Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita sering mendengar pertanyaan, “Apakah penyakit ini menurun?”
Dalam beberapa hal, pertanyaan tersebut tidak tepat. Faktor intrinsic hampir selalu
terlibat dalam penyakit. Karena itu sebaiknya pertanyaan tersebut diungkapkan
sebagai berikut, “Sampai seberapa jauhkah pentingnya faktor keturunan pada
penyakit ini?” Walaupun pada penyakit infeksi yang jelas penyebabnya eksogen,
faktor genetik dapat dan mempengaruhi kepekaan terhadap agen yang menular
tersebut dan terhadap pola penyakit yang ditimbulkannya.
Berdasarkan alasan analitis, genetika terutama terpusat pada ciri-ciri yang
di dalamnya hereditas tampak menonjol dan faktor lingkungan dapat diabaikan.
Tetapi hal ini tidak bisa dipungkiri memberikan gambar satu sisi karena gen suatu
individu tidak berfungsi in-vacuo. Mereka beraksi dalam seperangkat kondisi luar
tertentu, dan banyak ciri-ciri manusia dan penyakit yang penyebab pentingnya
tampaknya adalah sekaligus faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu dalam
hal ini penting sekali untuk memahami bagaimana konstitusi genetik individu bisa
terungkap secara berlainan pada keadaan lingkungan yang berbeda. Tetapi
masalah penguraian peran hereditas dan lingkungan dalam keadaan dimana
keduanya tampak merupakan penyebab penting, secara analitis bersifat kompleks
dan secara konseptual sering tampak sulit.
Dengan memperhatikan keseimbangan relatif antara keturunan dan
lingkungan sebagai penyebab timbulnya penyakit, terdapat spektrum yang lebar.
Pada ujung yang satu dari spektrum itu terdapat penyakit-penyakit yang terutama
ditentukan oleh beberapa agen lingkungan terlepas dari latar belakang keturunan
individu, sedangkan pada ujung yang lain terdapat penyakit-penyakit yang
merupakan akibat dari perencanaan susunan genetik yang salah. Penyakit-
penyakit yang terakhir ini mencakup yang biasanya disebut sebagai penyakit
keturunan, penyakit yang diwujudkan pada hampir setiap orang pembawa
informasi genetik yang salah tanpa mengindahkan pengaruh ekstrinsik. Hampir
semua penyakit pada manusia berada diantara kedua ujung spektrum ini dan
kedua faktor tersebut, baik faktor genetik maupun faktor ekstrinsik,SALING
mempengaruhi secara bermakna.
1. Struktur dan Fungsi DNA
DNA dibentuk oleh dua untaian susunan molekul fosfat dan deoksiribosa
secara bergantian dengan satu basa purin (adenine atau guanine) atau satu basa
pirimidin (timin atau sitosin). Dalam satu nukleotida terdapat satu deoksiribosa,
satu kelompok fosfat, dan satu basa, dan satu untai DNA merupakan
polinukleotida. Basa tersusun seperti anak tangga dan deoksiribosa dan kelompok
fosfat tersusun seperti tiang dari tangga tersebut. Kedua untai tersebut terkait pada
satu aksis yang sama dan membentuk heliks ganda. Urutan basa pada satu untai
berpasangan secaraSALING melengkapi dengan basa yang berada pada untai

1
yang lain, sehingga adenine (A) pada untai yang satu selalu berpasangan dengan
timin (T) pada untai yang lain, dan guanine (G) selalu berpasangan dengan sitosin
(C). Pasangan basa ini diikat menjadi satu oleh ikatan hidrogen. Sewaktu terjadi
replikasi DNA, maka urutan basa pada untai yang satu secara “otomatis”
menentukan urutan basa pada untai yang lain. Dalam tahap persiapan pembelahan
sel, untaian-untaian dalam heliks ganda berpisah dan masing-masing berfungsi
sebagai tempat sintesis dari pasangan untaian yang baru.
DNA membawa informasi genetik dalam bentuk kode, kode tersebut
disusun dengan memakai dua basa purin dan dua basa pirimidin. Tiga dari basa-
basa ini dalam susunannya pada kode molekul DNA diperlukan untuk asam
amino tertentuk dan dipakai sebagai sisipan pada peptida yang sudah ada. Basa-
basa ini menyalurkan semua informasi yang diperlukan untuk sintesis protein.
Suatu urutan tiga basa seperti ini disebut kodon. Pasangan basa sangat penting
selama proses biosintesis protein, baik untuk RNA demikian juga untuk DNA.
Sebenarnya semua DNA yang berada di dalam sel berkedudukan di nucleus,
sedangkan sintesis protein dari asam amino terjadi dalam sitoplasma. RNA
memainkan peranan sebagai perantara dalam menyalurkan kode informasi dari
nukleus ke sitoplasma, kemudian membantu pembentukan rantai peptida.
Pada sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir di seluruh bagian
nukleus. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya
untuk membentuk untaian kromosom. Gen merupakan sub unit dari kromosom.
Gen adalah bagian DNA yang menentukan produksi polipeptida yang
mengendalikan perkembangan satu sifat bawaan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom atau 23
pasang, merupakan susunan diploid. Dari 23 pasang ini, 22 pasang disebut
sebagai otosom, dan satu pasang kromosom seks. Wanita memliki dua kromosom
X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam
terminology standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46XX, seorang pria
normal ditandai dengan 46XY. Gen-gen dari seorang individu
membentuk genotip; ekspresi luar dari genotip, atau penampilan luar dari seorang
individu disebut fenotip.
Kromosom dapat divisualisasi dan dipelajari dalam susunan yang
disebut kariotip. Untuk menentukan kelainan-kelainan yang terjadi, sel-sel dari
seorang individu, biasanya sel darah putih, ditanam pada medium pembiakan dan
diinduksi untuk membelah. Mitosis dihambat dengan menggunakan bahan kimia
sewaktu berada dalam metafase, karena untaian kromosom terlihat paling jelas.
Setelah diwarnai maka dilakukan pemotretan kromosom, pasangan-pasangan
kromosom dapat dikenal melalui ukurannya, posisinya dari sentrometer, dan
panjangnya lengan. Kecuali kromosom seks, pasangan-pasangan kromosom lain
tersusun dalam format standar.

