Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI SEDIAAN

SOLID DAN KOSMETIKA

SEMESTER GENAP 2018 - 2019

PEMERIKSAAN MUTU SEDIAAN SOLID SAMPEL


TUNGGAL ASETOSAL

Hari / Jam Praktikum : Senin / 07.00-10.00

Tanggal Praktikum : 21 Maret 2018

Kelompok :3

Asisten : Budi Kurniawan


Indraswari Pitaloka

AI MASITOH 260110160052
HAMMAM H 260110160053
KHOIRINA 260110160054
AULIA ANNISA 260110160055
FAJRA DINDA C 260110160056

LABORATORIUM KIMIA ANALISIS


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
I. TUJUAN

1. Menguji kadar asetosal dengan uji organoleptis


2. Menguji kuantitatif kadar asetosal dengan menggunakan metode Nitrimetri
3. Menguji mutu asetosal dengan metode uji batas logam berat

II. PRINSIP DAN TEORI DASAR


2.1 PRINSIP
2.1.1 Reaksi diazotasi
Senyawa obat dengan amin primer seperti benzokain dan sulfamerazin akan membentuk
garam diazonium ketika direaksikan dengan natrium nitrit (Gandjar, 2012).
2.1.2 Refluks
Paracetamol memiliki struktur amin sekunder yang perlu dihidrolisis sehingga
membutuhkan proses refluks yang akan mengubah amin sekunder tersebut menjadi amin
primer (WHO, 2017).
2.1.3 Uji Batas Logam Berat
Pengujian kadar cemaran logam berat dengan menggunakan ion sulfida. Untuk
parasetamol, benzokain, dan sulfamerazin, digunakan metode 3 (Depkes RI, 1995).
2.1.4 Reaksi Redoks
Vitamin c yang bersifat pereduksi kuat akan mereduksi iodine menjadi iodide (Kelter,
2008).
2.1.5 Perubahan pH
Perubahan pH akan membuat fenolftalein dalam titrasi asam-basa memberikan warna yang
berbeda sehingga dapat menjadi penanda titik akhir titrasi (Gandjar, 2012).

