PDT : Respirologi
Asma
Bronkiolitis
Bronkitis
Pneumonia
Sindroma Croup
Tuberkulosis
48
ASMA
Landia Setiawati, Makmuri M.S., Retno Asih S.
BATASAN
Asma secara klinis praktis adalah adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang, terutama
pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan)
dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.Yang dimaksud serangan
asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk, sesak nafas,
mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakitnya (aspek kronik) dan derajat
serangannya (aspek akut). Berdasar derajat penyakitnya, asma dibagi menjadi (1) asma
episodik jarang, (2) asma episodik sering dan (3) asma persisten. Berdasarkan derajat
serangannya, asma dikelompokkan menjadi (1) serangan asma ringan, (2) sedang dan (3)
berat.
PATOFISIOLOGI
Proses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus, udema mukosa
dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil, basofil, makrofag) dan
deskuamasi sel-sel epitel. Dilepaskannya berbagai mediator inflamasi seperti histamin,
lekotriene C4, D4 dan E4, P.A.F yang mengakibatkan adanya konstriksi bronkus, edema
mukosa dan penumpukan mukus yang kental dalam lumen saluran nafas. Sumbatan yang
terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental
dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas yang
tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi
dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan
penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan
tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang
menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas,
sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal
mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang
bermanisfestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja
nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk
mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 yang akan turun
dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat,
akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya
hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO 2 yang
cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai
tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik
akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat
menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale.
Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan
berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan resiko terjadinya atelektasis.
DIAGNOSIS
UKK Pulmonologi PP IDAI telah membuat pedoman nasional asma dengan gejala awal
berupa batuk dan/atau mengi (lihat lampiran 4).
49
Pada alur diagnosis selain anamnesis yang cermat beberapa pemeriksaan penunjang juga
perlu dilakukan tergantung pada fasilitas yang tersedia.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat
ditegakkan bila didapatkan :
o Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1 (forced
expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik pertama) ≥ 15%
o Kenaikan ≥ 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator
o Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
- Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total. Bila terjadi peningkatan dari nilai normal akan
menunjang diagnosis
- Foto toraks untuk melihat adanya gambaran emfisematous atau adanya komplikasi
pada saat serangan. Foto sinus para nasal perlu dipertimbangkan pada anak > 5 tahun
dengan asma persisten atau sulit diatasi.
TATALAKSANA
Tatalaksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya tentang
penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus serta medikamentosa.
Medikamentosa yang digunakan dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu pereda (reliever)
dan pengendali (controller). Tata laksana asma dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
pada saat serangan (asma akut) dan di luar serangan (asma kronik).
Di luar serangan, pemberian obat controller tergantung pada derajat asma. Pada asma
episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma episodik sering dan
asma persisten memerlukan obat controller. Pada saat serangan lakukan prediksi derajat
serangan (Lampiran 2), kemudian di tata laksana sesuai dengan derajatnya (lampiran 5).
Pada serangan asma akut yang berat :
- Berikan oksigen
- Nebulasi dengan -agonis ± antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali
pemberian.
- Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada
- Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam
- Berikan aminofilin intra vena :
o Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis
awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30
menit
o Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
separuhnya.
o Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml
o Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam
- Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral
- Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat -agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48
jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan
dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Asma
Anak, Bali 2002, hal : 1-9.
2. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK
Pulmonologi : PP IDAI, 2004.
3. Michael Sly. Asthma Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 664-
80.
4. Larsen Garyl, Colasurdo GN. Assesment and treatment of Acute Asthma in Children
and aldolecens Dalam: Naspitz CK, penyunting. Text Book of Pediatric Asthma an
International Perspective. Edisi ke-1. United Kingdom : Martin Dunitz, 2001 : 189-
209.