2
1.2 Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud Penyakit Genetik ?
B. Apa saja Penyakit Genetik ?
C. Apa saja Diagnostik Penyakit Genetik ?
1.3 Tujuan
A. Mengetahui Penyakit Genetik dan contohnya.
B. Mengetahui beberapa Macam Diagnostik Penyakit Genetik.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyakit Genetik


Penyakit genetik atau kelainan genetik adalah sebuah kondisi yang
disebabkan oleh kelainan oleh satu atau lebih gen yang menyebabkan sebuah
kondisi fenotipe klinis.
Secara klinis, penyakit genetik terbagi atas 2 kelompok yang
berhubungan dengan:

1. Kelainan kromosom
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh kelainan kromosom adalah
sebagai berikut:

a. Sindrom Jacobs (47, XYY atau 44A + XYY)


Penderita mempunyai 44 Autosom dan 3 kromosom kelamin (XYY). Kelainan
ini ditemukan oleh P.A. Jacobs pada tahun 1965 dengan ciri – ciri pria
bertubuh normal, berperawakan tinggi, bersifat antisosial, perilaku kasar dan
agresif, wajah menakutkan, memperlihatkan watak kriminal, IQ dibawah
normal.

b. Sindrom Klinefelter (47, XXY atau 44A + XXY)


Penderita mempunyai 44 Autosom dan 3 kromosom kelamin (XXY). Kelainan
ini ditemukan oleh H.F. Klinefelter tahun 1942. Penderita berjenis kelamin laki
– laki tetapi cenderung bersifat kewanitaan, testis mengecil dan mandul,
payudara membesar, dada sempit, pinggul lebar, rambut badan tidak tumbuh,
tubuhnya cenderung tinggi (lengan dan kakinya panjang), mental terbelakang.

c. Sindrom Turner (45, XO atau 44A + X)


Penderita mempunyai 44 Autosom dan hanya 1 kromosom kelamin yaitu X.
Kelainan ini ditemukan oleh H.H. Turner tahun 1938. Penderita Sindrom
Turner berkelamin wanita, namun tidak memiliki ovarium, alat kelamin bagian
dalam terlambat perkembangannya (infatil) dan tidak sempurna, steril, kedua
puting susu berjarak melebar, payudara tidak berkembang, badan cenderung
pendek (kurang lebih 120 cm), dada lebar , leher pendek, mempunyai gelambir
pada leher, dan mengalami keterbelakangan mental.

d. Sindrom Cri du chat


Anak yang dilahirkan dengan delesi pada kromosom nomor 5 ini mempunyai
mental terbelakang, memiliki kepala yang kecil dengan penampakan wajah
yang tidak biasa, dan mwemiliki tangisan yang suaranya seperti suara kucing.
Penderita biasanya meninggal ketika masih bayi atau anak – anak.

4
2. Penyakit Defek Gen Tunggal
Defek pada gen dan tidak dapat dilihat pada analisis kromosom, tapi dapat
dianalisis dari family tree atau dengan pemeriksaan biokimia dan tes biologi
molekuler. Golongan ini dikenal sebagai penyakit akibat defek gen tunggal yang
digolongkan sebagai mutasi baru atau penyakit keturunan yang diturunkan seperti:

a. Penyakit autosomal dominan

1. Huntington
Huntington merupakan suatu penyakit karena terjadi degenerasi sistem saraf
yang cepat dan tidak dapat balik. Penderita menggelengkan kepala pada satu
arah. Huntington disebabkan oleh alel dominan (H). Oleh karena itu, dengan
satu alel H saja semua individu yang heterozigot akan mendapatkan
Huntington. Individu normal mempunyai alel resesif (hh).

2. Polidaktili
Polydactyly ialah terdapatnya jari tambahan pada satu atau kedua tangan /
kaki. Tempat jari tambahan itu berbeda - beda , ada yang terdapat dekat ibu
jari dan ada pula yang terdapat dari jari kelingking.

b. Penyakit autosomal resesif

1. Anemia sel sabit


Penyakit anemia sel sabit disebabkan oleh substitusi suatu asam amino
tunggal dalam protein hemoglobin berisi sel sel darah merah. Ketika
kandungan oksigen darah individu yang diserang, dalam keadaan rendah
(misalnya pada saat berada ditempat yang tinggi atau pada wktu mengalami
ketegangan fisik), hemoglobin sel sabit akan mengubah bentuk sel – sel
darah merah menjadi bentuk sabit. Individu yang menderita anemia sel sabit
disimbolkan dengan ss. Sedangkan individu normal memiliki genotipe SS
dan karier anemia sel sabit disimbolkan dengan Ss.

2. Albino
Kata albino berasal dari albus yang berarti putih.Kelainan terjadi karena
tubuh tidak mampu membentuk enzim yang diperlukan untuk merubah
asam amino tirosin menjadi beta-3,4-dihidroksipheylalanin untuk
selanjutnya diubah menjadi pigmen melanin. Pembentukan enzim yang
mengubah tirosin menjadi melanin, ditentukan oleh gen dominan A,
sehingga orang normal mempunyai genotipe AA atau Aa, dan albino aa.

