Anda di halaman 1dari 79

Tasawuf islam, pada taraf yang pertama berdasar dan bersumberkan kepada peri hidup

Rasulullah. Bahwa tasawuf pada masa Rasulullah SAW adalah sifat umum yang terdapat pada
seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa kecuali. Sedikit demi sedikit lahirlah filsafat ibadah dan
penyelidikan mendalam pada cara ini, dan bersamaan dengan itu lahirlah mazhab-mazhab
Rohaniyah yang mendalami dan ini semua termasuk dalam kata tasawuf adanya.Yang pertama
member dasar tentang tasawuf, ialah Nabi Muhammad SAW, berupa syari’at pada umumnya dan
dengan ilham kepada orang-orang khususnya.
Istilah tasawuf pada masa beliau adalah sahabat, panggilan kehormatan bagi pengikutnya.
Mereka orang-orang yang terhindar dari sifat syirik dan pola kehidupan jahiliyah, selalu
mendengar dan meresapi Al-Qur’an. Ada istilah baru muncul yaitu muhajir dan ansor, istilah
tersebut muncul ketika beliau bersama para sahabat hijrah keMadinah.
Ketika islam berkembang dan terjadi perkembangan strata social, muncul istilah baru
dikalangan sahabat yaitu Quro’, AhluAssufah, serta fuqoro’. Masa Khulafaur Rosyidin ketiga,
istilah quro’ sebagai panggilan bagi pengkaji Al-Qur’an. Pada masa kholifah keempat muncul
istilah mu’tazilah, bersamaan dengan itu muncul istilah khowarij, mereka semua kelompok zuhut
yang umumnya disebut quro’. Setelah kematian Ali dan Husain muncul istilah Tawwabin, Qossos,
Nussak, Rabbaniyah, dan sebagainya.
Telah diketahui sejarah islam ditandai dengan peristiwa tragis yaitu pembunuhan terhadap
kholifah Usman bin Affan RA. Dari peristiwa tersebut secara berantai terjadi kekacauan dan
kerusakan akhlak. Hal ini menyebabkan para sahabat yang masih ada dan para pemuka islam yang
mau berfikir, berikhtiyar rmengembalikan ajaran islam, iktikaf, mendengarkan kishoh mengenai
targib dan tarhib, mengenai keindahan hidup zuhud dan sebagainya. Inilah benih tasawuf yang
paling awal.

A. Masa Pembentukan

Tasawuf berasal dari kehidupan Rasulullah. Berkatalah Syeh Abdul Baqy Surur, bahwa
tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf
atau itulah benih-benih pertama bagi kehidupan rohaniyahyang disebut dengan ilham hati atau
renungan-renungan rohaniyah.
Dalam hal ini, maka ahli-ahli tasawuf memandang pekerjaan Rasulullah sehari-hari
merupakan dasar ilmu tasawuf. Oleh karena itu mereka memandang Rasulullah imam besar dan
guru pertama dari tasawuf.
Abad 1 H bagian kedua Hasan Basri dengan ajaran khouf tampilnya guru-guru yang lain
yang dinamakan qori’ mengadakan gerakan yang memperbaharui hidup kerahanian dikalangan
kaum muslimin. Telah dianjurkan mengurangi makan, menjauhkan diri dari karamain duniawi,
mencela dunia. Anjuran tersebut menyimpulakan bibit tasawuf sudah ada sejak itu.
Abad II H tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya. Persamaannya terdapat
dalam corak kezuhudan, namun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini adalah adanya
kenyataan pendangkalan ajaran agama dan formalisme dalam melaksanakan syariat agama.
Abu al-wafak menyimpulkan zuhud islam abad 1 dan 2 H mempunyai karakter yaitu:
a) Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakal pada nas agama, yang dilator belakangi
sosio-politik.
b) Masih bersifat praktis.
c) Motif zuhutnya adalah rasa takut.
d) Menjelang akhir abad 2 H, sebagian zahid menandai analisis yang dipandang sebagai fase
pendahuluan tasawuf atau cikal bakal pendirita sawuf falsafi abad III dan IV H.
Pada abad ke 1 dan II H terdapat aliran-aliran tasawuf :
A. Aliran Madinah
Para sufi berpegang teguh pada Al-qur’an dan sunah,menetapkan Rasulullah sebagai
panutan kezuhudannya. Sahabat yang mengikuti Rasulullah bertasawuf pada abad ini adalah:
 Abu bakar Ash shidiq (W.13H)
 Umar bin khatab (W.23H)
 Ustman bin Affan (W.35H)
 Ali bin Abi Thalib (W.40H)
 Salman Al-farisi (W.32H)
 Abu Dzar Al-Ghifary (W.22H)
 Ammar bin Yasir (W.37H)
 Hudzaifah bin Al-Yaman (W.36H)
 Al-Miqdad bin Al-aswad (W.33H)
B. Aliran Basrah
Louis masignan mengemukakan bahwa pada abad 1 dan 2 H terdapat 2 aliran asketisme
islam yang menonjol yaitu basrah dan khufah. Dengan tokoh sufi dari aliran basrah :
 Al-Hasan Al-Bashry (22 H-110 H)
 Rabiah Al-adawiyah (96 H-185 H)
 Malik bin Damar (w.131 H)

C. Aliran Khufah
Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi,
harfiah dalam hadist, dan kecenderungan pada aliran syi’ah dan murji’ah. Tokoh-tokohnya:
 Sufyan Ats Tsaury (97H-161H)
 Ar-rabi’ bin Khatsim (W.67H)
 Sa’id bin Jubair (W.95H)
 Thawus bin Khisan (W.106H)

D. Aliran Mesir
Tokohnya :
 Salim bin ‘Atar At-Tajibi (W.75H)
 Abdurrahman bin Hujairah (W.69H)
 Nafi’ (W.117H)
 Al-laits bin Sa’ad (W.175H)
 Hayah bin Syuraih (W.158H)
 Abdullah bin Wahab (W.197H)

B. Masa Pengembangan

Abad III dan IV H corak tasawuf sangat berbeda dengan abad sebelumnya. Pada abad ini
tasawuf bercorak kefanaan, yang menjurus kebersatuan hamba dengan kholik. Abu yazid Al-
Bustami adalah seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fanak dan
memasukkan ide wahdatul wujut. Beberapa pandangan Abu Yazid antara lain, artinya: “Aku
keluar dari yang haq kepada yang haq sehingga dia berteriak hei zad kau adalah aku”.
Fanak merupakan persyaratan bagi seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifat.
Sesudah Abu Yazid Al-Bustami lahirlah seorang sufi yaitu Al-Halaj dengan teorinya Al-Hulul.
Menurutnya manusia mempunyai dua sifat yakni sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan dalam
dirinya. Pencampuran antara ruh dengan tuhan diumpamakan oleh Al-Halaj bagaikan
bercampurnya air dengan khomer.
Pada akhir abad III orang-orang berlomba menyatakan pemikirannya tentang kesatuan
kesaksian, kesatuan kejadian, kesatuan agama, dansebagainya. Yang semua itu tidak mungkin
dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur.
Pada abad III Dan IV H ini bisa dibilang bahwa perkembangannya telah mencapai
kesempurnaan. Tokoh abad ke III, yaitu :
o Abu Sulaiman Ad-Darani (W.215 H)
o Ahmad bin Al-Hawary Ad-Damasqiy (W.230 H)
o Dzun An-Nun Al-Misri (155 H-245 H)
o Abu Yazid Al-Bustami (W.261H)
o Junaid Al-Baghdadi (W.298 H)
o Al-Hallaj (lahir tahun 244 H)
Tokoh abad IV :
 Musa Al-Anshary (W.320 H)
 Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy (W.322 H)
 Abu Zaid Al-Adamy (W.314 H)
 Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab As-Saqafy (W.328 H)

Kemudian datanglah Junaidi Al-bardadi dengan dasar-dasar ajaran taawuf dan tarikah.
Dengan demikian tasawuf abad III dan IV H telah berkembang Abu Al-Wafa’ menyatakan bahwa
tasawuf pada abad III dan IV H mengarah pada cirri psikocoret moral dan perhatiannya diarahkan
pada moral tinggah laku.
Abad III dan IV H terdapat dua aliran, yaitu: tasawuf suni, dan tasawuf senifalsafi.

C. Masa Konsolidasi
Pada abad V H mengadakan konsolidasi dimasa ini ditandai kompotensi dan pertarungan
antara suni dan semi falsafi yang di menangkan oleh tasawuf suni dan dapat berkembang.
Kemenangan ini dikarenakan teologi ahlisunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari, yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu yazid Al-Bustami dan Ahlaj. Al-
qusyairi adalah seorang tokoh sufi pertama abad V H, dia berusaha mengembalikan tasawuf pada
landasannya Al-Qur’an dan Hadis.
Tokoh abad V H :
o Al-Qusyairi (W.465 H)
o Al-Harawi (lahir 396 H)
o Al-Ghazali (W.405 H)

D. Masa Filsafi

Tasawuf falsafi muncul pada abad VI H, Ibn Kholdun menyimpulkan bahwa tasawuf filsafi
mempunyai 4 obyek utama, yaitu:
a) Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya.
b) Illuminasi atau yang tersingkap dari alam ghaib.
c) Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan atau keluarbiasaan.
d) Pemakaian ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyat).
Abad VI dilanjutkan abad VII H muncul orde-orde sufi kenamaan.

Tokoh abad VI :
 As-Suhrawardi Al-matul (W.587 H)
 Al-Ghasnawy (w.545 H)

E. Masa Kemurnian

Pengaruh dan praktik kian tersebar luas melalui tarekat para sultan. Tasawuf pada masa itu
ditandai bid’ah, khurufat, mengabaikan syari’at dan hukum-hukum moral dan penghinaan
terhadap ilmu pengetahuan, berbentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri
dari rasionalitas, denagn menampilkan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan
ghaib ditonjolkan.
Tokoh abad VII :
 Ibnul farid
 Ibnu Sabi’in
 Jalaluddin Ar-Rumy
Pada abad ini ahli tasawuf bergerak dalam kegiatan yang dirahasiakan sehingga pemerintah
sangat mengkhawatirkan hal itu. Untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat
pemerintah menjalankan kewenangannya yang berakibat tertangkapnya para sufi dan beberapa
diantaranya melarikan diri ke Negara lainsehingga negeri Arab dan Persia sunyi dari kegiatan ahli
tasawuf.
Ibn Taimiyah membagi fanak menjadi 3 bagian, yaitu:
a) Fanak Ibadah, yakni fanak dalam beribadah.
b) Fanak Syuhud Al-Qolb, yakni fanak pandangan hati.
c) Fanak Wujud Ma Siwa Allah, yakni fanak wujud selain Allah.

Ibn taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah
yakni menjelaskan dan menghayati ajaran islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran
tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social, sebagaimana manusia pada
umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan dimasa modern seperti sekarang.
Terlewatnya abad VII H dan memasuki abad VIII tidak terdengar perkembangan atau
pemikiran baru dalam tasawuf. Pada abad ini ada seorang tokoh yang berusaha memurnikan ajaran
tasawuf dari unsur-unsur falsafat yaitu Ibnu Tamiyah.

Abad IX, X dan sesudahnya.


Dalam beberaa abad ini, ajaran tasawuf mulai memudar di dunia islam. Peneliti muslim
menarik kesimpulan bahwa ada 2 faktor yang sangat menonjol penyebab runtuhnya pengaruh
ajaran tasawuf di dunia islam :
a. Ahli tasawuf kehilangan kepercayaan dikalangan masyarakat islam karena beberapa diantara
mereka terlalu menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.
b. Penjajah bangsa Eropa yang beragama Nasrani telah menguasai seluruh negeri islam.
Ahli tasawuf pada abad IX dan sesudahnya :
 Abdul Wahab Asy-Sya’rany (898-973)
 Abdul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijany (1150-1230 H)
 Sidi Muhammad bin Ali As-Sanusy (lahir tahun 1206 H)
 Asy-Syekh Muhammad Amin AL-kurdi (W.1332 H)
Masa kejayaan tasawuf terjadi sekitar abad II, III, IV H dan masa kejayaan tersebut tidak
bisa dicapai hingga sekarang. Namun ajaran tasawuf tetap hidup karena tasawuf adalah suatu
unsure dari ajaran islam, namun terkadang disalah gunakan oleh orang-orang tertentu. Akibatnya
citra tasawuf dimata masyarakat muslim menjadi rusak.

Hubungan Ilmu Tasawuf dengan ilmu-ilmu lainnya:


A. Hubungannya dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan
pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya
mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik
rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan
pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis. Adapun argumentasi
naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadist. Ilmu
kalam sering menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi dengan metode-
metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan Tuhan ini berkisar pada keyakinan-
keyakinan yang harus dipegang oleh umat islam, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri
dengan mengambil istilah ilmu tauhid atau ilmu ‘aqa’id.
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh
dzauq (rasa rohaniah).Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa ALLAH SWT bersifat
Sama’ (mendengar), Bashar (melihat), Kalam (Berbicara), Iradah (berkemauan), Qudrah
(kuasa), Hayat (hidup) dan sebagainya. Akan tetapi, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak
menjelaskan bagaimanakah sesorang hamba dapat merasakan langsung bahwa ALLAH SWT
mendengar dan melihatnya. Bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an
dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari
qudrah (kekuasaan) ALLAH SWT.
Pertanyaan-pertanyaaan ini sulit terjawab dengan hanya melandaskan diri pada
ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada
penanaman kejiwaan manusia adalan akhlak tasawuf. Disiplin inilah yang membahas cara
merasakan nilai-nilai akidah dengan memerhatikan bahwa persoalan tadzawwuq
(bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunnah atau
dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan
spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan)
terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasi dalam
perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat
dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai npengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul
suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau terlahir sebagai suatu kepercayaan baru yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau
penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam
perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam
cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliyah. Jika
tidak diimbangi dengan kesadarn rohaniah, ilmu kalam akan bergerak ke arah yang lebih liberal
dan bebas. Disinilah, ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam
tidak dikesani sebagai dialektika belaka yang kering dari kesadaran penghayatn atau sentuhan
secara qalbiyah (hati).
Amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika
rasa sabar tidak ada, muncullah kekufuran, jika rasa syukur sedikit lahirlah suatu bentuk kegelapan
sebagai reaksi. Begitu juga, ilmu tauhid dapat memberi kontribusi kepada ilmu tasawuf.
Sebagai contoh, jika cahaya tauhid lenyap, timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub,
congkak, riya’, dengki, hasud dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa ALLAHlah yang
memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan
diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan berbangga diri.Kalau saja manusia sadar bahwa
ALLAHlah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya’. Dari disinilah
dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju ALLAH
SWT.(pendakian para kaum sufi). Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam
kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakana, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.

B. Hubungannya dengan Ilmu Fiqh


Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqh selalu dimulai dari thaharah (tata cara bersuci),
kemudian persoalan-persoalan fiqh lainnya. Akan tetapi, pembahasan ilmu fiqh tentang thaharah
atau lainnya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal,
thaharah akan terasa lebih bermakana jika disertai pemahaman rohaniyah.
Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqh dalam
persoalan tersebut? Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena berhasil
memberikan corak batin terhadap ilmu fiqh. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk
berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk
melaksanakan hukum-hukum fiqh. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan
sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Ma’rifat secara rasa (al-ma’rifat adz-dzauqiyah) terhadap ALLAH SWT melahirkan
pelaksanaaan hukum-hukumNya secara sempurna. Dari sinilah, dapat diketahui kekeliruan
pendapat yang menuduh perjalanan menuju ALLAH SWT. (Dalam tasawuf) sebagai tindakan
melepaskan diri dari hukum-hukum ALLAH SWT. Sebab, ALLAH SWT telah berfirman :

‫ث ّم جعلنك علي شر يعة ّمن ا الامرفاتّبعهاوالتتّبعاهواءالّذين اليعلمون‬


Artinya:
“kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama
itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak
mengetahui.” (Q.S. Al-Jasiyah; 18)

Jadi, seorang ahli fiqh harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf (sufi) pun harus
mendalami dan mengikuti aturan fiqh. Tegasnya, seorang faqih harus mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang
sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Berkaitan
dengan ini, syekh Ar-Rifa’i berkata “Sebenarnya tujuan akhir para ulama adalah satu.” pernyataan
ini perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang terkelabui, selalu menghujat setiap orang dengan
perkataan, “Orang seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk syekhnya;atau dilontarkan oleh
sufi keliru yang tidak tahu cara mendudukan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.

Para pengamat ilmu tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan
tasawuf dengan fiqh adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ ‘Ulum Ad-Din-nya dapat dipandang sebagai
kitab yang mewakili dua disiplin ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan ilmu
filsafat.
Paparan diatas, telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf dan ilmu fiqh dua disiplin
ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa
kebutuhan perseorangan terhadap kedua ilmu ini sangat beragam sesuai dengan kadar kualitas
ilmunya. Dari sini, dapat dipahami bahwa ilmu fiqh yang terkesan sangat formalistik-
lahirlah menjadi “Sangat kering”, “Kaku” dan tidak mempunyai makna yang berarti bagi
penghambaan seorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki
oleh tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap “Merasa
suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam fiqh.

C. Hubungannya dengan Ilmu Filsafat

Ilmu tasawuf yang berkembang didunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan
pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat dari misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang
berbicara tentang jiwa. Harus di akui bahwa terminology jiwa dan roh banyak dikaji dalam
pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama jugabanyak mengkaji tentang
jiwa dan roh, diantaranya adalah Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan Al Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan memberikan
sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam.
Pemahaman tentang jiwa dan roh pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian
kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Akan tetapi,
perlu juga dicatat bahwa istilah qalb (hati). Istilah qalb memang lebih spesifik dikembangkan
dalam tasawuf, tetapi tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.

Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad.
Penyatuan roh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh.
Pengaruh dibangun roh, jika jasad tidak memiliki tuntunan-tuntunan yang tidak sehat dan di situ
tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb, hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan
jiwa terus berkembang sedangkan jasad menjadi binasa melayani jiwa.

D. Hubungannya dengan Ilmu Jiwa (Transpersonal Psikologi)

Dalam percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan
dalam diri manusia. Hal ini cukup beralasan, mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf
selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja dalam jiwa
yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan
keislaman. Dari sinilah, tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf)
dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat lepas dari kajian tentang
kejiwaan manusia. Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan hubungan jiwa dengan badan. Tujuan
dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya
keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi
dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipratikkkan manusia dengan
dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, muncul
kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan
baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, maka ia disebut orang yang berakhlak baik.
Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek, maka ia disebut sebagai orang yang berakhlak
jelek. Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang
berkuasa atas dirinya.
Para kaum sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, dapat berarti
bahwa hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual atau kejiwaannya.
Penekanan unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti para sufi mengabaikan unsur jasmani
manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam
melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah swt dan menjadi khalifan-Nya di bumi.
Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah swt, dengan beramal baik dan sempurna
selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan pada kehidupan
rohani yang baik.
Orang-orang dapat menilai apakah seseorang itu baik mentalnya atau tidak. Dalam ilmu
psikiatri dan psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagaimana nama lain kata personality (
kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap (
attitude ), dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatanya akan menentukan corak laku,
cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan,
menyenengkan dan sebagainya.
Masalah mental ini telah menarik perhatian para ahli di bidang perawatan jiwa, terutama
di Negara-negara yang telah maju. Mereka pun melakukan penelitian-penelitian ilmiah yang
menghubungkan antara kelakuan dan keadaan mental. Mereka menemukan hasil-hasil yang
memberikan kesimpulan tegas, yang membagi manusia pada dua golongan besar, yaitu
golongan yang sehat dan golongan yang kurang sehat.

 Golongan yang sehat


Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup
karena dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala
potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara yang membawanya pada kebahagiaan
dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti amoralnya.
Pada perilaku orang sehat mental akan tampak sebuah sikap yang tidak ambisius,tidak
sombong, rendah diri, dan apatis, tetepi ia wajar, menghargai orang lain, merasa percaya pada diri
sendiri, dan selalu gesit. Setiap tindak-tanduknya ditunjukkan untuk mencari kebahagiaan
bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya
digunakan untuk manfaat dan kebahagiaan bersama. Kekayaan dan kekuasaan yang ada bukan
untuk bermegah-megahan dan mencari kesenangan sendiri tanpa mengindahakan orang lain, tetpi
digunakan untuk menolong orang miskin dan melindungi orang lemah.
 Golongan orang yang kurang sehat
Cakupan golongan orang yang kuang sehat mentalnya sangatlah luas, mulai dari yang
paling ringan sampai yang paling berat, dari oarng yang merasa tergaanggu ketenteraman hatinya
sampai orang yang sakit jiwa.
Gejala-gejala umum yang tergolong kurang sehat dapat dilihat dari dalam beberapa segi, antara
lain:
a. Perasaan, yaitu perasaan terganggu, selalu tidak tenteram, gelisah tidak tentu yang digelisahkan,
tetapi tidak dapat pula menghilangkannya (anxiety). Rasa takut yang tidaak masuk akal atau tidak
jelas yang ditakuti itu apa (phobi), rasa iri, rasa sedih yang tidak beralasan, rasa rendah diri,
sombong, suka bergantung pada orang lain, tidak mau bertanggungjawab, dan sebagainya.
b. Pikiran, yaitu gangguan terhadap kesehatan mental,, dapat pula memengaruhi piikiran, misalnya
anak-anak menjadi bodoh di sekolah, pemalas, pelupa, suka membolos, tidak dapat kosentrasi, dan
sebagainya. Demikian pula, orang dewasa mungkin merasa bahwa kecerdasannya telah merosot,
merasa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang telah direncanakannya baik-baik, mudah
dipengruhi oorang lain, menjadi pemalas, apatis, dan sebagainya. Demikian pula, orang dewasa
mungkin merasa bahwa kecerdasannya telah merosot, merasa kurang mampu melanjutkan sesuatu
yang telah direncanakannya baik-baik, mudah dipengaruhi orang lain, menjadi pemalas, apatis,
dan sebagainya.
c. Kelakuan, yaitu pada umumnya kelakuan-kelakuan yanh tidak baik seprti, kenakalan, keras kepala
suka berdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang lain, membunuh, merampok, dan
sebagainya yang menyebabkan orang lain menderita, haknya teraniaya, dan sebagainya termasuk
pula akibat dari keadaan mental yang terganggu kesehatannya.
d. Kesehatan, yaitu jasmaninya dapat terganggu, bukan karena adanya penyakit yang betul-betul
mengenai jasmani itu, tetapi rasa sakit akibat jiwa tidak tenteram, penyakit yang seperti ini disebut
Psyco-Somatic.
Berbagai penyakit tersebut akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yaitu
hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan itu akan memunculkan penyakit-penyakit mental,
yang pada gilirannya akan menjelma menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari
norma-norma umum yang disepakati.
Harus diakui, jiwa manusia sering sakit, tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan
perjalanan menuju Allah swt dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan perilaku (moral)
yang luhur, sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat
menjadi milik, tanpa melakukan perjalanan menuju Allah swt.

Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya adalah
pribadi-pribadi yang tenang, dan perilakunya pun akan menampakan perilaku atau akhlak-akhlak
yang terpuji. Semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Adapun pola
kedekatan manusia dengan Tuhannya, inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sinilah
tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dengan ilmu jiwa atau ilmu kesehatan mental.

KONSEP TASAWUF

B. AJARAN TASAWUF RABI’AH AL – ADAWIYAH


Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisme dalam Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme
dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-
tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah
SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik
yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bermunajat. Rabi’ah menyatakan do’anya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencinntai-Mu oleh
api neraka? “ Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk
sangka kepada Kami.” Diantara sya’ir cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah:
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah
keadaan senantiasa mengingatkan-Mu, Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir
sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk
kesemuanya.”
Untuk memperjelas pengertian Al-hub yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub Al-hawa dan hub anta ahl lahu,
perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana
dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb Al-hawa adalah rasa cinta yang timbul
dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah
nikmat material, tidak spiritual, karenanya hubb disini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian, hubb
Al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-rubah, tidak bertambah dan berkurang karena
bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi
sesuatu yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong
kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan
balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada
Dzat yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut: “Mungkin yang
dimaksud oleh Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan
karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan
keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan
mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadis
qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terlihat
telinga, dan tidak terbesit di kalbu manusia”.
Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga
membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya:
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan
temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku”.
Bagi manusia yang rasa cintanya kepada Allah SWT tidak secara tulus ikhlas, Rabi’ah selalu mengatakan:
“ Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka, tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta. Sungguh aneh segala
ini. Andaikan cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang Ia perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu
patuh dan bakti pada yang dicintai.
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerap kali menyampaikan, “Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku
dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di
langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah
menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu”.
Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata: “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap
menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah
Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih. Demi kemaha kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan
selama Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi
karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”
Ajaran yang terpenting dari sufi wanita ini. adalah al-mahabbah dan bahkan menurut banyak pendapat, ia
merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf hal ini
barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa
estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan
merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan
kalimat-kalimat puitis. Dari syair berikut ini dapat ditangkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
‫ يغيب ما فوادى فى ولكن وشخص بصرى عن غاب حبيب نصيب قلبى فى لسواه وال حبيب له يعد ليس حبيبى‬.
“Kasihku, hanya Engkau yang kucinta, Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu, Walau mata jasadku
tak mampu melihat Engkau, Namun mata hatiku memandangmu selalu.”
Cinta Kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya
untuk yang lainnya. Rabi’ah berkata:
‫ هللا سوى ما لمحبة مكانا قلبى فى يترك لم هللا حبى ان‬.
“Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia.”
Bahkan sewaktu ia ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad SAW, ia menjawab:
‫ المخلوق حب عن شغلنى الخالق حب ولكن – شديدا حبا احبه وهللا انى‬.
“Sebenarnya saya sangat mencintai Rasulullah SAW, tetapi kecintaanku kepada Khaliq telah
melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia.”
Pernyataan ini ia pertegas lagi melalui syair berikut ini dan sekaligus memperjelas makna al-hubb itu
sendiri:
‫ االعداء وكراهة يغض حتى عداه ما كل عن واالنصراف الحبوب التفكيرى استغراقى‬.
“Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa
benci dan murka.”
Suatu hari Rabi’ah ditanya orang, apakah ia mencintai Allah dan ia jawab, ya memang saya mencintai-
Nya. Kemudian ia ditanya lagi, apakah ia benci terhadap setan. Rabi’ah mengatakan, karena cintaku
kepada Allah SWT telah menyebabkan aku tidak mempunyai kesempatan untuk membenci setan.
Menurut Rabi’ah, pecinta yang sesungguhnya harus selalu berusaha mendekatkan diri kepada yang
dicintai serta harus selalu dapat mengisi hatinya. Ia menyatakan:
‫ جلوسى اراد من جسمى والجت – محدثى الفؤاد فى جعلتك انى‬. ‫ انس الفؤادى فى قلبى حبيب و مؤنس الجليس منى فالجسم‬.
“Dalam relung hatiku Engkau teman berbincangku, Walau ragawi aku berbincang dengan sejawatku,
Dengan mereka aku bersenda gurau selalu.”
Dengan dan melalui al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang selalu ia rindu, ingin dibukakan tabir
yang memisah dirinya denga Tuhan.