2.2 TEORI DASAR


Aspirin (Asetosal) adalah nama dagang untuk jenis obat turunan dari salisilat
yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri
minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti-inflamasi (peradangan) yang
dikeluarkan oleh Bayer. Aspirin juga merupakan obat antidemam kuat dan mempunyai
efek menghambat agregasi trombosit pada dosis rendah (40 mg) sehingga selain
sebagai analgesik aspirin dewasa ini banyak digunakan sebagai alternatif dari
antikoagulansia sebagai pencegah infark ke 2 setelah terjadinya serangan (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Aspirin mengandung zat aktif berupa asam asetilsalisilat. Oleh sebab itu, aspirin
merupakan asam organik lemah yang unik diantara obat-obat AINS dalam asetilasi
(dan juga inaktivasi) siklooksigenase ireversibel. AINS lain termasuk salisilat,
semuanya penghambat siklooksigenase reversible. Aspirin cepat dideasetilasi oleh
esterase dalam tubuh, menghasilkan salisilat, yang mempunyai efek anti-inflamasi,
anti-piretik, dan analgesik (Mycek dkk., 2001).
Aspirin (asam asetil salisilat) mempunyai pKa 3,5. Asam asetilsalisilat
disintesis tahun 1853, tetapi obat ini belum digunakan sampai tahun 1899, ketika
diketahui bahwa obat ini efektif pada artritis dan dapat ditoleransi dengan baik. Nama
aspirin diciptakan dari gabungan kata bahasa Jerman untuk senyawa
acetylspirsäure (spirea, nama genus tanaman asal zat tersebut dan säure, yang dalam
bahasa Jerman berarti asam).
Obat anti radang bukan steroid atau yang lazim dinamakan non streroidal anti
inflammatory drugs (NSAIDs) atau anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah
golongan obat yang bekerja terutama di perifer yang berfungsi sebagai analgesik
(pereda nyeri), antipirektik (penurun panas) dan antiinflamasi (anti radang). Obat asam
asetil salisilat (aspirin) ini mulai digunakan pertama kalinya untuk pengobatan
simptomatis penyakit-penyakit rematik pada tahun 1899 sebagai obat anti radang bukan
steroid sintetik dengan kerja antiradang yang kuat. (Dannhardt dan Laufer, 2000).
Obat anti radang bukan steroid diindikasikan pada penyakitpenyakit rematik
yang disertai radang seperti rheumatoid dan osteoartritis untuk menekan reaksi
peradangan dan meringankan nyeri (Dannhardt dan Laufer, 2000). Dibandingkan
dengan obat antiradang bukan steroid yang lain, penggunaan asam asetil salisilat jauh
lebih banyak, bahkan termasuk produk farmasi yang paling banyak digunakan dalam
pengobatan dengan kebutuhan dunia mencapai 36.000 ton per tahun.
Rentang pH indikator, indikator tidak berubah warna dengan sangat mencolok
pada satu pH tertentu (diberikan oleh harga pKind-nya). Malahan, mengubah sedikit
rentang pH. Terjadi perubahan kecil yang berangsur-angsur dari satu warna menjadi
warna yang lain, menempati rentang pH. Secara kasar "aturan ibu jari", perubahan yang
tampak menempati sekitar 1 unit pH pada tiap sisi harga pKind+ (Clark, 2007).
Asidimetri adalah analisis volumetrik yang menggunakan larutan baku asam
untuk menentukan jumlah basa yang ada. Alkalimetri adalah analisis volumetrik yang
menggunakan larutan baku basa untuk menentukan jumlah asam yang ada (Keenan,
1980).
Titrasi adalah penambahan yang sangat hati-hati dari satu larutan ke yang lain
dengan cara buret. Buret secara akurat mengukur volume larutan yang dibutuhkan
untuk bereaksi dengan jumlah yang secara hati-hati diukur dari zat lain yang terlarut.
Ketika volume yang tepat telah tercapai, indikator perubahan warna dan operator
menghentikan aliran dari buret tersebut. Fenolftalein adalah indikator khas untuk titrasi
asam-basa, tidak berwarna dalam larutan asam dan merah muda dalam larutan basa
(Peters, 1990).
Proses titrasi digunakan dalam penentuan analitis banyak, termasuk melibatkan
reaksi asam-basa. Indikator adalah zat yang digunakan untuk sinyal ketika titrasi tiba
di titik dimana reaktan kimia sama, seperti yang didefinisikan oleh persamaan reaksi.
Larutan standar adalah larutan dengan konsentrasi tepat ditentukan. Awalnya
konsentrasi larutan standar ditentukan dari jumlah yang ditimbang dari sebuah standar
primer, bahkan kimia referensi yang sangat dimurnikan. Larutan standar dapat dibuat
dari salah satu dari dua cara;
1. Standar primer yang ditimbang dengan hati-hati, dilarutkan, dan diencerkan akurat
untuk volume yang diketahui. Konsentrasi dapat dihitung dari data.
2. Larutan dibuat untuk perkiraan konsentrasi dan kemudian dibakukan oleh titrasi
kuantitas akurat ditimbang dari standar primer (Weiner, 2010).
Analisa kuantitatif adalah suatu analisa yang digunakan untuk mengetahui
kadar suatu zat. Analisa kuantitatif berkaitan dengan penetapan beberapa banyak suatu
zat tertentu yang terkandung dalam suatu sampel Titrasi diazotasi (titrasi nitrimetri)
sangat sederhana dan berguna untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa sulfonamid
dan senyawa-senyawa anastetik lokal golongan asam amino benzoat. Nitrimetri adalah
metode penetapan kadar secara kuantitatif dengan menggunakan larutan baku natrium
nitrit, metode ini didasarkan pada reaksi diazotasi yakni reaksi antara amina aromatik
primer dengan asam nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium (Gandjar,
G.H., dan Rohman, A., 2007).