3. Phenylketonuria
Phenylketonuria merupakan suatu penyakit keturunan yang disebabkan oleh
ketidakberesan metabolisme, dimana penderita tidak mampu melakukan

5
metabolisme fenilalanin dengan normal. Asam amino ini merupakan bahan
untuk mensintesis protein, tirosin dan melanin. Sebagian fenilalanin diubah
menjadi fenil piruvat. Gejala penyakit ditandai dengan bertimbunnya asam
amino dalam darah yang banyak terbuang melalui urin, mental terbelakang
(IQ 30), rambut putih, mata kebiruan (produksi melanin kurang baik),
bentuk tubuh khas seperti orang psychotic, gerakan menyentak – nyentak
dan bau tubuh apak. Bayi yang menderita phenylketonuria mengandung
kadar fenilalanin yang tinggi di dalam darah dan jaringan, karena tidak
memiliki enzim phenylalanin hidroxylase, yang mengubah fenilalanin
menjadi tirosin. Asam phenylpiruvatpun meningkat, diekskresi melalui urin
dan keringat, sehingga tubuh berbau apak. Kadar fenilalanin yang tinggi
dapat merusak otak bayi, dan mundurnya kejiwaan setelah berumur 6 tahun.
Penderita mempunyai genotip phph (homozigot resesif). Orang normal
mempunyai genotip PhPh (homozigot dominan) dan Phph (heterozigot).

c. X-linked resesif.
1. Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter yang paling sering
dijumpai. Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII atau faktor IX
sehingga dapat dikelompokkan menjadi hemofilia A dan hemofilia B.
Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit
resesif terkait –X, yang disebabkan karena tidak adanya protein tertentu
yang diperlukan untuk penggumpalan darah, atau kalaupun ada kadarnya
rendah sekali. Umumnya luka pada orang normal akan menutup (darah akan
membeku) dalam waktu 5 – 7 menit. Tetapi pada penderita hemofilia, darah
akan membeku 50 menit sampai 2 jam, sehingga mudah menyebabkan
kematian karena kehilangan terlalu banyak darah. Perempuan yang
homozigot resesif untuk gen ini merupakan penderita (XhXh), sedangkan
perempuan yang heterozigot (XhXH) pembekuan darahnya normal namun ia
hanya berperan sebagai pembawa / carier. Seorang laki – laki penderita
hanya mempunyai satu genotip yaitu (XhY).

2. Buta Warna
Penderita tidak dapat membedakan warna hijau dan merah , atau semua
warna. Individu yang buta terhadap warna hijau (tipe deutan) dan merah
(tipe protan) dikarenakan individu tersebut tidak mempunyai reseptor yang
dapat mendeteksi cahaya pada panjang gelombang hijau atau merah. Buta
warna merupakan penyakit yang disebabkan oleh gen resesif c (color blind)
yang terdapat pada kromosom X. Perempuan normal mempunyai genotip
homozigotik dominan CC dan heterozigotik Cc, sedangkan yang buta warna
adalah homozigotik resesif cc. Laki – laki hanya mempunyai sebuah
kromosom-X, sehingga hanya dapat normal XY atau buta warna XY.

6
3. Sindrom Fragile X
Nama sindrom fragile diambil dari penampakan fisik kromosom X yang
tidak normal. Bagian kromosom X yang mengalami konstriksi (pelekukan)
dibagian ujung lengan kromosom yang panjang. Dari semua bentuk
keterbelakangan mental yang disebabkan oleh faktor genetik, bentuk yang
paling umum adalah fragile.

4. Sindrom Lesch-Nyhan
Penyakit ini timbul karena adanya pembentukan purin yang berlebihan.
Sebagai hasil metabolisme purin yang abnormal ini, penderita
memperlihatkan kelakuan yang abnormal, yakni kejang otak yang tidak
disadari serta menggeliatkan anggota kaki dan jari – kari tangan. Selain dari
itu penderita juga tuna mental, menggigit serta merusak jari – jari tangan da
jaringan bibir. Semua penderita adalah laki – laki dibawah umur 10 tahun,
dan belum pernah ditemukan pada perempuan.

2.2 Uji Diagnostik Pemeriksaan Penapisan Fenotipe


Dalam hal penyakit genetis, deteksi dini secara molekuler saat ini sudah
mulai digunakan untuk beberapa jenis penyakit keturunan. Pengobatan penyakit
genetis tentu tidak dapat dilakukan dengan cara pengobatan kimia konvensional
karena penyakit ini disebabkan oleh adanya mutasi pada tingkat DNA atau RNA.
Penggantian DNA yang mengalami mutasi menjadi DNA normal dan dimasukkan
kembali ke dalam tubuh saat ini masih merupakan tujuan jangka panjang. Metode
pengobatan ini dinamakan gene therapy.
Kurang lebih 0,6% neonates memiliki kelainan kromosom mayor yang
dapat menyebabkan peningkatan morbiditas atau mortalitas. Tetapi, sebagian
besar kalainan kromosom menyebabkan kematian, dan hasil konsepsi lenyap pada
tahap tertentu dalam kehamilan atau tidak melekat pada uterus. Sekitar 50% dari
embrio dan fetus yang mengalami abortus spontan memiliki kelainan kromosom.
Hilangnya sebagian kromosom atau duplikasi kromosom yang tidak menimbulkan
kematian seringkali mengakibatkan bentuk tubuh disformik, retardasi mental,
danKETIDAKMAMPUAN untuk berkembang. Trisomi otosom yang paling
sering terjadi dan dapat tetap bertahan hidup setelah lahir adalah trisomi 21,
sindrom Down; trisomi 18, sindrom Edward; dan trisomi 13, sindrom Patau.

7
Manifestasi klinis dari tiga sindrom trisomi yang dapat tetap hidup
setelah lahir :
Kromosom Nama Gambaran Klinis
(genotip) Umum (fenotip)
Trisomi 21 Sindrom Wajah: terdapat lipatan epikantus, fisura palpebra
47XX, +21 Down oblik, jembatan hidung lebar, profil wajah datar, mulut
47Y, +21 terbuka, lidah menonjol keluar.
Tubuh: tangan pendek dan lebar, garis tunggal di
telapak tangan, ada celah yang besar antara jari kaki
pertama dan kedua, telinga rendah, dan tag
preaulikular, sering terdapat cacat jantung dan
hipotoni
Berbagai derajat retardasi mental
Trisomi 18 Sindrom Aterm, berat badan lahir rendah
47XX, +18 Edward Oksiput menojol, mikrognatia, posisi telinga rendah
47XY, +18 dengan malformasi, labioskisis dan palatoskisis
Retardasi motorik dan retardasi mental berat
Jarang dapat hidup lebih dari beberapa bulan
Trisomi 13 Sindrom Aterm, berat badan lahir rendah
47XX, +13 Patau Wajah: hidung lebar, hipertelorisme, mikrognatia,
47XY, +13 deformitas pada mata; mikroensefali, posisi telinga
rendah dengan malformasi, gangguan fleksi,
polidaktili, dan sindaktili
Daya tahan hidup sangat rendah

