Anda di halaman 1dari 9

PROSEDUR MENENTUKAN KADAR ANTIOKSIDAN

A. Pengertian Antioksidan
Antioksidan didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan
cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil,
atau bisa difenisikan sebagai senyawa yang mampu menunda, memperlambat atau menghambat
reaksi oksidasi makanan atau obat.
B. Metode Pengujian Antioksidan
Adapun pengujian antioksidan ada beberapa metode yang digunakan yaitu:
a. Pengukuran Penangkap Radikal
Pengujian dengan cara ini dilakukan dengan cara mengukur penangkapan radikal
sintetik dalam pelarut organik polar seperti etanol pada suhu kamar. Radikal sintetik yang
digunakan adalah DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) dan ABTS (2,2-azinobis-3-etil
benzothiazolin-asam sulfonat) (Desmarchelier, et al., 1998).
Senyawa DPPH adalah radikal bebas yang stabil berwarna ungu. Ketika direduksi
oleh radikal akan berwarna kuning (diphenyl picrylhydrazin) (Gambar 1). Metode DPPH
berfungsi untuk mengukur elektron tunggal seperti aktivitas transfer Hx sekalian juga
untuk mengukur aktifitas penghambatan radikal bebas. Campuran reaksi berupa larutan
sampel yang dilarutkan dalam etanol absolut dan di inkubasikan pada suhu 37o selama 30
menit, dibaca pada panjang gelombang 517 nm. Hasil perubahan warna dari ungu menjadi
kuning stokiometrik dengan jumlah elektron yang ditangkap. Metode ini sering digunakan
untuk mendeteksi kemampuan artiradikal suatu senyawa sebab hasil terbukti akurat,
reliabel dan praktis, selain itu sederhana, cepat, peka dan memerlukan sedikit sampel
(Huang et al., 2005; Sanchez-Moreno, 2002). Reaksi DPPH dapat dilihat pada Gambar 1.

b. Pengujian Aktivitas
Antioksidan dengan Sistem Linoleat – Tiosianat. Asam linoleat merupakan asam
lemak tidak jenuh dengan dua buah ikatan rangkap yang mudah mengalami oksidasi
membentuk peroksida. Peroksida ini selanjutnya mengalami ion fero menjadi ion feri
bereaksi dengan ammonium tiosianat membentuk kompleks feri tiosianat (Fe(SCN)3) yang
berwarna merah. Intensitas warna merah ini diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 490 nm. Semakin intens warna merahnya menunjukkan bahwa semakin banyak
peroksida yang terbentuk.
c. Pengujian dengan Asam Tiobarbiturat (TBA)
Pengujian ini berdasarkan adanya malonaldehid yang terbentuk dan asam lemak
bebas tidak jenuh dengan paling sedikit mempunyai tiga ikatan rangkap dua. Malonaldehid
selanjutnya bereaksi dengan asam tiobarbiturat membentuk produk kromogen yang
berwama merah yang dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm.
d. Pengujian dengan Sistem β-Karoten – Linoleat.
Pengujian ini dilakukan dengan mengamati kecepatan terjadinya pemucatan warna
E-karoten. Selain ini juga dilakukan dengan bilangan pengujian peroksida, pengujian
dengan bilangan para-anisidin, dan pengujian dengan bilangan oktanoat (Pokorni et al.,
2001).

 Analisis Antioksidan

a. Uji DPPH

DPPH atau 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (α,α-difenil-βpikrilhidrazil) merupakan suatu radikal


bebas yang stabil dan tidak membentuk dimer akibat delokalisasi dari elektron bebas pada seluruh
molekul. Ketika larutan DPPH dicampur dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom
hidrogen, maka warna ungu dari larutan akan hilang seiring dengan tereduksinya DPPH. Uji
aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode ini berdasarkan dari hilangnya warna ungu
akibat tereduksinya DPPH oleh antioksidan. Intensitas warna dari larutan uji diukur melalui
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang sekitar 520 nm. Hasil dari uji ini
diinterpretasikan sebagai EC50, yaitu jumlah antioksidan yang diperlukan untuk menurunkan
konsentrasi awal DPPH sebesar 50%. Pada metode ini tidak diperlukan substrat sehingga memiliki
keuntungan, yaitu lebih sederhana dan waktu analisis yang lebih cepat.