C. AL-MAHABBAH DAN AL-MA’RIFAH


Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi adalah memperoleh hubungan langsung
dengan Tuhan sehingga dirasakan dan disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu
diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi dalam mengartikan hadirat Tuhan
itu, ternyata terdapat perbedaan konseptual, perbedaan ini bersumber dari ketidaksamaan mereka
mengenai hakekat tuhan dan manusi. Sebagian sufi berpendapat bahwa Allah SWT adalah puncak
Kecantikan dan Kesempurnaan, sementara yang lain menyatakan sebagai iradah, Nurul Anwar dan juga
disebut Ilmu atau Ma’rifah. Di pihak lain diyakini bahwa minisis dan alam ini adalah mazhohir atau
radiasi dari hakikat Tuhan, jiwa atau roh manusia adalah pancaran dari Nurul Anwar.
Untuk bisa mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucian jiwa atau purgativa (takhalli) dan berlanjut
kepada kontemplativa (tahalli) yang berujung ketingkat illuminativa (tajalli). Ketiga proses ini harus diisi
dengan melalui stasiun-stasiun atau al-maqomat. Keseluruhan rangkaian al-maqamat itu adalah latihan
olah kerohanian melalui serangkaian amal ibadah yang ketat dan khas sufi. Oleh karena itu tipe tasawuf
semacam itu digolongkan kepada tasawuf amali. Untuk melakukan usaha yang berat itu, seseorang harus
dilandasi rasa cinta kepada Allah SWT dalam arti yang sesungguhnya.
Al-Hubb atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan dengan ma’rifat, karena
nampaknya manivestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut
ma’rifat. Al-hubb mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah SWT yang
menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi
oleh rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa motivasi
lain kecuali hanya kasih Allah, sebagiamana disenandungkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah (w.185) dalam
syairnya:
‫ جهنم بنار فاحرقنى نارك من خوفا اعبدك كنت لو – الهى‬, ‫اجل من اعبدك كنت ان واما فاحرمنيها جنتك فى طمعا اعبدك كنت واذا‬
‫ وجهك مشاهدة من تحرمنى فال محبتك‬.
“Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu karena takut neraka, campakkanlah aku kesana. Andaikata aku
mengabdi-Mu hanya karena mengejar surga-Mu jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata
aku menyembah-Mu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah tutup wajah-Mu dari pandanganku.”
Kondisi kecintaan yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai dengan melalui proses perjalanan
panjang dan berat (riyadhoh dan mujahadah) sehingga pengenalannya kepada Allah SWT menjadi sangat
jelas dan pasti. Yang dihayati dan dirasakan bukan lagi cinta tetapi diri yang dicinta. Oleh karena itu
menurut al-Ghazali, mahabbah itu adalah pintu gerbang mencapai ma’rifat kepada Tuhan. Paham al-Hubb
atau mahabbah buat pertama kali diperkenalkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Menurut Rabi’ah, al-Hubb itu
adalah rindu dan pasrah kepada Allah SWT. Seluruh ingatan dan perasaan kepada Allah SWT. Hal ini
dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapannya yang ia cetuskan melalui gubahan kata yang indah, antara
lain:
‫وهذا يحبيبه حبيب كل وخال ابوابها الملوك وغلقت العيون ونامت النجوم انارت الهى عنك شىء يشغلنى ال حتى حبك فى اغرقنى – الهى‬
‫دابى هذا تك فوعز نى فاعز علي تها رد ام فاهنا ليلتى منى اقبلت شعرى فليت اسفر قد النهار وهذا ادبر فد الليل هذا الهى يديك بين مقامى‬
‫ محبتك من قلبى فى وقع لما عنه برحت ما بابك عن طردتنى لو تك وعز احييتنى ما‬.
“Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang dapat melenyapkan ingatanku pada-
Mu. Tuhanku, cahaya bintang gemerlapan, orang-orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat,
yang saling mencintai telah asyik berduaan, sedangkan aku kini bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku,
malam kini telah berlalu, siang akan segera menyusul, aku gelisah gunda-gulana, apakah amalku Engkau
terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yang akan membuatku nestapa. Demi
kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus mengabdi pada-Mu selama hayatku. Seandainya Engkau
usir aku dari ambang pintu-Mu aku tak akan beranjak karena cintaku pada-Mu telah membelenggu
jiwaku.”
Demikianlah ungkapan cinta Rabi’ah kepad Allah SWT yang telah merasuk sukmanya sehingga segala
aktivitasnya tertuju hanya kepadaNya. Selanjutnya ia bersenandung:
‫ كا سوا يحب ان القلب ابى قذ – وسرورى راحتى و رجائ يا اتاك مذنبا اليوم فارحم – سواكا مالى القلب حبيب يا‬.
“Kasihku, hanya Engkau harap dambaku. Alirkan karunia-Mu bagiku yang bernoda, kaulah harapanku,
kedamaianku, kebahagiaanku, hatiku hanya pada-Mu semata.”
Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap prilakunya dan
sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah SWT. Nampaknya bagi Rabi’ah ada dua
macam cinta seperti ia katakan:
‫لى فكشفك له اهل انت الذي واما سواك عمن يذكرك فشغلنى الهوى حب هو الذي فاما لذاكا اهل نك ال حب و الهوى حب حبينى احبك‬
‫ وذاكا ذا فى الحمد لك لكن و لى ذاكا ذاوال فى الحمد فال اراكا حتى الحجب‬.
“Aku mencintaim-Mu dengan dua dorongan cinta, kucintai Engkau lantaran aku cinta dan rindu dan aku
cinta karena Engkau patut dicintai. Adapun cinta rindu, karena hanya Engkau kukenang selalu bukan
selain-Mu. Adapun cinta karena Engkau layak dicinta, karena Engkau sibakkan tabir penutup tatapan
sembahku sehingga Engkau nyata bagiku. Bagiku tentang ini, itu tidak ada puji, namun bagi-Mu sendiri
segala puji.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, tujuan satu-satunya yang wajar dan sewajarnya dicintai ialah Allah SWT.
Agar dapat sampai kepadanya, seorang sufi harus lebih dahulu mendidik dirinya supaya mencintai segala
keindahan alam ini, merenungkannya dan meresapkannya secara mendalam. Sebab, keindahan dan
kecantikan itu adalah ciri-ciri dari Dzat yang dicintai, sehingga Ma’ruf al-Kharki berpendapat, bahwa
cinta tidak bisa dipelajari dari manusia, cinta adalah anugerah dan rahmat Allah SWT. Cinta manusia
kepada keindahan adalah disukai Allah SWT, karena Ia sendiri adalah sumber asasi dari segala
keindahan.
Seorang sufi tidak berhenti sampai disitu saja, tatapi dia akan berlanjut terus mendekat atau bersatu
dengan yang dicintainya. Dalam menuju kesana itu, ia melalui tingkat yang aneka ragam sambil
menjauhkan dirinya dari segala macam kejahatan. Seorang sufi harus menjadikan dirinya seorang yang
bermoral mulia dan suci, keadaan ini akan mengantarkannya kepada keindahan yang sempurna. Sifat-sifat
yang ada pada dirinya akan berangsur-angsur hilang dan akan terbukalah tabir yang mengitarinya dengan
Tuhan sehingga tercapai ma’rifat dan terbukalah jalan untuk ittihad. Berdasarkan alasan itu, Ibn al-Faridh
tidak membedakan antara al-Hubb dan ma’rifat. Menurutnya, pelepasan diri dari pengaruh rasio sehingga
hati dapat leluasa untuk bekerja sendiri berdasarkan iradat Allah SWT. Hal ini berarti, bahwa cinta itu
bukan bersumber dari hati atau akal, tetapi cinta adalah sesuatu yang samawi dan sangat suci.

Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya
adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada
tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856.

Sebagaimana diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah pelopor paham al Ma’rifat. Walaupun paham
ma’rifat sudah dikenal di kalangan sufi, tetapi Dzun Nun al Mishri-lah yang lebih menekankan paham ini
dalam tasawuf. Penilaian ini tidaklah berlebihan karena berdasarkan riwayat al Qathfi dan al Mas’udi
yang kemudian dianalisis oleh Nicholson dan Abd. Qadir dalam Falsafah ash Shufiah fi al Islam
disimpulkan bahwa Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang al Ma’rifat dalam
bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai dengan :
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu melaksanakan kegiatan sufi
menggunakan pendekatan qalb atau hati dan ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.
2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al qalbiyah sebab ma’rifat
merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.
3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini dianggap
sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud dan ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama
mamasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf.
Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun Nun al Mishri dianggap
sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah
yang memerintah tahun 232 H/847 M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar
karena kita temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap aqliyah dan
kalam.
Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :
1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan Tuhan sebagaimana yang
dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim,
mutakallimin dan ahli balaghah. Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki para
wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah
hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamaba-hamba yang lain.
2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya al ma’rifat yang
murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba
mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa
hamba, bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat dengan
penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua ungkapan di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui
pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifah bathin, yakni Tuhan menyinari
hati manusia dan menjaganya dari ketercematan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai
arti lagi. Melalui pendekatan ini manusia perlahan-lahan terangkat ke atas sifat-sifatnya yang rendah dan
selanjutnya menyandang sifat-sifat yang luhur seperti yang dilimiki Tuhan. Pandangan-pandangan seperti
inilah yang nantinya diteruskan dan dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami, al Junaid sampai al
Ghazali.
Menurut Abu Bakar al kalabadzi (wafat 380 H/990 M) dalam bukunya Al Ta’aruf li Mazahid Al
Tashawwuf (Pengenalan terhadap Madzhab-madzhab Tasawwuf), Dzun Nun al Mishri telah sampai
kepada tingkatan ma’rifat, yaitu tingkatan maqam (stasiun) tertinggi dalam tasawuf, setelah melewati
maqam taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, rida, dan cinta (mahabbah). Ma’rifat adalah mengetahui
Tuhan dengan sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzun Nun al Mishri ditanya tentang
cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab, “’arafu rabbi bi rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi” ,Aku
mengenal Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui Tuhan).
Kata-kata Dzun Nun al Mishri ini sangat popular dalam ilmu tasawuf. Menurut Abu Al Qasim Abd Karim
Al Qusyairi, Dzun Nun al Mishri mengakui bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil
usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugrah yang dilimpahkan Tuhan kepada dirinya.
Dzun Nun al Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim
2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, jenis pengetahuan yang pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori
pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan al ma’rifat, tetapi disebut dengan
ilmu. Adapun jenis pengetahuan yang ketiga baru disebut dengan al ma’rifat.
Dari ketiga macam pengetahuan Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya (para wali)
adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Para ulama dan
filosof tidak mampu mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui
Tuhan, sedangkan akal itu sendiri mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan rohaninya menuju tingkat
ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai
berikut :
1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk
mengenalnya.
2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai dengan meminta cara ikhlas
dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan
Allah semata.
3. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua macam, yaitu dari dan wasil.
Dari adalah orang yang menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan al
ma’rifat.
Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa pada garis besarnya terdapat dua jalan yang ditempuh
Dzun Nun al Mishri dalam mendekati Tuhan, yaitu thariqah yang biasa ditempuh oleh para ahli sufi
melalui maqamat yang dilakukan secara sistematis dan ketat mulai tobat. Adapun thariqah yang kedua
yaitu ijtiba bersifat personal.
Untuk jalan thariqah, Dzun Nun al Mishri menceritakan secara lebih rinci tahapan-tahapan situasi batin
yang hendak menuju tingkat arif (ahli ma’rifat), yaitu : iman, khauf, tha’ah, raja, al mahabbah, syauq, uns,
thuma’ninah, dan na’im. Di samping menggunakan thariqah seperti ini, ia juga menempuh perjalanan
sufinya melalui maqamat tertentu yang intinya dimulai dari taubat, wara, zuhud, tawakkal, rida, al
ma’rifat, sampai mahabbah.
Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat, dia melihat Tuhan melalui
tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai
berikut :
“…. Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan
semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Dzun Nun al Mishri adalah seorang sufi besar, bapak paham al
ma’rifat dalam terminologi sufisme karena keberhasilannya dalam menampilkan corak baru kehidupan
sufistik, yang lebih menekankan pendekatan al ma’rifat qalbiyah dari pada al ma’rifat aqliyah. Inti ajaran
al ma’rifat adalah mengetahui dan melihat Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari sempat meliha-Nya
tanpa penghalang. Pengetahuan inti adalah anugrah Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu.

C. Maqamat dan Ahwal menurut Dzun Nunal Mishri


Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum
mencapai tujuan yang dikehendaki, Yang pertama berupa tahapan perjalanan, dan yang kedua berupa
keadaan.
1. Maqamat
Maqamat dalam ilmu tasawuf mengandung arti kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa
yang diusahakan berupa latihan. Jika seseorang belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat
suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
maqam dijalani oleh seorang tasawuf melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sebuah
kewajiban yang harus ditempuh untuk jangka waktu tertentu.
Menurut Dzun Nun al Mishri, maqam ini dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol, dan
amalannya. Oleh karena itu keberhasilannya itu merupakan penilaian yang berasal dari Allah,
mencerminkan kedudukan seorang tasawuf di hadapan Allah.
Selanjutnya dalam Da’irat Al Ma’rifat Al Islamiyah diterangkan tentang simbol-simbol az zuhud menurut
Dzun Nun al Mishri, yaitu sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, memiliki rasa cukup yang disertai
kesabaran. Sedangkan masalah tobat ia membedakan atas tiga tingkatan, yaitu :
1. Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
2. Orang yang bertobat dari kalalaian dan kealfaan mengingat Tuhan
3. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Dzun Nun al Mishri tentang maqam as shobr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog
dari sebuat riwayat. Suatu ketika ia menjenguk seorang yang sakit. Tatkala orang itu berbicara dengan
Dzun Nun, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi Tuhan.” Orang
itu kemudian mengatakan “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu
cobaan.”.
Petikan dialog di atas mengisyaratkan bahwa Dzun Nun berbicara dengan orang yang juga mengerti dunia
sufisme.
Selanjutnya pengertian at tawakkal menurut Dzun Nun al Mishri adalah berhenti memikirkan diri sendiri
dan merasa memiliki daya kekuatan, intinya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, disertai
perasaan tidak memiliki kekuatan. Dan rida menurut pendapatnya ialah kegembiraan hati karena
berlakunya ketentuan Tuhan.
2. Ahwal
Dalam kitab Isthilahat As Shuffiyah, ahwal dijelaskan sebagai pemberian yang tercurah pada seseorang
dari Tuhannya, baik dari sebuah amal shaleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang
dari Tuhan sebagai pemberian semata. Atau dengan kata lain ahwal adalah pemberian yang berasal dari
Tuhan kepada hamba-nya yang dikehendaki. Pemberian itu adakalanya diberikan kepada orang yang
berusaha kea rah itu dan adakalanya tanpa melalui usaha.
Menurut Dzun Nun al Mishri, setiap maqam memupunyai permulaan dan akhir. Diantara keduanya
terdapat aneka ahwal. Setiap maqam mempunyai symbol, dan setiap hal ditunjuk oleh isyarat. Penjelasan
ini menunjukkan bahwa maqam beerangsung lebih lama dari ahwal. Maqam bersifat tetap, dan ahwal silih
berganti, datang dan pergi.
ABU YAZID AL BUSTAMI
Tasawuf dan Sufi

Sebenarnya ilmu tasawuf adalah ilmu yang baru dalam Islam.[14] Bermula dari generasi pertama umat
Islam, yakni dari kalangan sahabat (orang yang bertemu Rasulullah semasa hidupnya), tabi'in (orang yang
bertemu dengan sahabat Rasul semasa hidupnya), sampai pada generasi setelahnya.[14] Asal-usulnya
sendiri merupakan pemusatan diri seseorang dalam menjalankan ibadah, pengharapan diri sepenuhnya
kepada Allah, juga penjauhan diri dari harta, maupun kenikmatan-kenikmatan yang lain.[14]

Tasawuf berasal dari kata dasar suf yang artinya wol yang biasanya digunakan sebagai jubah (labs al suf)
oleh orang-orang yang menjalankan kehidupan mistik atau yang disebut sufi.[15] Terkadang tasawuf
dihubungkan dengan kata suluk yang berarti perjalanan.[15] Hal ini dipergunakan untuk menggambarkan
perjalanan mistik menuju Tuhan.[15] Menurut Syeikh Juneid al-Bagdadi (wafat 297 Hijriyah), tasawuf
adalah bahwa engkau bersama Allah tanpa adanya penghubung, sedang menurut Abu Muhammad
Ruwaim, tasawuf berarti kita menyerahkan diri kepada Allah untuk mengikuti kehendak-Nya.[14] Dari
definisi di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan
jiwa secara benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh, juga menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi (hal-hal yang berhubungan dengan dunia seisinya) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
swt untuk mendapatkan perasaan yang dekat dengan-Nya.[14] Tujuan dari tasawuf sendiri adalah untuk
mengenal Allah.[16] Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas tentang perilaku tasawuf, di antaranya
Surat Al-A'la ayat 14, Surat As-Syams:9, dan Ali Imran:164 yang berbunyi:

‫علَى َللاه َمن لَقَد‬ ‫علَي ِهم يَتلهو أَنفه ِس ِهم مِ ن َر ه‬


َ َ‫سوال فِي ِهم بَع‬
َ َ‫ث إِذ ال همؤمِ نِين‬ َ ‫اب َويهعَ ِلِّ هم هه هم َويهزَ ِ ِّكي ِهم آيَاتِ ِه‬
َ َ ‫لَفِي قَب هل مِ ن كَانهوا َوإِن َوالحِ ك َمةَ ال ِكت‬
‫ضالل‬
َ ‫همبِين‬

Artinya:Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus
di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-
ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi), mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.[17]

Adapun cara memahami sesuatu dalam tasawuf sangatlah berbeda dengan yang lain.[18] Oleh karena itu,
para sufi menciptakan metode yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam pengetahuan biasa,
termasuk dalam filsafat.[18] Jika pengetahuan biasa menggunakan metode bahtsi (pemikiran), sedang
adalam tasawuf menggunakan metode dzauqi, yakni rasa.[18] Orang yang masuk ke dalamnya bukan
sekadar memahami, namun juga mengalami, karena hanya dengan mengalami, maka kita akan
memahami.[18] Jalaluddin Rumi mengatakan, "Jika engkau ingin mempunyai pengetahuan yang
sebenarnya tentang air, maka ceburkanlah dirimu ke dalamnya, maka engkau akan memperoleh
pengetahuan sejati tentangnya."[18] Inilah yang dimaksud sebagai dzauqi, merasakan atau mengalami
objek tersebut dan bukan hanya mengetahuinya lewat tulisan maupun analisis.[18]

Adapun pengertian sufi As Syibli, sufi adalah penunjuk dari Allah, sedang makhluk lain adalah penujuk
kepada Allah.[19] Ditambah dengan keterangan dari Dzun Al-Mishri, sufi adalah orang yang menyukai
Allah lebih dari segala sesuatu dan disukai oleh Allah dari segala sesuatu.[19] Al Nuri menyebutkan di
antara sifat seorang sufi adalah diam ketika tidak memiliki sesuatu dan mendahulukan orang lain ketika
memiliki sesuatu.[19]

Abu Yazid pernah ditanya perihal sufi.[1] Pertanyaan itu kemudian dijawabnya sebagaimana berikut,
"Sufi adalah orang yang tangan kanannya memegang kitabullah (Al-Qur'an), sedangkan tangan kirinya
memegang sunnah Rasulullah, salah satu matanya memandang ke surga dan yang lainnya memandang ke
neraka, baginya dunia hanyalah sarung dan akhirat adalah mantelnya, kemudian sambil berseru, labbayka
ya Allah (aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah)".[1] Abu Yazid adalah orang yang menempuh
jalan tasawuf yang mencapai keadaan ruhaniah mabuk kepayang dengan kekasihnya, Tuhan, fana (sirna),
merasa kekal (baqa) bersama Tuhan, dan merasa bersatu denga-Nya (ittihad).[1] Upaya untuk mencapai
taraf kesufian yang tiggi itu, membutuhkan waktu yang panjang serta usaha yang cukup berat.[1] Abu
Yazid pernah berkata, "Dua belas tahun aku seperi tukang besi terhadap diriku, lima tahun aku sebagai
cermin hatiku. Setahun aku memperhatikan apa yang terdapat di antara keduanya. Tiba-tiba ada belenggu
di pinggangku. Lima tahun aku berusaha memutus belenggu itu sambil memikirkan bagaimana cara
memutusnya; maka barulah ia putus."[1][4] Pernyataan ini mengandung makna bahwa setelah berusaha
selama waktu yang panjang, barulah hilang belenggunya (penghalangnya) yang merintanginya untuk
mencapai hakikat atau tujuan tasawufnya yang tinggi.[1]

Kemudian diperlihatkan lagi dalam perkataannya, "Selama tiga puluh tahun Allah adalah cerminku, maka
jadilah aku hari ini cermin diriku, karena aku saat ini bukan lagi aku sebelumnya.[1] Semua pernyataan di
atas jelas menunjukkan bahwa Abu Yazid bukanlah sufi yang menggampangkan kewajiban-kewajiban
syariat.[1] Sikap demikian masih dapat dilihat dalam dirinya saat ia mencapai sakr (mabuk cinta pada
Allah).[1]

Selain Abu Yazid, juga ada banyak sufi yang lain seperti Abu Hasan Sarri Al-Mugallis As-Siqthi, seorang
sufi yang berpengetahuan luas dan banyak dihormati penduduk Irak dan para ulama yang lain.[20]
Kemudian ada juga tokoh-tokoh sufi asal Iran, antara lain adalah Ruzbihan Al-Baqli Asy Syirazi, Haidar
Amuli, Ali Isfahan (wafat tahun 1427), dan A'la Ad-Daulah As-Samani (1261-1336]].[21] Juga tidak
luput tokoh-tokoh sufi yang muncul pada abad-abad pertama hingga abad ke-9 Hijriyah saat di mana
tasawuf mulai menunjukkan kemajuannya, di antara tokoh-tokoh tersebut ialah Abu al-Haris Al-Muhasibi
(165-243 H /781-857 M), Dzun Al-Mishri (w. 248 H/861 M), Al Hakim At-Tirmidzi (w. 898 M), Abul
Mughits bin Manshur Al-Hallaj (w. 309 H, terkenal dengan Al-Hallaj yang merupakah tokoh sufi paling
kontroversi dalam sejarah karena konsep wahdatul wujud(penyatuan diri dengan Tuhan) miliknya dan
terkenal dengan kata-katanya Ana Al-Haqq (saya adalah Yang Maha Benar), sehingga harus dihukum
mati pada tanggal 28 Maret 913 M karena didakwa menyebarkan ajaran sesat), Sahl Ibn Abdillah Al-
Tustari (w. 896), Al-Kharaz (w. 899 M).[22][23] Sedang kedatangan para ahli tasawuf (sufi) di Indonesia
sendiri diperkirakan pada abad ke 13, yakni masa penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India,
namun baru tampak nyata sekitar abad 16 dan 17 terutama di Jawa dan Sumatera.[15] Contohnya para
sufi dari Sumatera adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-samatrani, Ar-Ranisri, dan Abdurrauf dari
Singkel.[15] Kemudian jika di Jawa ada walisanga, Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang), Sunan
Panggung, dan lain-lain.[15]
Ajaran

Abu Yazid adalah sufi pertama yang membawa ajaran al-fana, al-baqa, dan ittihad, yakni suatu ajaran
mengenai paham meniadakan diri (jasmani), yang mana kesadaran rohani merupakan hal yang kekal saat
bersatu dengan-Nya.[24]
1. Al-Fana
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Fana
Fana berarti sirna.[1] Maksudnya adalah lenyapnya kesadaran diri seorang sufi tentang alam jasmani ini,
termasuk tentang dirinya sendiri.[1] Istilah fana oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan gugurnya
sifat-sifat tercela.[25] Menurut Abu Said Al-Kharraz, fana ialah sirnanya kesadaran tentang manusia
(ubudiyat) dan selain Allah.[3][25] Al Jailani dan Al Hujwiri berpendapat bahwa kefanaan datang kepada
manusia melalui penglihatan akan keagungan Tuhan dan terbukanya kemahakuasaan Ilahi dalam hatinya,
sehingga pada perasaannya, dunia ini akan sirna dari pikirannya.[25] Ajaran ini diperoleh Abu Yazid dari
gurunya yang bernama Abu Ali al-Sindi yang berasal dari India.[4]

Para ahli tasawuf membagi fana menjadi empat tingkatan:[26]

Tingkat 1: Fana fil-Af'al (fana dalam perbuatan)


Tingkat 2: Fana fis-Sifat (fana dalam persifatan/ watak)
Tingkat 3: Fana fil-Asma (fana dalam penamaan)
Tingkat 4: Fana fidz-Dzat (fana dalam zat/ esensinya)