Ekspresi fenotip dari gen dapat terjadi dalam satu dari empat macam pola
keturunan: dominan otosomal, resesif otosomal, dominan terkait X, dan resesif
terkait X (mendelian). Abnormalitas dari gen tunggal tak dapat diketahui dengan
pemeriksaan sel secara mikroskopis, karena kariotip dari individu yang terkena
normal. Adanya gen abnormal dapat dilacak dengan mengamati sebuah sifat
bawaan fenotipik yang abnormal pada individu dan pada pohon keluarga.
Abnormalitas gen tunggal dapat nampak dalam berbagai keadaan, mulai dari
defek lokalisasi anatomis yang sederhana sampai pada gangguan yang tak nyata
atau komples dari kimia tubuh. Populasi secara keseluruhan dari frekuensi
gangguan gen tunggal adalah sekitar 1%, dengan 0,7% sebagai dominan, 0,25%
sebagai resesif, dan 0,04% terkait X.
Dalam sebuah kategori abnormalitas gen tunggal, DNA yang
menyimpang dapat mengakibatkan produksi molekul protein abnormal, misalnya,
molekul hemoglobin. Sedikit penyimpangan pada struktur hemoglobin dapat
mengakibatkan perubahan secara fisik dan dapat berkembang menjadi penyakit
yang serius. Penyakit dapat terjadi akibat tidak adanya produk akhir, penumpukan
substrat yang tidak terpakai karena adanya hambatan, atau akibat penimbunan
produk darijalur metabolik lain yang biasanya sedikit dipakai akibat

8
“terhambatnya” jalur metabolik yang biasanya dipakai. Contoh klasik dari
keadaan yang disebabkan tidak adanya produk akhir adalah albinisme. Pigmen
melanin tidak diproduksi, akibatnya tidak ada pigmen pada rambut, kulit, atau iris.
Contoh yang lain adalah tidak adanya hormon tiroid yang mengakibatkan
kretinisme, dan diabetes insipidus akibat tidak diproduksinya hormone anti
diuretik oleh kelenjar pituitary.
Penyakit genetik dapat dipelajari dalam beberapa tingkat yaitu mulai dari
tingkat populasi, keluarga, individu, sel, kromosom, dan gen. Pada tingkat
populasi, mencari variasi penyakit genetik yang tidak dapat dipisahkan dari faktor
lingkungan. Pada tingkat keluarga dan individu, apakah kelainan tersebut X-
linked atau autosomal; pada tingkat sel, ekspresi protein dapat dipelajari,
sedangkan pada tingkat kromosom dan gen banyak sekali kemajuan yang telah
dicapai.

Dua pendekatan yang berbeda diterapkan untuk diagnosis penyakit-


penyakit genetik dengan teknologi DNA rekombinan:

1. Diagnosis gen langsung, yaitu deteksi gen mutan.


Berdasarkan identifikasi perbedaan kualitas antara rangkaian DNA pada
gen normal dan abnormal. Digunakan dua metode:
 Satu berdasarkan kenyataan bahwa beberapa mutasi merubah atau
menghancurkan tempat-tempat terbatas tertentu pada DNA normal.
Sebagai contoh, gen β globin normal mempunyai tiga tempat terbatas
untuk enzim Mst II, salah satunya hilnag pada siklus gen globin. Ini
menghasilkan pita-pita dengan ukuran berbeda jika DNA dari individu
normal dan individu yang terkena dicerna dengan Mst II serta
dibandingkan dengan analisa Sauthern blot.

 Analisa pemeriksaan oligonukleotida digunakan jika mutasi menghasilkan


gen abnormal yang tidak mengubah tempat terbatas yang diketahui. Dua
oligonukleotida dengan panjang 18 – 20 basa disintesa, di bagian tengah
terdapat basa tunggal dimana gen normal dan gen mutan berbeda. Setiap
oligonukleotida hibridisasi kuat dengan gen (normal) yang sesuai, tetapi
lemah dengan gen yang tidak pada urutan yang tepat. Jadi pada analisa
Southern blot gen normal dan gen mutan dapat dibedakan berdasarkan
kekuatan hibridisasi dengan pemeriksaan dua oligonukleotida.

2. Diagnosis gen tidak langsung, yaitu deteksi ikatan gen penyakit dengan “petanda
gen” yang tidak berbahaya.
Pada banyak penyakit genetik, gen mutan dan bagian normalnya belum
diidentifikasi atau diurut, dan oleh sebab itu diagnosis gen langsung tidak dapat
digunakan. Karenanya perlu memakai “pelacakan gen” yang menentukan apakah

