Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU DOSEN PENGAMPU

Ulumul Qur’an Gt. M. Irhamna Husin, M.Pd.I

Pacaran dalam Perspektif Islam

DISUSUN OLEH

MAHFUZATUL ALIYAH ( 1601290942 )

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

BANJARMASIN

2017 M / 1438 H
Pacaran dalam Perspektif Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, pacar adalah
kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan
cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang
pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.”
“Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut adalah berjanji untuk saling
bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.”1
Kata “pacaran” menurut bahasa berarti “bersuka-sukaan”. Dalam pengertian
sehari-hari, istilah pacaran biasa diartikan bersuka-sukaan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan.2 Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini
kebiasaan berpacaran semakin membudaya. Banyak sarana yang mendorong dan
memberikan kesempatan berpacaran semakin banyak tersedia.
Manusia diciptakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dengan membawa fitrah
(insting) untuk mencintai lawan jenisnya. sebagaimana firman-Nya, artinya,
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik
(surga)." (QS. Âli-'Imrân: 14).3
Pergaulan antara pria dan wanita pada dasarnya diperbolehkan sampai pada
batas-batas wajar yang tidak membuka peluang untuk terjadinya perbuatan dosa
(zina).4 Apalagi hubungan itu dalam rangka untuk mencari dan mengenal lebih
baik dan lebih dalam calon pasangan hidup. Sebab kalau salah pilih akan
menyesal berkepanjangan.

1
http://achmadmuazim17.blogspot.com/2013/10/pacaran-dalam-perspektif-islam.html
diakses pada tanggal 27 Desember 2016 pukul 20:37:58 WITA
2
Fuad Kauma dan Nipan, 2000, Membimbing Istri Mendampingi Suami, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka), Cet V, h.43
3
http://cintaukhti.blogspot.com/2011/05/pacaran-islami-adakah.html di akses pada
tanggal 12 Desember 2016 pukul 16:59:37
4
Hasbi Indra, dkk, 2004, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani), Cet II, h.108
Dalam tradisi lama atau lebih dikenal dengan zaman Siti Nurbaya, yang
mencarikan jodoh itu adalah orang tua. Si anak tinggal menerima saja calon
pendamping hidupnya. Cara ini dianggap kolot dan tidak demokratis oleh anak
muda zaman sekarang. Namun, dalam kenyataannya, pasangan “kolot” tersebut
mampu bertahan lama hingga akhir hayat.

Sekarang ini, zaman telah berubah dan musim pun berganti, cara-cara
pemaksaan sepihak dari orang tua seperti zaman dahulu jelas kurang baik. Kecuali
pihak wanita terlalu pemalu, tidak mampu mencarikan jodoh untuk dirinya, maka
perlu peran dari pihak lain, apakah orang tua atau teman

Dalam memilih jodoh, sekarang ini banyak pasangan muda yang mencari calon
pendamping hidupnya sendiri, mereka kadang menolak bila ada campur tangan
dari orangtuanya dalam soal memilih jodoh. Anak muda sekarang memang lebih
bebas dalam menentukan jodoh sesuai dengan seleranya, sejalan dengan
keinginan atau perasaan cintanya.

Apakah agama islam menolerir pacaran ? Ada yang berpendapat bahwa tidak
ada pacaran dalam islam. Karena didasarkan dengan ayat “Jangan engkau dekati
zina”. Ada pula berpendapat, boleh pacaran untuk mengenal (lita’arafu) lebih
lanjut calon pasangan hidup, sesuai dengan anjuran Allah dalam surat al-Hujarat
(49): 13, yang artinya “Wahai manusia, aku ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan
wanita dan aku jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah
adalah yang paling bertaqwa”.5

Dalam suatu hadits diceritakan, al-Mughirah, shahabat rasul, melapor kepada


Nabi saw bahwa ia baru selesai melamar (khitbah) seorang wanita Anshor. Rasul
bertanya, “Apa sudah engkau lihat wanita itu?” Mughirah menjawab, “Belum”.
Rasul bersabda lagi, “Lihatlah dulu, sebab kalau engkau sudah melihatnya, maka
bisa diharapkan langgeng perjodohanmu dan hidup rukun”.