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 ALAT
3.1.1 Alat Refluks,
3.1.2 Baskom,
3.1.3 Beaker Glass,
3.1.4 Buret,
3.1.5 Erlenmeyer,
3.1.6 Labu Ukur,
3.1.7 Penangas Air,
3.1.8 Statif
3.1.9 Tanur
3.1.10 Krus
3.1.11 Tabung Nessler

3.2 BAHAN
3.2.1 Aquades,
3.2.2 Asam Sulfat,
3.2.3 Asam Klorida,
3.2.4 Asam Asetat,
3.2.5 Benzokain,
3.2.6 Es Batu,
3.2.7 Etanol,
3.2.8 Fenolftalein,
3.2.9 H2S,
3.2.10 HNO3,
3.2.11 Iodine
3.2.12 KI
3.2.13 K2CrO4
3.2.14 Kanji Iodida,
3.2.15 Metilen Blue,
3.2.16 NaNO2,
3.2.17 NaOH
3.2.18 Na-Tiosulfat
3.2.19 Paracetamol,
3.2.20 Sulfamerazin,
3.2.21 Sulfanilamida,
3.2.22 Trepeolin
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1 HASIL PENGAMATAN

No Prosedur Hasil Foto


1 Penetapan kadar
- Timbang 10 tablet masing Diperoleh berat rata-rata
– masing pertablet dan tablet yaitu : 299,13mg,
catat beratnya , kemudian tablet digerus dan halus
hitung rata-rata dari homogen, kemudain
sejumlah 10 tablet diperoleh serbuk tablet hasil
tersebut. penimbangan yaitu : 299,2
mg; 299,3 mg; dan 299,5
mg.
- Tablet asetosal (20) Volume titrasi yang
digerus, dibagi ke dalam 3 diperoleh dari 3 erlenmeyer:
erlenmeyer (masing- V1 = 5,7 ml
masing 299,2 mg ; 229,3 V2 = 6 ml
mg dan 229,5 mg), lalu V3 = 3,7 ml
dilarutkan dengan 50 ml
NaOH yang telah
dipanaskan dan ditiriskan
kembali.
- Larutan ditambah dengan
2-3 tetes indicator
fenolftalein.
- Dititrasi dengan larutan
H2SO4 0,5 N hingga
warna larutan berubah
menjadi kuning kembali
-
2 Pembakuan larutan H2SO4 0,5 N
(baku sekunder)
- Diambil 2 ml H2SO4 pekat
(36%), dimasukkan ke
dalam labu ukur dan di ad
dengan akuades hingga
150 ml (pembuatan
larutan H2SO4 0,5 N) .
- Larutan H2SO4 150 ml
ditambahkan dengan V1 = 10,3 ml
indicator metil jingga. V2 = 10,25 ml
- Dititrasi dengan larutan V3 = 10,2 ml
Na2B4O7 hingga larutan
berubah warna dari jingga
menjadi merah muda

3 Pembuatan reagen
a. larutan NaOH 0,5 N
- Ditimbang 6 gr NaOH Didapatkan larutan NaOH
menggunakan kaca arloji, 0,5 N 300 ml
dilarutkan dengan
akuades panas (bebas
CO2). Dimasukkan ke
dalam labu ukur dan di
add dengan akuades
hingga 300 ml.
b. Natrium Tetraborat 0,5 N
(baku primer)
- Ditimbang 4, 7655 gr Didapatkan larutan Natrium
padatan Natrium tetraborat 0,5 N 50 ml
Tetraborat, dilarutkan
dengan akuades dan di
add hingga 50 ml.

4.2 HASIL PENGAMATAN


Perhitungan
1. Pembuatan bahan
- NaOH 0,5 N 300 ml
𝑁𝑥𝑉𝑥𝑀𝑟 0,5𝑥0,3𝑥40
gr = = = 6 gr (add 300 ml)
𝑉𝑎𝑙 1

- H2SO4 0,5 N
N1 x V1 = N2 x V2
36 x V1 = 0,5 x 150
75
V1 = = 2,0833 ml (2 ml H2SO4 36% diaad dengan 150 ml akuades)
36

- Natrium Tetraborat
𝑁𝑥𝑉𝑥𝑀𝑟 0,5𝑥0,05𝑥381,24
gr = = = 4,7655 gr (add 50 ml)
𝑉𝑎𝑙 2

- Metil jingga 10 ml dilarutkan dalam 10 ml


2. Pembakuan H2SO4 0,5 N
V1 = 10,3 ml N1 x V1 = N2 x V2
V2 = 10,25 ml
N1 x 10,25 = 0,5 x 10
V3 = 10,2 ml
5
V rata2 = 10,25 ml N1 = = 0,48 N
10,25