9
anggota keluarga yang mendapatkan atau fetus yang diturunkan mempunyai
daerah kromosom yang sesuai dengan anggota keluarga yang terkena sebelumnya.
Perlu dibedakan kromosom yang membawa gen normal dengan gen mutan pada
heterozigot. Untuk ini, digunakan sifat variasi urutan DNA di sekitar (dan
berikatan dengan) gen mutan. Analisa seperti ini disebut “Restriction fragment
length polymorphism” (RFLP), berdasarkan polimorfisme DNA yang
menimbulkan fragmen dengan panjang berbeda-beda pada analisa Southern blot.
Misalnya pada fibrosis kistik, orangtua dan anak-anak heterozigot mempunyai dua
pita yang berasal dari kromosom normal dan kromosom yang terkena. Sebaliknya
individu (homozigot) yang terkena menunjukkan pita tunggal berasal dari dua
kromosom identik yang membawa gen mutan.
Teknik RFLP telah terbukti berguna pada deteksi antenatal beberapa
kelainan genetik seperti fibrosis kistik, penyakit Huntington, penyakit ginjal
polikistik, dan sindroma Lesch-Nyhan. Bagaimanapun terdapat beberapa
keterbatasan:
 Untuk diagnosis prenatal, beberapa anggota keluarga yang terkena dan
yang tidak terkena harus bersedia diperiksa.
 Anggota keluarga yang menjadi kunci (misalnya orang tua, saudara
kandung) harus heterozigot untuk RFLP (yaitu kromosom normal dan
yang membawa gen mutan harus dibedakan dengan analisa Southern blot).
Dengan perkataan lain, polimorfisme DNA informatif harus diberikan
dengan gen yang dicari.
 Rekombinasi antara kromosom homolog selama gametogenesis dapat
menyebabkan hilangnya ikatan antara polimorfisme DNA dan gen mutan.
Selain secara RFLP, teknik analisis yang sering digunakan adalah
sebagai berikut:
1) Southern blot
Bila struktur gen yang mengalami mutasi dan yang normal diketahui, dapat
dilakukan hibridisasi dengan oligonukleotida tertentu yang telah didesain
untuk hibridisasi tersebut.
2) Northern blot
Hibridisasi RNA dengan cDNA untuk melihat ekspresi atau produk gen
tertentu.
3) Western blot
Identifikasi produk gen dengan dasar reaksi antigen antibody.

10
Setiap organisme mempunyai urutan DNA yang unik, pemeriksaan DNA
dapat dipakai untuk mendeteksi semua mikroba. Dua metode yang digunakan:
a. Dot blotHYBRIDIZATION
b. In situ hybridization, yang dapat mendeteksi dan melokalisasi sel organisme
Keuntungan pemeriksaan DNA pada diagnosis penyakit infeksius adalah
sebagai berikut:
a. Organisme yang sukar tumbuh atau tumbuh lambat dapat dideteksi dengan
cepat.
b. Jumlah organisme yang sedikit (102) dapat dideteksi.
Sebagai tambahan nilainya pada diagnosis kelainan genetik dan
infeksius, analisa pemeriksaan DNA berguna dalam (1) diagnosis beberapa bentuk
kanker, dan (2) identifikasi positif individu untuk patologi forensik

2.3 Uji Diagnostik Pengambilan Sampel Sel Janin


Pengambilan sampel untuk uji genetik pada bayi yang masih dalam
kandungan (prenatal) dilakukan untuk mendiagnosis adanya kelainan genetik
yang diturunkan atau terjadinya gangguan genetik secara spontan dari bayi yang
akan dilahirkan. Uji yang paling sering digunakan adalah “ultrasonografi”,
pengambilan sampel “chorionic villus”, “amniocentesis”, dan sampel darah dari
“percutaneus umbilical”. Hampir semua uji tersebut dilakukan untuk memperoleh
gambaran kemungkinan terjadinya resiko bagi pasangan baru mempunyai bayi
yang menderita kelainan keturunan (terutama penyakit gangguan saraf/ “neural
tube defect”) atau abnormalitas khromosom (terutama pada wanita pada usia 35
tahun keatas). Dewasa ini penggunaan ultrasonografi sudah banyak dilakukan
untuk pemeriksaan secara rutin kondisi kehamilan atau bayi yang berada dalam
kandungan. Ultrasonografi Uji atau pemeriksaan dengan menggunakan alat
ultrasonografi sering dilakukan selama periode kehamilan, dan tidak
menimbulkan resiko apapun bagi janin yang dikandung. Setelah masa kehamilan
3 bulan, ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi apakah fetus
mempunyai kelainan bentuk atau tidak. Ultrasonografi sering digunakan untuk
mengecek kondisi abnormalitas pada fetus bila ibu yang sedang hamil mengalami
kandungan alfa-protein terlalu tinggi atau rendah dalam darahnya atau mempunyai
sejarah keluarga yang mengalami gangguan waktu melahirkan. Tetapi kandungan
hasil uji yang normal tidak menjamin mempunyai bayi yang normal, karena uji
tersebut belum seacara komplit dilakukan, dan uji lanjutan perlu dilakukan.

1. Chorionic villus sampling (CVS)

Sebuah sampel yang berkembang pada plasenta yang diperoleh dengan


bantuan USG transcervically atau transabdominally pada kehamilan 8-11 minggu.
Berbagai teknik diagnostik dapat digunakan pada sel CVS:

11
a. Analisis kariotipe (klasik dan molekuler cytogenetic metode) - mendeteksi
semua jenis dan
penyimpangan struktur kromosom, termasuk mikrodilatsi yang menyebabkan
sindrom seperti sindrom Prader-Willi atau syndrom William's,
b. Studi enzim, misalnya ketika ada risiko kesalahan metabolisme genetic
(fenilketonuria, Gaucher disease, mucopolysaccharidosis, haemoglobinopathies
seperti thalassaemia),
c. Analisis DNA pada satu penyakit (menggunakan metode skrining untuk
penelitian molekuler).
Risiko kehamilan adalah sekitar 2% (paling sering: keguguran, infeksi,
perdarahan, cacat ekstremitas). Manfaat dari CVS adalah untuk mendeteksi atau
mendiagnosis secara dini dan memperkuat hasil invasif metode lain.
Masalah berikut dapat muncul dalam CVS:
a. Plasenta mosaicism (terbatas pada jaringan trofoblas bukan pada jaringan
janin),
b. Kontaminasi oleh jaringan ibu.