Parameter klinis, Asma episodik jarang Asma episodik sering Asma persisten
kebutuhan obat dan
faal paru
Frekuensi serangan < 1x/bulan > 1x/bulan Sering
Lama serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir sepanjang tahun,
tidak ada remisi
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis diluar Normal (tidak ditemukanMungkin tergangguTidak pernah normal
serangan kelainan) (ditemukan kelainan)
Obat pengendali (anti Tidak perlu Perlu Perlu
inflamasi)
Uji faal paru PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan) Variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
(bila ada serangan)
51
0 1 2
Sianosis (-) (+) pada udara kamar (+) pada 40% O2
52
Steroid Injeksi :
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis
M. prednisolon Solu-Medrol Vial 125 mg IV / IM 1-2 mg/kg
Suksinat Medixon Vial 500 mg tiap 6 jam
Hidrokortison-Suksinat Solu-Cortef Vial 100 mg IV / IM 4 mg/kgBB/x
Silacort Vial 100 mg tiap 6 jam
Deksametason Oradexon Ampul 5 mg IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus,
Kalmetason Ampul 4 mg dilanjutkan 1
Fortecortin Ampul 4 mg mg/kgBB/hari
Corsona Ampul 5 mg diberikan tiap 6-8 jam
Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB tiap
6 jam
BRONKIOLITIS
56
BATASAN
Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil
(bronkiolus) yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar
2-6 bulan dengan penyebab tersering respiratory sincytial virus (RSV), diikuti dengan
parainfluenzae dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat,
retraksi dada dan wheezing.
PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan replikasi di
mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga akan terjadi
kerusakan/nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli. Respon imun tubuh yang terjadi
ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma dan makrofag. Akibat dari proses tersebut
akan terjadi edema sub mukosa, kongesti serta penumpukan debris dan mukus
(plugging), sehingga akan terjadi penyempitan lumen bronkioli. Penyempitan ini
mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi (total/sebagian). Gambaran
yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang berlebihan (hyperaerated)
sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas serius, gangguan ventilasi/perfusi
dengan akibat akan terjadi hipoksemia (PaO2 turun) dan hiperkapnea (Pa CO2 meningkat).
Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anak usia di bawah 2 tahun dengan didahului infeksi saluran nafas akut bagian atas
dengan gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya subfebris. Sesak nafas
makin hebat dengan nafas dangkal dan cepat.
Pemeriksaan fisis
Dapat dijumpai demam, dispne dengan expiratory effort dan retraksi. Nafas cepat
dangkal disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, gelisah.
Terdengar ekspirium memanjang atau mengi (wheezing). Pada auskultasi paru dapat
terdengar ronki basah halus nyaring pada akhir atau awal inspirasi. Suara perkusi paru
hipersonor. Jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tidak terdengar, napas cepat dangkal,
wheezing berkurang bahkan hilang.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan lateral dapat
terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior
membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar. Analisis
gas darah dapat menunjukan hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis respiratorik
atau metabolik. Bila tersedia, pemeriksaan deteksi cepat dengan antigen RSV dapat
dikerjakan.
DIAGNOSIS BANDING
57
· Asma bronkial
· Aspirasi benda asing
· Bronkopneumonia
· Gagal jantung
· Miokarditis
· Fibrosis Kistik
TATALAKSANA
Tata laksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah :
1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan
pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan parenteral).
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi
sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.
5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis.
6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)
diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel
respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori
berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan (lampiran 1).
DAFTAR PUSTAKA
1. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s
Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB
Saunders, 1990 : 360-70.
2. Goodman D. Bronchiolitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,
2003 : 1415-7.
3. Klassen TP. Recent advances in the treatment of Bronchiolitis and Laryngitis.
Pediatr Clin of North Am 1997; 44 : 249-58.
4. Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New approaches to respiratory infections in
children. Ped Emerg Med Clin of North Am 12002; 20 : 93-110.
SKOR Skor
maksimal
0 1 2 3 4
Wheezing :
-Ekspirasi (-) Akhir ½ ¾ Semua 4
-Inspirasi (-) Sebagian Semua 2
-Lokasi (-) £ 2 dr 4 lap paru ³ 3 dr 4 lap paru 2
Retraksi :
- (-) Ringan Sedang Berat 3
Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3
-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
-Subkostal
TOTAL 17
59
60
BRONKITIS
Landia Setiawati, Makmuri M.S., Retno Asih S.
PENGERTIAN
Bronkitis merupakan proses keradangan pada bronkus dengan manifestasi utama berupa
batuk, yang dapat berlangsung secara akut maupun kronis. Proses ini dapat disebabkan
karena perluasan dari proses penyakit yang terjadi dari saluran napas maupun bawah.
ETIOLOGI
1. Infeksi :
virus : RSV, Parainfluenza, Influenza, Adeno, morbilli
bakteri : H.influenza B, Stafilokokus, Streptokokus, pertusis, tuberkulosis,
mikoplasma
fungi : monilia
2. Alergi : asma
3. Kimiawi :
aspirasi susu, aspirasi isi lambung
asap rokok
uap/gas yang merangsang
DAFTAR PUSTAKA
1. Loughlin GM. Bronchitis. Dalam : Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s
Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB
Saunders 1990 : 349-59.
