkan
menyebabkan penurunan kemarahan ekspolasif di antara pasien dengan retardasi
mental dan gangguan autistik. Penelitian sistematik diperlukan sebelum obat dapat
ditetapkan sebagai manjur.
Gangguan defisit atensi/hiperaktivitas
Penelitian terapi methylphenidate pada pasien retardasi mental ringan dengan
gangguan defisit atensi/hiperaktivitas telah menunjukkan perbaikan bermakna
dalam kemampuan mempertahankan perhatian dan menyelesaikan tugas.
Penelitian terapi metylphenidate tida menunjukkan bukti adanya perbaikan jangka
panjang dalam keterampilan sosial atau belajar.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Retardasi Mental. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2010
3. Salmiah S: Retardasi Mental. Departemen Kedokteran Gigi Anak Fakultas
Kedokteran Gigi Univeritas Sumatera Utara, Medan, 2010
4. Maslim R. F70-F79 Retardasi Mental. Buku Saku PPDGJ-III, Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta, 2003