3. Penetapan kadar asetosal


V1 = 5,7 ml
V2 = 6 ml 4. Persentasi kadar
V3 = 3,7 ml M ek = 5,93 x 0,05616 = 0,328536
V yang diambil : V1 danV2 𝑉 𝑙𝑎𝑏𝑢
M sampel = M ek x BE x 𝑉 𝑝𝑖𝑝𝑒𝑡
V rata2 = 5,85 ml 50
= 0,328536x 180,16 x 50
m sampel = 229,2 mg ; 229,3 mg dan
229,5 mg. = 59,189 mg

m rata-rata sampel = 229,33 mg


59,189
N1 x V1 = N2 x V2 % = 229,33 x 100% = 25,742

0,48 x 5,85 = N2 x 50
0,48 𝑥 5,85
N2 = = 0,05616
50
V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan uji pemeriksaan mutu sediaan solid
pada smpael tunggal. Pengujian yang dilakukan adalah penetapan kadar tablet
asetosal atau asam asetilsalisilat dengan mengguanakan metode asidimetri.
Asidimetri merupakan metode pentapan kadar secara kuantitaif yang
menggunakan prinsip netralisasi yaitu terhadap senyawa – senyawa basa
terhadap larutan baku asam. Dalam reaksi penetralan ini terjadi reaksi
netralisasi yaitu reaksi antara ion hydrogen yang berasal dari asam dan juga ion
hidroksida dari basa yang menyebabkan terbentuknya air yang bersifat netral.
Proses titasi ini juga bisa di katakan dengan reaksi antara pemberi proton atau
asam dengan peerima proton atau basa.
Menurut farmakope Indonesia edisi IV tablet asetosal atau asam
asetilsalisilat memliki syarat untuk kandungan zat aktif yaitu tidak kurang dari
90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket. Asam
asetil salisilat atau asetosal merupakan slah satu obat analgesic antipiretik dan
anti inflamasi yang sangat luas di gunakan dan di golongkan dalam obat bebas.
Asetosal bersifat asam karena dapat mendonorkan proton. Pelepasan
proton ini di akibatkan kaena adanya ikatan rangkap terkonjugasi pada gugus
karboksil di mana atom O memiliki pasangan atom melimpa sehingga sifatnya
elektronegatif. Hal ini yang membuat electron pada atom C akan lebih tertarik
pada atom O yang menyebabkan atom C bersifat elektropositif sehinga atom
C berikatan dengan gugus OH.
Dalam pengujian ini di uji sampel dalam bentuk tablet sebanyak 20
tablet yang mana sebelum dilakukan penetapan kadar bobot tablet di timbang
satu persatu untuk mendapatkan keseragaman bobot dengan rata rata bobot
tablet asetosal sebesar 0,229 g kemudian dalam proses preparasi sampel di
butuhkan mortir dan stemper yang di gunakan untuk menggerus tablet hingga
halus.
Pemerian asetosal yang diberikan warna zat bewarna kuning zat
berbentuk hablur seperti jarum yang berbentuk rapi berbau khas dan memiliki
kelarutan sukar larut dalam air mudah larut dalam etanol dan mudah larut dalam
kloroform dan eter.
Setelah di dapatkan serbuk halus asetosal di timbang seberat bobot rata
rata 1 tablet yaitu 0,229 g untuk di gunakan dalam penetapan kadar di gunakan
rata rata satu bobot tablet karena kita ingin menghitung kadar asetosal dalam
satu tablet asetosal hal ini agak berbeda dengan prosedur pada farmakope yang
mana di dalam farmakope di cantumkan bahwa zat yang di butuh kan untuk
penetapan kadar itu sebanyak 1,5 g perbedaan perlakuan ini ternyata akan
sangat berpengaruh dalam prosedur selanjutnya.
Setelah di timbang, serbuk asetosal akan di saring dengan pelarutnya
yaitu dengan NaOH 0,5 N sebanyak 50 ml cara penyaringannya adalah dengan
meletakkan sampel zat di atas kertas saring yang di tempatkan di atas corong
Erlenmeyer kemudian di aliri dengan NaOH 0,5 N yang berfungsi sebagai
mengubah asetosal dalam obat yang bersifat asam menjadi garam natrium
aspirin.
Atom hydrogen yang berasal dari gugus asam karboksilat lepas dan
digantikan dengan gugus hidroksil yang berasal dari natrium hidroksida melalui
reaksi substitusi atau reaksi penggantian satu substansi dengan gugus atom
lainnya, sehingga didapat garam natrium aspirin, larutan nartium hidroksida
yang ditambahkan harus berlebih untuk memastikan bahwa seluruh senyawa
asetosal bereaksi dan membuat larutan menjadi suasana basa karena nantinya
harus berinteraksi dengan indicator fenolftalein yang mana indicator tersebut
hanya bekerja di rentang pH basa.
Pemberian NaOH sedikit demi sedikit dalam cara penyaringan kali ini
dilakukan untuk meminimalisir pengaruh eksipien tablet sehingga tidak
merusak hasil penetapan kadar nantinya namun dalam hal ini ada beberapa hal
yang harus di soroti yaitu penggunaan NaOH terdapat kesalahan karena
menurut farmakope NaOH 50 ml itu di berikan jika sampel memiliki berat 1,5
g sedangkan sampel yang di gunakan hanya sebesar 0,229 g sehingga hal ini
merupakan salah satu faktor yang merubah hasil kadar karena akan sangat
mempengaruhi reaksi yang akan terjadi nanti. Adapun setelah di saring dan di
dapatkan larutan sampel asetosal, sebelum di titrasi di lakukan terlebih dahulu
pemanasan selama 10 menit yang bertujuan untuk menghomogen kan larutan
asetosal.
Hasil yang didapatkan pun ternyata memang jauh dari kata sesuai. Hal
ini disebabkan oleh kesalahan dalam prosedur dan lalainya praktikan untuk
mencermati setiap inti dari prosedur yang tertera di farmakope. Seharusnya,
jika sesuai dengan penghitungan jumlah titran dan tepatnnya jumlah pelarut
yang digunakan maka hasil yang diperoleh pun akan mendekati 100% sama.
Tentu kesalahan jumlah pelarut yang digunakan dalam melarutkan serbuk tablet
asetosal ini berpengaruh besar terhadap hasil kadar yang didapat melalui proses
titrasi dan jauh melebihi dari prediksi jumlah titran yang sebelumnya telah
diperhitungkan dan dipertimbangkan. Kadar tablet asetosal sendiri dalam
Farmakope ialah tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 100,5%
sedangkan hasil yang didapat dalam praktikum kali ini ialah sebesar 103,26%.
VI. SIMPULAN

