Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dian Wahyu Lestari

No. Absen : 07
Offering : J-6

A. Sejarah Lahirnya Inovasi Divusi


Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan
Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya
menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok
orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu
yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya
menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa
menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers
(1983) mengatakan, “Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance
because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu
tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-
penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross,
mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di
Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan
tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan
Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation
followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over
time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun
1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik
yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan
sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M.
Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F.
Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A
Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis
Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).

B. Konsep Difusi Inovasi


Difusi Inovasi terdiri dari dua padanan kata yaitu difusi dan inovasi.
Rogers (1983) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara
para anggota suatu sistem sosial (the process by which an innovation is
communicated through certain channels overtime among the members of a social
system). Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan
sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem
sosial.
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa
baru oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru
terhadap suatu ide, praktek atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada
sebagian yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau
kelompok terhadap ide, praktek atau benda tersebut.
Dari kedua padanan kata di atas, maka Difusi Inovasi adalah suatu proses
penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah
suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat
yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang
tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.
Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide dan teknologi baru
tersebar dalam sebuah kebudayaan.
Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu
pengetahuan, tekhnologi, bidang pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem
sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi
sampai kepada masyarakat.
C. Elemen Difusi Inovasi
Menurut Rogers (1983) dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat)
elemen pokok, yaitu: suatu inovasi, dikomunikasikan melalui saluran komunikasi
tertentu, dalam jangka waktu dan terjadi diantara anggota-anggota suatu sistem
sosial.
1. Inovasi (gagasan, tindakan atau barang) yang dianggap baru oleh
seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut
pandangan individu yang menerimanya.
2. Saluran komunikasi, adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi
dari sumber kepada penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk
memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar
luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah
media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap
atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang
paling tepat adalah saluran interpersonal.
3. Jangka waktu, yakni proses keputusan inovasi dari mulai seseorang
mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya.
Pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu.
Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan
inovasi, (b) keinovatifan seseorang (relatif lebih awal atau lebih lambat
dalam menerima inovasi), dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam
sistem sosial.
4. Sistem sosial, merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional
dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka
mencapai tujuan bersama.

D. Karakteristik Inovasi
Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi, yaitu:
1. Keunggulan Relatif (relative advantage)
2. Kesesuaian (compatibility)
3. Kerumitan (complexity)
4. Kemampuan diuji cobakan (trialability)
5. Kemampuan diamati (observability)

Penjelasan:
1. Keunggulan Relatif (Relative Advantage)
Keunggulan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan
bagi penerimanya. Tingkat keuntungan atau kemanfaatan suatu inovasi dapat
diukur berdasarkan nilai ekonominya, atau mungkin dari faktor status sosial
(gengsi), kesenangan, kepuasan, atau karena mempunyai komponen yang sangat
penting.
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih
baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari
beberapa segi, seperti segi ekonomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan, dan
lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin
cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Sebagai contoh para adopter akan menilai apakah suatu Inovasi itu
relatif menguntungkan atau lebih unggul dibanding yang lainnya atau tidak.
Untuk adopter yang menerima secara cepat suatu inovasi, akan melihat inovasi
itu sebagai sebuah keunggulan.

2. Kesesuaian (Compatibility)
Kesesuaian (compatibility), yaitu tingkat kesesuaian dengan nilai (values),
pengalaman lalu, dan kebutuhan dari penerima. Kesesuaian adalah derajat dimana
inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman
masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide
baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu
tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang
sesuai (compatible).
Contoh lainnya ialah, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi
dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).
Adopter juga akan mempertimbangkan pemanfaatan inovasi berdasarkan
konsistensinya pada nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhannya.
3. Kompleksitas (Complexity)
Kompleksitas (complexity), yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan
manggunakan inovasi bagi penerima. Kompleksitas adalah derajat dimana
inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan.
Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan
digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya atau sulit dimengerti
dan digunakan oleh pengadopsi. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh
pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. Tetapi apabila
suatu inovasi sulit untuk dipahami dan sulit dimengerti oleh pengadopsi, maka
semakin sulit pula suatu inovasi dapat diadopsi.
Adopter atau pengguna inovasi juga akan menilai tingkat kesulitan atau
kompleksitas yang akan dihadapinya jika mereka memanfaatkan inovasi. Artinya
bagi individu yang lambat mamahami dan menguasainya tentu akan mengalami
tingkat kesulitan lebih tinggi dibanding individu yang cepat memahaminya.
Tingkat kesulitan tersebut berhubungan dengan pengetahuan dan kemampuan
seseorang untuk mempelajari istilah-istilah dalam inovasi itu.

4. Trialabilitas atau Kemampuan Uji Coba


Trialabilitas (trialability), yaitu dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi
oleh penerima. Kemampuan untuk diuji cobakan atau trialabilitas adalah derajat
dimana suatu inovasi dapat diuji coba dalam batas tertentu. Suatu inovasi yang
dapat diuji cobakan dalam pengaturan (setting) sesungguhnya umumnya akan
lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi
sebaiknya harus mampu menunjukkan (mendemostrasikan) keunggulannya.
Kemampuan untuk dapat diuji bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian.
Mempunyai kemungkinan untuk diuji coba terlebih dahulu oleh para adopter
untuk mengurangi ketidakpastian mereka terhadap inovasi itu.

5. Observasibilitas atau Kemampuan Diamati


Dapat diamati (obsevability), yaitu mudah diamati atau tidaknya suatu
hasil inovasi oleh penerima. Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana
hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang
melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau
sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin
besar keunggulan relatif, kesesuaian (compatibility), kemampuan untuk diuji
cobakan, dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka
semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
Dengan kemampuan untuk diamati akan mendorong adopter
untuk memberikan penilaian apakah inovasi itu mampu meningkatkan status
sosial mereka di depan orang lain sehingga dirinya akan dianggap sebagai orang
yang inovatif.

Sumber:
Hafni Z. repository.usu.ac.id diakses pada hari Minggu, tanggal 27 Januari 2019

Anda mungkin juga menyukai