5
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, h.109
Setelah mendengar sabda rasul tersebut, Mughirah mendatangi rumah
tunangannya dan menyampaikan sabda Rasulullah tersebut kepada orang tua
maupun si gadis. Si wanita itu berkata, “Dekatkanlah pria itu kepadaku?”
Mughirah mendekat dan gadis itu berkata, “Jika Rasulullah memerintahkan kamu
untuk melihatku, nah lihatlah! Inilah diriku! Kalau engkau tidak mau masuk,
biarkanlah aku yang keluar agar kamu bisa melihatku”. Mughirah lalu melihat
dengan jelas wajah dan bentuk tubuh perempuan itu.

Merujuk pada hadits tersebut, sebagian ulama kemudian menetapkan bahwa


pria dan wanita yang hendak menikah disunahkan untuk melihat calon
pasangannya masing-masing. Sudah sewajarnya bila seorang wanita dan pria
sebelum ia mengajukan lamaran/pinangan terhadap orang yang akan dinikahi,
sebaiknya saling mengenal, saling menyayangi, dan saling mencintai.

Pada zaman Rasulullah, pinangan itu dilakukakan saat baru bertemu dan tidak
saling mengenal dengan baik sebelumnya. Hal itu seperti dijelaskan dalam hadits
di atas maupun hadts yang diriwayatkan oleh Jabir bahwa Rasulullah saw pernah
bersabda,

“Jika seseorang diantara kamu mau meminang seorang perempuan, kalau bisa
melihatnya lebih dulu sesuatu yang menjadi daya tarik untuk menikahinya,
hendaklah engkau lakukan hal itu. Jabir berkata; maka saya meminang
perempuan dan aku membuntutinya sehingga terlihat apa yang menjadi daya
tarik untuk menikahinya, sesudah itu saya mengawininya”. (HR Bukhari
Muslim).

Hadits di atas menganjurkan kepada pria untuk melihat calon istrinya terlebih
dahulu sehingga mengetahui daya tarik yang menjadi alasan kuat untuk
menikahinya. Begitu pula sebaliknya, seorang wanita perlu mengetahui wajah
suaminya. Hadits di atas menjadi landasan perlunya saling mengenal antara pria
dan wanita, sehingga masing-masing pihak mengetahui kelebihan dan
kekurangannya.
Bila yang di maksud adalah daya tarik fisik, memang sepintas hal itu bisa
dilihat pada wanita atau juga pria. Namun, untuk menikahi seseorang, tidak cukup
dengan melihat penampilan fisik. Ada tiga hal penting yang perlu
dipertimbangkan, seperti ditegaskan dalam suatu hadits,

“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena


keturunannya (nasab), karena wajahnya (kecantikannya) dan karena
agamanya. Maka utamakanlah wanita yang beragama (karena bila tidak)
maka kamu akan mengalami kehancuran.” (HR. Muslim)

Anjuran untuk mengenal dan melihat seperti penjelasan ayat dan hadits-hadits
di atas adalah agar kedua belah pihak saling kenal dan mengetahui dengan baik
satu sama lain. Dalam tradisi zaman dahulu memang tidak ada istilah pacaran,
bahkan seorang wanita baru kenal suaminya saat menikah dan berdampingan di
pelaminan, karena dijodohkan oleh orang tuanya masing-masing.

Pacaran dalam rangka berteman guna mengenal karakter dan kepribadian


masing-masing secara lebih baik, pada dasarnya tidak dilarang oleh agama, seperti
perintah Allah untuk saling mengenal dalam QS. Al-Hujarat (49):13 dan perintah
rasul untuk saling menyayangi. Pacaran yang dilarang agama adalah yang
mengarah kepada perbuatan zina dan hanya untuk bersenang-senang semata tidak
mengarah untuk jenjang pernikahan.