Pintu menuju kefanaan terbagi menjadi dua, yakni Dawamudz Dzikri (mengistiqomahkan/ mengkekalkan
zikir) dan Dawamun Nisyan (mengekekalkan lupa pada dunia dan selain Allah).[26]

Diceritakan bahwa Abu Yazid pernah berkata ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang dilihat adalah
bangunan Ka’bah dan dirinya.[1] Kemudian ia naik haji lagi, maka selain ia melihat bangunan Ka’bah
dan dirinya, ia merasakan Tuhannya Ka’bah.[1] Pada haji yang ketiga, dia tidak merasakan apa-apa lagi
kecuali Tuhannya Ka’bah.[1] Selain itu, juga ada catatan tentang ucapannya yang menunjukkan
pengalaman fananya.[1] Ia berkata, "Pada hari (tahap) pertama, aku zuhud terhadap dunia dan segala
isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala isinya, pada hari ketiga aku zuhud terhadap
apa saja selain Allah, dan pada hari keempat tidak ada yang tinggal bagiku selain Allah." [1]

Gambaran kesadaran Abu Yazid seperti yang diungkapkan tersebut dinamakan fana.[1] Kemanapun ia
mengarahkan wajahnya, yang terlihat oleh mata hatinya adalah Allah saja.[1] Mata hatinya yang
mengarah ke alam gaib (alam di luar dunia) terbuka.[1] Adapun mata kepalaya yang mengarah ke alam
jasmani (dunia), kendati terbuka, ia tidak melihat apa-apa.[1] Indra-indra lahiriah yang lain tidak
menangkap apa-apa, tidak merasakan panas atau dinginnya hawa, tidak pula merasakan sayatan pisau
pada kaki atau tangannya.[1] Sufi yang sudah sampai sampai ke taraf keadaan hanya melihat Allah
dengan mata batinnya, disebut juga al-arif bi Allah.[1] Menurut Abu Yazid, Al-arif tidak melihat dalam
tidurnya kecuali Allah, tidak pula dalam jaganya kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain
Allah, dan tidak menyaksikan kecuali Allah.[1]

Ciri yang mendominasi kefanaan Abu Yazid sendiri adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari
pandangannya, yang mana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali satu, Allah.[27] Bahkan dia tidak
lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya melebur dalam zat yang Maha Kuasa.[27] Dia pernah
berkata,"Aku keluar dari Yang Maha Benar menuju Yang Maha Benar dan akupun berseru: Wahai
Engkau yang aku! Telah kuraih tingkat kefanaan.[27]

Meski telah mencapai tingkatan fana, ia tetap disiplin berpegang pada hukum-hukum Islam.[4] Menurut
Abu Yazid, seorang wali (kekasih Allah) harus tetap melaksanakan syariat, agar Tuhan tetap menjaga
tingkat pengalaman spiritual (keagamaan) yang pernah dicapainya.[4]
2. Al Baqa

Dengan terjadinya fana itu, berarti telah terjadi baqa.[1] Baqa dan fana seperti dua muka dari satu lembar
kertas.[1] Baqa sendiri berarti meninggalkan kebodohan menuju pada kondisi yang mengetahui, pergi dari
kebekuan hati ke pemujaan tanpa henti serta meninggalkan penilaian atas manusia yang bersifat
sementara menuju ke penglihatan langsung kasih Ilahi yang abadi (kelanggengan dalam mengingat
Tuhan).[25][28]

Namun tidak semua sirna dari kesadaran sang sufi karena masih ada yang tinggal atau yang tetap terus
ada dalam kesadarannya, yaitu Allah SWT.[1] Kesadaran Abu Yazid tentang Tuhan tetap ada.[1] Dia
pernah berkata, "Aku mengenal Tuhan melalui diriku sampai aku fana (lenyap), kemudian aku mengenal-
Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup. Ia telah membuatku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian
Dia membuatku gila pada-Nya, dan akupun hidup. Gila pada diriku adalah kefanaan, sedangkan gila
pada-Nya adalah kebaqaan."[1] Dalam fana seorang sufi akan merasa sirna atau tenggelam dalam lautan
ketuhanan yang baqa, seperti tenggelamnya besi dalam lautan api yang menyala.[1] Di saat itu sifat-sifat
kemanusiaannya tidak dirasakannya lagi, yang hanyalah adalah sifat-sifat ketuhanan yang baqa pada
dirinya.[1] Keadaan seperti itulah yang disebut baqa, yakni merasa hidup dengan sifat Tuhan yang
abadi/kekal.[1]
3. Ittihad

Keadaan seperti fana-baqa itu dapat disebut sebagai ittihad (bersatu), yakni merasa bersatu dengan
Allah.[1] Setelah seseorang mencapai fana dan baqa, maka selanjutnya adalah tingkatan ittihad.[25]
Dalam kitab Futuh Al-Ghaib bab:17, Syekh Abdul Qadir Jaelani menjelaskan, "Apabila kamu telah
bersatu dengan Tuhan, maka kamu akan merasa aman dan selamat dari apa saja selain-Nya. Kamu akan
mengetahui bahwa tidak ada yang wujud (ada) selain Dia saja. Kamu akan mengetahui bahwa untung,
rugi, harapan, takut, bahkan apa saja adalah dari dan karena Dia juga. Dialah yang patut ditakuti dan
kepada Dia sajalah (tempat) meminta perlindungan dan pertolongan. Karenanya, lihatlah selalu
perbuatan-Nya, nantikanlah perintah-Nya, dan patuhlah selalu kepada-Nya. Putuskanlah hubunganmu
dengan apa saja yang bersangkutan dengan dunia ini, juga dengan akhirat.Janganlah kamu melekatkan
hatimu, kecuali pada Allah SWT." [25] Dia menambahi bahwa ketika semua hubungan dunia telah
diputuskan oleh seorang hamba yang telah bersatu dengan Allah, maka ia pun aka menerima kekudusan
(kesucian)yang kekal, di mana tidak ada lagi cacat dan cela. Mereka menjadi orang yang dipilih Allah
untuk menjadi kekasih.[25] Namun tntang hakikat ittihad hanya dapat diketahui oleh mereka yang sudah
merasakan pengalaman soiritual tersebut.[25]
Fana, baqa, dan ittihad dapat diibaratkan seperti tiga aspek yang berbentuk satu segitiga.[1] Pengalaman
sang sufi bersatu denga Tuhan dapat dipahami dari kata-kata Abu Yazid dan perbuatannya.[1] Merasa
bersatu dengan Tuhan dapat diibaratkan seperti "besi yang berada di dalam api".[1] Demikianlah
perjalanan ruhani seorang sufi menuju Allah yang puncaknya adalah ittihad.[25]
Kontroversi

Pengalaman Abu Yazid serta ucapan-ucapannya yang terkadang sulit dipahami oleh orang awam (orang
biasa), menyebabkan sebagian ulama menentangnya.[4]
1. Syatahat

Pada saat mengalami fana, munculah syatahat (ungkapan-ungkapan aneh) dari lidah Abu Yazid.[1] Abu
Nashr al-Sarraj berpendapat bahwa syatahat (Inggris: theopathical stammerings) itu menggambarkan
pencapaian kondisi spiritual sang sufi yang lebih tinggi.[24][29]

Berikut adalah sejumlah syatahat yang pernah diucapkannya.[1]

"Tuhan, aku meminta-Mu menjadi satu-satunya yang ada bagiku di antara hal lain yang hampa." [30]
"Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku, Maha Suci Aku,
Maha Suci AKu, alangkah Maha Agungnya keadaanku." Ini diucapkannya saat sedang menunaikan shalat
shubuh berjama'ah yang membuat orang-orang tercengang dan menganggapnya gila.[1][13]
"Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar
Aku."[29]
"Tidaklah aku heran terhadap cintaku kepada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina; tetapi aku
heran terhadap cinta-Mu kepadaku karena Engkau adalah Raja yang Maha Kuasa. Allah yang Maha
Agung telah berkenan menerimaku di dua ribu tingkatan. Pada setiap tingkatan, Ia menawarkan sebuah
kerajaan kepadaku, tetapi aku tolak. Maka Allah berkata kepadaku, 'Hai Abu Yazid, apa yang engku
inginkan?' Aku menjawab, Aku ingin tidak menginginkan." Ada juga perkataanya, "Manusia bertaubat
dari dosa-dosa mereka, sedangkan aku bertobat dari ucapanku, Tiada Tuhan selain Allah karena aku
mengucapkannya dengan alat dan huruf, padahal Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf dan alat.
"Pada suatu saat aku dinaikkan sampai ke hadirat Allah. Maka Dia berkata, 'Hai, Abu Yazid,
sesungguhnya makhluk-Ku ingin melihatmu.' Aku menjawab, 'Wahai Kekasihku, aku tidak ingin melihat
mereka. Jika engkau menghendaki hal demikian dariku, maka sungguh aku tidak sanggup menentang
kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga mereka bila melihatku, akan berkata, 'Kami
telah melihat engkau, padahal yang sebenarnya mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena di kala itu
aku tidak ada di sana."[1]
Dikisahkan bahwa pernah seseorang laki-laki mendatangi Abu Yazid di rumahnya.[1] Setelah orang itu
mengetuk pintu rumah, maka Abu Yazid bertanya,"Siapa yang kamu cari?" Orang itu menjawab, "Abu
Yazid".Lalu Abu Yazid berkata, "Pergilah, tidak ada di rumah ini kecuali Allah." Di lain hari, ia berkata,
"Yang ada dalam di jubah ini hanyalah Allah." [1]
"Apabila jahannam melihatku, maka ia akan menyurut."[13]

Dari ungkapan-ungkapan syatahat Abu Yazid di atas itulah dapat dipahami bahwa ia selalu mengalami
fana.[1] Ia dan alam semesta telah hilang dari kesadarannya, kendati ia dan alam semesta itu tidaklah
hilang sama sekali, tetapi hanya dari kesadarannya.[1] Menurut Al-Thusi, pada kondisi ketidaksadaran di
atas membuat sufi tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya.[27] Masalah ucapan-ucapan ini juga pernah
dikaji oleh Louis Massignon, baginya hal itu muncul karena seorang sufi sedang berada di luar sadarnya,
karena jika diucapkan dalam keadaan normal, justru akan ditolak sendiri oleh orang yang
mengucapkannya.[27]

Seseorang pernah menyampaikan kepada Syekh Junaid mengenai syatahat yang diucapkan oleh Abu
Yazid ("Maha Suci Aku! Maha Suci Aku! Aku inilah Tuhanku Yang Maha Luhur"),namun hal itu justru
mendapatkan respon yang positif.[1][27][31] Dia berkata, "Abu Yazid begitu terpesona ketika melihat
keagungan Allah, sehingga dia mengucapkan apa yang telah membuatnya terpesona."[1] Allah yang
Maha Besar telah membuatnya lalai dan ia tidak menyaksikan kecuali Tuhan, maka Abu Yazid berbicara
tentang-Nya.”[1] Abu Yazid adalah seorang sufi pertama yang melahirkan kata-kata syatahat, namun
belum memiliki maqam (kedudukan) yang tinggi menurut Syekh Junaid.[1] Sedang Syeikh Abdul Qadir
Jaelani menanggapi dengan perkataannya, "Tidaklah hal itu divonis kecuali saat berkata itu, sufi sedang
dalam keadaan sadar. Namun jika ia dalam keadaan sadar, maka hukuman akan diberlakukan atasnya."
[1] Pendapat lain datang dari Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Ghazali yang mempunyai pemikiran sama,
yakni bahwa kata-kata seperti “Maha Suci aku, tidak ada dalam jubahku kecuali Allah”, dan perkataan
lainnya ketika sedang mabukk cinta pada Tuhan, sebaiknya disimpan dan tidak perlu diriwayatkan.[1][29]

Jika para ulama-ulama tersebut memaklumi perkataan Abu Yazid karena ketidak sadarannya, berbeda
dengan Ibnu al-Jauzi, ia mengatakan bahwa barang siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut, siapapun
dia, maka tergolong zindiq (orang yang kufur/ keluar dari Islam) dan harus dibunuh karena sikap yang
menyepelekan sebagai akibat dari penentangan.[13] Menurutnya, sebaiknya lilin didekatkan ke wajahnya
dan jika ia tersulut maka katakan kepadanya, "Inilah bara neraka". [13][32] Selanjutnya, ada Abu al-Fadhl
al-Falaki yang dalam kitabnya berjudul al-Nur min Kalami Thaifur menuliskan banyak kekeliruan yang
dilakukan oleh Abu Yazid.[13]
2. Mi'raj

Selain syatahatnya, Abu Yazid juga menuai kontroversi mengenai Mi'raj (naik ke langit, yang mana Nabi
Muhammad pernah melakukan perjalan dari Jerusalem menuju langit ketujuh) yang dialaminya.[3][33]
Abu Yazid sangat tertarik pada pengalaman spiritual yang tinggi dari Nabi Muhammad saw tersebut.[1]
Ia juga memimpikan dan mendapatkannya.[1] Kisahnya dimulai saat dia bermimpi mengalami mi'raj,
naik ke langit dengan membawa kerinduan mencari Allah, ingin bersatu dan tinggal bersama-Nya untuk
selamanya.[1][3] Saat itu ia mendapatkan ujian, Allah memperlihatkannya berbagai macam karunia,
menawarkan kekuasaan atas seluruh langit, namun ia berpaling karena ia tahu bahwa semua itu hanyalah
ujian.[1][3] Lalu dia berkata, "Wahai kekasihku keinginanku bukanlah itu semua." [1][3] Selanjutnya ia
naik ke langit kedua, di sana terlihat para malaikat bersayap yang terbang ke bumi seratus ribu kali setiap
hari untuk melihat para wali (kekasih Allah) yang mana mereka memiliki wajah bersinar seperti
matahari.[1][3]

Kemudian ia terus naik dan sampai pada langit ke tujuh.[1] Tiba-tiba terdengar sebuah sahutan, "Hai Abu
Yazid, berhentilah! Kau sudah sampai pada tujuanmu".[1][3] Namun dirinya tidak mempedulikan hal
tersebut dan terus terbang.[1] Tuhan yang melihat ketulusan dan kerinduan mencari-Nya, mengubahnya
menjadi seperti seekor burung yang dapat terbang.[1][3] Ia melintasi kerajaan-kerajaan, menembus hijab
(penghalang) demi hijab sampai salah satu malaikat menemuinya dan menyerahkan sebuah pilar cahaya
dan berkata, "Ambilah!".[1][3] Ia berkata bahwa saat itu langit dan seluruh isinya berlindung di bawah
makrifatnya (pengetahuan), mencari cahaya dalam cahaya kerinduan, dan perhatian yang seluruhnya
untuk mencari Allah.[1][3] Dia terbang lagi sampai bertemu dengan malaikat-malaikat yang jumlahnya
seperti bintang di langit yang memancarkan sinar.[1][3] Ketika Tuhan melihat ketulusannya, Dia berkata,
"Hai orang pilihan-Ku, mendekatlah pada-Ku dan naiklah ke hamparan keindahan-Ku. Kau adalah pilihan
dan kekasih-Ku di antara makhlu-Ku." [1][3] Kemudian Abu Yazid meleleh seperti melelehnya timah
dalam panasnya api.[1][3][34] Ia menceritakan bahwa kemudian Allah mengubahnya menjadi bentuk lain
yang tidak dapat dijelaskan.[1] Tuhan membawa Abu Yazid menjadi sangat dekat dengan-Nya melebihi
dekatnya ruh dengan tubuh.[1][3]

Kisah di atas dapat menunjukkan bahwa Abu Yazid memperoleh satu pengalaman spiritual seperti apa
yang didapatakan oleh Rasulullah, yakni dimi’rajkan ke langit untuk menghadap Tuhan sekaligus
menyaksikan berbagai tanda kebesaran dan kekuasaan yang dimiliki-Nya.[1] Kendati memiliki
pengalaman spiritual yang sama, namun Abu Yazid tidak pernah mengatakan memiliki kualitas
keruhaniannya yang setaraf dengan Nabi Muhammad yang diyakini umat Islam sebagai Nabi yang paling
mulia.[1] Namun dia hanya berkata, "Tigapuluh ribu tahun aku terbang di dalam kemuliaan-Nya (Allah),
kemudian di dalam keesaan-Nya. Lalu aku juga menjelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai
ke akhir penjelajahan, ternyata aku masih berada di tahap awal kenabian." [1] Dia juga berkata bahwa
karunia ilmu yang dianugerahkan kepadanya dibandingkan dengan apa yang dianugerahkan kepada Nabi
Muhammad, layaknya tetesan-tetesan madu dibanding dengan sekarung besar madu.[1]

Kisah mi’raj dan ungkapan-ungkapan syatahat Abu Yazid seperti yang juga dilakukan oleh Mansur Al-
Hallaj (dihukum mati karena paham wahdatul wujud nya (penyatuan jiwa antar manusia dengan Allah)
pada tahun 922 M) telah mengundang banyak kontroversi di kalangan para ulama’ pada umumnya dan
sufi pada khususnya.[1][29] Ada golongan yang menganggap kisah itu hanyalah karangan saja, ada juga
yang mengecam syatahatnya sebagai perkataan dari orang yang sudah gila.[1] Sebaliknya, ada juga
golongan yang dapat memahami sekaligus menghargai mimpi dan syatahatnya, sehingga dianggap
sebagai suatu kewajaran yang muncul pada sufi yang sedang mabuk cinta pada Tuhannya dan sedang
tidak dalam kesadaran seperti biasanya.[1]

TOKOH-TOKOH YANG TERMASUK DALAM TASAWUF IRFANI


1. Rabi’ah Al-Adawiyah
a. Biografi singkat
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia
diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota
Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat
dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tuanya menamakannya Rabi’ah.
Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang
di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku
Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini
pulalah, ia bekerja keras tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang
memancar diatas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang
beribadah.1[2]

b. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah


Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam islam sebagai peletak dasar
tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah swt. Sementara generasi sebelumnya merintis aliras
asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah swt. Rabi’ah pula
yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan
permintaan ganti dari Allah swt.
Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang
langsung maupun yang didasarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bemunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah kau membakar kalbu yang mencintai
Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah
engkau berburuk sangka kepada kami.”
Di antara syair cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah:
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat.
Baik ini maupun untuk itu, ujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu ujian untuk kesemuanya.”
Untuk memperjelas pengertian Al-Hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-hawa dan hub anta
ahl lahu, kami kutip tafsiran beberapa tokoh berikut Abu Thallib Al-Maky dalam Qut Al-Qulub -
sebagaimana
dijelaskan Badawi- memberikan penafsiran bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta yang
timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud
nikmat-nikmat adalah nikmat materii, tidak spiritual karenanya hubb disini bersifat hubb indriawi.
Walaupun demikian, hub al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak beubah-ubah, tidak bertambah
dan tidak berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat-nikmat. Sebab, Rabi’ah tidak
memandang nikmat itu sendiri, tetapi memandang sesuatu yang ada dibalik nikmat. Adapun al-
hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong ksenangan indriawi, tetapi didorong Dzat
yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban
yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.2[3]

2. Dzun An-Nun Al-Mishri


a. Riwayat singkat Dzun An-Nun Al-Mishri
Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal disekitar pertengahan
abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di
Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M.
Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi
Allah SWT kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam
keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.3[4]
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak
diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia
pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, Hijaz, Syiria, Pegunungan-pegunungan
Lebanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang
banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemukaka dalam bidang
ilmu fiqh, ilmu hadist, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari
mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hambal. Ia mengambil riwayat hadist Malik,
Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan
bin Mush’ib An-Naka’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-
Maghriby. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat
maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri, sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberi
tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Iapun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara
tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang petama yang memberi definisi pengaruh tauhid
dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya salah seorang
peletak dasar-dasar tasawuf.4[5]

b. Ajaran tasawuf Dzu An-Nun Al-Misri


1) Makrifat
Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangat tepat karena berdasarkan riwayat
Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam Falsafah
As-Shufiyah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam
bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan antara “makrifat shufiyyah” dengan “makrifat
aqliyah”. Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi,
yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-
Mishri,
makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyiksaan hati) sebab makrifat merupakan
fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri menyerupai gnosisme
ala neoplatonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori
wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan
unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan Al-Misri tentang makrifat pada mulanya sulit diterima kalangan teolog sehingga ia
dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu, ia ditangkap khalifah, tetapi akhirnya
dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat makrifat:
a) Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang
dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim,
mutakalimin, dan ahli balaghah, melainkan makrifat terhadap keesan Tuhan yang khusu dimiliki
para wali allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT. Dengan hatinya
sehingga terbukalah bginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
b) Makrifat yang sebenarnya dalah Allah SWT. Menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang
murni, seperti matahari tidak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang
senantiasa mendekat kepada Allah SWT. Merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasannya. Ia
merasa sebagai hamba yang berbicara dengan ilmu yang telah diletakkn Allah SWT. Pada lidah
mereka, ia melihat dengan penglihatan Allah SWT. Dan berbuat dengan perbuatan Allah SWT.
Kedua pandangan Al-Misri ini menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT. Tidak dapat
ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat
batin, yaitu Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua
yang ada di dunia ini tidak
mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia peelahan-lahan terangkat
ke atas dan selanjutnya ia menyandang sifat-sifat luhur, seperti yang dimiliki Tuhan, sampai
akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan melalui dirinya.
Al-Mishri membagi pengetahuan tentang tuhan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim
2. Pengetahuan khusus untuk para filsuf dan ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT5[6]
2) Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al-Misri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-
shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan
berasala dari Al-Mishri yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita,
mencintai kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun
demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Misri lebih sedikit
dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut Al-Misri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat khawas. Orang awam
bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan
bahwa sesuatu yang di anggap sebagai kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-
muqqarabin. Pandang ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat
adalah “engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak
lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju kepada kebesaran
Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.
Keterangan Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari
sebuah riwayat. Suatu ketika ia
menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata, “Tidak termasuk
cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu
kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu
cobaan.”
Berikut ini merupakan sebuah contoh ucapan Al-Misri selagi kedua tangan dan haknya di belenggu
sambil di bawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata , “Ini adalah
salah satu pemberian Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan
kebaikan.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Misri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan
diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya
kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
Ketika di tanya tentang ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati
menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-
Qanad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua
pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada
pemilihan kata Al-Misri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qanad
memilih kata sukun al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan
pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang
mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad saw, dalam hal akhlak,
perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.6[7]
3. Abu Yazid Al-Bustami
a. Biografi singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah
Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya
bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk
Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih
hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut
ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu
memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang
anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu hari gurunya
menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan
kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti
belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia
memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari madzhab
Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu
tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid
tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu
Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan
minum.7[8]
b. Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal
dari kata ‘faniya’, yang berate musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya
diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378
H/988M) mendfinisikannya, “Hilangnya semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan
segala sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat
sesuatu.”
Jalan menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia
bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab,” Tinggalkan diri
(nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu ucapannya:
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui
diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak
dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi
sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’. Ittihad adalah tahapan
selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam
literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.
Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih
perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut
Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang
dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad,”identitas telah hilang,
identitas telah
menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan
berbicara dengan nama Tuhan.
Denga fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah
berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dariSyahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-
ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.8[9]

4. Abu Manshur Al-Hallaj


a. Biografi singkat
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-
Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia
tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi
terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke
Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk
ke kota Bagdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri
kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-
Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.9[10]

b. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj


Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud
yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi.
Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan
pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul
berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia
menakwilkan ayat berikut:
‫ْس أَبَى َوا ْست َ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْالكَافِ ِريْن‬ َ َ‫َو ِإذْ قُ ْلنَا ِل ْل َمالَئِ َك ِة ا ْس ُجد ُْوا ِِلدَ َم ف‬
َ ‫س َجد ُْوا ِإالَّ ِإ ْب ِلي‬
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk
golongan orang-orang yang kafir.”
Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak
diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsure
ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-
Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta
inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari
tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah
Adam. Pada diri Adam lah, Allah muncul.
Menurut Al-Hallaj, pada hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak
ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun,
di lain waktu, Al-Hallaj mengatakan: “Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu
dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah
mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai
makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”Dengan demikian, Al-Hallaj
sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Dapat di
tarik kesimpulan bahwa hulu yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena member pengertian
secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi
hanya
kesadaran psikis yang berlansung pada kondisi fana atau menurut ungkapannya, sekadar
terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.10[11]

5. As-Sulami
a. Biografi singkat
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang
bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412
H/1012 M.[2] Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah
yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia
mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan
datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami
menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail
ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).11[12]

b. Ajaran-ajaran Tasawuf As- Sulami


Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan.
Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah
untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah). Karena ‫فاينما تولوا فثم وجه هللا‬,
kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah
lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam
proses
pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati,
dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.
Al-Sulami mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil (w.
320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf),
Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu, otomatis warna dan corak tasawuf
al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang
tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan
tasawuf teoritis. Al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai
penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab
al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga
memaparkan biografi-biografi para sufi.
Al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara
bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.12[13]