Kadar asetosal dalam tablet yang didapat dengan menggunakan metode


asisimetri adalah sebesar 129%. Hal ini tidak sesuai dengan yang tercantum
dalam farmakope Indonesia yaitu tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari
100,5% sedangkan hasil yang didapat dalam praktikum kali ini ialah sebesar
103,26%.
DAFTAR PUSTAKA

Clark, Jim. 2007. Indikator Asam dan Basa. http://www.chem-is-try.org [Diakses pada
tanggal 25 Maret 2018]

Company

Dannhardt, G., dan Laufer, S., 2000. Structural approach to explain the selectivity of
COX-2 inhibitors: is there a common pharmacophore? Curr Med Chem, 7,
1101–1112.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4. Jakarta : Depkes RI


Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi 5. Jakarta : Depkes RI

Gandjar, G.H., dan Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Gandjar, Ibnu Gholib. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keenan, Charles W., 1980, Ilmu Kimia untuk Universitas, Edisi VI, 422, Erlangga,
Jakarta.

Kelter, Paul. 2008. Chemistry : The Practical Science. Boston : Houghton Mifflin

Mary. J Mycek Dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya
Medika

Peters, Edward I., 1990, Introduction to Chemical Principles, 5 th edition,394,


Saunders College Publishing : USA

Tjay, T.H., Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo.
Halaman 540-541.

Weiner, Susan A., 2010, , Introduction to Chemical Principles, 7 thedition, 268,


Cengage Learning: USA
WHO. 2017. The International Pharmacopeia Seventh Edition. Available at
http://apps.who.int/phint/en/p/docf/

Anda mungkin juga menyukai