1. Pengujian Antioksidan Menyiapkan 5 sampel yang memiliki variasi waktu ekstraksi yaitu
15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit. Kemudian membuat larutan induk
masing-masing sampel sebesar 100 ppm dengan melarutkan 10 mg ekstrak pada 100 ml
metanol PA. Selanjutnya melakukan pengenceran menggunakan pelarut metanol PA
dengan membuat variasi konsentrasi yaitu 5 ppm, 6 ppm, 7 ppm, 8 ppm dan 9 ppm pada
tiap masing-masing sampel. Menyiapkan larutan stock DPPH 50 ppm. Larutan stock
DPPH dibuat dengan melarutkan 5 mg padatan DPPH ke dalam 100 ml metanol PA.
Kemudian disiapkan larutanperbandingan, yaitu larutan kontrol yang berisi 2 ml metanol
PA dan 1 ml larutan DPPH 50 ppm. Untuk sampel uji, disiapkan masing-masing 2 ml
larutan sampel dan 2 ml larutan DPPH. Kemudian, di inkubasi selama 30 menit pada suhu
27°C hingga terjadi perubahan warna dari aktivitas DPPH. Semua sampel dibuat triplo.
Semua sampel yaitu sampel ekstrak yang telah di inkubasi di uji nilai absorbansinya
menggunakan spektrofotometer Uv-vis pada panjang gelombang 517 nm.
2. Sebanyak 1 ml larutan DPPH 1 mM (dalam metanol) dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Ekstrak etanol tanaman dilarutkan dalam metanol lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi
hingga volume larutan tepat 5 ml. Larutan tersebut didiamkan selama 30 menit dan diukur
absorbansnya pada 515,5 nm. Larutan troloks dengan berbagai konsentrasi digunakan
untuk membuat kurva kalibrasi. Kapasitas antioksidan dinyatakan dalam μmol troloks/g
serbuk kering.
3. Prosedur pengujian dilakukan berdasarkan Blois (1958). Dibuat beberapa larutan sampel
dengan konsentrasi 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200 ppm dan trolox dengan konsentrasi
20,40,60,80, dan 100 ppm. Sampel dipipet dan ditambahkan larutan DPPH (200 ppm)
dengan perbandingan 1:4 ke dalam 96-well clear polystyrene microplate lalu
dihomogenkan. Campuran diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC, kemudian serapan
di– ukur dengan microplate reader pada panjang ge– lombang 520 nm. Trolox sebagai
kontrol positif diperlakukan sama dengan sampel
b. Uji ABTS

Asam 2,2’-Azinobis(3-etilbenzatiazolin)-6-sulfonat (ABTS) merupakan substrat dari


peroksidase. Akumulasi dari ABTS dapat dihambat oleh antioksidan pada medium reaksi dengan
aktivitas yang bergantung waktu reaksi dan jumlah antioksidan. Kemampuan relatif antioksidan
untuk mereduksi ABTS dapat diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 734 nm.
Absorbansi maksimal juga dapat terjadi pada panjang gelombang yang lain. Panjang gelombang
yang mendekati daerah infra merah (734 nm) dipilih untuk meminimalkan interfensi dari
absorbansi komponen lainnnya.Hasil pengukuran dengan spektrofotometer selanjutnya
dibandingkan dengan standar baku antioksidan sintetik, yaitu trolox yang merupakan analog
vitamin E larut air. Hasil perbandingan ini diekspresikan sebagai TEAC (Trolox Equivalent
Antioxidant Activity).
a. Pembuatan Larutan ABTS
Ditimbang serbuk ABTS 7,100 mg dan serbuk kalium persulfat 3,500 mg,
kemudian masing-masing dilarutkan dalam 5 mL etanol. Larutan diinkubasi selama 12 jam
dalam ruangan gelap. Larutan keduanya dicampur, kemudian dicukupkan volumenya
dengan etanol sampai 25 mL.
b. Pengukuran aktivitas antioksidan
Prosedur pengujian dilakukan berdasarkan Arnao (2000). Dibuat beberapa larutan
sampel dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm. Trolox disiapkan dengan
konsentrasi 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. Larutan ABTS dan sampel dipipet dengan
perbandingan 1:1 ke dalam 96-well clear polystyrene microplate kemudian dihomogenkan.
Campuran lalu diukur serapannya dengan microplate reader pada panjang gelombang 520
nm. Trolox sebagai kontrol positif diperlakukan sama dengan sampel