2. Amniosentesis
Dapat dilakukan pada usia kehamilan 13-15 minggu (awal amniosentesis)
tetapi biasanya dilakukan pada usia kehamilan 16-18 minggu. Sebuah sampel
cairan ketuban sekitar 15 ml yang diperoleh dari transabdominal dengan bantuan
USG.
Metode analisis yang digunakan meliputi:
a. Karyotyping (metode molekul genetik)
b. Analisis DNA (diagnosa penyakit, seperti hiperplasia adrenal kongenital,
kistik fibrosis)
c. Studi biokimia:
- Pengukuran tingkat AchE dan AFP ketika mempertimbangkan terdapat
cacat tabung saraf
- Pengukuran 17-hydroprogesterone saat ditemukan risiko terhadap
hyperplasia adrenal kongenital
- Kesalahan diagnosis metabolisme bawaan
(mucopolysaccharidosis, hiperkolesterolemia familial,
adrenoleucodystrophy, homocysteinuria, penyakit sirup maple urin)

12
Risiko dari amniosentesis adalah sekitar 0,5-1% termasuk keguguran,
ketuban pecah dini dan infeksi intrauterine.

3. Kordosinntesis (pengambilan sample darah imbilikal)


Sampel darah 0,5-1 ml yang diperoleh dari janin melalui vena umbilikalis
(menghubungkan ke plasenta) biasanya pada usia kehamilan 18-23 minggu
dengan bantuan USG. Sampel darah dapat digunakan untuk pemeriksaan genetik
dan studi biokimia, termasuk analisis kromosom dan diagnosis penyakit
monogenic (fenilketonuria, fibrosis kistik, Duchenne berotot dystrophy). Selain
itu, memungkinkan juga untuk mendeteksi haemoglobinopathies, sindrom
defisiensi imunologis (ataksia-teleangiectasia) dan infeksi intrauterine
(toksoplasmosis, rubella, cytomegaly).
Risiko perkiraan sekitar 2% dengan kematian janin kelahiran prematur,
perdarahan (biasanya sementara) dan bradikardi pada janin (biasanya berlangsung
singkat) menjadi komplikasi yang psaling sering.

2.4 Uji Diagnostik Genetika Molekuler


Dalam bidang kedokteran (manusia maupun hewan), uji-uji diagnostik
merupakan salah satu metode untuk menangani kasus penyakit. Berbagai uji
diagnostik telah dikembangkan, baik yang didasarkan pada teknik kultur agen
penyakit, reraksi kimia/biokimia maupun reaksi imunologik. Dengan
berkembangnya teknologi dalam bidang biologi molekuler, maka pengembangan
uji-uji diagnostik mulai diarahkan kepada teknologi tersebut yang menggunakan
materi genetik sebagai dasar pengujiannya. Materi genetik yang berupa asam
nukleat baik DNA (Deoxy-ribose Nucleic Acid) maupun RNA (Ribo Nucleic
Acid) mengandung tiga komponen, yaitu: 1) basa (purin dan pirimidin); 2) gula
(deoksiribosa untuk DNA dan ribosa untuk RNA); dan 3) fosfat. Basa purin yang
terdapat pada DNA maupun RNA adalah sama, yaitu Adenine [A] dan Guanine
[G] sedangkan basa pirimidin berbeda, untuk DNA adalah Cytocine [C] dan
Thymine [T] dan untuk RNA kedudukan Thymine digantikan oleh Uracil [U]
Kedua unsur basa tersebut (purin dan pirimidin) akan berpasangan membentuk
kode-kode genetik pada DNA maupun RNA melalui ikatan hidrogen (A akan
berpasangan dengan T [pada DNA] atau A dengan U [pada RNA]; dan G dengan
C). Unsur gula dan fosfat akan membentuk struktur DNA dan RNA. DNA
memiliki struktur rantai ganda sedangkan RNA memiliki rantai tunggal. Struktur
DNA lebih stabil bila dibandingkan dengan RNA. Berdasarkan materi genetik
tersebut, uji-uji diagnostik dikembangkan melalui teknik-teknik molekuler seperti
hibridisasi dengan probe asam nukleat; polymerase chain reaction (PCR),
restriction fragment length polymorphism (RFLP) dan sekuensing asam nukleat.
1. Polymerase Chain Reaction (PCR)

13
Salah satu perkembangan teknik biologi molekuler yang sangat
membantu dalam pengembangan uji-uji diagnostik adalah PCR. PCR dapat
mengamplifikasi DNA dan jumlah yang sedikit menjadi jumlah yang dapat
dideteksi/banyak. Adanya penemuan DNA polymerase (Taq polymerase) yang
stabil pada temperatur tinggi dan pengembangan alat yang mengatur
temperatur proses PCR secara otornatis, telah membuat PCR dapat digunakan
untuk uji-uji diagnostik secara praktis. DNA polymerase adalah enzim yang
dapat mensintesis rantai DNA yang baru dan DNA yang sudah ada. Penemuan
enzim yang tahan panas sangat membantu untuk mensintesis DNA baru,
karena tahap awal proses PCR dilakukan dengan cara pemanasan rantai DNA
yang sudah ada pada temperatur 90°C. Reaksi Rantai Polimerase atau
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik sintesis untuk
mengamplifikasi atau melipatgandakan fragmen DNA target secara invitro
dengan eksponensial yang menggunakan primer atau pemula DNA yang tepat.
Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA in vivo. Berbeda dengan
proses replikasi yang berlangsung secara diskrit untuk sepanjang rantai DNA,
maka pada proses PCR reaksi ini berjalan kontinu, tetapi hanya untuk satu
segmen tertentu saja dari suatu DNA. Teknik PCR ditemukan pertama kali oleh
Kary, B. Mullis pada tahun 1985. Impian Mullis dimulai ketika di bulan April,
malam Jumat, 1983, saat membawa kendaraannya keluar kota pada bulan
purnama menuju ke Negara bagian utara California dimana Mullis
mendapatkan inpirasi yang bermakna dengan menemukan cara baru untuk
mendeteksi urutan basa yang spesifik dari DNA. Penemuan yang
mempesonakan itu dipublikasi pada American Scientific, 1990, yang
memberiny peluang pada tahun 1993 mendapatkan hadiah Nobel dalam kimia
atas penemuan PCR. Semula Mullis menggunakan enzim Klenow fragmen
E.coli DNA Polymerase I untuk memicu perpanjangan potongan DNA yang
spesifik. Namun, enzim ini tidak dapat bertahan pada saat tahapan denaturasi
dari PCR, sehingga mengharuskan penambahan enzim yang baru lagi pada
setiap siklus PCR. Kondisi ini merupakan suatu hambatan yang kritis,
khususnya pada teknik yang diharapkan berlangsung secara automatis. Klenow
enzim dapat bekerja baik pada potongan DNA yang pendek (<200bp), tetapi
tetapi tidak bis bekerja pada potongan DNA yang lebih besar, karena hasilnya
yang memberikan sensitifitas yang rendah dan memperlihatkan hasil yang
heterogen. Hal ini disebabkan karena tahapan annealing yang rendah dan
perubahan temperatur (37’C) yang harus disesuaikan untuk mengaktifkan
enzim Klenow. Situasi yang sangat memperihatinkan pada awal dimulainya
PCR ini ialah bahwa teknik ini dilakukan secara manual dari satu waterbath ke
waterbath lainnya sesuai tahapan dari PCR. Setelah beberapa tahun berikutnya
didapatkan enzim thermostable DNA Polymerase yaitu Taq DNA Polymerase,
PCR menjadi sangat populer dalam penelitian. Penemuan enzim ini juga
memberi peluang untuk dilakukannya setiap tahapan PCR secara automatis,
sehingga PCR sekarang telah dapat dikerjakan dengan mesin. Untuk