2. Goodman D. Bronchitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB
Saunders, 2003 : 1414-5.
63
PNEUMONIA
Landia Setiawati, Makmuri M.S., Retno Asih S.
BATASAN
Pneumonia dalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam
etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang
teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi
(ventilation perfusion mismatch).
PATOFISIOLOGI
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi partikel di hidung,
pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk,
pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis kuman oleh makrofag alveolar,
netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan drainase melalui sistem limfatik. Faktor
predisposisi pneumonia : aspirasi, gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak,
pertusis, penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan
gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik , benda asing atau disfungsi
silier.
Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing,
transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya pneumonia terjadi akibat
inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui aliran darah
(hematogen). Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan virus.
Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan anak kecil.
Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan meningkatnya umur. Pada pneumonia
yang berat bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik, asidosis metabolik
dan gagal nafas.
DIAGNOSIS
Anamnesis
- Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran
nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus,
sesak, kebiruan disekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri
dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunanan kesadaran, kejang
atau kembung sehingga sulit dibedakan dengan meningitis, sepsis atau ileus.
Pemeriksaan fisis
- Tanda yang mungkin ada adalah suhu ≥ 390 C, dispnea : inspiratory effort ditandai
dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis.
Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal
atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama
melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan
paru yang terkena.
Pemeriksaan penunjang
- Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis bergeser
ke kiri.
64
KOMPLIKASI
- Pleuritis
- Efusi pleura/ empiema
- Pneumotoraks
- Piopneumotoraks
- Abses paru
- Gagal nafas
TATALAKSANA
1. Indikasi MRS :
a. Ada kesukaran nafas, toksis
b. Sianosis
c. Umur kurang 6 bulan
d. Ada penyulit, misalnya :muntah-muntah, dehidrasi, empiema
e. Diduga infeksi oleh Stafilokokus
f. Imunokompromais
g. Perawatan di rumah kurang baik
h. Tidak respon dengan pemberian antibiotika oral
2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan
pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
65
3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu cairan parenteral). Jumlah cairan
sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang
nasogastrik.
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
7. Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan
penyebab Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada perbaikan
klinis dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh.
Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil laboratoris,
foto toraks dan jenis kuman penyebab :
Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral
Haemophylus influenzae/Streptokokus pneumonia : cukup 10-14 hari
Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan
neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang, fibrosis kistik,
infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumonia
didapatkan dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3.
Dapat dipertimbangkan juga pemberian :
- Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii
- Anti viral (Aziclovir , ganciclovir) pada pneumonia karena CMV
- Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia karena
jamur
- Imunoglobulin
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Andriano G, Arguedas, Stutman HR, Marks MI. Bacterial pneumonias. Dalam :
Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in
Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders, 1990 : 371-80.
2. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N Am
2003; 21 : 437-51.
3. Glezen WP. Viral pneumonia. Dalam : Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s
Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB
Saunders, 1990 : 394-402.
4. Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,
2003 : 1432-5.
5. Stokes DC. Respiratory infections in Immunocompromized Hosts. Dalam : Taussig
LM, Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine. St. Louis: Mosby Inc,
1999 : 664-81.
Skor :
0-4 : tidak ada bahaya
5-6 : akan terjadi gagal nafas → siapkan UGD
≥7 : gagal nafas
SINDROMA CROUP
68
BATASAN
Sindroma ”croup” merupakan kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan adanya
batuk, suara parau, stridor inspiratoir yang disebabkan obstruksi saluran napas atas/laring.
PATOFISIOLOGI
Adanya faktor infeksi (virus, bakteri, jamur), mekanis dan/atau alergi dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi, eritema dan edema pada laring dan trakea, sehingga mengganggu
gerakan plica vocalis. Diameter saluran napas atas yang paling sempit adalah pada bagian
trakea dibawah laring (subglottic trachea). Adanya spasme dan edema akan menimbulkan
obstruksi saluran napas atas. Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan
turbulensi aliran udara yang lewat. Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan
arytenoepiglottic folds, akan menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar
stridor. Awalnya stridor bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi
tetapi bila obstruksi semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi
(high pitched) dan terdengar juga saat ekspirasi. Edema pada plica vocalis akan
mengakibatkan suara parau. Kelainan dapat berlanjut hingga mencapai brokus dan
alveoli, sehingga terjadi laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis.
