1. Pembentukan pelikel
Seluruh permukaan di rongga mulut termasuk jaringan keras dan jaringan
lunak dilapisi oleh material organik yang disebut acquired pellicle yaitu
merupakan suatu protein tipis-mengandung film turunan dari glikoprotein saliva.
Turunan saliva ini terdiri dari mucin, aglutinin, protein kaya prolin, protein kaya
fosfat seperti staterin, dan enzim seperti α-amylase, dan molekul lain yang dapat
berfungsi sebagai area adhesi (reseptor) bakteri. Salivary pellicle dapat terdeteksi
pada permukaan enamel yang bersih setelah 1 menit. Dalam waktu 2 jam, pelikel
sudah dalam tahap keseimbangan antara adsorpsi dan pelepasan meskipun
maturasi pelikel baru dapat diamati beberapa jam kedepan. Pelikel dapat
menempel pada permukaan gigi dengan adanya interaksi antara hidroksiapatit
yang berisi banyak gugus fosfat muatan negatif dengan mikro molekul saliva serta
GCF yang bermuatan positif. Menurut Amstrong (1968), pembentukan pelikel
terjadi berdasarkan mekanisme elekstrostatik, gaya van der walls, dan gaya
hidrofobik.
3. Kolonisasi/maturasi plak
Kolonisasi primer bakteri berfungsi sebagai reseptor untuk perlekatan
bakteri-bakteri lain melalui proses koadhesi. Bersama dengan pertumbuhan
mikroorganisme yang telah melekat, koadhesi memicu perkembangan
mikrokoloni dan akhirnya terjadi maturasi biofilm. Secara laboratoris, interaksi
antara sel-sel yang secara genetik berbeda dengan suspensi menghasilkan
gumpalan atau yang disebut koagregasi yang dapat dilihat secara kasat mata.
Interaksi yang baik antara kolonisasi sekunder dengan kolonisasi primer
ditemukan seperti pada koagregasi F. nucleatum dengan S. sanguinis, Prevotella
loescheii dengan A. oris, dan Capnocytophaga ochracea dengan A. oris.
Kolonisasi sekunder seperti Prevotella intermedia, Prevotella loscheii,
Capnocytophaga spp., F.nucleatum, dan P.gingivalis tidak berkolonisasi awal
dengan permukaan gigi yang bersih namun melekat pada bakteri yang telah ada
pada plak. Transisi dari plak supragingiva awal ke plak subgingiva yang matur
melibatkan perubahan populasi mikrobial dari yang awalnya didominasi oleh
bakteri Gram positif menjadi bakteri Gram negatif. Contoh dari koagregasi ini
adalah antara F. nucleatum dengan P. gingivalis atau Treponema denticola.
Perbedaan Periodontitis Kronis dengan Periodontitis Agresif
Pada sebuah workshop yang dilakukan, komite AAP dan EFP telah menelaah 19 tulisan dan 4
kasus mengenai periodontologi dan implan kedokteran gigi sehingga kemudian memperbaharui
klasifikasi penyakit periodontal 1999 dengan kondisi dan penyakit peri-implan kedokteran gigi.
Kesehatan Periodontal, Gingivitis, dan Kondisi Gingiva
Workshop 1989 mengemukakan bahwa periodontitis memiliki beberapa perbedaan klinis, usia,
dan progress dari penyakitnya sehingga mengkatogerikan periodontitis menjadi prepubertal,
juvenile (lokalis dan generalis), dewasa, dan progress cepat. Pada tahun 1993 European
Workshop mengklasifikasikannya menjadi 2 klasifikasi utama yaitu adult dan early onset
periodontitis. Pada tahun 1999 kemudian klasifikasi periodontitis diubah kembali menjadi
kronis, agresif (lokalis dan generalis), necrotizing, dan manisfestasi dari penyakit sistemik. Pada
workshop 2017, dikemukakan bahwa terdapat staging dan grading yang dapat diaplikasikan ke
dalam klasifikasi periodontitis. Staging adalah komponen yang mengaitkan keparahan penyakit
secara klinis dengan rencana perawatannya. Grading mengemukakan mengenai faktor biological
dari penyakit yaitu analysis riwayat progress penyakit, kemungkinan resiko penyakit nantinya,
antisipasi poor outcome dari perawatan yang dilakukan, dan kemungkinan resiko bahwa penyakit
maupun perawatan yang akan dilakukan dapat berdampak terhadap kesehatan umum pasien.