MAQAM DALAM TASAWUF

Maqam-Maqam Dalam Tasawuf


1. Taubat
Taubat secara etimologi adalah kembali, meminta pengampunan. Dalam perspektif sufistik,
taubat dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji sesuai
dengan ketentuan agama. Taubat adalah kembali menuju kebenaran, perubahan hati, juga berarti
penyesalan.[4]
Taubat merupakan tahapan pertama yang ditempuh oleh sufi untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Taubat adalah asal semua maqam dan dasrnya, sebagai pembuka setiap hal. Taubat adalah
permulaan dari maqamat. Taubat yang dimaksud sufi adalah taubat yang sebenar-benarnya, taubat
yang tidak akan membawa dosa lagi.
Taubat terdiri dari tiga komponen yaitu :[5]
1. Ilmu
2. Hal (kondisi)
3. Amal Perbuatan
Ilmu adalah mengetahui bahaya yang muncul dari dosa. Dosa dapat menjadi hijab
(penghalang) antara seorang hamba dan penciptanya yang dicintai. Apabila seseorang telah
mengetahui hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka akan muncul rasa sedih ketika
sesuatu yang dicintainya hilang dari dirinya.
Semua harus diawali dengan ilmu karena dengan ilmu akan membawa ke arah kebaikan, yaitu
dengan melahirkan iman dan yaqin. Iman adalah mempercayai bahwa dosa merupakan racun yang
menghancurkan, sedangkan yaqin adalah meyakinkan apa yang dipercayai dan menghilangkan
keraguan bahwa dosa itu adalah racun yang menghancurkan. Pada akhirnya akan membuahkan
cahaya hati yang dapat merasakan penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukannya dan
merasakan bahwa kemaksiatan itu telah menjadi hijab (penghalang) antara ia dan Allah Zat yang
sangat dicintainya.
Taubat juga sering diartikan dengan penyesalan. Selanjutnya, buah dari penyesalan itu adalah
meninggalkan apa yang membuatnya menyesal.
Rasulullah SAW bersabda, “ Penyesalan adalah taubat.” (Ibnu Maajah, Ibnu Hibban dan Hakim).
Dengan pengertian ini dikatakan bahwa taubat adalah mencairkan apa yang ada di dalam hati
karena kesalahan yang pernah dilakukan, hal ini terjadi karena semata-mata rasa sakit.
Dikatakan pula, “Taubat adalah api yang menyala di dalam hati.”
Taubat adalah melepaskan pakaian kepalsuan dan mengenakan pakaian kesetiaan.
Sahal bin Abdillah at-Tastari berkata, “Taubat adalah mengganti perbuatan tercela dengan
perbuatan terpuji. Hal itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan menyendiri, diam dan makan-
makanan yang halal.” Ia seakan-akan mendefinisikan taubat dengan makna ketiga (amal
perbuatan).[6]
Definisi taubat yang diberikan oleh para ulama sangat banyak sekali, akan tetapi dengan
mengerti tiga makana taubat (ilmu, hal (kondisi), dan amal perbuatan), maka akan dapat mencakup
seluruh definisi yang diberikan para ulama. Sesungguhya mengetahui hakikat permasalahan lebih
penting daripada mengetahui definisi-definisi secara tekstual.
Allah Ta’ala telah memerintahkan agar bertaubat dalam firman-Nya,[7]
“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.” (An-Nuur : 31)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang
semurni-murninya).” (At-Tahrim :8)
Sedangkan Nabi SAW bersabda,
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian semua kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Allah dalam sehari seratus kali.” (Diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Taubat selamanya wajib hukumnya. Manusia tidak lepas dari kemaksiatan. Sekalipun lepas dari
kemaksiatan anggota badan, namun tidak lepas dari keinginan melakukan dosa didalam hatinya.
Jika dia lepas dari semua itu, namun dia tidak akan lepas dari bisikan syetan yang memunculkan
berbagai macam yang timbul di hati yang terpisah-pisah dan menjauhkan orang dari dzikir kepada
Allah Ta’ala. Jika dia lepas dari itu namun tidak lepas dari kelalaian dan keterbatasan ilmu tentang
Allah Ta’ala dengan segala sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua itu adalah kekurangan
dan setiap orang tidak akan lepas dari kekurangan ini. Akan tetapi setiap manusia bertingkat-
tingkat kemampuannya dan prinsip dalam semua itu harus memilikinya.[8]

 Kesempurnaan taubat dan syarat-syaratnya


Diantara syarat-syarat taubat yang benar adalah azam (kemauan yang keras) untuk tidak
mengulangi dosa-dosa itu d masa yang akan datang, tidak juga mengulangi dosa yang
semacamnya. Dia harus berazam yang demikian dengan sekuat-kuatnya. Perumpamaan yang
demikian itu adalah seperti orang sakit yang mengetahui bahwa buah-buahan berbahaya ketika ia
sedang sakit, lalu dia berazam sangat kuat untuk tidak memakannya sedikit pun dari jenis buah-
buahan selama dia masih dalam keadaan sakit.[9]
Telah disebutkan bahwa orang yang bertaubat dia harus melakukan berbagai amal yang
berlawanan dengan kejahatan apa dilakukannya agar menghapus dan mengkaffarahnya. Amal-
amal kebaikan yang menghapus adalah dengan hati dan lisan serta anggota badan sesuai dengan
jenis kejahatannya. Apa-apa yang dengan hati seperti merengek dan merendahkan diri. Sedangkan
dengan lisan adalah pengakuan akan kezhaliman yang ia lakukan dan istigfar. Seperti
mengucapkan, “Wahai Rabbku, aku telah berbuat zhalim maka ampunilah aku.”
Tanda tobat itu sendiri adalah adanya penyesalan, kesedihan, meneteskan air mata banayk
menangis dan bertafakkur, sedangkan syarat diterimanya taubat atas kemaksiatan yang telah
dilakukan pada masa lalu (madhi) adalah mengingat apa yang telah dilakukan sejak ia baligh atau
ketika pertama kali mimpi junub, seperti ibadah-ibadah yang telah ditinggalkan pada tahun demi
tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, waktu demi waktu. Selain itu juga meninggalkan ibadah-
ibadah yang dilakukan dengan tidak sempurna. Kemudian mengingat kemaksiatan-kemaksiatan
yang pernah dilakukan .
Contoh:
Apabila ia meninggalkan sholat atau mengerjakan sholat dengan memakai pakaian yang najis atau
mengerjakan sholat dengan niat yang tidak benar karena kebodohan akan syarat-syarat niat, maka
ia harus mengqadha sholatnya. Sekiranya ia ragu dengan jumlah sholat yang telah ditinggalkan,
maka hitunglah jumlah sholat mulai ia baligh, dengan dipotong beberapa waktu yang benar-benar
diyakininya telah ia kerjakan. Ia harus menghitung sholat-sholat yang telah ditinggalkan sesuai
dengan prasangka yang kuat.
Apabila meninggalkan puasa, baik meninggalkan puasa karena dalam perjalanan dan ia belum
membayarnya (qadha) atau ia berbuka puasa dengan sengaja, atau ia lupa niat pada malam harinya,
maka ia harus mengqadhanya, yaitu dengan cara menghitung hari-hari yang ia tidak berpuasa.
2. Zuhud
Zuhud atau asketisme secara etimologi berasal dari kata zahada, artinya raghiba ‘anhu wa taraka
(benci dan meninggalkan sesuatu). Secara terminology, zuhud ialah menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang berkaitan dengan dunia.[10] Zuhud merupakan pendekatan penting dalam tahap awal
perjalanan spiritual, namun tidak dianjurkan bagi seseorang yang hendak mencapai kesempurnaan.
Sebab asketisme ini mengabaikan sebab-sebab sekunder, padahal melalui sebab-sebab sekunder
inilah manusia mendapatkan pengetahuan tentang Allah.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. bahawa secara terminologi zuhud tidak dapat
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua,
zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf dartikan adanya
kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dan Tuhan sebagai perwujudan ihsan maka
zuhud merupakan suatu maqam menuju tercapainya perjumpaan atau ma’rifat kepadanya.
Zuhud adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya kesenangan akan sesuatu karena
menginginkan yang lebih baik dari itu.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan
dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang
imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilakn dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi
karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang
segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
Menurut imam Al-Ghazali, ciri-ciri zuhud adalah :[11]
1. Tidak senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika kehilangan sesuatu (zuhud dalam
harta). Allah berfirman, “…..Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu,
dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu….”(al-hadid
: 23).
2. Menganggap sama antara pujian dan celaan (zuhud dalam kedudukan).
3. Hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah, meskipun tidak dapat lebih daripada kecintaan
kepada dunia dan kecintaan kepada Allah. Keduanya ibarat air dan udara dalam gelas di hati.
Apabila air dimasukkan ke dalam gelas, maka udara akan keluar, begitu pula apabila ditiupkan
udara, air akan keluar. Air dan udara tidak mungkin dapat disatukan.
Ahli ma’rifah berkata, “ Apabila iman seseorang bergantung dengan hatinya, maka ia akan
mencintai Allah dan dunia bersama-sama. Akan tetapi, apabila iman telah masuk ke lubuk hatinya,
maka ia akan membenci dunia.”
Abu Sulaiman berkata “ Barangsiapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia tidak akan disibukkan
dengan orang lain. Ini merupakan maqam orang-orang yang beramal. Barangsiapa sibuk dengan
Tuhannya, maka ia tidak disibukkan dengan dirinya sendiri. Ini merupakn maqam ma’rifah
(‘arifiin). Orang yang zuhud harus memiliki salah satu dari dua sifat ini. Maqam yang pertama
(‘amiliin) akan menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri. Pada saat itu, bagi-Nya sama antara
pujian dan celaan atau ada dan ketiadaan. Tidaklah dengan memiliki harta menjadikan orang tidak
mempunyai sifat zuhud.”
Jadi, ciri-ciri sifat zuhud adalah kondisi yang sama ketika dalam keadaan miskin atau kaya, mulia
atau terhina, pujian atau celaan. Semua itu disebabkan keakrabannya dengan Allah.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Ciri-ciri sifad zuhud adalah dermawan atas apa yang dimiliki.”[12]
Ibnu Khalif berkata, “ciri-ciri sifat zuhud adalah merasa tenang ketika sesuatu miliknya. Zuhud
adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”
Ahmad bin Hanbal dan sufyan ats-Tsauri berkata, “Ciri-ciri zuhud adalah tidak panjang angan-
angan.”
3. Faqr (Fakir)
Fakir secara etimologi artinya membutuhkan atau memerlukan. Kata fakir mengandung
pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar terhadap pengosongan jiwa
untuk menuju kepada Allah.[13]
Dalam term sufi pengertian fakir menunjukkan kepada seseorang yang telah mencapai akhir
“lorong spiritual”. Menurut Ibnu Qudamah bahwa semu orang itu fakir, karena mereka
membutuhkan kepada kemurahan Tuhan.
Fakir dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sikap
fakir penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan
harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa
tertambat pada selain Dia.
Menurut Al-Ghazali, fakir dibagi dalam dua macam, yaitu sebagai berikut :[14]
a. Fakir secara umum, yaitu hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga
eksistensinya. Fakir seperti ini adalah fakir seorang hamba kepada Tuhannya. Sikap seperti ini
hukumnya wajib karena menjadi sebagian iman dan sebagai buah dari ma’rifat.
b. Faqir muqayyad (terbatas), yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia, seperti uang
yang belum dimiliki atau dengan kata lain kepentingan manusia yang dapat dipenuhi oleh selain
Allah.
Sufi tidak melarang seseorang yang fakir untuk menerima pemberian dan bantuan orang lain,
baik yang berupa fasilitas maupun materi. Jadi pada dasarnya berusaha meninggalkan syubhat dan
hanya mencari yang halal. Jika maqam fakir telah sampai pada puncaknya, yaitu mengosongkan
seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka maqam itu merupakan
perwujudan penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain-Nya.
4. Syukur
Syukur secara etimologi ialah membuka dan menyatakan. Adapun menurut terminologi
tasawuf, syukur ialah menggunakan nikamat Allah untuk taat dan tidak menggunakannya untuk
berbuat maksiat kepada-Nya[15]. Orang yang menggabungkan sabar dengan syukur adalah orang
yang memiliki hikmah.
Syukur merupakan pengetahuan yang membangkitkan kesadaran bahwa satu-satunya pemberi
nikmat adalah Allah dan cakupan rahmat-Nya sangat luas. Keutamaan syukur mengungguli
peringkat lainnya dalam maqamat bahwa taubat, zuhud dan sabar tidak berlaku lagi di akhirat.
Orang tidak memerlukannya lagi di syurga, tetapi bersyukur tetap dilakukan.
Bersyukur itu terbagi menjadi tiga bagian, yang diantaranya bersyukur dengan lisan,
maksudnya ialah mengakui segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT. kepada
hamba-Nya dengan sikap merendahkan diri. bersyukur dengan badan, yakni Bersikap selalu
sepakat serta melayani (mengabdi) kepada Allah SWT. bersyukur dengan hati, yaitu :
Mengasingkan diri di hadapan Allah SWT. dengan cara konsisten menjaga akan keagungan Allah
SWT.
Bersyukurnya orang dengan lisan itu biasanya adalah syukur yang berilmu. Sedangkan syukur
dengan badan itu biasanya adalah orang yang beribadah, kenyataan ini dapat direalisasikan dengan
bentuk perbuatan. Akan tetapi syukur dengan hati adalah syukurnya orang yang ahli ma'rifat, dan
ini dapatlah direalisasikan dengan cara ihwal secara konsisten.
Manusia pada umumnya adalah mempunyai sifat lalai dan tidak menyadari bahwa nilai suatu
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya. Maka dia baru terasa apabila nikmat itu
dicabut dari dirinya, maka dia barulah merasakan dan menyadarinya, contohnya adalah nikmat
berupa kesehatan jasmani dan juga kesehatan rohani dan sebagaimana dalam hal ini Allah telah
berfirman mengenai hidup. Kehidupan di dalam surat An-Naml ayat 40 yang artinya:
Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya
sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia".

5. Sabar
Sabar menurut terminologi bahasa, artinya menahan dan mencegah diri. Allah telah berfirman
:
“Dan sabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhanya di pagi dan petang
hari dengan mengharap keridaan (wajah)-Nya”. (Qs. ALKhafi;28)
Sikap sabar dibutuhkan seorang pencari jalan untuk mendapatkan apa yang berada disisi Allah.
Sikap sabar yang sesungguhnya adalah pada saat memperoleh cobaan yang pertama. Bagi Al-
Jailani, dunia ini penuh dengan penderitaan dan musibah, tidak ada satu kenikmatan pun, kecuali
di didalamnya ada bencana, tidak ada satupun kegembiraan, kecuali disertai kekhawatiran, dan
tidak ada satupun keluasan kecuali bersamanya ada kesempitan ( al-Fath al –Rabbany, hal. 29).
Maka, wajar jika kedudukan sabar dalam Al-Quran disamakan dengan kedudukan shalat oleh
allah, hanya mereka yang “khusyuk” yang dijamain allah dapat melampaui ujian kesabaran dan
shalat tersebut.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Qs. AL-Baqarah;45)
Menurut Al-Jailani, kesabaran merupakan salah satu penghapus hijab antara hamba dan
Tuhanya. Al-Jailani menuturkan bahwa hal-hal yang dapat menghilangkan penghalang tersebut,
antara lain yang terpenting adalah menjauhi segala kemaksiatan, bersabar saat datang kesulitan,
ridha kertika datang ketentuan dan takdir, serta bersyukur ketika datang kenikmatan ( al-Fath al –
Rabbany, hal. 193). Barang siapa tidak punya kesabaran maka tiada sarana yang dapat
menolongnya. Allah menggantungkan pertolongan dengan kesabaran dan ketakwaan.
“Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang kamu dengan
seketika itu juga, niscaya allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda
.” (Qs. Ali Imran:125)
Terkait dengan berbagai penjelasan tentang pentingnya kesabaran dalam dalam mengelola
nafsu atau jiwa untuk berjalan menuju Allah maka dalam Al-Quran disebutkan berbagai jenis
kesabaran yang utama, diantaranya :
a) Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia
“ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Qs.Al-Balad:4)
b) Sabar untuk tidak memperturutkan kemauan yang diinginkan oleh hawa nafsu. Sehubungan
dengan hal ini, Allah Swt. Telah berfirman
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengigat Allah. Barang siapa yang mengerjakan hal tersebut maka sungguh mereka itu
termasuk golongan orang yang merugi .” (Qs. Al-Munaafiquun :9)
c) Tetap bersabar, tidak pernah melirik pada kesenangan yang dimiliki oleh orang lain dan tidak
terpedaya oleh harta serta anak-anak yang dimiliki oleh mereka
d) Sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah. Hal ini merupakan jenis sabar yang paling besar
dan yang paling berat dirasakan oleh jiwa manusia.
e) Sabar dalam menanggu derita menyeru manusia kejalan Allah Swt. Karena sesungguhnya tidak
samar lagi dari setiap keadaan yang dialami manusia pada masa sekarang, kini mereka mulai
menjauh dari agama. Keadaan seperti ini jelas menuntut terselenggaranya dakwah yang besar,
protes yang keras terhadap segala bentuk kemungkaran, dan usaha yang giat tak kenal lelah untuk
menegakkan kebenaran.
f) Sesungguhnya disana terdapat jenis kesabaran yang sangat diperlukan pada saat yang menegang,
saat dalam peperangan, saat berhadapan dengan musuh, dan saat bertarungnya dua barisan dalam
kacah peperangan, saat menghadapi orang-orang yang melawan Allah maka sabar merupakan
syarat utama untuk meraih kemenangan dan lari dari medan perang adalah dosa besar. Oleh karena
itu, dalam kondisi seperti tersebut Allah Swt. Mewajibkan untuk teguh dan pantang mundur.[16]
Dikalangan para sufi, sabar diartikan antara lain dengan hanyut (fana’) dalam bencana tanpa
keluhan. Secara rinci Abu Nasr as-Sarraj (w.988 M) menjelaskan sabar adalah konsisten dalam
menjauhi larangan dan memegang perintah dan orag yang sabar adalah yang hanyut
(fana’)bersama allah tanpa protes ataupun mengeluh. Jadi sabar sebagai maqam, lebih diarahkan
pada upaya menahan segala rintangan dalam parjalanan menuju allah, karena lebih bersifat intuitif
dan transendental.
Sabar dalam a’mal al-qulub dimaknai sebagai sikap istiqamah atau konsisten dalam
melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan allah. Menerima segala musibah dan mampu
menahan ajakan nafsu terhadap hal-hal yang dilarang allah. Kecuali itu disebutkan pula bahwa
sabar mempunyai tingkatan berdasarkan ada tidaknya ruang gerak kebebasan dan ikhtiar manusia.
Sabar menjauhi maksiat lebih tinggi derajatnya daripada sabar menanggung musibah. Sebab yang
pertama mengandung unsur ikhtiar dan kebebasan. Sedang yang kedua tidak demikian karena
suatu musibah jelas diluar ikhtiar dan pilihan manusia. Tingkat sabar pertama adalah dimiliki oleh
para wali allah. Dengan demikian sabar dalam a’mal al-qulub lebih rasional dan lebih empirik dan
kontekstual.[17]
 Ada beberapa definisi sabar :
 Sabar merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang
terjadi, baik disenangi maupun dibenci (Abu Zakaria Ansari)
 Menerima yang terjadi, disebut syukur, menerima yang terjadi tidak sesuai dengan yang
diharapkan, namanya sabar, menerima sesuatu yang akan datang, namanya ridlo
 Sabar adalah keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu (asmaran)
 Sabar adalah kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa
nafsu (Al Ghazali).[18]
 Pembagian sabar
Ada ulama yang membagi sabar menjadi tiga:
a. Sabar dalam musibah, yaitu kerelaan menerima kehendak Allah yang pada awalnya terasa tidak
nyaman, seperti sakit, kurangnya harta, ketakutan, kelaparan, bencana alam, dsb.
b. Sabar dalam ibadah, kerelaan melakukan kehendak Allah yang wujud dalam perintah-perintah-
Nya.
c. Sabar dalam maksiat. [19]
Tiga bentuk kesabaran itu memiliki tingkatan derajat kebaikan sebagaiman urutan dari a-c.
Sabar yang paling berat dan tinggi derajatnya adalah sabar dalam maksiat, sedang yang paling
ringan adalah sabar dalam musibah. Sabar terhadap musibah sesungguhnya terasa ringan mengigat
banyak orang yang peduli kepada kita, berusaha menolong kita, membantu melepaskan kita dari
musibah. Tetapi berbeda dengan seseorang yang sedang memerankan diri sebagai pelaku
kemaksiatan. Terkadang diri kita menyadari bahwa yang kita lakukan melanggar norma agama
atau masyarakat. Namun kita seakan berulang kali ditarik untuk kembali melakukanya. Lebih berat
lagi kenyataan yang menyakitkan datang dari lingkungan kita.[20]
6. Ridho
Ridha adalah kesukarelaan atas apa yang menjadi ketentuan Allah bagi dirinya, dalam segala
hal, yang disertai dengan kesadaraan akan kekuasaan Allah dalam apa yang terjadi dan berlaku
bagi dirinya. Ridha yang dikuatkan oleh nash ialah ridha dengan Allah sebagai Tuhan, islam
sebagai agama,dan ridha dengan Muhammad Saw sebagai nabi anutan, ridha dengan apa yang
telah disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya dengan mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya, mewajibkan apa yang diwajibkan-Nya, atau membolehkan apa yang
dibolehkan-Nya. Ridha kepada Allah Swt ialah ridha dengan qadha dan qadar-Nya, serta memuji-
Nya dalam semua keadaan dan meyakini bahwa hal tersebut mengandung hikmah
belaka meskipun hal yang ditakdirkan oleh-Nya menyakitkan.
Ridha kepada Allah sebagai Tuhan, ridha kepada Rasul Saw sebagai anutan dengan penuh
kepatuhan dan kepasrahan diri. Oleh karena itu, barang siapa dapat merealisasikan dalam dirinya
ketiga perkara, yaitu ridha kepada Allah sebagai Tuhan dan sesembahan, ridha kepada Rasul
sebagai anutan dengan penuh ketaatan, ridha kepada agama-Nya dengan penuh kepasrahan maka
dia adalah orang yang benar-benar siddiq. Hal ini memang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit
pelaksanaanya.[21]
Menurut al-Junaidi (W. 910 M), arti ridha adalah meninggalkan usaha (raf’u al-ikhtiyar).
Sedangkan Dzu al- Nun al-Misri (W.859 M) menjelaskan bahwa ridha adalah menerima ketentuan
dengan kerelaan hati. Selanjutnya dia menjelaskan tanda-tanda orang yang ridha adalah 1) usaha
sebelum terjadi ketentuan, 2) lenyaplah resah gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan 3) cinta yang
bergelora disaat terjadi mala petaka.
Pengertian ridha diatas merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal, sehingga melahirkan
sikap mental senang dan tenang menerima segala situasi dan kondisi. setiap yang terjadi disambut
dengan hati yang terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walaupun berupa bencana. Suka
dan duka diterima dengan gembira sebab diyakini apapun yang datang adalah ketentuan dari Allah.
Para sufi berbeda tentang posisi ridha sebagian mereka menempatkannya sebagai maqam terakhir
dari perjalanan sufi, karena dipandang merupakan akumulasi dari maqam-maqam sebelumya.
Tetapi sebagian sufi yang lain mengatakan bahwa setelah maqam ridha masih terdapat maqam-
maqam berikutnya seperti mahabbah, fana’, ma’rifah, ittihad dan seterusnya.
Berbeda dengan pandangan diatas, Ibn Taimiyyah memandang ridha sebagai moralitas islam
yang harus dilakukan setip muslim. Karena itu dia memandang ridha sebagai amalan batin yang
integral dengan sifat-sifat lainnya. Berangkat dari pandangan ini dia memberi makna ridha yang
berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Misalnya jika dikaitkan dengan sabar, maka ridha
merupakan sabar yang terbaik. Sebab hakikat ridha adalah sabar dengan tanpa protes dan
mengeluh. Jika dihubungkan dengan tawakal maka keduanya dapat memelihara takdir allah secara
benar. Tawakal diposisikan sebelum terjadinya takdir, sedangkan ridha diposisikan sesudah
terjadinya takdir. Jika dikaitkan dengan mahabbah maka ridha merupakan bagian dari mahabbah.
Dengan demikian, ridha dalam konsep a’mal al-qulub merupakan pengendali batin yang bersifat
dinamis dan empiris tidak sebagaimana ridha dalam konsep maqamat yang bersifat pasif dan
fatalis.
Dalam uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, terdapat perbedaan aspek aksiologi dalam
pemikiran tasawuf pada umumnya. Perbedaan itu terletak pada pengetahuan tasawuf dan
pengamalanya diorientasikan untuk menghayati eksistensi tuhan, sementara pada pemikiran
tasawuf Ibn Taimiyyah diorientasikan pada tujuan menghayati dan mengamalkan perintah-
perintah Tuhan. Maka dari itu, meski dalam konsep maqamat dan a’mal al-qulub menggunakan
term-term yang sama, namun keduanya memiliki kandungan dan implementasi yang berbeda.[22]
Syekh AL-Jailani menyebutkan tahapan-tahapan agar dapat bersifat ridha kepada Allah
sebagai berikut (Futuh al-Ghaib, majlis no. 53):
a. Tidak mengharap dan mengingat apa yang sudah ditentukan bagi dirinya saja atau apa yang tidak
ditentukan. Sebab, hukuman yang paling berat adalah berussa mendapatkan apa yang tidak
ditakdirkan baginya
b. Hendaklah dia mementingkan Allah diatas dunia sehingga jika ada pemberian maka itu bukanlah
karena ketamakan diri, bukan menyekutukan penyembahanya karena keterlenaan diri.
c. Dalam menyembah-Nya, janganlah menghendaki balasan-Nya karena jika hal itu yang terjadi
maka ibadahnya berarti tidak ikhlas.
d. Orang yang ikhlas ialah menyembah Allah karena ketuhanan-Nya dan karena memang hanya dia
memiliki hak untuk itu.
e. Karena semua pemberian adalah karunia-Nya maka sikap yang pantas adalah selalu bersyukur
kepada-Nya dan bukan meminta imbalan atau balasan karena melakukan ibadah atau
penyembahan.
Ridha ditinjau dari penyebabnya adalah sesuatu yang bersifat kasbiy (dapat diupayakan)
namun jika ditinjau dari segi hakikatnya maka ridha bersifat mauhibiy (karunia Tuhan).
Sesungguhnya, ridha adalah kesudahan dari tawakal. Bila tawakal tidak mampu merealisasikan
yang didambakan maka barulah datang ridha. Orang yang memantabkan langkah kakinya dengan
kokoh dijalan tawakal, niscaya akan meraih ridha. Karena sesungguhnya, sesudah tawakal, pasrah,
dan berserah diri, barulah ridha bisa didapatkan. Sebaliknya, tanpa melalui proses tersebut, ridha
tidak akan didapatkan.
Ridha mempunyai beberapa kedudukan, antara lain:
a. Ridha dengan rezeki yang telah diberikan dan dibagikan oleh Allah. Ridha jenis ini bisa jadi ada
sebagian orang awam yang dapat melakukannya dengan baik.
b. Tingkatan ridha yang lebih tinggi ialah ridha dengan apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan
oleh Allah Swt.
c. Adapun yang lebih tinggi daripada kesemuanya ialah ridha dengan Allah sebagai dari segala
sesuatu yang selain-Nya.
Kedudukn ini adakalanya sebagaian orang hanya ampu meraih salah satunya, tetapi tidak
mampu meraih kedudukan lainya. Ada kalanya pula sebagian dari mereka hanya mampu
mendatangkan sebagian dari satu tingkatan tanpa bisa merealisasikan sepenuhnya.
Jadi,intinya adalah ridha merupakan sikap menanggapi dan mengubah segala bentuk
penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan serta kenikmatan (Simuh,
1998:69), yang dalam bahasa Al-Ghazali disebut sebagai sikap menerima apa adanya (Imam Al-
Ghazali, ihya’ ‘ulum al-Din: IV, 337) .[23]
7. Tawakkal
Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada
allah setelah seseorang membuat rencana dan melakukan usaha atau ikhtiar. Akan tetapi,
dikalangan sufi pengertian tawakal dipahami lebih mendalam lagi. Misalnya al-Syibli (w.945 M)
mengatakan, tawakkal adalah hendaknya engkau merasa tidak ada dihadapan Allah dan Allah
senantiasa dihadapan kamu. Hal ini berarti bahwa dalam segala hal baik sikap maupun perbuatan
seseorang harus menerimanya secara tulus. Apapun yang terjadi adalah diluar pinta atau usahanya
tetapi semua diyakini dari Allah semata. Jelasnya harus menyerah secara bulat kepada kuasa-Nya
dan jangan meminta, menolak ataupun menduga-duga. Karena nasib apapun yang diterima pada
hakikatnya adalah karunia dari Allah. Berkenaan dengan hal ini seseorang sufi Abu-Nasr as-Sarrj
(W. 896 M) mengatakan bahwa permulaan maqam tawakal adalah kesadaran seorang hamba
dihadapan Allah laksana mayat ditangan orang yang memandikan, dibolak balik kehendaknya
tanpa bergerak, protes maupun melakukan tindakan apapun. Kesimpulnya tawakkal sebagai
maqam sufi bersifat fatalis, individualis, dan ahistoris.
Pandangan diatas berbeda dengan konsep tawakal dalam a’mal al-qulub yang memberikan
ruang gerak secara ikhtiyar kepada manusia, meskipun bersama dengan itu manusia harus
menyadari akan kemutlakan kekuasaan Tuhan. Ibn Taimiyyah menolak tawakal dengan pengertian
menyerah total, sebab sikap ini pada giliranya akan mendorong orang untuk meninggalkan
perbuatan yang diperintahkan dan sebaliknya justru mengerjakan perbuatan yang dilarang serta
menghilangkan perbedaan antara hal-hal yang memang harus berbeda. Sebab baik dalam Al-Quran
maupun Hadis melarang seseorang meninggalkan perbuatan yang diperintahkan karena percaya
kepada takdir dan memerintahkan agar melakukan perbuatan-perbuatan yang manfaat. Dengan
demikian, pandangan tawakal ini mengandung makna aktif dan dinamis yang berbeda dengan
makna tawakal dalam maqam sufi yang bersifat pasif dan fatalis.[24]
Sementara menurut Al Quran, seruan kepada manusia untuk bertawakal kepada Allah
dikaitkan dengan berbagai nilai keagamaan dan kehidupan ( Madjid, 1992:47-48), yaitu:
a. Tawakal dikaitkan dengan sikap keimanan kepada Allah (Qs.Al-Maidah:23) dan sikap pasrah
kepada-Nya (Qs.Yunus:84)
b. Tawakal kepada Allah diperlukan setiap kali sehabis mengambil keputusan penting (khususnya
keputusan yang menyangkut orang banyak melalui musyawarah) guna memperoleh keteguhan hati
dan ketabahan dalam melaksakannya, serta tidak mudah mengubah keputusan itu (Qs. Ali
Imran:159)
c. Tawakal juga dilakukan agar keteguhan jiwa menghadapi lawan dan agar perhatian kepada usaha
untuk menegakkan kebenaran tidak terpecah karena adanya lawwan itu, dengan keyakinan bahwa
Tuhanlah yang akan melindungi dan menjaga kita (Qs. An –Nisaa’:81)
Seorang muslim memandang tawakal kepada Allah dalam semua pekerjaanya bukan sebagai
kewajiban semata, melaikan juga fardu agama yang tidak hanya berkaitan dengan urusan agama,
tetapi juga urusan duniawi termasuk didalamnya. Dengan kata lain, tawakal tidak hanya berkaitan
dengan urusan duniawi dan mencari rezeki semata, tetapi diharuskan pula dalam masalah
beribadah kepada Allah.
Dengan demikian, tawakal bagi seorang muslim merupakan bagian dari akidah.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang
beriman.” (QS.Al-Maa’idah:23)
Melalui tawakal maka seseorang akan memperoleh berbagai manfaat :
a) Berkat tawakal kemenangan atas musuh dapat diraih.
b) Mendatangkan kemaslahatan, menolak mara bahaya dan berbagai macam musibah, serta
mendatangkan rezeki dan mneyegarkan kesembuhan
c) Tawakal kepada Allah menjadi penyebab bagi kuatnya hati dan kebangkitan semangatnya.
d) Menangkal keterpurukan psikologi dan ketegangan syaraf.
Dari berbgai hikmah tersebut, jelas bahwa tawakal merupakan bagian tidak terpisahkan dari jiwa
seseorang yang memperjalankan dirinya menuju Alllah.[25]