Dalam tradisi islam, di contohkan oleh Rasul dan para sahabat, memang tidak
ada contoh pacaran yang berlama-lama. Kalau Nabi saw dan para sahabat senang
dan tertarik kepada seorang wanita, maka mereka segera melamar dan menikahi
wanita tersebut. Pacaran terlalu lama memang tidak baik. Misalnya, sampai lebih
lima tahun. Karena pacaran terlalu lama akan timbul fitnah di masyarakat. Bahkan
pacaran terlalu lama berpeluang besar terjadinya perzinahan.
Tipe-tipe pacaran menurut Muhammad Muhyidin dalam bukunya “Pacaran
Setengah Halal Setengah Haram” terbagi menjadi dua, yaitu6 :

1. Pacaran yang Memperbodoh


Pacaran yang memperbodoh ini di definisikan secara ringkas sebagai
wujud pacaran yang menjadikan kekasih terjauhkan dari nilai-nilai moral
agama (moralitas agama). Secara lebih jelasnya, kita menemukan bahwa
ternyata ada tiga maksud dari istilah pacaran yang memperbodoh diri
menurut sudut pandang kita sebagai orang yang beriman, yaitu :
a. Pacaran yang ditandai dengan perilaku sepasang kekasih yang
berkencan berdua-duaan hingga melakukan hal-hal yang dilarang oleh
agama.
b. Pacaran yang menyebabkan para pecinta mengalami kerusakan secara
psikis.
c. Pacaran yang menyebabkan para pecinta mengalami kerusakan secara
fisik.
2. Pacaran yang Mencerdaskan
Pacaran yang mencerdaskan adalah apabila laki-laki dan seorang
perempuan yang sedang terlibat hubungan asmara dan mereka bisa
mencapai kebahagiaan, kenyamanan dan kedamaian karena menjadikan
Allah SWT., sebagai poros cinta mereka. Ialah pacaran yang menjadikan
Allah SWT., sebagai pusat cinta, menjadikan keridhaan-Nya sebagai tujuan
cinta, dan menjadikan cinta-Nya sebagai acuan untuk mengembangkan
cinta di antara mereka.
Dengan cara demikian, para pecinta dan para kekasih yang di cinta
tidak akan pernah merasakan gejolak jiwa yang justru membuat diri mereka
sendiri celaka. Kerinduan, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan, dan sifat-
sifat yang cenderung negatif lainnya sebagai sifat umum yang di rasakan
oleh para pecinta tidak akan membuat mereka terluka oleh sebab yang
dicinta tidak memenuhi harapannya.

6
http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/09/pacaran-dalam-perspektif-
hukum-islam.html di akses pada tanggal 27 Desember 2016pukul 20:39:40
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pacaran, yaitu7 :

1. Berteman antar lawan jenis hendaknya dalam rangka saling mengenal


(lita’aruf) satu sama lain untuk ke jenjang yang lebih serius yaitu
pernikahan, bukan untuk tujuan mencari kebahagiaan duniawi semata.
2. Menikah adalah sunnah nabi, maka faktor yang mendukung terjadinya
proses menuju pernikahan seperti berkenalan (ta’aruf) adalah sunnah pula
hukumnya.
3. Pacaran di larang bila akan mengarah kepada perbuatan zina, seperti
bercumbu rayu yang membangkitkan syahwat atau libido seks.
4. Untuk menghindari perbuatan zina, harus di hindari pergi hanya berdua-
duaan di tempat sunyi, karena dikhawatirkan tidak kuat melawan bisikan
setan. Kalau bepergian, usahakan mengajak pihak ketiga seperti orang tua,
saudara atau teman. Pria meminta izin dengan orang tua dan
memberitahukan apa tujuannya.
5. Pakaian harus sopan atau tidak merangsang lawan jenis. Berpakainlah
dengan sopan menggunakan busana yang syar’i, seperti mengenakan
busana muslimah yang tidak ketat, tidak terawang, dan sebagainya.

7
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, h.113
Daftar Pustaka

Fuad Kauma dan Nipan. 2000. Membimbing Istri Mendampingi Suami


Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Indra, dkk. 2004. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, Cet II.

http://achmadmuazim17.blogspot.com/2013/10/pacaran-dalam-perspektif-
islam.html

http://cintaukhti.blogspot.com/2011/05/pacaran-islami-adakah.html

http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/09/pacaran-dalam-
perspektif-hukum-islam.html

Anda mungkin juga menyukai