b. Uji FRAP

Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) bekerja berdasarkan reduksi dari analog
ferroin, kompleks Fe3+ dari tripiridiltriazin Fe (TPTZ)3+ menjadi kompleks Fe2+, Fe(TPTZ)2+ yang
berwarna biru intensif oleh antioksidan pada suasana asam. Hasil pengujian diinterpretasikan
dengan peningkatan absorbansi pada panjang gelombang 593 nm dan dapat disimpulkan sebagai
jumlah Fe2+ (dalam mikromolar) ekuivalen dengan antioksidan standar.

a) Pembuatan larutan FRAP


Ditimbang natrium asetat trihidrat, TPTZ, dan FeCl3.6H2O masing-masing
sebanyak 187, 150, dan 270 mg. Natrium asetat trihidrat ditambahkan asam asetat 16 mL
dan dilarutkan dengan aquadem hingga tepat 250,0 mL. Serbuk TPTZ dilarutkan dalam
HCl 40 mM hingga tepat 50,0 mL. FeCl3.6H2O dilarutkan dengan aquadem hingga tepat
100,0 mL. Ketiga larutan tersebut dicampur dengan cara menambahkan larutan natrium
asetat trihidrat 25 mL, larutan TPTZ 2,5 mL, dan larutan FeCl3.6H2O 2,5 mL, lalu
ditambahkan aquadem hingga tepat 100,0 mL dalam labu ukur.
b) Pengukuran aktivitas antioksidan
Prosedur pengujian aktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan Benzie dan Strain
(1996). Dibuat larutan sampel dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm.Trolox
disiapkan dengan konsentrasi 10, 15, 20, 25, dan 30 ppm. Larutan FRAP dan sampel
dipipet dengan perbandingan 1:3 ke dalam 96-well clear polystyrene microplate kemudian
dihomogenkan dan didiamkan selama 10 menit pada suhu 37°C, lalu diamati
absorbansinya pada panjang gelombang 594 nm. Trolox diperlakukan sama dengan sampel
dan dijadikan sebagai kontrol positif.

c. Uji CUPRAC
Pada metode CUPRAC (cupric ion reducing antioxidant capacity), kompleks bis-neokuproin-
tembaga(II) akan mengoksidasi senyawaan antioksidan dalam ekstrak tanaman dan mengalami
reduksi membentuk kompleks bis-neokuproin-tembaga(I). Secara visual hal ini dapat dilihat dari
perubahan warna kompleks larutan dari biru toska menjadi kuning. Pereaksi CUPRAC merupakan
pereaksi yang selektif karena memiliki nilai potensial reduksi yang rendah, yaitu sebesar 0,17 V
(Apak et al. 2007).
Sebanyak 1 ml ekstrak dilarutkan dalam etanol 96% ditambahkan 1 ml CuCl2·2H2O 0,01 M;
1 ml neokuproin etanolik 0,0075 M; 1 ml bufer amonium asetat pH 7 1M; dan 0.1 ml akuades.
Larutan didiamkan selama 30 menit dan diukur absorbansnya pada 453,4 nm. Sebagai blangko
digunakan campuran larutan tanpa ekstrak. Kurva kalibrasi dibuat menggunakan larutan troloks
dengan berbagai konsentrasi. Kapasitas antioksidan dinyatakan dalam μmol troloks/g serbuk
kering.

MENENTUKAN BILANGAN PEROKSIDA


 Prinsip Kerja : Bilangan peroksida sebagai jumlah asam lemak terokidasi ditentukan
berdasarkan jumlah iodium (I2) yang terbentuk dari reaksi peroksida dalam minyak dengan
iodie (I) yang sebanding dengan kadar peroksida sampel.

 Alat
1. Erlemeyer 250 mL
2. Buret
3. Beaker glass
4. Neraca analitik
5. Gelas ukur
6. Statif dan klemp
7. Pipet
8. Corong

 Bahan
a. Sampel
1. Minyak goreng baru
2. Minyak goring bekas
3. Pereaksi
1) Larutan KI jenuh. Larutan kalium iodida jenuh dibuat dengan menambahkan kristal
kalium iodida (KI) kedalam aquades sampai kristal tersebut menjadi tidak larut.
2) Pelarut. Terdiri dari asam asetat glasial (CH3COOH 100%) dan Chloroform (CHCl3)
dengan perbandingan 3:2. Cara membuatnya yaitu dengan memasukkan 600 mL asam
asetat glasial ke dalam botol coklat dan kemudian ditambahkan dengan 400 mL
kloroform.
3) Larutan Natrium thiosulft (Na2S2O3.5H2O) 0,01 N. Cara pembuatan: ditimbang 2,4187
gr kristal Na2S2O3.5H2O dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 mL, dan ditambahkan
aquades sampai tanda batas.
4) Larutan indikator amilum 1%. Larutan indikator amilum dibuat dengan cara
menambahkan 1 ram serbuk amilum kedalam 100 mL aquades, kemudian dipanaskan
hingga mendidih sambil diaduk, kemudian didinginkan terlebih dahulu sebelum
digunakan. Larutan amilum dibuat beberapa saat sebelum totrasi dilakukan untuk
mencegah rusaknya amilum.
 Prosedur kerja
1) Timbang dengan saksama 5 gram contoh minyak ke dalam erlenmeyer.
2) Tambhakan 30 ml pelarut (asam acetat : kloroform), kocok sampai semua contoh
minyak terlarut.
3) Tambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, diamkan pada tempat gelap selama 2 menit,
sambil dikocok.
4) Tambahkan 30 ml aquadest, kelebihan iod dititer dengan Natrium tiosulfat dengan
amilum sebagai indikator.
5) Dengan cara yang sama buatlah penetapan untuk blanko.
PROSEDUR MENENTUKAN KADAR MDA (MALONDIALDEHIDA)

Malondialdehida (MDA) merupakan produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan
terdapat dalam bentuk bebas atau terkompleks dengan jaringan di dalam tubuh. Reaksi ionisasi
senyawa senyawa radikal bebas juga dapat membentuk MDA dan MDA juga merupakan produk
samping biosintesis prostaglandin (Bird dan Drapper,1984).
Senyawa senyawa aldehida dan keton seperti hidroksialkenal dan tentunya MDA terbentuk
dari bereaksinya molekul lemak dengan asam lemak tak jenuh yang karbon metilennya telah
teroksidasi, selanjutnya senyawa-senyawa ini telah diketahui bersifat toksik terhadap sel.
Konsentrasi MDA dalam material biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator dan
kerusakan oksidatif pada lemak tak jenuh sekaligus merupakan indikator keberadaan radikal bebas
(Zakaria,1996).
Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan mudah dalam
menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisis radikal bebas secara langsung sangat
sulit dilakukan karena senyawa radikal sangat tidak stabil dan bersifat elektrofil dan reaksinya pun
berlangsung sangat cepat (Gutteridge, 1996).
Pengukuran MDA dapat dilakukan dengan pereaksi thiobarbituric acid (TBA) dengan
mekanisme reaksi penambahan nukleofilik membentuk senyawa MDA-TBA (Conti et., al.,1991).
Senyawa ini berwarna merah jambu yang dapat diukur intensitasnya dengan menggunakan
spektrofotometer.

a. Metode
Metode yang digunakan yaitu TBARS (Thiobarbituric Acid Reactive Substance) dengan
florofotometri dan dilakukan terhadap sampel organ hati tikus. Prinsip analisis ini yaitu pemanasan
akan menghidrolisis peroksida lipid sehingga MDA yang terikatakan dibebaskan dan akan
bereaksi dengan TBA dalam suasana asam membentuk kompleks MDA-TBA yang berwarna
merah dan diukur pada panjang gelombang 532 nm.
b. Prosedur

BTP (BAHAN TAMBAHAN PANGAN)


Warna merupakan salah satu aspek penting dalam hal penerimaan konsumen terhadap
suatu produk pangan. Warna dalam bahan pangan dapat menjadi ukuran terhadap mutu, warna
juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Zat pewarna makanan adalah
bahan tambahan pangan yang ditambahan ke dalam makanan dengan tujuan untuk memperbaiki
atau memberi warna pada makanan sehingga makanan tersebut lebih menarik, menyeragamkan
dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan
penyimpanan.
Berdasarkan sumbernya, zat pewarna untuk makanan dapat diklasifikasikan menjadi dua
macam, yaitu certified color dan uncertified color. Perbedaan antara certified dan uncertified color
adalah certified color merupakan zat pewarna sintetik yang terdiri dari dye dan lake, sementara
uncertified color adalah zat pewarna yang berasal dari bahan alam. Zat pewarna alami diperoleh
dengan cara mengekstrak tumbuhan, bersifat lebih aman, namun hanya memiliki variasi warna
dalam jumlah yang sedikit, kurang praktis, serta mudah memudar. Sedangkan zat pewarna buatan
diperoleh melalui proses sintesis kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan kimia, atau
berasal dari bahan yang mengandung pewarna alami melalui proses ekstraksi secara kimiawi.
Pada pewarna alami, terdapat beberapa kandungan yaitu karoten (menghasilkan warna
jingga hingga merah) dapat diperoleh dari wortel dan pepaya, biksin (menghasilkan warna kuning
seperti mentega) diperoleh dari biji pohon bixa orelana, klorofil (menghasilkan warna hijau)
diperoleh dari daun-daunan, dan antosianin (menghasilkan warna orange, ungu, merah, dan biru)
dapat diperoleh dari bungan dan buah. Pewarna alami dapat diperoleh dari hewan seperti : warna
merah muda pada flamingo dan ikan salem sedangkan dari tumbuh-tumbuhan seperti: kunyit
(kuning), bunga telang (biru keunguan), rosella (merah), daun pandan (hijau), dan lain sebagainya.
Pengguanaan zat pewarna alami memiliki beberapa kelebihan yaitu, aman dikonsumsi, warna lebih
menarik, mengandung zat gizi, mudah diperoleh dari alam, dan memiliki beberapa kekurangan
yaitu, tidak stabil saat proses pemasakan, stabilitas pigmen rendah, seringkali memberikan rasa
dan aroma khas yang tidak diinginkan, serta sulit dalam penggunaanya. Beberapa ciri khas dari zat
pewarna alami yang terdapat dalam makanan antara lain warna agak kusam atau pudar,
membutuhkan bahan pewarna lebih banyak, dan membutuhkan waktu lama untuk meresap ke
dalam produk.
Pewarna buatan sering juga disebut dengan zat warna sintetik. Proses pembuatan zat warna
sintetik ini biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali
terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Menurut Winarno (1992), zat
pewarna sintetik harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai
pewarna makanan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaannya dalam makanan dikenal dengan
certified color atau permitted color. Untuk penggunaannya, zat warna tersebut harus menjalani tes
prosedur penggunaan yang disebut proses sertifikasi. Beberapa contoh zat pewarna sintetis yang
diizinkan penggunaannya untuk makanan adalah amaran (merah), biru berlian (biru), fast green
FCF (hijau), dan tartazine (kuning). Dalam penggunaannya, zat pewarna ini memiliki beberapa
kelebihan yaitu, warna lebih cerah, tidak mudah larut dalam air, lebih homogen, memiliki variasi
warna yang lebih banyak, lebih murah, ketersediaannya tidak terbatas, lebih stabil, dan lebih cepat
meresap ke dalam produk. Sedangkan kekurangannya yaitu jumlah pemakaiannya harus sesuai
dengan prosedur yang sudah ditentukan.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan RI telah mengeluarkan Surat Keputusan
tentang jenis pewarna alami dan sintetik yang diizinkan serta yang dilarang digunakan dalam
makanan pada tanggal 1 Juni 1979 No. 235/Menkes/Per/VI/79. Kemudian disusul dengan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 1 Mei 1985 No. 293/Menkes/Per/V/85, yang berisikan
jenis pewarna yang dilarang. Dan terakhir telah dikeluarkan pula Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, yang mengatur batas maksimum penggunaan dan
pewarna yang diizinkan di Indonesia. Untuk menjamin pelaksanaan pengaturan tentang bahan
tambahan makanan ini, Departemen Kesehatan melakukan pengawasan makanan. Pengawasan
bahan tambahan makanan, selain ditujukan pada bahan tambahan makanan itu sendiri, juga pada
makanan yang mengandung bahan tambahan makanan. Pengawasan dilakukan oleh Direktorat
Pengawasan Makanan dan Minuman pada tingkat pusat oleh Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan, Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan, serta Kantor Departemen Kesehatan tingkat
daerah.

Anda mungkin juga menyukai