TAREKAT
Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada
yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah
yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin;
melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik
yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang
semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif
yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”

Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara
azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram
dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang
wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal
yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat
duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan
jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah)
maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu
sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika
kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita
akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak
hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai
mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.

Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau
pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan
berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk
mencapai tujuan.

Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan dirinya, dalam
kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia
lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari daripada corak konseptual yang filosofis. Jika
salah satu tujuan tasawuf adalah al-Wushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti
ma’rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan
tasawuf tersebut.

Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri,
atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau
Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam
kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara
(washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah.

Karena itu, seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu,
untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat- syarat tertentu yang
mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.

Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam.
Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang
dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran
dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib
lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.

Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5
syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang
hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat
sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun
oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket
tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang
murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti
shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.

b. Sejarah Perkembangan Tarekat

Banyak orang yang salah faham tentang tarekat, sehingga mereka tidak mau mengikutinya.
Namun, mereka yang sudah mengikuti tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana
sebenarnya pengertian tarekat, awal mula dan sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat
mengikuti tarekat.
Asal-usul Tarekat Sufi

Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M).
Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan
dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.

Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam
(peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang
ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana`
(hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat)
dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).

Kehidupan para sufis abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan
kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan
sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan
juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut.
Maraknya praktek sufisme dan tarekat di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosio-
politik dunia Islam.

Arti Tariqa /Tarekat

Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian.
Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan
pelaksanaan syariat agama, karena kata syar’ (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama,
sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan
bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan
tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di
dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan
perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka,
maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Kebiasaan di atas mendorong
munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi yang didasarkan atas
cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut
Tarekat Sufi.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud yang merupakan cikal bakal
tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri
dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai
organisasi persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam
bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithaar. Sufi yang
konon pertama kali mempraktekkan ithaar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad.
Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.

Kanqah dan Zawiyah

Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak
murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam.
Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik
perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-
tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi
yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para
Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta
pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai
pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan
kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah
zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan
berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke
(dari kata takiyah, menyepi).

Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit
dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya
peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif
lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal
para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.

Sejarah Perkembangan TarekatMenjadi Pengawal MoralBanyak orang yang salah faham tentang
tarekat, sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti
tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tarekat, awal mula dan
sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat mengikuti tarekat.

Asal-usul Tarekat Sufi Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H
(abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti
Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali
murid dan pengikut. Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan
teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara
maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq
(cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa
(makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).
Kehidupan para sufis abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan
kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan
sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan
juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut. Maraknya praktek sufisme dan
tarekat di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosio-politik dunia Islam.

Arti Tariqa /TarekatKata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan
kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul
disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar’ (darimana kata syariat berasal) berarti
jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas
menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan
kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu
Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam
yang lain.Para sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin
perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan
tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Kebiasaan
di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi
yang didasarkan atas cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang
kemudian disebut Tarekat Sufi. Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud
yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’
melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal
saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan
bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama
yang disebut ithaar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithaar ialah Hasan al-Nuri, sufi
abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.

Kanqah dan ZawiyahBiasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi
yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh
di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi
lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang
Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu
sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah
bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan
kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal
kepemimpinan.Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan
agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah,
bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para
Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari
kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki
disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat
punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau
barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan
juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan
tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan
mereka.

c. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf


Pengertian Taswwuf dan Tarekat, serta Hubungan Antara Keduanya

Secara ethimologi, tasawwuf berasal dari bahasa Arab yaitu katashuuf yang berarti bulu. Pada
waktu itu para ahli tasawwuf memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambang merendahkan
diri. Sedangkan secara terminology, para sufi dalam mendefinisikan tasawwuf itu sendiri sesuai
dengan pengalaman batin yang telah mereka rasakan masing-masing. Dan karena dominannya
ungkapan batin ini, maka menjadi beragamnya definisi yang ada. Sehingga sulit mengemukakan
definisi yang menyeluruh. Dari beberapa definisi para sufi, Noer Iskandar mendefinisikan bahwa
tasawwuf adalah kesadaran murni (fitrah) yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.

Sedangkan tarekat sendiri, secara ethimologi berasal dari kata “Thoriqoh” yang berarti jalan.
Dalam artian jalan yang mengacu kepada suatu system latihan meditasi maupun amalan- amalan
yang dihubungkan dengan guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang
tumbuh seputar metode sufi yang khas, atau institusi yang menaungi paham tasawwuf.

Dari pengertian diatas, tampaklah pertalian yang sedemikian erat antara tasawwuf dan tarekat,
bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan
yang lain. Tasawwuf adalah sebuah ideology dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau
dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawwuf. Dan tarekat merupakan
implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi
sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.

d. Aliran Tarekat dalam Islam

Aliran-aliran Tarekat di Dunia Islam

Dari sekian banyak tarekat yang pernah muncul sejak abad ke-12 (abad ke-6 H) itu antara lain :

Tarekat Qadiriyah, (dihubungkan kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang wafat di Irak pada
1161 H) yang mempunyai penganut di Irak, Turki, Turbekistan, Sudan, Cina, India, dan Indonesia.

Tarekat Syadziliah, (dihubungkan kepada Syekh Ahmad Asy-Syadzili, yang wafat di Mesir pada
1258 M), yang mempunyai pengikut di Mesir, Afrika Utara, Syiria, dan Negri-negri Arab lainnya.
Pokok-pokok ajarannya antara lain :

 Bertaqwa kepada Allah ditempat sunyi dan ramai


 Mengikuti sunnah dalam segala perkataan dan perbuatan
 Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dari waktu membelakangi
 Kembali kepada Allah diwaktu senang dan susah
 Tarekat Rifaiyah, (dihubungkan kepada Syekh Ahmad Ar-Rifai, yang wafat di Mesir
pada 1182 M), yang mempunyai pengikut di irak dan di Mesir.
Tarekat Naqsabandiyah (dihubungkan kepada Syekh Bahaudin Naqsabandi yang wafat di Bukhara
pada 1389 M), yang mempunyai pengikut di Asia Tenggara, Turki, India, Cina, dan Indonesia.
Ciri-ciri tarekat Naqsabandiah antara lain :

 Berpegang teguh kepada aqidah ahlusunnah


 Meningggalkan ruqsah
 Memilih hokum-hukum yang azimah
 Senantiasa dalam muraqabah
 Tetap berhadapan dengan Tuhan
 Menghasilkan malakah hudhur (menghadirkan Tuhan dalam hati)
 Menyendiri ditengah keramaian serta menghiasi diri dengan hal-hal yang memberi faedah
 Berpakaian dengan pakaian mukmin biasa
 Zikir tanpa suara[8]
 Tarekat Syatarriyah, (dihubungkan kepada Syekh Abdullah Asy-Sattari yang wafat di
india pada 1236 M), yang mempunyai pengikut India dan Indonesia.

e. Pengaruh Tarekat dalam peradaban islam

Dalam perkembangannya tarekat-tarekat itu bukan hanya memusatkan perhatian pada tasawuf
ajaran-ajaran gurunya, tetapi juga mengikuti kegiatan politik.

Tarekat memengaruhi dunia islam mula abad ke-13 kedudukan tarekat saat itu sama dengan partai
politik. Bahkan tentara itu juga menjadi anggota tarekat.

Tarekat keagamaan meluaskan pengaruh dan organisasinya keseluruh pelosok negeri menguasai
masyarakat melalui suatu jenjang yang terancang dengan baik, dan memberikan otomomi
kedaerahan seluas-luasnya. Setiap desa atau kelompok desa ada wali lokalnya yang didukung dan
dimuliakan sepanjang hidupnya, bahkan dipuja dan diagung-agungkan setelah kematiannya. Akan
tetapi pada saat-saat itu telah terjadi penyelewengan dalam tarekat-tarekat.

Disamping itu tarekat pada umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia,
tarekat mengandungkan banyak beribadah saja dan jangan mengikuti dunia ini karena anggapan,
“dunia ini adalah bangkai maka yang mengejar dunia ini adalah anjing”. Ajaran ini tampaknya
menyelewengkan umat islam dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga sifat tawakal,
menunggu apa saja yang akan datang, qadha dan qadar yang sejalan denga faham Asy’ariyah. Para
pembaharu dalam dunia islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan paham tauhid,
tetapi juga membawa kemunduran bagi umat islam.

Oleh karena itu pada abad ke-19 timbul pemikiran yang sinis terhadap tarekat. Banyak orang yang
menentang dan meninggalkan tarekat ini.

SILSILAH Tashawuf Lombok Tengah NTB. ‫ أشهد أن ال اله اال هللا و أشهد أن محمدا رسول هللا‬Tashawuf
merupakan jalan untuk mencapai “Ma’rifatullah” (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya
melalui tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasi diri dengan Allah. Bagi para shufi dalam
mendekatkan diri kepada Allah harus selalu dilandasi semangat ibadah dengan tujuan untuk
mencapai martabat dan derajat kesempurnaan atau lebih dikenal dengan istilah “Insan Kamil”.
Pada mulanya, para shufi mengajar terbatas hanya kepada beberapa orang murid saja tentang
ajaran pokok tashauf yang akhirnya lambat laun menyebar luas dan menjadi suatu ikatan
kerukunan serta kekeluargaan. Mereka yang menrima ajaran dari guru shufi yang sealiran
akhirnya membentuk suatu faham atau aliran tertentu sesuai dengan aliran dan corak tashawuf
masing-masing. Methode dan aliran yang berbeda itulah yang akhirnya membentuk suatu
kelompok yang disebut “Thoriqot”. Thoriqat berasal dari kata “Thoriq” yang berarti anak jalan,
sedangkan jalan utama disebut dengan “Syar” yang merupakan asal kata syari’at, yang berarti
bahwasanya thoriqat adalah jalan yang ditempuh para shufi yang digambarkan sebagai jalan
yang berpangkal dari syari’at. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para
shufi, pendidikan tashawuf merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum ilahi,
yaitu sebagai tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin adanya anak jalan tanpa
adanya jalan utama sebagai tempat ia berpangkal, ini berarti bahwasanya pengalaman tashawuf
tidak mungkin didapat bila perintah syari’at yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu
dengan seksama. Akan tetapi thoriq atau anak jalan itu lebih sempit dan akan lebih sulit
ditempuh (dijalani) serta akan membawa murid- disebut “Salik” atau pengembara untuk melalui
berbagai persinggahan (maqom) yang mungkin cepat atau lambat akhirnya ia akan mencapai
tujuannya, yaitu tauhid sempurna ; atau pengakuan berdasarkan pengalaman yang nyata bahwa
Tuhan adalah Satu (Esa). Pada dasarnya, istilah thoriqot sering digunakan untuk dua hal yang
secara konseptual berbeda. Menurut maknanya yang asli (secara harfiah berarti “Jalan”)
merupakan paduan yang khas dari doktrin, methode dan ritual. Tetapi istilah inipun sering
dipakai untuk mengacu kepada pengertian sebuah organisasi (formal ataupun informal) yang
menunjukkan pengikut-pengikut “Jalan” atau “aliran tertentu”. Di Timur-Tengah, istilah tho’ifah
(keluarga atau persaudaraan) terkadang lebih disukai untuk merujuk kepada istilah organisasi,
sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Namun di
Indonesia kata Thoriqot dapat menunjuk kepada keduanya. Kendati demikian, penting untuk
diingat bahwa dua hal itu sebenarnya tidak sama. Karena para shufi mengakui bahwa dasar-dasar
pemikiran dan amalan sebuah thoriqot berasal dari Nabi secara langsung, maka para pengikut
sebuah thoriqot memandang penting sekali urutan nama-nama para Guru (Mursyid) yang telah
mengajarkan dasar-dasar thoriqot tersebut secara turun-temurun. Garis keguruan itu biasanya
disebut dengan “Silsilah” Setiap guru dalam sebuah thoriqot dengan hati menjaga silsilah yang
menunjukkan ke cabang mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru
thoriqot yang lainnya. Idealnya, setiap guru yang tercantum dalam suatu silsilah harus
merupakan murid langsung dari guru yang sebelumnya, namun kenyataannya tidak selalu
demikian. Terkadang dua orang yang berurutan dalam suatu silsilah dapat saja tidak pernah
berjumpa secara langsung karena yang pertama wafat sebelum yang kedua lahir atau mereka
tinggal di negeri yang berbeda dan berjauhan sekali sehingga mustahil saat itu dapat berjumpa
secara langsung. Sebagian besar kaum shufi menerima hal tersebut di atas, dimana bahwasanya
seorang wali menerima pelajaran dari guru yang mendahuluinya (wafat) bukan lewat komunikasi
langsung, tetapi lewat komunikasi spiritual, yaitu melalui pertemuan lewat wujud ruhaninya.
Dalam silsilah, hubungan yang demikian itu sering disebut dengan istilah barzakhy atau uwaisy.
Disebut barzakhy karena pembaiatan seorang guru shufi (thoriqot) berasal dari Alam Barzakh,
yaitu alam antara sebagai tempat bersemayamnya ruh (alam arwah) bagi orang yang telah
meninggal sebelum datangnya hari kebangkitan. Sedangkan disebut dengan uwaisy karena
berasal dari nama Uwais Bin Qorni, seorang Yaman yang sezaman dengan Nabi namun tidak
pernah bertemu dengan beliau selama masih hidup. Uwais bin Qorni dipercaya telah diislamkan
oleh ruh Rasullullah setelah beliau wafat. Uwais bin Qorni wafat pada tahun 39 H. setelah
pulang dari pembebasan (penaklukan) kerajaan Romawi bersama tentara Islam. Dari sekitar
empat puluh satu aliran thoriqot yang “Mu’tabaroh” (terhormat; yang diakui jumhur ulama),
maka salah satu yang terbesar di dunia adalah thoriqot Al-Naqsyabandy yang namanya diambil
dari sang pendiri, yaitu Syekh Baha’uddin Al-Naqsyabandy. “Al-Naqsyabandy adalah
pemimpin-pemimpin kafilah yang membawa kafilahnya dari jalan-jalan tersembunyi (rahasia)
menuju ketempat suci.” Demikian pedapat Jami’, seorang tokoh Al-Naqsyabandi periode kedua.
Al- Naqsyabandi berbeda dalam banyak segi dari kebanyakan thoriqot shufi sealiran di negara-
negara Islam bagian tengah. Telah dijelaskan bahwasanya Al-Naqsyabandy memulai perjalanan
ruhani mereka justru pada saat thoriqot-thoriqot lain mengakhiri perjalanannya.” Masuknya
bagian akhir ke dalam bagian awal, “ merupakan bagian penting ajaran mereka, karena
pemikiran ini berasal dari masa pendidikan shufi awal. Adapun mengenai silsilah, maka pada
thoriqot ini (Naqsyabandy) tercantum secara lengkap silsilah para guru sampai kepada Nabi
Muhammad SAW. Yang merupakan syarat bagi suatu thoriqot yang mu’tabaroh. Dalam tulisan
ini akan dijelaskan secara ringkas masing-masing riwayat para Guru Al-Naqsyabandy dari Nabi
Muhammad SAW. Sampai kepada Bapak Guru Syekh Abdusshomad Habibullah, pengemban
Thoriqot “Haq Naqsyabandy”. Perlu dijelaskan bahwa penambahan kata “Haq” dimaksudkan
untuk menjelaskan jati dirinya sebagai sebuah thoriqot Al-Naqsyabandy sejati yang puritan
(murni), artinya selalu berpegang teguh kepada syari’at yang bersumber dari al-Qur’an dan al-
Hadits. Hal ini juga tentunya untuk membedakan diri dengan banyak thoriqot yang mengaku Al-
Naqsyabandy namun dalam prakteknya jauh menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan
oleh syari’at Islam. Dalam pembahasan sejarah ringkas para guru dalam silsilah thoriqot Haq
Naqsyabandy ini, akan diuraikan secara hirarkis mulai dari urutan pertama dalam silsilah ini
kemudian kepada generasi guru-guru berikutnya. Dimana hubungan yang pertama dengan yang
kedua dan seterusnya adalah hubungan antara guru dan murid, baik hubungan keguruan secara
langsung maupun secara tidak langsung (barzakhi) Adapun pembahasannya akan dibatasi hanya
pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan kegiatan tashawuf dan peranannya dalam
pengembangan ajaran tersebut. 1. Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah Muhammad bin
Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdil Manaf bin Qusay bin Kilab, dan Ibunya
adalah Aminah binti Wahab bin Abdil Manaf bin Zahroh bin Kilab. Dengan demikian, maka
nasab ayah dan ibunya bertemu pada kakeknya yang kelima, yaitu Kilab. Suku beliau disebut
suku Qurays, yaitu suku yang paling terhormat di Makkah Al- Mukarramah. Beliau adalah
Utusan Allah untuk seru sekalian alam yang datang dengan membawa agama Islam yang
nasabnya bersambung sampai kepada Nabi Isma’il bin Ibrohim Kholilullah AS. Nabi
Muhammad adalah sumber mata rantai pertama dalam rangakaian rohani tashawuf dan mi’rajnya
lewat brlapis-lapis langit kehadapan ilahi yang ditunjukkan oleh baris pertama surat Al-Isro’ ayat
1 yang berbunyi : Artinya : “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsho yang telah Kami berkahi
sekelilingnya[847] Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Penjelasan ayat di
atas merupakan sebuah prototip (contoh hakiki) kenaikan rohani para shufi kehadapan Allah
SWT. Sedangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’rof ayat 157 yang berbunyi : Artinya : “(Yaitu)
orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummy yang (namanya) mereka dapati tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada pada sisi mereka,” Dengan demikian, dari ayat di atas beliau
juga digambarkan sebagai Nabi yang “Ummy” atau “Buta Huruf” merupakan suatu sifat yang
sangat pokok bagi pemahaman agama Islam, artinya Allah menyatakan diri lewat Al-Qur’an dan
Nabi harus menjadi wahana yang tidak dikotori oleh pengetahuan “intelektual” kata dan tulisan
agar ia dapat menyebarluaskan firman-Nya dengan semurni-murninya. Menurut sebuah riwayat,
anggota-anggota keluarga dan sahabatnya diberkati langsung pandangan keshufian atau
mendapatkan latihan kehufian. Hadist-hadist yang bersumber dari beliau membantu para shufi
sesudahnya dalam”mengembangkan” batasan-batasan mereka sendiri tentang berbagai tahapan
(maqom) dan keadaan (hal). Sehingga setiap kecendrungan dalam Islam, dan demikian juga alam
tashawuf (thoriqat) pada akhirnya harus didukung dengan hadist Nabi. Prof. DR. Hamka dalam
bukuny “Perkembangan Tashawuf dari Abad ke Abad” menyimpulkan bahwasanya tashawuf
Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Tumbuh dalam jiwa pembawa
risalah Islam itu sendiri , yaitu Nabi Muhammad serta disauk airnya dari Islam itu sendiri.
Kemudian pada masa berikutnya, sebagian besar hadist yang tidak terdapat dalam koleksi resmi
(Kitab bukhary, Muslim dan empat kitab hadits lainnya) karena disusun pada paruh ke-2 dan
abad ke-9 digunakan oleh para shufi sebagai landasan thoriqatnya. Sehingga dalam waktu yang
relatif singkat, kepribadian Nabi Muhammad sangat penting sebagai tauladan bagi kehidupan
rohani ummatnya. Beliau merupakan pemimpin idaman, dan setiap muslim berkewajiban
mengikutinya. Hal ini disebabkan beliau adalah perwujudan dari manusia sempurna (Insan
Kamil) atau dalam tradisi barat dikenal dengan istilah Par Exellence. Salah satu hadist yang
masyhur dikalangan para shufi adalah hadist yang berbunyi : “Man Arafa Nafsahu, Fakat Arafa
Rabbahu” Artinya : “Barang siapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal
Tuhannya.” Kendatipun hadist ini hanya masyhur di kalangan para shufi saja dan oleh sebagian
ahli hadist tidak diterima, namun secara ma’nawi sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhary dan Muslim yang berbunyi : Artinya : “Manusia yang paling luas
pengetahuannya adalah orang yang telah mengenal dirinya .” Dan juga sejalan dengan Al-Qur’an
surat Al-Zariyat ayat 21 yang berbunyi : Artinya : “Dan pada dirimu sendiri apakah kamu tidak
memperhatikannya .” Apabila ditelusuri, maka sebagian besar hadist Nabi pada kenyataannya
disampaikan dengan lapadz yang berbeda namun ma’nanya sama (secara ma’nawi) Tashawuf
adalah ilmu yang bersifat khas ( yang membutuhkan bakat dalam mempelajarinya) serta rahasia
yang tidak mungkin setiap orang dapat mempeajarinya, dan Rasulullah adalah da’i terbaik di
antara para da’i serta sebagai figur yang senantiasa dalam bimbingan Allah tentu telah
mengetahui hal tersebut dan tidak mungkin gegabah melakukan suatu tindakan dalam
mengajarinya. Hal tersebut sebagaimana beliau sabdakan : Artinya : “Kamu berbicara kepada
manusia yang belum sampai tingkat kecerdasannya; apakah kamu dalam hal ini ingin agar
mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya? .” Sahabat Ali a.s. dan Abu Hurairah r.a. juga
pernah mengisyaratkan bahaya-bahaya suatu ilmu yang disampaikan Rasulullah secara khusus
dan rahasia kepada masyarakat umum (awwam) dengan suatu riwayat yang disampaikan oleh
Imam Bukhary dimana sahabat Abu Hurairah r.a. menjelaskan : Artinya : “Aku menghafalkan
dua ilmu dari Rasulullah SAW, adapun satu diantaranya kuterangkan, tetapi yang satu macam
lagi kalau ku terangkan akan dipotong orang leherku.” Sedangkan sahabat Ali a.s. menjelaskan :
Artinya : “Wahai Tuhanku, andai kata kutunjukkan permata ilmuku, dan dikatakan orang aku
termasuk dari golongan orang-orang menyembah berhala. Laki-laki muslim menghalalkan
darahku. Mereka menganggap apa yang aku tunjukkan adalah yang paling jelek, dan apa yang
mereka perbuat itu yang paling baik.” Namun pada perkembangan selanjutnya tidak dapat
dipungkiri bahwasanya tashawuf (thoriqat) ini banyak mengalami perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang menyebabkan tashawuf dituduh
sebagai ajaran bid’ah atau tidak lebih sebagai suatu aliran kebathinan belaka ( seperti aliran
kewajen di Jawa dan lain sebagainya). Hal ini tidak lebih karena tashawuf telah tercemar
(terkontaminasi) kemurniannya dengan berbagai faham, aliran, dan kepercayaan-kepercayaan
tradsional masyarakat. Hingga dalam hal ini Martin Van Bruinessen seorang peneliti thoriqat
terkemuka menyebut yang demikian itu sebagai thoriqat yang telah dipribumisasi yang
menyebabkan tercemarnya ajaran tashawuf sebagai ajaran yang bersumber dari Rasulullah SAW.
Rasulullah wafat pada tahun 11 H. atau bertepatan dengan tahun 632 M. di kota Madinah Al-
Munawwaroh. 2. Abu Bakar Al-Shiddiq R.A Beliau adalah Abdullah bin Abu Quhafah bin
Amir. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya yang keenam yaitu Murrah.
Beliau terkenal pemurah , baik dalam bergaul, halus tutur kata dan berjiwa lemah lembut. Beliau
telah menjadi sahabat Nabi sebelum masa kenabian dan manakala Muhammad diutus untuk
menjadi seorang rasul, maka beliau adalah orang yang paling awal menyatakan beriman kepada
Nabi. Beliau juga berhasil mengajak sahabat-sahabatnya yang lain dari suku Qurays yang
terkemuka untuk memeluk agama Islam, diantaranya Utsman bin Affan, Zubair bin Awam,
Tholhal bin Abdillah dan lain-lainnya. Manakala Rasulullah berhijrah ke Madinah, beliaulah
yang menemaninya dalam perjalanan dan bersembunyi di dalam Gua Tsur tatkala kaum Qurays
mengejarnya untuk dibunuh, menjadi pembelanya ketika sampai di Madinah, menemaninya
dalam peperangan dan menjadi pembawa panji (bendera perang) Islam dalam perang Tabuk.
Pada saat Rasulullah wafat, Abu Bakar berada di luar kota Madinah. Dan tatkala berita
kewafatan Nabi sampai kepadanya, maka beliau sangat bersedih. Pada saat yang bersamaan juga
sahabat Umar Bin Khatab sedang menghunus pedangnya untuk membunuh siapa saja yang
berani menyatakan kalau Rasulullah telah wafat. Demi melihat keadaan yang genting itu, beliau
naik ke mimbar dan segera menyampaikan khutbahnya dengan ungkapan : “Barang siapa
menyembah Muhammad , maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan barang siapa yang
menyembah Allah, maka ia Maha Hidup dan tidak akan mati.” Kemudian beliau membaca surat
Ali Imron ayat 144 yang berbunyi : Artinya : “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika ia wafat atau dibunuh
kamu kamu akan berpaling ke belakang (murtad)?” Setelah pemakaman Rasulullah, maka beliau
ditunjuk oleh kaum Muhajirin dan Anshor untuk duduk menjadi khalifah pengganti Rasulullah
dan akhirnya menjadi pemimpin yang sangat Zuhud, waro’, terkenal keadilannya, dan selalu
berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidupnya. Adapun mengenai
kehidupan shufi dan kelebihan beliau dalam tingkatan ruhaninya, maka Rasulullah sendiri telah
mengisyaratkan hal tersebut dengan sabdanya: Artinya : “Kelebihan Abu Bakar dari kalian
bukanlah karena banyak sembahyang dan banyak puasa, tetapi kelebihan itu karena suatu rahasia
yang terletak di dadanya.” Hadist selanjutnya menegaskan : Artinya : “Matilah kamu sebelum
kamu mati, barang siapa yang ingin melihat mayit yang berjalan di atas permukaan bumi,
lihatlah Abu Bakar. Dua hadits tersebut diatas sampai saat ini telah menjadi suatu inspirasi dan
pemompa semangat para shufi untuk terus berusaha menemukan “rahasia” dari hakekat hidup
dan matinya manusia. Menurut suatu riwayat, Rasulullah telah mengajarkan teknik-teknik
keruhanian kepada para sahabat sesuai dengan pembawaan mereka (yang menunjukkan
kepiawaan beliau sebagai seorang da’i ulung), dan hal ini dipercaya sebagai alasan utama
mengapa sekarang ini terdapat perbedaan-perbedaan teknik antara para shufi. Satu perbedaan
yang mencolok adalah antara thoriqat Qodiriyah dan Naqsyabandiyah dalam cara atau methode
mengucap dzikir, pada Qodiriyah diucapkan dengan keras dan ekstatis, dan pada
Naqsyabandiyah diucapkan secara sir (diam, atau lebih tepat kalau diartikan secara rahasia).
Menurut beberapa riwayat yang masyhur dalam thoriqat Al-Naqsyabandy, maka hal tersebut
sebabkan karena Ali. a.s adalah seorang yang periang, terbuka dan suka menantang orang-orang
kafir dengan mengucap kalimat syahadat keras-keras. Sebaliknya Abu Bakar r.a. menerima
pelajaran spiritualnya pada malam hijrah, ketika ia dan Rasulullah bersembunyi di dalam gua
yang tidak jauh dari Mekkah. Karena disekitar tempat itu banyak musuh yang saat itu mengincar
dan mengancam keselamatan, mereka berdua, mereka tidak dapat berdzikir keras-keras, dan
Rasulullah mengajarkannya untuk berdzikir dalam hati sebagai penenang baginya ketika dalam
keadaan sedih dan ketakutan (karena dikepung musuh yang siap membunuhnya). Dzikir diam
inilah dan berbagai sikap dasar spiritual lainnya, dipercaya kaum Naqsyabandiyah telah
diturunkan oleh Abu Bakar r.a kepada murid-muridnya dan akhirnya dijadikan sistem oleh
Baha’uddin Al-Naqsyabandy sebagai ciri khas thoriqatnya. Perlu diketahui, bahwasanya para
wali ini hanya mensistematisasikan ajaran-ajaran dan methode thoriqat ini, sehingga beberapa
ritual dan amalan secara eksplisit dikaitkan kepada para “pendirinya”. Namun demikian, para
wali tetap tidaklah dipandang sebagai pencipta thoriqat-thoriqat mereka; melainkan hanya
mengelola ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada mereka melalui suatu garis keguruan terus
sampai kepada Nabi sendiri. Shahabat Abu Bakar r.a. wafat pada tahun 13 H. Atau bertepatan
dengan tahun 634 M. Pada usia 63 tahun dan dimakamkan disamping makam Nabi di kota
Madinah 3. Salman Al-Farisy R.A Salman Al-Farisy adalah putra seorang bangsawan dari
Isfaham, Persia (Iran). Ayahnya adalah seorang Amir (gubernur) di daerahnya. Semula beliau
memeluk agama Majusi (penyembah api) dan bahkan pernah sempat menempati posisi terhormat
sebagai penjaga apa yang dianggap oleh mereka sebagai api suci itu. Dalam agama Majusi ia
tidak memperoleh ketenangan bathin dan kemudian pindah untuk mendalami agama Nashrani
(Kristen) dengan melakukan perjalanan sambil menuntut dan mempelajari agama Nashrani
kepada para pendeta di daerah yang dilewatinya seperti Syiria. Mousul (Irak), Nasibin dan
Amuria. Sesuai dengan petunjuk gurunya (seorang pendeta yang sangat alim dan jujur) di
Amuria, ia diperintahkan untuk melakukan perjalanan mencari seorang Nabi akhir zaman yang
akan membawa ajaran suci. Pada akhir perjalanannya, beliau bertemu dengan Rasulullah di kota
Yastrib (Madinah) setelah melewati berbagai cobaan dan rintangan hingga pernah menjadi
seorang budak belian yang diperjual belikan di Madinah. Setelah beliau dimerdekakan oleh
seorang sahabat, maka disisi Rasulullah beliau menghirup udara segar sampai ke tulang sumsum
sehingga mengerti agama Islam yang sesungguhnya (hakikat Islam). Kedudukan Salman di sisi
Nabi telah banyak diriwayatkan para sejarawan. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab “al-Asabah fi
Tanzijish Shohabah” menjelaskan bahwa Salman Al-Farisy sering juga dipanggil dengan sebutan
Salman Al-Khair (yang terpuji atau baik) dan Salman Ibnu Islam (putra Islam). Dari Anas bin
Malik diriwayatkan bahwa apabila ditanyakan orang siapa namanya, beliau menjawab : “Saya
Salman putra Islam dari anak cucu Adam.” Karena tingginya kedudukan Salman disisi Nabi,
maka beliau juga dipanggil dengan panggilan Salman Al-Muhammady (anggota keluarga
Muhammad). Bahkan oleh Nabi sendiri diakui sebagai keluarganya (ahli baitnya), hal tersebut
sebagaimana beliau sabdakan : “Salman Al-Farisy adalah keluarga kami.” Peran Salman dalam
pengembangan Tashawuf dapat dilihat dari bagaimana beliau memberikan contoh kehidupan
zuhud, waro’, qona’ah dan senantiasa tekun beribadah sehingga menjadi tauladan bagi para shufi
sepeninggal beliau. Contoh kehidupan zuhud beliau adalah sebuah kisah dimana saat itu beliau
menduduki jabatan Amir (Gubernur) di Negeri Madain, namun demikian gaji sedirham pun tidak
pernah diterimanya, bahkan beliau sedekahkan seluruhnya bagi yang membutuhkan. Sedangkan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, beliau bekerja sebagai penganyam tikar dan
keranjang dari daun kurma, para pelayan diperlakukan dengan sopan dan diberikan keringanan
kerja sehingga pernah dengan tangannya sendiri beliau mengaduk tepung untuk makanan sehari-
hari. Shahabat Salman Al-Farisy adalah seorang tokoh shufi yang dikenal sebagai tukang cukur
pribadi Nabi dan juga sebagai wali besar. Kekeramatannya telah banyak dikenal masyarakat dan
diceritakan dalam berbagai riwayat para shufi, di antaranya adalah sebagaimana dijelaskan dalam
kitab “ Al-Hadaiqu fi Ajlait Thoriqat al-Naqsyabandy” bahwasanya Salman Al-Farisy pernah
berjalan bersama seorang tamunya di kota Madain. Tiba-tiba ia melihat seekor kijang lewat dan
beberapa ekor burung terbang diudara. Shahabat Salman ingin menjamu tamunya, kemudian ia
berkata : “ Hai burung dan kijang hendaknya kalian datang kepadaku karena aku ingin menjamu
tamuku ini.” burung-burung dan kijang pun segera mendatangi Salman sehingga tamu itu ta’jub
melihatnya seraya berkata “ Subhanallah”, Salman berkata : “Apakah kamu heran dengan
kejadian ini?, pernahkah kamu melihat orang yang taat kepada Allah SWT. akan dilanggar
perintahnya oleh sesuatu?”. Beliau wafat pada tahun 50 H. dan termasuk salah seorang dari
shahabat Nabi yang sangat dimuliakan sebagaimana Nabi pernah bersabda dalam suatu hadistnya
yang artinya sebagai berikut : “ Tuhanku menyuruh aku mencintai empat orang yang dicintai-
Nya yaitu Ali bin Abi Tholib, Abu Dzar al-Gifary, Miqdad dan Salman.” 4. Qosim bin
Muhammad R.A Beliau adalah al- Qosim bin Muhammad ibnu Abi Bakar al-Shiddiq r.a yang
riwayat hidupnya jarang disinggung dalam sejarah Islam. Ibu beliau adalah seorang putri raja
Persia (Iran) yang ditaklukkan oleh tentara Islam, dan bersamanya juga ditawan saudara
perempuannya serta beberapa orang Persia lainnya. Kaum muslimin saat itu berniat untuk
menjual mereka termasuk dua putri raja Persia itu, namun Ali a.s bangkit mencegahnya dan
beliau berkata : “ Rasulullah melarang menjual Raja serta putra dan putrinya.” Kemudian beliau
menyeuruh masing-masing dari kedua putri Kisra itu untuk memilih laki-laki dari kaum
muslimin untuk menikahinya. Salah seorang diantara mereka yaitu Syah Zanan memilih
Muhammad bin Abi Bakar dan seorang lagi yaitu Syah Banu memilih Imam Husain a.s. Setelah
melakukan akad Syari’at dengan pernikahan Islami, kedua putri itu pergi dan tinggal di rumah
suami masing-masing. Dari pernikahan antara Syah Zanan dan Muhammad bin Abi Bakar
lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama al-Qosim yang kelak akan menjadi salah seorang
fuqaha (ahli fiqh) dan shufi terkemuka di Madinah. Beliau adalah ayah dari Ummu Farwah yang
kelak akan menikah dengan Imam Muhammad al- Baqir bin Imam Ali- Zainal Abidin a.s.
Sedangkan pernikahan antara Syah Banu dan Imam al- Husain, lahirlah seorang anak laki-laki
yang bernama Ali Zainal Abidin yang merupakan Imam Syi’ah yang keempat. Al-Qosim
menerima langsung ajaran tashawuf dari shahabat Salman al-Farisy dan menjadi salah seorang
guru dalam silsilah Thoriqat al-Naqsyabandy generasi keempat dari Rasulullah SAW. 5. Imam
Ja’far al- Shodiq A.S Imam Ja’far lahir pada tahun 83 H. Di kota Madinah dari seorang ibu yang
bernama Ummu Farwah binti Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar r.a, dan ayah beliau adalah
Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Tholib suami Fatimah
binti Rasulullah SAW. Dengan demikian, terdapat perpaduan keturunan dari Rasulullah, Ali bin
Abi Tholib dan Abu Bakar Al-Shiddiq. Karena beliau adalah keturunan Nabi, maka beliau
termasuk ke dalam anggota “ahli Bait” Nabi yang merupakan warisan yang ditinggalkan selain
Al-Qur’an yang harus dijaga dan dipelihara. Hal tersebut sebagaimana disabdakan oleh beliau
yang artinya : “aku tinggalkan ditengah-tengah kalian dua pusaka (perkara) yang jika kalian
berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Yang satu lebih besar
dari yang lain; Kitabullah tali yang terlentang dari langit kebumi, dan keluargaku ahli baitku.
Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya bertemu di telaga. Perhatikan bagaimana kalian
memperlakukannya.” Hadist tentang ahli bait di atas diriwayatkan oleh Sunan Turmudzi 5;329,
al-Dur Al-Mantsur 6:7; 306, Tafsir Ibnu Katsir 4:113, al-Mu’Jam al-Shagir dari al-Thabrany
1:135, dan berbagai kitab tafsir lainnya. Dengan redaksi yang lain diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shohihnya, kitab al-Fadhail, “Fadhail Ali bin Abi Tholib Alihis Salam 2;362.”
Khusus di Indonesia, hadist ini telah mengalami suatu perubahan , yakni bukannya “Kitabullah
dan Ahlu Baitku (keluargaku)”, namun “Kitabullah dan Sunnahku.” Hadist ini adalah hadist
yang mardud (ditolak), sebab selain tidak terdapat dalam kitab al-Sittah (kitab hadits yang enam)
dan kitab-kitab hadist lainnya, kecuali pada kitab al-Muwattho’ (kitab fiqih) Imam Malik dan
itupun tanpa sanad. Dengan demikian, menurut Prof. DR. Jalaludin Rahmat bahwasanya hadist
ini hanya ditemukan dalam kitab-kitab tarikh (sejarah) dan khutbah-khutbah ulama di Indonesia.
Sejak masa kecil Imam Ja’far telah memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya yaitu Imam