Pada spasmodic croup terjadi edema jaringan tanpa proses inflamasi. Reaksi yang terjadi
terutama disebabkan oleh reaksi alergi terhadap antigen virus dan bukan akibat langsung
infeksi virus.
EPIGLOTITIS AKUT
Epiglotitis akut merupakan keadaan gawat darurat sehingga diagnosa harus ditegakkan
secepat mungkin. Terapi harus dilakukan secara cepat dan tepat agar dapat menurunkan
kematian.
Definisi : keradangan akut epiglotis, biasa disebabkan oleh bakteri (bacterial croup,
supraglottic croup)
Etiologi : terbanyak disebabkan Haemophylus Influenza tipe B
Umur : menyerang terbanyak pada kelompok usia 3-7 tahun
Gejala klinis :
mendadak panas tinggi
stridor inspiratoir , retraksi cepat timbul
nyeri epiglotis : suara kecil (pelan)
anak tampak sakit keras/toksis, air liur keluar berlebihan (drooling), gelisah &
sianosis
epiglotis bengkak dan merah seperti buah cherry
dapat cepat : gagal napas
Pemeriksaan penunjang :
foto leher lateral: dapat terlihat obstruksi supraglotis karena pembengkakan epiglotis
(thumb sign)
laboratorium : pemeriksaan darah menunjukkan lekosit meningkat, pada hitung jenis
tampak pergeseran ke kiri. Bila fasilitas tersedia : dari pemeriksaan hapusan
tenggorokan dan biakan darah dapat ditemukan Haemophylus Influenza tipe B.
Penatalaksanaan : MRS di ICU
Pemberian oksigenasi
Pemberian cairan intravena disesuaikan berat badan dan status hidrasi.
Pemberian inhalasi salin normal.
Pemilihan antibiotik :
o Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4 dosis
o Kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis
o Sefalosporin Generasi 3 (Cefotaksim atau Ceftriakson)
Bila panas dapat diberikan antipiretik
Seringkali memerlukan tindakan trakeostomi
DAFTAR PUSTAKA
1. Grad R, Taussig LM. Acute Infection Producing Upper Airway Obstruction. Dalam :
Kendig EL, Chernick V, Penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in
Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders, 1990 : 336-49.
2. Silber GR, Scheifele D. Croup. Dalam : Graef JW, Cone Jr TE, penyunting. Manual
of Pediatrics Therapeutics. Edisi ke-2. Boston:Little-Brown, 1980 : 371.
3. Roosevelt GE. Acute inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam : Behrman
RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-
17. Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 1405-9.
4. Knutson D, Aring A. Viral Croup. Am Fam Physician 2004; 69 : 535-40, 541-2.
5. Somani R, Evans MF. Role of glucocorticoids in treating Croup. Can Fam Physician
2001; 4 : 733-5.
6. Malhotra A, Krilov LR. Viral Croup. Ped in Rev 2001; 22 : 1-12.
Tuberkulosis
Landia Setiawati, Makmuri M.S., Retno Asih S.
72
BATASAN
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.
PATOGENESIS
Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung Mikobakterium
tuberkulosis (M.Tb), di alveolus M.Tb akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan
dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag alveolus lemah maka M.Tb
akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah
akan ditarik secara kemotaksis ke arah M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb
tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang
mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan
limfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya
dan mungkin juga terjadi kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke
kelenjar limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan
limfangitis akan membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung
menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag
jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang
dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang
dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak
ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi
endobronkial, pleuritis atau Tb milier. Juga dapat menyebar secara bertahap
menyebabkan lesi di organ-organ lainnya .
DIAGNOSIS
Diagnosis paling tepat adalah ditemukannya basil Tb dari bahan yang diambil dari pasien
misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dll. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang
didapat, sehingga sebagian besar diagnosis Tb anak didasarkan gambaran klinis,
gambaran radiologis, dan uji tuberkulin.
Untuk itu penting memikirkan adanya Tb pada anak kalau terdapat keadaan atau tanda-
tanda yang mencurigakan seperti dibawah ini :
1. Pada anak harus dicurigai menderita Tb kalau :
1. Kontak erat (serumah) dengan penderita Tb dengan sputum BTA (+)
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG dalam 3-7 hari.
3. Terdapat gejala umum
TATALAKSANA
Obat harus diminum teratur, setiap hari, dan dalam waktu yang cukup lama. Dosis obat
harus disesuaikan dengan berat badan.