Staging memiliki 4 kategori (stage 1-4) dan ditentukan setelah menganalisis beberapa variabel
yaitu kehilangan perlekatan, jumlah dan presentase kerusakan tulang yang terjadi, kedalaman
probing, adanya defek tulang secara angular dan keterlibatan furkasi, kegoyangan gigi, dan
kehilangan gigi selama terjadinya penyakit periodontitis.
Grading memiliki 3 level yaitu grade A-low risk progression, grade B-moderate risk
progression, dan grade C-high risk progression dan cangkupannya terhadap aspek yang
berhubungan dengan progress periodontitis, status kesehatan umum pasien, dan paparan lain
seperti merokok ataupun status control pada pasien diabetes. Grading dapat memperlihatkan
faktor individual pasien terhadap diagnosis yang merupakan komponen penting dalam perawatan
nantinya.
Klasifikasi baru dari penyakit dan kondisi jaringan periodontal juga mencangkup kondisi dan
kelainan sistemik yang dapat mempengaruhi jaringan periodontal seperti Papillon Levere
Syndrome yang secara umum berkaitan dengan kasus severe periodontitis. Klasifikasi
“Periodontitis as Manisfestation of Systemic Disease” dilakukan berdasarkan kelainan sistemik
yang utama, sedangkan “Systemic Disease or Condition Affecting the Periodontal Supporting
Tissue” didasarkan oleh penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi perubahan mikroflora pada
jaringan periodontal seperti halnya penyakit neoplasma yang dapat mempengaruhi pembentukan
dental plak.
Perubahan Klasifikasi mengenai Pertumbuhan Periodontal dan Keadaan Deformitas yang
Didapat
Kondisi Mukogingival
Pada laporan konsensus yang terbaru memperlihatkan klasifikasi resesi gingiva yang
menyatukan parameter klinis, termasuk fenotip gingiva. Pada laporan ini juga terdapat perubahan
istilah dari periodontal biotype menjadi periodontal phenotype.
Traumatic occlusal force yang menggantikan istilah excessive occlusal force adalah gaya yang
mempengaruhi kemampuan adaptif periodontium dan atau gigi geligi. Traumatic occlusal force
dapat menyebabkan trauma oklusi dan gigi menjadi aus maupun fraktur. Terdapat bukti yang
kurang kuat untuk mengaitkan trauma oklusi dengan progress kehilangan tulang pada
periodontitis.
Pada klasifikasi yang baru ini, istilah biologic width digantikan oleh supracrestal attached
tissues. Klasifikasi ini dikembangkan karena adanya data terbarukan yang mengaitkan prosedur
restorasi indirek dengan resesi dan kehilangan perlekatan.
Pada klasifikasi ini terdapat kesehatan peri-implan, peri-implant mukostitis, dan peri-implantitis.
Kesehatan Peri-Implan didefinisikan berdasarkan klinis dan histologisnya. Pada tampilan klinis,
kesehatan peri-implan dikarakteristikan dengan tidak adanya inflamasi dan bleeding on probing.
Kesehatan peri-implan dapat terjadi pada jaringan pendukung yang normal maupun terdapat
penurunan.
Peri-Impant mucositis dikarakteristikan dengan bleeding on probing dan adanya inflamasi pada
tampilan klinis. Umumnya hal ini disebabkan dental plak namun ada beberapa bukti yang
menyatakan hal ini dapat terjadi bukan karena plak walaupun bukti tersebut berjumlah sedikit.
Peri-implant mucositis dapat dikembalikan seperti semula dengan menghilangkan plak yang ada.
Peri-implantitis didefinisikan sebagai kondisi patologis yang berkaitan dengan plak sehingga
menyebabkan inflamasi pada mukosa peri-implant dan adanya kehilangan jaringan pendukung
tulang yang progresif. Peri-impantitis dikaitkan dengan pasien yang memiliki kontrol plak buruk
dan memiliki riwayat severe periodontitis.
Proses penyembuhan yang terjadi pasca kehilangan gigi menyebabkan pengurangan dimensi dari
prosesus alveolar atau ridge nya yang menyebabkan defisiensi jaringan keras dan jaringan lunak
pada daerah tersebut. Defisiensi ridge yang banyak dapat menyebabkan kehilangan jaringan
periodontal yang parah, trauma ekstraksi, infeksi endodontik, fraktur akar, plate bukal yang tipis,
posisi gigi yang buruk, serta injuri dan pneumatisasi sinus maksilari. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi ridge adalah medikasi dan kelainan sistemik yang dapat menyebabkan
pengurangan jumlah pembentukan tulang secara normal, agenesis gigi geligi, dan tekanan dari
protesa.