Muhammad al-Baqir yang telah membangun sebuah madrasah yang banyak melahirkan ulama-
ulama besar dizamannya. Beliau menguasai berbagai macam ilmu di antaranya ilmu tafsir, fiqh,
hadist, filsafat, tashawuf dan lain-lainnya. Dan diantara ulama-ulama besar yang menjadi
gurunya diantaranya Atho’, Urwah, Nafi’ al- Zuhry dan lainnya. Adapun kelebihan-kelebihan
dari Imam Ja’far al- Shodiq antara lain : a. Imam Ja’far banyak dikenal diberbagai kalangan,
antara lain dari kalangan ulama fiqh beliau dikenal sebagai seorang mujtahid sekaligus guru bagi
Imam-Imam fiqh yang menyebabkan beliau diberi gelar “Guru dari para Imam fiqh”. Adapun
murid-murid utama beliau antara lain seperti Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafy, Imam
Malik pendiri Mazhab Maliky, Imam Abu Laila, Imam al-Laits dan Imam-Imam lainnya
termasuk Imam Syafi’I yang dipercaya paling dalam pengetahuannya tentang ilmu hakikat
warisan Imam Ja’far walaupun beliau hanya belajar dari para murid Imam Ja’far. Beliau adalah
pendiri Mazhab Ja’fariyah yang diakui oleh kalangan Syi’ah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. b.
Dalam kehidupan sehari-hari beliau senantiasa hidup dalam kezuhudan. Menurut beliau, zuhud
adalah “Hidup merasa cukup dengan halal, bukan hidup menjauhi yang halal.” c. Beliau adalah
tokoh shufi yang mempunyai ma’rifat laduniyah yang tidak dimiliki oleh sembarang orang serta
karomah yang luar biasa yang banyak diriwayatkan dalam kisah Para Waliyullah. Pandangan
beliau selalu disimak di kalangan para shufi dan beliau mengacu kepada suatu struktur
pengalaman mistik (tashawuf) yang terbentang dalam “dua belas” tahap (maqom) dari sumber ke
sumber yang tampak seperti persiapan persinggahan-persinggahan yang harus dilewati seorang
shufi yang menjalankan perbaikan sepanjang jalan. d.Beliau banyak mewariskan ungkapan-
ungkapan yang tajam dan cemerlang tentang kebenaran kerohanian yang oleh para shufi banyak
dijadikan pegangan. Dalam kitab tafsirnya Imam Ja’far menjelaskan : Artinya: “ Kitab Allah
terdiri dari empat perkara : Ibarat, Isyarat, Lathaif, dan Hakaik. Maka sesungguhnya ibarat itu
untuk kalangan masyarakat awwam, isyarat untuk kalangan khawwas, lathaif untuk kalangan
auliya’, dan hakikat untuk kalangan para Nabi.” e.Imam Ja’far mempunyai karomah tersendiri
yang dikaruniakan Allah SWT. Selah satunya adalah bila berdo’a selalu dikabulkan Allah.
Menurut riwayat, suatu saat beliau pernah mengalami kelaparan dan kedinginan di bukit Qubais
(Jabal Qubais), beliau berdo’a kepada Allah dan mohon agar diberikan kebutuhannya, dengan
segera Allah mengabulkan do’anya dengan menurunkan setumpuk makanan, anggur dan selimut.
Mengenai do’a tersebut beliau pernah ditanya seseorang : “Wahai putera (cucu) puteri
Rasulullah, Allah telah berfirman; “Mohonlah kepadaku, aku akan mengabulkan
permohonanmu.” Tetapi mengapa kami selalu berdo’a dan Allah tidak mengabulkannya? . Imam
Ja’far menjawab : “Karena anda berdo’a kepada yang tidak anda kenal.” Imam Ja’far al-Shodiq
wafat pada tahun 148 H. atau bertepatan dengan tahun 765 M setelah mengabdikan seluruh
hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. 6. Abu Yazid Thoifur al-Busthomy Nama
lengkapnya adalah Thoifur bin Isa bin Surusan al-Busthomy. Beliau lahir dibagian timur laut
Persia (Iran) disebuah kota yang bernama Bustham dan ayahnya adalah seorang yang terkemuka
didaerahnya Beliau suka mengembara ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu pengetahuan dan
beliau mempunyai lebih dari seratus orang guru. Dalam pengembaraannya, beliau menuntut
berbagai ilmu, seperti ilmu fiqh beliau tuntut menurut mazhab Hanafy sehingga akhirnya beliau
dikenal sebagai tokoh dalam mazhab Hanafy. Kemudian pada perjalan selanjutnya beliau
bertemu dengan Abu Ali-al-Sindy yang mengajarkannya ilmu Tauhid, ilmu Hakekat dan juga
mengajarkannya tentang fana’. Dengan berbagai bekal ilmu tersebut akhirnya beliau
memutuskan untuk menekuni ilmu tashawuf hingga dikenal sebagai tokoh (imam) shufi di
zamannya. Sebagai seorang shufi, kehidupannya ditempuh dalam perjalanan yang cukup
panjang, kurang lebih dalam kurun 30 tahun beliau menyusuri padang pasir. Abu Yazid adalah
seorang tokoh shufi yang mempunyai beberapa dasar-dasar pemikiran yang dikembangkan
olehnya , antara lain : a. Orang yang arif tidak akan menggantungkan cita-citanya dengan apa
yang diangan-angankannya dan seorang yang zahid tidak akan menggantungkan cita-citanya
kepada apa yang dimakan. b. Orang yang bahagia adalah orang yang dapat menggabungkan cita-
citanya menjadi satu yaitu semata-mata kepada Allah. Hatinya tidak terganggu dengan apa yang
dilihat oleh matanya dan apa yang didengar oleh telinganya di dunia. c. Barang siapa yang
mengenal Allah, maka sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya.
Selain dasar-dasar pemikiran yang disebutkan di atas, Abu Yazid juga mempunyai pandangan
lain, yaitu teori yang lebih inti antara hamba dengan Tuhannya yang disebut dengan teori al-
Fana’ dan al-Baqo’ atau hancurnya perasaan keinsanan yang ada dalam tubuh kasar ke dalam
ketuhanan Allah. Kondisi tersebut seperti yang dijelaskan oleh al-Qusyairi: “leburnya seseorang
dari dirinya dan makhluk lain yang terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dengan
makhluk lain itu... sebenarnya dirinya dan makhluk lain itu tetap ada, hanya saja ia telah tidak
sadar dengan diri dan mereka lagi. Ada suatu riwayat yang menceritakan tentang Abu Yazid
ketika ditanya seseorang tentang tugas manusia sejati. Beliau ditanya: “Wahai Abu Yazid,
apakah engkau bisa berjalan di atas air?, beliau menjawab: “Sebatang pohon juga bisa berjalan
diatas air.” Orang itu melanjutkan pertanyaannya, “Apakah engkau bisa terbang ?, beliau
menjawab: “burung pun bisa terbang.” Orang itu tidak berhenti untuk bertanya: “apakah engkau
bisa berjalan ke Ka’bah dalam waktu semalam ?, beliau menjawab: “ Seorang tukang sulap pun
bisa pergi dari India ke Damavand dalam waktu satu malam.” Lalu apa tugas manusia sejati ? ,
Abu Yazid menjawab: “Manusia sejati hanya menggantungkan dirinya kepada Allah semata,
lainnya tidak.” Abu Yazid Thoifu al-Busthomi sebagai salah seorang dari 10 Imam besar shufi
wafat pada tahun 261 H. Di kota Bistham. Beliau dimakamkan sejajar dengan al-Hujwiri, Nashir
Khusro, dan Yaqut. 7. Abu Hasan al-Kharoqony Beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ja’far al-
Kharoqony, yang merupakan murid dari Abu Yazid al-Busthomi melalui jalan Barzakhy. Beliau
berasal dari daerah yang sama dengan Abu Yazid yaitu di daerah Khuzistan, Iran Timur Laut.
Abu Hasan al-Kharoqony menganut gaya (aliran) yang sama dengan Abu Yazid, yaitu mewakili
tradisi yang disebut “Malamatiya” dalam tashawuf. Orang malamatiya terkadang dengan sengaja
menghindari kehidupan shaleh dalam bentuk apapun dan dengan sengaja menjauhkan diri dari
prilaku yang telah ditetapkan oleh kaum ortodoks (Islam Tradisional) demi mengundang
kecaman dari masyarakat karena perbuatannya yang dipandang sering nyeleneh. Hal tersebut
dilakukan pada dasarnya karena semata-mata cintanya kepada Allah. Bila diteliti dengan
seksama, baik Abu Yazid maupun Abu Hasan al-Kharoqony dalam sejarah hidupnya, keduanya
adalah orang-orang yang dikenal sebagai ahli ibadah yang sangat taat kepada Allah SWT.
Sehinga peristiwa malamatiya itu hanya terjadi bila dirasa dalam dirinya akan timbul rasa ujub,
riya’, sum’ah dan takabbur yang terbit di dalam hati yang dapat mengganggu cita-cita yang
hanya tertuju kepada Allah, dan juga untuk menghindari dari pemujaan masyarakat, karena
kondisi masyarakat saat itu selalu berlebihan dalam menghormati para orang sholih. Untuk
mengambarkan tradisi malamatiya diatas agar lebih jelas, maka ada suatu cerita lokal yang
menjelaskan hal tersebut agar dapat membantu menuju pemahaman yang lebih dekat. Dikisahkan
seorang alim , zuhud dan waro’ yang oleh masyarakat setempat diisukan sebagai wali Allah. Isu
tersebut semakin berkembang hingga menjadi suatu keyakinan masyarakat bahwa orang tersebut
adalah benar-benar wali Allah sehingga sering ia menadapatkan penghormatan berlebihan yang
sangat mengganggu ketentraman bathin dan ibadahnya. Karena hal tersebut di atas, maka untuk
menghindari pujian dan penghormatan dari masyarakat yang dapat menimbulkan riya’, ujub dan
takabbur, ia pun dengan sengaja memperlihatkan dirinya mencuri sandal seorang jama’ah di
Masjid dengan harapan agar di tangkap dan diketahui masyarakat. Masyarakat yang melihat
kejadian itu langsung menangkapnya dan menuduhnya sebagai pencuri sandal yang selama ini
tidak pernah ditangkap. Ketika berkumpul mereka berkata : “ternyata orang yang kita anggap
sebagai wali hanyalah seorang pencuri sandal dan kita salah menilainya.” Setelah kejadian itu
masyarakat mulai memandangnya sebagai sosok yang hina dan rendah bahkan sebagai penipu
ulung. Namun lain halnya bagi orang alim tersebut, setelah kejadian itu ia merasa lebih tenang
dan khusu’ beribadah kepada tanpa takut terganggu oleh hal-hal yang merusak nilai ibadahnya.
Kisah di atas merupakan gambaran yang gamlang tentang tujuan dari tradisi malamatiya yang
biasa dilakukan para waliyullah untuk menjaga hatinya agar senantiasa tertuju kepada Allah
semata. Adapun kejadian lain yang dapat menyebabkan peristiwa malamatiya menurut para ahli
tashawuf adalah karena sang shufi dalam kondisi “jadzab” (majdzub), dimana seorang shufi
sedang kehilangan kesadaran akan dirinya. Menurut tokoh shufi Ibnu Atho’illah (W. 674 H./
1309 M) yang mampu memahami kondisi psikologis spiritual yang sebenarnya terjadi pada wali
majzub, menjelaskan bahwa wali majzub yang berperilaku seperti “orang gila” itu disebabkan
karena kesadarannya yang hilang akan dirinya atau dalam kondisi ditarik oleh Allah. Karena dari
segi bahasa majzub berarti “ditarik” dan dalam istilah Indonesia sering diartikan sebagai “wali
gila”. Dengan demikian, beliau juga menjelaskan bahwa seluruh aktivitasnya yang tidak normal
itu atau perbuatan mungkar yang pada dhohirnya melanggar syari’at itu tidak dikenakan sanksi
karena disamakan hukumnya dengan perbuatan orang “Majnun” gila. Dengan demikian seluruh
aktivasinya yang tidak normal itu dihitung cacat di sisi Allah SWT. Namun hal ini sering
menjadi masalah tatkala ada orang yang dengan sengaja meniruunya sehingga menimbulkan
keresahan dan menggangu ketertiban umum dan tentu di sisi Allah akan dinilail dosa karena
melanggar Syari’at dengan sengaja dan bertujuan keduniawian semata. Abu Hasan Ali bin Ja’far
al-Kharoqoni wafat pada tahun 425 H. Atau bertepatan dengan tahun 1034 M. 8. Abu Ali al-
Farmadzy Nama lengkap beliau adalah Abu Ali Fadl ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadzy.
Adapun riwayat hidup beliau sangat jarang disinggung dalam sejarah para shufi, namun dapat
diketahui bahwa beliau merupakan guru besar tashawuf pada zamannya. Hal tersebut dapat
diketahui karena beliau adalah murid langsung (utama) dari Abu Hasan al-Kharoqony. Beliau
tinggal di kota Naysafur dan hidup sezaman dengan para guru besar lainnya seperti Imam
Ahmad al-Thusy, Abu Nash al-Ismaily, Yusuf al-Nasyaz dan Abu Ma’al al-Juwainy. Dari
bimbingan beliaulah lahir para tokoh shufi terkenal seperti Imam Muhammad bin Ahmad atau
lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghozaly dan saudaranya (adiknya) yaitu Imam Ahmad bin
Ahmad al-Ghozaly serta Abu Yusuf al-Hamadany. Dan dari sekian murid utamanya, maka hanya
Abu Yusuflah yang masuk ke dalam rangkaian silsilah thoriqat al-Naqsyabandy. Abu Ali Fadl
ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadzy guru dari para guru shufi dizamannya itu akhirnya wafat
pada tahun 477 H. Atau bertepatan dengan tahun 1084 M. 9. Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadany
Abu Yusuf lahir di Hamadan (Iran Barat). Pada awalnya beliau mempelajari ilmu fiqh mazhab
Syafi’i di Baghdad dan beliau meninggalkan ilmu tersebut setelah dirasakan cukup memadai
untuk selanjutnya mengkhidmahkan (mengabdikan) diri secara penuh kepada jalan tashawuf
serta menghabiskan waktunya bersama para guru shufi di Hamadan dan Asia Tengah. Abu Yusuf
adalah seorang tokoh shufi yang sangat berpengaruh dan namanya pun tercantum dalam berbagai
silsilah thoriqat lainnya. Dua orang tokoh Shufi yang diantaranya mengakui beliau sebagai guru
mereka yaitu Abdul Kholiq dan Ahmad Yasevy, yaitu pendiri thoriqat Yaseviyah dan Bektasiyah
di Turki. Dari keturunan beliaulah kelak akan lahir salah seorang guru besar shufi dan sebagai
Sulthon al-auliya’, yaitu Baha’uddin al-Naqsyabandy. Dalam suatu riwayat diceritakan
bahwasanya beliaulah orang yang mula-mula memerintahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelany
(lh. 470 H./1077/8 M-W. 561 H./ 1166 M.) sang pendiri Thoriqat Qodiriyah untuk
menyampaikan khutbah atau pelajaran di depan masyarakat umum. Abu Ya’qub Yusuf al-
Hamadany akhirnya wafat pada tahun 535 H. Atau bertepatan dengan tahun 1140 M. 10. Abdul
Kholiq al-Ghujdawany Abdul Kholiq sering kali dianggap sebagai pendiri pertama Al-
Naqsyabandy. Beliaulah yang merumuskan delapan azas latihan spiritual yang dianggap paling
mendasar. Azas-azas ini berbahasa Parsi (Iran) dan itu bukan suatu kebetulan, sebab dari mana
Abdul Kholiq dan seterusnya (tetapi barangkali juga sudah mulai sejak masa Abu Yazid al-
Bisthomy, Thoriqot Al-Naqsyabandy berkembang dilingkungan yang berbahasa Parsi dan
selama berabad-abad semua tulisan tentang Thoriqot ini masih terus ditulis dalam bahasa Parsi.
Adapun delapan azas yang dikembangkan oleh Abdul Kholiq adalah sebagai berikut : a. Hus Dar
Dam; “Sadar waktu bernafas,” yaitu suatu latihan konsentrasi. Shufi yang bersangkutan haruslah
sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti di antara keduanya.
Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah memberikan kekuatan spiritual dan
membawa orang dekat kepada Allah. Lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan
membawa orang jauh kepada Allah (Mohammad. Amin al-Kurdy). b. Nazar Bar Qam; “Menjaga
Langkah,” yaitu sewaktu berjalan seorang shufi (murid) harus menjaga langkah-langkahnya. Hal
demikian itu dilakukan agar tujuan-tujuan ruhaninya tidak dikacaukan oleh segala hal
disekelilingnya yang tidak relevan (tidak ada hubungannya) c. Safar Dan Watan; “Melakukan
Perjalanan di Tanah Kelahirannya,” yaitu melakukan perjalanan bathin dengan meninggalkan
segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya
sebagai makhluk yang mulia, atau dengan penafsiran lain yaitu suatu perjalanan fisik melintasi
sekian negeri untuk mencari seorang mursyid sejati, atau kepada siapa seorang murid
sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaraannya dengan Allah (al-
Gumusykhawany). d. Khalwal Dar Anjuman; “ sepi da tengah keramaian. Beberapa pengarang
memberikan berbagai penafsiran. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa ( salik / santri
), anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai
menyibukan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya,
bahkan suatu berada di tempat keramaian. Yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut
serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya
senantiasa terpaut kepada Allah dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Al-Naqsyabandy
secara aktif di dalam politik dilegitimasi (mungkin juga dirangsang ) dengan mengacu kepada
asas ini. e. Yard Kard; “ ingat, menyebut,” yaitu terus menerus mengulangi menyebut nama
Allah atau dzikir tauhid ( berisi formula La Ilaha Illallah ) atau formula lainnya yang diberikan
seorang guru di dalam hati maupun dengan lisan. Oleh sebab itu bagi penganut Al-Naqsyabandy
dzikir itu tidak terbatas di lakukan secara berjamaah ataupun sendiri-sendiri setelah sholat, tetapi
terus-merus agar di dalam hatinya bersemayam kesadaran akan Allah secara permanen. f. Baz
Gasyt; “ kembali, memperbaharui,” yaitu agar senantiasa mengembalikan hati agar tidak
condong kepada sesuatu yang menyimpang atau melantur. g. Nigah Dasyt; “ waspada.”yaitu
menjaga fikiran dan perasan secara terus-menerus sewaktu melakukan dzikir untuk mencegah
supaya fikiran dan perasan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Allah dan untuk
memelihara fikiran, perasan dan perilaku seseorang agar sesuai dengan kalimah
tersebut.Muhammad Amin al-Qurdy mengutip perkataan seorang guru; “ Kujaga hatiku selama
sepuluh hari, kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.” h. Yad Dasyt; “ mengingat
kembali,” yaitu penglihatan yang diberkati yang langsung menangkap zat Allah yang berbeda
dari sifat dan asma’-nya,mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah dan beraneka ragam
ciptaan terus berlanjut ke yang terhingga.Penglihatan ini hanya mungkin dalam keadaan “jadzab”
(ditarik Allah) dan itulah derajat yang tertinggi yang dapat di capai. Pada masa beliau inilajh
disebut dengan masa “ Khawajagan” (baca ;Khojagan) atau para “Tuan Guru” sampai kepada
masa-masa berikutnya.Dan pada masa ini pula Al-Naqsyabandy memperoleh bentuk yang jelas
sebagai sebuah thoriqot. Proses ini dianggap selesai (sempurna) dengan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh Baha’uddin al-Naqsyabandy. Abdul Kholiq al-Ghujdawany wafat pada tahun 617
H.ataubeatepatan dengan 1220 M. dengan meninggalkan delapan asas spritual yang sangat
pokok hingga saat ini bagi thoriqot al- Naqsyabandy. 11. Arif al-Riwgory Arif al-Riwgory
adalah tokoh shufi dari rantai silsilah Al-Naqsyabandy yang berguru langsung kepada Abdul
Kholiq al-Ghujdawany (guru Al-Naqsyabandy generasi kesepuluh). Dalam literatur (sumber-
sumber informasi) tashawuf, nama beliau sangat jarang disebut. Namun secara lengkap mungkin
dapat diperoleh dari beberapa literatur biografi para guru (syekh) terkemuka thoriqat Al-
Naqsyabandi yang walaupun sangat jarang beredar di Indonesia seperti” Rasyahat Ain al-Hayat
“oleh Fakhruddin Ali Shafy dan dalam kitab “ Silsilama-i Khwajagan-i Naqsyaband “ oleh
Muhammad ibnu Husain Qozwini dan beberapa biograqfi terpisah tentang
Baha’uddin,Ubaidillah Ahror,Ahmad Sirhindi dan lain-lainnya. Arif al-Riwgory guru Shufi
generasi kelima ini wafat pada tahun 657 H. Atau bertepatan dengan tahun 1259 M. 12. Mahmud
Anjir al-Faghnawy Sebagaimana guru beliau Syekh Arif al-Riwgory, maka riwayat hidup
Mahmud Anjir al-Faghnawy juga sangat jarang diceritakan. Namunyang jelas beliau merupakan
murid langsung dari Arif al-Riwgory guru Al-Naqsyabandy genersi kesebelas. Mahmud Anjir al-
Faghnawy wafat pada tahun 643 H.atau bertepatan dengan tahun 1245 M.Tetapi ada pendapat
lain yang menerangkan bahwa beliau wafat pada tahun 670 H. Atau bertepatan dengan tahun
1272 M.13. Azizan Ali Ramithon Demikian juga dengan Azizan Ali al-Ramithony, maka
riwayat hidup beliau juga sangat jarang disinggung dalam sejarah tashawuf pada umumnya atau
pada thoriqat al-Naqsyabandy pada khususnya, kecuali dalam kitab-kitab biografi para guru al-
Nqasyabandi seperti yang telah disebutkan pada pembahasan terdahulu. Azizan Ali al-
Ramithony wafat pada tahun 705 H.atau bertepatan dengan tahun 1306 M. Tetapi ada pendapat
lain yang menerangkan bahwa beliau wafat pada tahun 721 H.atau bertepatan dengan tahun 1321
M. 14. Muhammad Baba al-Sammasy Muhammad Baba al-Sammasy adalah guru dari Amir
Sayyid al-Kulaly Al- Bukhaty Muhammad dan juga Baha’uddin al-Naqsyabandy,walaupun pada
akhirnya Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandy berguru (menjadi murid) secara penuh dari
khalifah (pemggati) Beliau yaitu Amir al-Kulaly al-Bukhary setelah beliau wafat. Muhammad
Baba al-Sammasy wafat pada 740 H. Atau bertapatan dengan tahun 1340 M. Tetapi ada pendapat
lain yang menerangkan bahwa beliau wafat pada tahun 755 H. Atau bertepatan dengan tahun
1354 M. 15.Amir Sayyid al-Kulaly al-Bukhary. Beliau adalah guru dari Muhammad Baha’uddin
al-Naqsyabandy setelah wafatnya Muhammad Baba al-Sammasy yang juga merupakan guru dari
Baha’uddin al-Nqasyabandy sebelumnya. Dalam sejarah thoriqat al-Naqsyabandy, beliaulah
yang mula-mula kembali melakukan dzikir keras disamping dzikir sir (diam) yang sejak masa
Abdul Kholiq norma dzikir al-Nqasyabandi hanyalah dzikir sir (diam). Namun sebelum masa
Abdul Kholiq, yaitu pada masa Abu Yusuf al-Hamadany (guru Al-Naqsyabandy generasi
kesembilan) pernah melakukan penggabungan dua methode tersebut. Adapun dzikir sir (diam)
tersebut tetap menjadi norma yang baku (norma utama) dan ciri khusus dari thoriqat ini yaitu
pada masa Baha’uddin al-Naqsyabandy setelah menerima pembaitan secara barzakhy dari Abdul
Kholiq al-Ghujdawany. Amir Sayyid al-Khulaly al-Bukhary wafat pada tahun 772 H. Atau
bertapatan pada tahun 1371 M. 16.Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandy Nama beliau adalah
Muhammad Baha’uddin al-Bukhary al-Naqsyabandy. Beliau dilahirkan pada tahun 717 H. Di
daerah Hinduan di kawasan Bukharo dan beliau adalah keturunan dari Abu Yusuf al-Hamadany.
Diberikan gelar al-Naqsyabandy karena mampu (piawai) menempa dan mengukir berbagai sifat
keutamaan dan kebaikan dalam hati setiap orang.Dan kepada gelar beliau tersebut thoriqat ini
dinisbahkan namanya yaitu “thoriqat al-Nqasyabandy.” Baha’uddin telah memperoleh dasar-
dasar ilmu keislaman di daerah kelahirannya yaitu Bukharo.Meskipun sudah diasa cukup, namun
beliau terus memperdalam ilmu keislamnya kepada guru-guru lain yang terkemuka. Adapun
ulama-ulama yang telah beliau timba ilmunya yang paling utama adalah Muhammad Baba al-
Sammasy dan khalifahnya Amir Sayyid al-Kulaly serta seorang ulama terkenal lainnya yaitu Arif
al-Dikarany. Beliau melanjutkan perjalanannya ke kota Damaskus dan bekerja di istana Sulthon
Kholil sebagai penasehat dalam bidang keagamaan setelah menyelesaikan pendidikannya di
lembaga milik Syekh Arif al-Dikarany. Beliau memulai kehidupannya sebagai seorang shufi
setelah beliau bekerja di istana selama dua belas tahun dan kemudian meneruskan perjalanannya
ke Zawatun. Di Zawatun inilah beliau mempelajari ajaran tashawuf dengan hidup secara zuhud
(sederhana), beliau mendekatkan diri kepada Allah dan senantiasa membina kehidupan yang baik
dengan sesama manusia dengan ara mengamalkan ilmunya,yaitu memberikan penyuluhan,serta
mengajarkan ilmu agama yang telah dimilikinya kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh
shufi ternama, maka beliau telah mengembangkan beberapa dasar pemikiran di antaranya, yaitu:
a. Beliau mengajarkan thoriqotnya atas dasar enam prinsip dasar tashawuf : 1. Al-Ilm
(Pengrtahuan) 2. Al-Shobr (Kesabaran) 3. Al-Him (kepatuhan, penurut) 4. Al-Ridho (Kerelaan)
5. Al-Ikhlas (Ihklas) 6. Al-Akhlaq Al-Karima (Perilaku Terpuji) b. Karena beliau adalah murid
Abdul Kholiq secara barzakhy, maka beliau menambahkan tiga asas dari delapan asas yang telah
dirumuskan oleh Abdul Kholiq,yaitu : 1. Wukuf-i al-Zamany; “ memeriksa penggunaan waktu
seseorang,” yaitu mengamati secara teratur sebagaimana seseorang menghabiskan
waktunya.Muhammad Amin al-Kurdy (pengarang kitab Tanwirul Qulub) mensyaratkan agar hal
ini dilakukan selama dua atau tiga jam perhari. Sebab jika seseorang terus-menerus sadar dan
tenggelam dalam dzikir dan melakukan perbuatan terpuji, maka hendaklah bersyukur kepada
Allah. Dan jika seseorang tidak ada perhatian atau melakukan perbuatan dosa, maka hendaklah
ia mohon ampun kepada Allah. 2. Wukuf-i A’dadi,” memeriksa hitungan dzikir,” yaitu dengan
berhati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir tanpa fikiran mengambang
kemana-mana. 3. Wukuf-i Qolbi;”menjaga hati agar tetap kontrol,”menjaga hati agar tidak sadar
kepada yang lain selain Allah. c. Mengharuskan setiap murid melalui pembinaan,yaitu: 1.
“Shubhat al-Syejh”, yaitu usaha terus-menerus dalam bentuk pengabdian dengan ihklas dan
tanpa pamri kepada syekh (guru). 2. “Al-Ribath,” yaitu uasaha untuk meningkatkan keterkaitan
dengan syekh kamil,bukan saja jasmani tapi juga ruhani. 3. “Al-Iltizam,” yaitu usaha tetapnya
seorang salik dalam bimbingan syekh kamil secara terus-menerus dan berkesinimbungan. 4. “Al-
Dzikir,” seorang salik harus melakukan dzikir secara terus-menerus (dzikir dain). d. Menekan
arti penting dari “Ruh”,sebab ruh adalah jisim yang halus, yamg tidak berkurang dalam jasad
kasar (bercampur) dan tidak pula terlepas ke luar.Oleh karena pentingnya ruh agar tidak
melupakan Allah, maka seseorang harus berdzikir terus-menerus. Adapuntentang dzikir, maka
pada masa inilah ditetapkan dzikir sir (rahasia) sebagai norma baku (tetap) dalam tradisi al-
Naqsyabandy. Dan sebagaimana juga telah diketahui bahwa Baha uddin telah belajar kepada
Baba al-Sammasy dan juga khalifahnya Amir Sayyid al-Kulaly yang menyebabkan beliau telah
memiliki mandat yang kuat sebagai pewaris tradisi “para khawajagan” atau “ para tuan guru.”
Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandy wafat pada tahun 791 H. Atau bertepatan pada tahun
1389 M. Di daerah Hinduan (tanah kelahirannya) saat beliau berusia 74 tahun dengan
meninggalkan pelajaran thoriqot yang terkenal sangat puritan (anti bid’ah dalam syara’) dan
terkenal sangat sungguh-sungguh menghindari pertunjukan musik dan sama’ dengan senantiasa
agar hukum Allah harus dapat diterapkan dalam aspek kehidupan. 17. Muhammad Ali Batu.
Beliau adalah Muhammad Ali Batu Bangke Ilang Sabil yang oleh para sejarawan lokal maupun
Belanda dianggap sebagai tokoh paling kharismatik sepanjang sejarah perjuangan rakyat
Lombok, pemersatu masyarakat khususnya umat islam baik dari kalangan bangsawan maupun
rakyat jelata dari perpecahan dan juga sebagai pejuang dalam perang melawan kekuasaan
penjajahan Hindu-Bali di Lombok. Dengan kharisma beliau yang luar biasa saat itu telah
menjadi modal utama dalam mempersatukan semua kalangan yang ada di Lombok yang terkenal
sangat sulit untuk diwujudkan dan kemudian membawa mereka kepada satu tujuan yaitu
perjuang suci. Keretakaan-keretakan hubungan masyarakat Lombok yang ada tersebut tidak
lepas dari keterbelakangan dan adanya perasaan yang selalu ingin menang sendiri di antara
mereka. Tengtang keadaan ini dapat diketahui dari Babad Lombok, Babad Selaparang, Babad
Sakre-Karang Asem dan beberapa laporan dari pemerintah Belanda,antara lain: a. Tentang
kharisma beliau yang luar biasa itu dapat diketahui dari sebuah laporan pemerintah Belanda yang
menjelaskan sebagai berikut: “Di tanah ini (Lombok), Haji Muhammad Ali menebarkan benih
thoriqotnya.......(yang menurut catatan Belanda disebut dengan “ Sekte Nakasabandrija”). Orang-
orang berdatangan kepada Mohammad Ali di Sakre minta dibiat masuk thoriqotnya, kaum
bangsawan dan juga rakyat jelata menganggap suatu keberuntungan apabila diperboleh
bergabung dalam barisan para murid yang melakukan ziarah ke tempat kediaman sang guru
suci......(Laporang Belanda,Minggu 28-10 s/d 4-11-1897(KV 28-11-1896,V19, hal 26-28). b.
Tentang ketolol-tololan dan keterbelakangan pemikiran yang membut orang Sasak saat itu selalu
terpecah-belah pada khususnya dapat di ketahui dari Babad Selaparang babd sakre-Karng Asem.
“Terkisahkan sekarang di Bali, sudah siap lengkap perbekalan dan senjata ,para Gusti di
perintahkan untuk mencari kapal layar tempat bekal mesin dan peluru. Ada bantuan dari
Tabanan, Buleleng, dan Mangwi juga ikut membantu.Begitulah ceritnya (persiapan itu) sangat
baik, kata musyawarah itu, “Raja Sasak itu semuanya tolol.”(Babad Selaparang Bait; 451) “
Mule meno kelampan Sasak, ndarak pade mele ngasorin, mele amesak-mesak, kewastuan pade
cerengeh,marak beberas pesiaq tetolang, ndarak pade likat mudi.....”(Babad Sakre-Karang Asem)
c. Tentang kepahlawanan beliau dan cita-cita perjuangannya yang suci dapat disimak dalam
laporan Van Der Krann (1980) yang mengutip pokok-pokok pembahasan Neeb & Asbeck Brusse
pada tahun 1897 dan dalam Babad Lombok II. “Pada tahun 1891 orang Muslim dari suku Sasak
di Lombok melakukan pemberontakan terhadap pemerintah raja Bali (Anak Agung Ngurah
Karang Asem). Ini bukanlah pemberontakan yang pertama, tetapi memeang yang paling dahsyat.
Berbeda dengan sebelumnya, maka pemberontakan kali ini tidak dapat di padamkan.
Pemberontakan ini telah menyababkan berakhirnya setengah Abad kekuasaan Bali di Lombok
dan mengundang campur tangan Belanda.”(Van Der Krann) Sedangkan dalam Babad Lombok II
dilukiskan tentang tujuan perjuangan suci itu sebagai berikut : “ Mun kesukaq Allah luih, Te
beriuk ngiring Tuan Guru, Turut perang sabil andang Bat, .................................................. Mun
te pade menang lemaq, Ite pade,ndek te buring te pegisiq, Rakse,dese,dasan te iriq,
...................................................... Petin kebon bangket te kawih ndidik anak jari, Gen payas
gumi Selaprang seseniq. Secara terperinci tentang sejarah kepahlawanan beliau ini dapat di baca
dalam Babad Sakre-Karng Asem.Babad ini belum lama berselang diterbitkan oleh Yayasan
Kerta Raharja di Sakra,berupa stensilan dengan catatan-catatan singkat oleh L. Djelenge. Adapun
khusus tentang sejarah perjalanan keguruan beliau dalam tashawuf(thoriqot), maka dapat
disimak dari kiah yang dituturkan oleh Bapak.Guru.Syekh Abdusshomad Habibullah sebagai
berikut: Sejarah keguruan Muhammad Ali berawal dari mimpi, dimana beliau dalam mimpi itu
bertemu dengan Baha’uddin al-Naqsyabandy atau dalam dialek(penyebutan) masyarakat Sasak
dikenal dengan nama Syekh Ba’idin yang memerintahkannya untuk melakukan suatu pelayaran
ke Mekkah dengan membawa perbekalan berupa 160 biji paku,sebuah palu dan sebuah sabuk
Saje sepanjang 40 Depa. Sampai pada mimpi yang ketiga beliau belum juga melaksanakan
perintah mimpi itu hingga akhirnya pada mimpi yang keempat beliau baru berlayar dengan
ditemani oleh seorang sahabatnya yaitu Guru Adam dari desa Aik Mual Praya. Dalam
perjalanannya, beliau menghadapi berbagai rintangan yang menyebabkan perahunya pecah.
GuruAdam dengan susah payah menyelamatkan diri dan akhirnya terdampar di desa Pengantap
Sekotong, sedangkan beliau juga berhasil menyelamatkan diri karena menemukan pohon Paok
Jenggik ( Paok ; Mangga ) yang tumbuh di tengah lautan.Kemudian teringat dengan bekal yang
ada, beliau pun mulai memanjat dengan menggunakan paku yang dibawanya hingga
menghabiskan 100 biji paku. Setelah sampai di atas pohon itu, beliau melihat buahnya yang
hanya berjumlah satu biji. Namun mendadak seketika itu seekor burung Garuda datang dengan
cepat dan memakan buah mangga itu hingga setengahnya. Kesempatan itu tidak disia-
siakan,beliau segera bersembunyi dan sangat hati-hati beliau mengeluarkan sbuk saje kemudian
mengikat dirinya di kaki burung itu.Karena burung itu hanya memakan setengahnya saja,beliau
berfikir.”Di sini tidak ada yang bisa saya makan kecuali buah ini.”Buah itu pun di makannya
hingga dirasa cukup sekedar untuk mengganjal perut. Setelah burung itu terbang jauh hingga
sampai ke tengah hutan yang dalam dialek Sasak disebut dengan hutan Serandik yang ada di
negeri Mesir.Beliau melepaskankan ikatan sabuknya untuk segera turun sebelum burung itu
sadar dan melihatnya.Malang baginya, di tengah hutan itu beliau di kepung sekawanan binatang
buas (srigala) yang menyebabkan harus segera menyelamatkan diri dengan memanjat sebatang
pohon dengan menggunakan sisa 60 biji paku yang dibawanya.Setelah beberapa saat,seekor
srigala yang merupakan raja sekawanan srigala itu segera memanggil srigala-srigala lainnya dan
kemudian beramai-ramai mengencingi batang pohon itu sehingga membuat batangnya menjadi
goyang.Melihat kondisi tersebut dengan cepat beliau mengikat kerisnya pada ujung sabuk saje
dan menjatuhkannya ke mulut srigala hingga akhirnya binatang itu mati. Melihat rajanya
mati,serta merta yang lainnya ketakutan dan segera melarikan diri. Dengan perasaan lega dan
penuh rasa syukur yang mendalam beliau segera turun untuk menguliti binatang itu hingga
kulitnya dapat dijadikan sebagai pakaian penghangat. Diperjalanan selanjutnya beliau melewati
sungai Nil, terdpat tempat di sungai itu yang airnya dapat dapat mengubah segala benda yang
jatuh didalam membatu(keras bagaikan batu).Hal terbusebut beliau menjadi takut dan ragu untuk
menyebrang. Beliau tudak berputus asa, segera di ambilnya debu untuk bertayamum dan
kemudian melaksanakan sholat sunat.Usai sholat beliau berdo’a mohon kepada Allah SWT.agar
segera di pertolongan dari kesulitan yang dihadapinya. Allah SWT.mengabulkan do’anya dengan
menurunkan hujan badai dahsyat yang menyebabkan sebatang pohon besar tumbang dengan
posisi melintang seperti sebuah titian di atas sungai itu.Dengan hati-hati beliau berjalan di atas
pohon yang tumbang itu dan berhasil melewati sungai terebut. Namun karena rasa penasaran
dengan apa yang di lihatnya, beliau mencoba untuk membuktikan dengan mencelupkan jari
telunjuknya kedalam sungai.Dengan kekuasaan Allah SWT. Jari beliau segera berubah membatu
(menjadi keras bagaikan batu) dan oleh karena jari yang telah membatu inilah akhirnya gelar
Muhammad Ali “ Batu “ dinisbahkan kepadanya. Singkat cerita sampailah beliau di sebuah desa
di negeri Mesir dan mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakatnya. Oleh
masyarakat setempat beliau kemudian diarak ke istana Raja (Sulthon). Karena Sulthon tertarik
dengan kulit binatang yang dibawanya, maka dibelinya kulit binatang itu seharga dengan empat
kantung uang dengan maksud untuk dijadikan jimat. Di desa itu beliau menginap di rumah
seorang penghulu agama yang menceritakan kepadanya bahwa Syekh yang selama ini bekiau
cari itu pada tiap tiga tahun sekali datang berkunjung ke desa tersebut dengan rupa yang berbeda-
beda dan itulah sebabnya mengapa ketika beliau datang ke desa itu di sambut dan diarak ke
istana raja.Hal itu tidak lain karena beliau dianggap sang Syekh.Penghulu itu juga menambahkan
bahwasanya Syekh tersebut kini sedang melakukan suluk di Jabalil Asir (gunung Asir) yang
terletak di negeri Yaman. Setelah mendengar cerita itu, Muhammad Ali mohon agar diantarkan
ke tempat tersebut. Penghulu itu menjawab bahwa ia tidak berani pergi ke tempat dimana Syekh
berkhalwat. Kemudian Muhammad Ali berkata:”Bila anda tidak berani (sanggup) ke tempat
itu,maka cukuplah anda tunjukan dimana arah menuju tempat itu.”Oleh penghulu itu permintaan
beliau dikabulkan. Kemudian meraka pun melakukan perjalanan ke tempat tujuan.Ketika mereka
telah dekat,penghulu itu kemudian menunjukan tempat yang oloeh Muhammad Ali merupakan
tempat yang tidak asing lagi baginya disebabkan beliau beberapakali melihatnya di dalam
mimpi.Dan sebagai tanda terima kasihnya atas pertolongan penghulu yang telah menunjukan
tempat itu,beliau menghadiahkan kepadanya seluruh uang (yang empat kantung) tanpa tersisa
sedikitpun. Ini merupakan I’tibar (contoh) bahwa ilmu hakikat adalah ilmu yang tidak ternilai
dan juga tidak bisa ditukar atau dibandingkan dengan harta berapapun banyaknya walau hanya
sekedar ditunjuki tempat menututnya saja, apa lagi sampai dapat menerimanya. I’brah ini hendak
menjadi renungan bagi setiap jama’ah untuk terus bersyukur kepada Allah SWT.karena tidak
semua orang mampu berfikir akan tingginya ilmu ini dan juga tidak semua orang sanggup
menghargainya sebagaimana Muhammad Ali telah menghargainya. &nbs ; Setelah itu beliau pun
bertemu dengan Syekh Ba’idin dan langs ng mengucapkan salam kepadanya.Namun beliau
sangat terkejut,sesampai di hadapan Syekh Ba’idin beliau bukannya mendapat sambutan
sebagaimana yang diharapkan,malah ebaliknya dapat makian.Syekh Ba’idin bertanya:”siapa
yang menyuruhmu kesini menemui saya ? “Muhammad Ali menjawab : “Anda wahai Syekh.”
Kemudian setelah itu oleh Syekh Ba’idin beliau dipersilahkan untuk segera memasuki ruang
Suluk (tempat khalwat / pertapaan).Ketika berada dalam pertapaan itulah ubun-ubun beliau di
usap oleh Syekh Ba’idin hingga menyebabkan beliau berteriak-teriak dan merasa ketakutan yang
luar biasa karena perlihatkan kepadanya keadaan siksa neraka yang konon saat itu sesaat terasa
seperti 70 tahun lamanya. Kejadian saat itu telah meninggal bekas yang sangat mendalam hingga
menyababkan beliau menyerah an hidup dan matinya kepada Syekh Ba’idin untuk mendapatkan
bimbingan.Oleh Syekh Ba’idin beliau kemudian di perintahkan untuk masuk kembali ketempat
khalwatnya yang kemudain ditutup dengan batu dan di tempat itulah beliau tinggal selama tiga
tahun. Sementara beliau berada di tempat khalwatnya tersebut,di Lombok sahabat beliau Guru
Adam kembali melakukan pencarian dengan tujuan agar dapat memukan beliau hidup atau
mati.Namun usaha pencarian itu hasilnya tetap nihil. Untuk kesekian kalinya allah
SWT.menunjukan kebesaran-nya, setelah berada selama tiga tahun di dalam batu tersebut,tiba-
tiba saja tatkala bangun beliau telah mendapatkan dirinya berada di rumahnya di desa
sakra.Keadaan ini bukan hanya mengejutkan dirinya namun juga bagi keluarga dan seluruh
masyarakat desa saat itu yang secara spontan membunyikan kentongan tanda bahaya karena
mendengar istri Muhammad Ali berteriak-teriak terkejut bahkan ketakutan tatkala tiba-tiba
melihat seorang lelaki tidur di dalam rumahnya.Hal tersebut dapat di pahami, sebab sebelumnya
beliau dianggap sudah meninggal ketika terdengar kabar perahu yang di tumpanginya pecah, dan
terlebih lagi usaha pencarian yang dilakukan oleh Guru Adam tidak menghasilkan apa-
apa.Keadaanpun kembali tenang setelah beliau menjelaskan kepada masyarakat semua peristiwa
yang di alaminya hingga akhirnya kembali ke desa Sakra. Selang beberapa waktu di Sakra,tiba-
tiba beliau mendapatkan sepucuk surat dari Ba’idin memerihtahkannya agar kembali berlayar ke
negeri Mekkah dengan pesan apabilah telah mendekati pelabuhan Jeddah nanti pada hari jum’at
tengah hari(sekarang kira-kira pukul 12:00 siang) untuk segera masuk ke sebuah masjid masjid
yang terletak di tengah lautan untuk melaksanakan sholat jum’at. Kemudian beliau berangkat
dan sampai di tempat itu pada waktu yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam surat.Ketika
beliau memasuki masjid,nampak suasana sepi tanpa seorang pun berada didalam.Namun keadaan
tiba-tiba berubah,dalam waktu sekejap entah darimana asalnya jama’ah yang terdiri dari para
waliyullah telqah memenuhi ruang masjid.Kemudian setelah khutbah jum’at Syekh Ba’idin
datang untuk mengimami sholat jum’at dam Muhammad Ali berdiri tepat di belakangnya. Usai
sholat,para waliyullah secara perlahan kembali menghilang dan keadaan pun kembali
menghilang dan keadaan pun kembali kecuali beliau dan Syekh Ba’idin.karena khawatir Syekh
Ba’idin juga akan meninggalkan tempat itu,segera beliau ikatkan jarinya ke surban Syekh
Ba’idin hinggaketika sang Syekhhendak meninggalkan tempat itubeliau merasa dad yang
menarik surbannya.Syekh Ba’idin pun tau kalau Muhammad Ali ada berada di belakangnya dan
dengan segera kemudian beliau memanggil kembalijama’ah sholat jum’at (para waliyullah)
untuk berkumpul serta mengumumkan bahwa Muhammad Ali adalah tempat menutup segala
pangajian.dan di masjid inilah Muhammad Ali untuk pertama kalinya menerima tawajjuh
sekligus mandat dari Syekh Ba’idin sebagai Guru ilmu hakikat. Singkat cerita,setelah itu beliau
berhaji dan kemudian beliau kembali ke Lombok,untuk memberi pengajian kepada masyarakatdi
pulau Lombok,menegakkan kebenaran memimpin mereka untuk mencapai kemerdekaan dari
tangan penjajahan Hindu-Bali sebagaimana telah dikisahkan. Dengan damikan,maka hubungan
antara Muhammad Ali Batu dengan Baha’uddin Naqsyabandy bukanlah hubungana keguruan
yang bersifat Barzakhi atau Uwaisy karena pertemuan tersebut bukan dalam wujud ruhani
(dalam ruhani ataupun dalam mimipi),namun pertemuan langsung secara dhohir(nyata)
walaupun sebagaimana telah dikisahkan bahwa jarak kehidupan di antara keduanya adalah
sekitar 500 tahun (Baha’uddin wafat pada tahun 1389 M. Dan Muahammad Ali pada tahun 1892
M.) dan jalur keguruan seperti ini sangat terjadi dalam sejarah pada shufi. Adapun jalur seperti di
atas dalam sejarah keguruan para shufi pernah terjadi pada Syekh Abdul Karim al-Jilli dengan
Nabi Muhammad SAW.sebagaimana beliau kisahkan dalam kisahnya al-Insan al-Kamil fii
Ma’rifati Awaakhiri wal Awaalihi menjelaskan : “ Suatu ketika saya pernah bertemu dengan dia
dalam bentuk persis seperti Syekh saya Syarafuddin Isma’il al-Jabarty,tetapi saya tidak
mengetahui bahwa dia (Syekh) itu sebenarnya adalah Nabi Muhammad, karena setehu saya
bahwa dia (Nabi) itu adalah Syekh.Ini adalah suatu penglihatan yang saya dapati di Zabit Yaman
pada tahun 796 H (1393 M.).Maka hakikatnya yang ada dalam peristiwa itu adalah bhwa Nabi
Muhammad mempunyai kekuatan unmenampilkan diri dalam setiap bentuk.” Haji Muhammad
Ali Batu sang Guru suci,pemersatu umat danpahlawan pada perang Lombok itu wafat pada
tanggal 15 Maulid 1310 H. Atau bertepatan tanggal 7 Oktober 1892 dalam suatu pertempuran
yang menyebabkan beliau mendapatkan gelar Muhammad Ali Batu “ Ilang Sabil “yang artinya “
Mati syahid “dan dimakamkan di desa Sakra Lombok Timur. 18. Abdusshomad AL-Haqqy
Habibullah. Beliau adalah Shomad bin Nursiah bin kiyah bin Raden Kerta Bayan,Beliau lahir di
desa Taman Daya Puyung Lombok Tengah.Datuk beliau yaitu Raden KertaBayan seorang
bangsawan Bayan yang Masyur di Bayan Beleq yang makamnya terletak persis di sebelah kiri
Masjid Kuno. Makam tersebut oleh sebagian masyarakat sasak disebut degnan Makam Read
(Beleq atau Datuk) sedangkan olehsebagian lainnya di sebut sebagai makam Syekh Gaust Abdul
Rozaq salah seorang Wali besar yang terkenal di pulau Lombok. Beliau menamatkan sekolahnya
pada tahun 1937 di kota Praya yang saat itu sekolahnya hanya sampai di kelas lima dan jika
hendak melanjutkan ke yang lebih tinggi maka harus ke kota Mataram pada sekolah khusus
Belanda.pada saat itu pula(setelah tamat) beliau langsung menerima tawaran untuk menjadi
Jaksa di kota Praya,namun beliau menolaknya. Sebagai seorang pengamal ilmu Hakikat yang
kuat,maka dari pribadi beliau terpancar pula pengaruh ilmu tersebut. Beliau terkeal jujur dalam
menyampaikan suatu amanat, lemah lembut dan ramah dalam bergaul dengan setiap orang
terutama para jama’ahnya (tidak suka menonjolkan perbedaan dan mengutamakan kesamaan
derajat), sabar dalam menerima berbagai cobaan berat,tegas dalam berbicara (tidak suka plin-
plan) ,berani dalam membela apa yang diyakininya benar bila hal itu sesuai dengan Al-Quran
dan al-Hadist. Pada usia yang relatif masih muda yaitu pada usia 15 tahun, beliau telah
menunjukkan bakat dan ketertarikan yang mendalam untuk menuntut ilmu thoriqot dan hakikat.
Hal tersebut dapat diketahui dari banyaknya para guru yang beliau pernah timba ilmunya, di
antaranya : a. TGH. Abdul Mu’in di desa Pagutan b. Guru.Rukiq di desa Selagalas c. Guru Udin
di desa Aik Mual Praya d. Guru Tasiah di desa Montong Sapah e. TGH.Arif di desa Sesanggok
Gerung. f. TGH. Ma’mum di Praya. Dari sekian guru yang pernah beliau timba ilmunya tersebut,
maka yang di sebut terakhir itu TGH.Ma’mum adalah satu-satunya tempat beliau menerima
Bai’at. Ada suatu riwayat yang langsung diceritakan oleh beliau tentang asal-muasal
ketertarikannya dalam menuntut ilmi Hakikat ini. Menurut beliau,ketertarikan ini tidak lepasdari
sebuah petunjuk mimpi yang benar (Ru’yah al-Shodiqoh) dari Allah SWT. Pada suatu malam
dalam tidurnya beliau bermimpi menaiki (memanjat) sebatang pohon Asem (Bageq; Sasak)
sambil menggendong Matahari. Dari tafsir mimpi tersebut mengisyaratkan bahwa suatu hari
nanti beliau akan memperoleh kedudukan yang tinggi yang bersifat keduniaan seperti jabatan
maupun bersifat ukhrawi (akhirat) seperti ketinggian martabat rohani yang sangat tinggi yang
pengaruhnya (sinarnya) tak tertandingi dan tersebar ke setiap penjuru. Namun hal tersebut tentu
dengan syarat beliau menghendakinya. Di antara dua pilhan tersebut, maka dengan Hidayah dan
Inayah Allah SWT.beliau memilih kedudukan ukhrawy yang berupa ketinggian martabat rohani
dan hal ini di buktikan dengan penolakan beliau terhadap jabatan Jaksa di Praya serta kedudukan
beliau sekarang sebagai Mursyd Thoriqot Haq Naqsyabandy. Selama sekian puluh tahun beliau
menuntut ilmu thoriqot dan Hakikat pada sekian banyak guru tersebut belum mampu
memberikan jawaban yang menyakinkan serta fikiran beliau masih diliput oleh kebingungan
dengan apa yang di perolehnya.kemudian pada tahun 1950-an, beliau baru memperoleh ilmu
yang sejati tentang kebenaran setelah bertemu dengan guru beliau Syekh Ahmad Dahlan al-
Subaikah yang menetap di Gawah (hutan) Semotoh Mantng Lombok Tengah. Oleh gurunya pada
tahun 1958 beliau diizinkan untuk memberikan pelajaran (membuka sebuah perguruan) di desa
Puyung. Namun sampai akhir tahun 1950-an, beliau belum membuka perguruannya secara resmi
sampai datangnya sebuah petunjuk yang jelas tentang kewajiban beliau untuk menyebarkannya.
Pada sekitar tahun 60-an, beliau menerima pembai’atan Thoriqot Haq Naqsyabandysecara
berzakhi dari Syekh Muhammad Ali Batu Bangke sehingga karena hubungan keguruan itulah
beliau jga bergalar Syekh Abdussomad Habibullah Ibnu Akhiroty Min Syekh Muhammad Ali
Batu Bangke atau kedudukan sebagai putra Syekh Muhammad Ali pada martabat ruhaninya.Pada
saat itu juga beberapa jama’ah yang terbuka hijabnya seperti Mamiq Sunan dan Amaq Kholnah
dari Persil menjelaskan dari terbukanya itu bahwa hubungan keguruan beliau langsung ka Syekh
Muhammad Ali Batu kemudian ke Syekh Baha’uddin al-Naqsyabandy dan terakhir langsung
kepada Nabi Muhammad. Silsilah pendek (ringkas) inilah yang sering dibacakan kepada para
jama’ah disetiap perayaan ulang tahun perguruan hingga suatu saat pernah menimbulkan
permasalahan, yaitu sillsilah di anggap mengada-ada atau meragukan (karena terlalu ringkas dan
anggap sebagai suatu silsilah yang tidak lazim). Oleh KH.Ahmad Usman yang hadir ketika itu
diberikan jawaban sebagai berikut : “ hendaknyalah kalian tidak mempersalahkan
(mempertanyakan) dari mana asal-usul suatu peguruan, karena kalian tidak pernah tahu
bagaimana ilmu suatu perguruan itu diperoleh. Namun yang hendaknya kalian pertannyakan
adalah apakah ilmu perguruan itu telah sesuai dengan tuntutan dari Al-Quran dan al-Hadist,
sebab percuma saja bila suatu perguruan apabila mengaku-ngaku mempunyai dasar silsilah yang
jelas namun isi (ilmunya) yang terkandung dalam ajaran perguruan itu menyesatkan (tidak sesuai
dengan al-Quran dan al-Hadits).” Dan khusus tentang catatan lengkap hasil terbukanya jama’ah
ini telah di kumpulkan oleh putra beliau H. Muhammad Ali Bagi Harta. Adapun gelar”
Habibullah,” maka hal itu merupakan gelar yang langsung di anugrahkan baginda Nabi
Muhammad kepada beliau. Sedangkan dari salah seorang yang berasal dari Pontianak yaitu
Zuhdi dari hasil terbukanya menjelaskan bahwa beliau telah mendapatkan gelar baru yaitu “ al-
Haqqy.”Sehingga lengkapnya menjadi Syekh Abdussomad Al-Haqqy Habibullah. Pada awal
pembukaannya,yaitu pada hari senin 1 April 1960 / 5 zulqoidah 1380 H. jama’ah baru berjumlah
10 orang yang berasal dari desa di sekitar desa Puyung dan saat itu tempat pengajian dilaksanakn
di sebuah rumah sedrhana yang beratap alang-alang dan bar di antara tahun 1960-1963 dapat
dirikan sebuah santren darurat sebagai tempat mengaji para jama’ah.Baru kemudian pada tahun
1967 di antara jama’ah mulai ada yang terbuka hijab. Sebagai sebuah perguruan baru saja berdiri
tentu tidak lepas dari berbagai rintangan dan tantangan terlebih lagi bila ajaran dalam perguruan
itu oleh sebagian besar masyarakat di anggap sesuatu yang asing ditambah dengan berbagai
statement (pernyatan) dari beberapa Tuan Guru yang tak pernah bersimpati bahkan ada yang
mengharamkannya. Pada tahun 1967-1968 merupakan masa yang paling sulit bagi beliau, karena
lebih dari sepuluh kali beliau mendapatkan panggilan polisi dan di hadapkan ke pengadilan
untuk menjelaskan berbagai tuduhan (fitnah) yang dilontarkan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab yang sangat membenci ajaran ini serta beberapa ujian fisik seperti
pelemparan Batu dan sebagainya ke tempat beliau mengajar.Namun hal tersebut tidak membuat
beliau getar, bahkan sebaiknya di anggap merupakan sebuah tantangan yang membutuhkan
jawaban untuk di selesaikan. Sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah pepatah orang-orang
bijak : Berakit-Rakit Ke Hulu, Berenang-Renang Ke Tepian. Bersakit-Sakit Dahulu, Bersenang-
Senang Kemudian. Hal tersebut nampaknya terjadi pada perjalanan perjuangan beliau sebagai
buah dari kesabaran akan segala cobaan yang menimpa beliau selama ini. Tepatnya pada tahun
1976,perguruan ini di sahkan oleh Kakanwil Depag NTB bapak HL.Nuruddin, SH yang di
saksikan oleh K.H. Ahmad Usman (Mantan ketua MUI NTB) yang saat itu masih menjabat
sebagai Kepala Penerangan TK. I NTB dan bapak L. Once Kakandepag Praya. Dealam
kesempatan inilah bapak L. Once menyata kesiapannya untuk membela ajaran yang benar ini
deng berkata : “ajaran ini ajaran benar,siapapun yang akan menyalahi perguruan ini,maka
sayalah yang akan menjadi musuhnya,” Adapun jumlah jama’ah thoriqot ini beberapa tahun
kemudian menunjukkan perkembangan yang sang signifikan, tepatnya mulai tahun 1980-an
jama’ah yang berasal dari luar desa Puyung di seluruh Lombok mulai berdatangan. Kemudian
pada tahun 1990-an merupan masa-masa perkembangan yang paling mengembiraka karena para
jama’ah tidak hanya berdatangan dari daerah Lombok,namun juga dari beberapa daerah di luar
pulau Lombok seperti Jawa,Madura,Bali,Sumbawa,Bima,Dompu Sulawesi,dan Kalimantan.
Sesuai dengan sebuah petunjuk hasil terbuka seorang jama’ah yang di terima dari Datok Sakre
(Syekh H. Muhammad Ali Batu),menjelaskan bahwa mulai pada tahun 2000 jama’ah akan
datang dari berbagai penjuru negeri. Hal itu kemudian terbukti dengan datangnya beberapa
jama’ah dari berbagai negeri seperti Belanda,Tunisia,dan dari negeri Jiran Malaysia.Sehingga
jumlah jama’ah secara keseluruhan menurut data yang ada mulai tahun 1960-2003 ini di
perkirakan berjumlah 5000-6000 0rang jama’ah. Dengan demikian,perkembangan Thoriqot Hqa
Naqsyabandi ini sekali lagi tidak lepas dari kegigihan Bapak Guru Syekh Abdussomad al-Haqqy
Habibullah yang senantiasa bercita-cita agar ajaran yang bersumber langsung dari Rasulullah
yang diterima di Gua Hiro ini dapat tersebar luas dan tidak punah (hilang). Khusus tentang kata “
Haq “ pada nama Thoriqot ini menurut perjelasan langsung beliau merupakan penegasan jati diri
sebagai suatu ajaran yang benar-benar sejati yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadist.
Sebab banyak thoriqot yang mengaku Naq-syabandy namun sebenarnya Nuq-
syabandy.Naqsyabandy berarti lukisan yang berada pada badan “ruh” (badan halus). Sedangkan
Nuqsyabandy yang kata Nuq berasal dari kata “Nuqus” berarti lukisan yang berada di badan
dhohir (badan kasar). Sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam bidang keagamaan tentu
regenerasi merupakan suatu keniscayaan (keharusan), karena hal itu sangat berhubungan erat
dengan masa depan (kelanjutan) dari suatu gerakan keagamaan.Pada tanggal 10 Juni 1966 sesuai
dengan petunjuk Datuk Sakre (Syekh Muhammad Ali Batu) dan Datuk Mambalan (atau oleh
masyarakat Mambalan disebut sebagai L.Gede Batu Riti)telah menunjuk putra beliau (yang saat
itu belum lahir) yaitu Muhammad Ali Bagi Harta sebagai pengganti Bapak Guru dan nama
Muhammad Ali Bagi Harta juga merupakan nama yang di berikan langsung oleh mereka .
Kendati demikian,pengesahan secara resmi baru dapat di laksanakan pada tahun 1990-an pada
saat Ulang Tahun Perguruan yang saksikan oleh Ketua MUI Bapak KH. Ahmad Usman dan
seluruh jama’ah thoriqot Haq Nqasyabandy.

Read more at: http://alifbraja.blogspot.com/2012/09/silsilah-tashawuf-lombok-tengah-ntb.html


Copyright © ALIFBRAJA|alifbraja.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution

Anda mungkin juga menyukai