Secara garis besar dapat dibagi menjadi tata laksana untuk :
1. TBC paru tidak berat
2. TBC paru berat atau TBC ekstrapulmonal
Pada TBC paru yang tidak berat cukup diberikan 3 jenis obat anti tuberkulosis
(OAT) dengan jangka waktu terapi 6 bulan. Tahap intensif terdiri dari isoniazid (H),
Rifampisin (R) dan Pyraninamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap
lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap
hari (4HR).
Pada TBC berat (TBC milier, meningitis, dan TBC tulang) maka juga diberikan
Streptomisin atau Etambutol pada permulaan pengobatan. Jadi pada TBC berat biasanya
pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5 obat selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan
dengan Isoniazid dan Rifampisin selama 10 bulan lagi atau lebih, sesuai dengan
perkembangan klinisnya. Kalau ada kegagalan karena resistensi obat, maka obat diganti
sesuai dengan hasil uji resistensi, atau tambah dan ubah kombinasi OAT.
Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah :
1. Isoniazid (INH) : selama 6-12 bulan
a. Dosis terapi : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari
b. Dosis profilaksis : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari
c. Dosis maksimum : 300 mg/hari
2. Rifampisin ( R ) : selama 6-12 bulan
a. Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari sekali sehari
b. Dosis maksimum : 600 mg/hari
3. Pirazinamid (Z) : selama 2-3 bulan pertama
a. Dosis : 25-35 mg/kgBB/hari diberikan 2 kali sehari
b. Dosis maksimum : 2 gram/hari
4. Etambutol (E) : selama 2-3 bulan pertama
a. Dosis : 15-20 mg/kgBB/hari diberikan sekali atau 2 kali
sehari
b. Dosis maksimum : 1250 mg/hari
5. Streptomisin (S) : selama 1-2 bulan pertama
a. Dosis : 15-40 mg/kg/hari diberikan sekali sehari intra
muskular
b. Dosis maksimum : 1 gram/hari
Kortikosteroid diberikan pada keadaan khusus seperti : Tb milier, meningitis Tb,
endobronkial Tb, pleuritis Tb, perikarditis Tb, peritonitis Tb.
Boleh diberikan prednison 1-2 mg/kg BB/hari selama 1-2 bulan
PENGHENTIAN PENGOBATAN
1. Bila setelah 6 bulan evaluasi membaik :
75
batuk menghilang, klinis membaik, anak menjadi lebih aktif, berat badan meningkat,
foto thorax membaik, penurunan LED
2. Bila setelah 6 bulan tidak ada perbaikan, kemungkinan :
- Kepatuhan minum obat yang kurang
- MDR (Multi Drug Resisten)
- Diagnosis bukan TBC
KOMPLIKASI
Pada anak komplikasi biasanya terjadi pada 5 tahun pertama setelah infeksi terutama 1
tahun pertama. Penyebaran limfohematogen menjadi Tb milier atau meningitis Tb atau
efusi pleura biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tb tulang dan sendi
terbanyak terjadi dalam 3 tahun pertama, dan Tb ginjal dan kulit terbanyak setelah 5
tahun dari infeksi primer.
DAFTAR PUSTAKA
1. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson
HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB
Saunders, 2003 : 958-71.
2. Crofton SJ, Horne N, Miller F. Clinical Tuberculosis. Edisi ke-1. London: The Mac
Millan Press, 1992.
3. Rahajoe N, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. UKK Pulmonologi : PP IDAI, 2005.
Parameter 0 1 2 3
Kontak Tb Tidak jelas Laporan keluarga, BTA Kavitas (+), BTA tidak BTA (+)
(-) atau tidak tahu jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif ( ≥ 10 mm
atau ≥ 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ BB/TB < 90% atau BB/U Klinis gizi buruk atau
keadaan gizi < 80% BB/TB< 70%
atau BB/U < 60%
Demam tanpa sebab ≥ 2 minggu
jelas
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran kelenjar ≥ 1cm, jumlah >1, tidak
limfe kolli, aksila, nyeri
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi panggul,
lutut, falang
Foto Rontgen toraks Normal/tidak Infiltrat kalsifikasi + infiltrat
jelas Pembesaran kelenjar pembesaran
Konsolidasi kelenjar + infiltrat
segmental/
lobar
atelektasis
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis
Berat badan dinilai saat datang (moment opname)
Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada Tb anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring Tb
anak
Didiagnosis Tb jika skor ≥ 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masih bersifat
tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang
dilaksanakan.
77