14
mendeteksi potongan DNA yang spesifik dengan PCR diperlukan informasi
dari tiap mikroorganisme yang memiliki potongan DNA yang spesifik untuk
golongannya. Dengan merancang komplementer potongan DNA yang spesifik
dari mikroorganisme tersebut, maka dapat dihasilkan pemula DNA atau disebut
juga primer. Potongan DNA yang spesifik ini akan berikatan dengan pasangan
yang komplementer dengannya, dan inilah yang dilipatgandakan atau
diamplifikasi sampai jutaan dalam waktu sekitar 4 jam pada mesin PCR. Untuk
mendukung amplifikasi tersebut diperlukan berbagai zat lainnya, kemudian
divisualisasikan melalui elektroforesis dan proses hibridisasi. Keseluruhan
proses PCR membutuhkan waktu hanya 2 hari. Pada perkembangan
penggunaan PCR dilakukan pemurnian terhadap sampel yang akan di tes.
Permunian sampel DNA dilakukan dengan memakai metode Boom (1990).
Metode ini menggunakan Chaotropic agent guanidium thiocyanate (GuSCN)
dan diatom. GuSCN dan diatom menghilangkan hambatan secara efisien
terhadap berbagai macam sampel dari rumah sakit. GuSCN berfungsi untuk
lisis dan menginaktifkan asam nukleat, sedangkan partikel silica ataupun
diatom berfungsi mengikat asam nukleat. Untuk mengamplifikasi DNA
dilakukan 30-40 kali siklus proses PCR. Satu siklus terdiri dari 3 tahap, yaitu
tahap denaturasi pada temperatur 95°C, tahap hibridisasi primer pada
temperatur 37° sampai 56°C dan tahap polimerisasi pada temperatur 72°C.
Secara umum, DNA yang akan diamplifikasi diapit oleh sepasang primer
sintetik yang merupakan potongan pendek dari DNA yang
spesifik/komplementer yang berfungsi sebagai template dari DNA yang akan
diamplifikasi. DNA target yang akan diamplifikasi didenaturasi terlebih dahulu
dengan pemanasan, kemudian primer ditambahkan pada DNA target dan
temperatur diturunkan agan terjadi proses hibridisasi. Bila tahap polimerisasi
dimulai, maka rantai DNA target yang terdapat di antara primer akan
diperbanyak menjadi dua rantai dengan panjang yang sama seperti DNA target.
Dengan adanya pengulangan tahap-tahap denaturasi, hibridisasi dan
polimerisasi beberapa kali, maka DNA target akan diperbanyak secana efektif.
Bila enzim reverse transcriptase yang mensintesis DNA dan template RNA,
digunakan pada tahap awal proses PCR, maka RNA ribosom dan genomik dan
virus RNAjuga dapat diamplifikasi. Prinsip dasar suatu PCR adalah : pasangan
primer menghibridisasi sekuens komplemen terget pada rantai DNA yang
sebelumnya telah terdenaturasi. Sintesis DNA kemudian berlangsung dengan
bantuan enzim polimerase di sepanjang daerah diantara primer. PCR
dilaksanakan dengan cara menginkubasi sample pada temperatur yang berbeda
pada tahap, dalam suatu siklus PCR, yaitu tahap : 1. Denaturasi Dengan
pemanasan 95 oC rantai DNA akan berpisah, karena panas dapat merusak
ikatan hidroksi antara basa-basa yang komplementar. 2. Annealing (
penempatan / PEMASANGAN primer ) Primer dipasangakan pada tempat
yang sesuai ( berkomplementer dengan rantai tunggal DNA ) melalui proses
pembentukan iktan hidroksi.Untuk proses pemasangan primer ini dibutuhkan

15
temperature yang berbeda dari setiap primer. 3. Extension ( Perpanjangan)
Setelah primer ditempatkan pada posisi yang tepat, dimulailah proses
pemanjangan rantai baru DNA yang berkomplementar, dengan bantuan enzim
DNA polymerase sehingga terbentuk suatu fragmen rantai ganda DNA yang
spesifik. Enzim yang stabil pada temperatur tinggi ini akan membantu proses
penempaan nukleotida yang dibutuhkan sampai terbentuknya suatu rantai
ganda DNA, temperatur optimal yang dibutuhkan untuk proses ini adalah 72o
C. PCR dapat digunakan dalam uji-uji diagnostik untuk mengamplifikasi asam
nukleat dan agen-agen penyakit yang ada dalam jumlah sedikit sehingga
sensitifitas uji dapat ditingkatkan. DNA yang telah diamplifikasi selanjutnya
diidentifikasi dengan teknik hibridisasi yang rnenggunakan probe asam nukleat
yang spesifik, atau dengan analisis restriction fragment length polymorphism
(RFLP) dan elektroforesis pada gel agarose atau dengan cara sekuensing.
Perkembangan selanjutnya terhadap pemanfaatan mesin PCR, dibedakan antara
PCR unipleks dan PCR multipleks. Bila digunakan hanya satu pasang primer
disebut PCR unipleks, sedangkan PCR yang menggunakan lebih dari satu
pasang disebut PCR multipleks tak ada perbedaan pada tahapan denaturasi,
annealing dan elongation, terkecuali pada kandungan PCR-miks, waktu
tahapan dan jumlah sikling temperatur. PCR Unipleks dapat dipakai untuk
diagnosis terhadap penyebab penyakit infeksi, termasuk M. tuberkulosis dan
mikobakterium lain, sedangkan PCR multipleks selain digunakan untuk
diagnosis, juga untuk tes resistensi terhadap OAT.
2. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Teknik ini menggunakan enzim-enzim retriksi yang berfungsi sebagai
pemotong DNA rantai ganda pada sekuens yang spesifik, untuk menentukan
apakah dua fragmen DNA memiliki kesamaan. Dalam teknik ini, DNA
didigesti atau dipotong dengan enzim restriksi tertentu, kemudian
dielektroforesis pada gel aganose yang akan memisahkan fragmen DNA yang
dipotong sesuai dengan ukurannya. Jika DNA tidak identik ukurannya, maka
pola fragmen DNA pada gel tidak sepadan. Bila pola fragmen DNA sama,
maka enzim retriksi tersebut akan digunakan untuk menentukan apakah dua
rantai DNA memiliki kesamaan. Satu rantai DNA yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi apakah berasal dari agen penyakit tertentu atau tidak dengan cara
pembar pola RFLP dengan referensi standar.
3. Polimorfisme Nukleotida Tunggal (SNP)
Polimorfisme nukleotida tunggal (SNP, diucapkan snip) adalah variasi sekuens
DNA terjadi ketika sebuah nukleotida tunggal - A, T, C, atau G - dalam genom
(atau urutan bersama lainnya) berbeda antara anggota sebuah spesies (atau
antara pasangan kromosom dalam individu).
Bentuk paling sederhana dari mutasi kesalahan replikasi adalah substitusi
nukleotida tunggal; paling sering hanya ada dua alel yang berbeda yang dapat
hasil dari jenis polimorfisme karena kendala stereokimia dan basis pasangan
ikatan.

16
Hanya sekitar 1,5 persen dari single nucleotide polymorphisms terjadi pada
bagian pengkodean molekul DNA. Secara umum mutasi substitusi non-coding
tidak mengakibatkan ekspresi genotipe, kecuali dalam beberapa kasus di mana
bagian non-coding mempengaruhi instruksi untuk regulasi metabolisme seluler.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Telah diuraikan di atas mengenai interaksi hereditas dan lingkungan
terhadap penyakit. Anomali atau malformasi congenital umumnya merupakan
hasil interaksi dari gen-gen majemuk dengan beberapa keadaan lingkungan
tertentu. Sebagian besar anomali congenital terjadi tanpa pola penurunan yang
jelas. Penyelidikan pada kembar menunjukkan bahwa kemungkinan untuk
mendapatkan anomaly tertentu pada tiap anak kembar lebih besar pada kembar
identik daripada kembar fraternal. Lagipula banyak penelitian pada keluarga
menunjukkan bahwa kerabat dari seorang yang menderita anomaly tertentu,
mempunyai insidens yang lebih besar daripada populasi pada umumnya.
Sebaliknya, peranan dari lingkungan sudah jelas, karena bahkan pada kembar
identik sekalipun frekuensi dari anomali tertentu tidak sepenuhnya 100%. Pada
segi lain, ada faktor-faktor lingkungan, seperti zat kimia toksik, obat-obatan,
pengaruh fisik, dan virus-virus yang mengakibatkan anomali congenital. Tetapi,
bahkan pada lingkungan teratogen yang sudah jelas dan kuat sekalipun seperti
thalidomide, faktor-faktor lain (genetik dan/atau lingkungan) tetap harus
diperhitungkan, karena tidak semua janin yang terkena pada masa kritisnya
menunjukkan anomali. Tak perlu dikatakan lagi bahwa interaksi yang kompleks
antara gen majemuk dan faktor-faktor lingkungan mengakibatkan anomali yang
belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Jelas bahwa karena suatu kondisi tertentu, bagian dari populasi yang
secara genetis memiliki predisposisi mungkin sangat kecil atau sungguh besar,
dan proporsi yang terpapar pada keadaan lingkungan yang merugikan demikian
pula dapat berbeda-beda. Lagipula, pasti diduga bahwa banyak macam gen
seringkali dengan satu dan lain cara menghasilkan jenis predisposisi tertentu.
Kajian tentang genetik banyak penyakit bisa menimbulkan pencegahan atau
perbaikannya dengan metode lingkungan semata-mata. Memang sangat mungkin
bahwa salah satu penerapan medis dan sosial paling penting dari penelitian
genetis terletak pada pengendalian lingkungan, karena semakin dimungkinkannya
untuk mengkarakterisasi konstitusi genetis individu secara tepat semakin
dimungkinkan untuk melihat bagaimana mengubah atau menyesuaikan
lingkungan menurut kebutuhannya.

18
DAFTAR PUSTAKA
Elvita,A., dkk. Genetika Dasar. http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/ 01/genetika-
dasar_files-of-drsmed.pdf. Diakses tanggal 22 Mei 2010.
Harris,Harry.1994. Dasar-Dasar Genetika Biokemis Manusia Edisi 3. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Nuswantara, S. dan Usep Soetisna. Era Bioteknologi dalam Pengobatan dan Diagnosis
Penyakit Infeksi dan
Genetis.http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/4
226/4227.pdf. Diakses tanggal 22 Mei 2010.
Pringgoutomo, S., Sutisna H., dan Achmad T. 2002. Patologi I (Umum) Edisi 1. Sagung
Seto, Jakarta.
Robbins, S.L., et al. 1994. Dasar Patologik Penyakit, Binarupa Aksara, Jakarta.
Robbins, S.L., dan Vinay Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi I. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai