Anda di halaman 1dari 13

Ulangan Tengah Semester Mata Kuliah Metodologi Penelitian Sosial

KAJIAN BERITA SESUAI DENGAN 3 PARADIGMA


&
RANCANGAN PENELITIAN MENGENAI FENOMENA SESUAI
KAJIAN ILMU KOMUNIKASI
Dosen : Jaduk Gilang Pembayun, S.Ikom., M.Ikom

Disusun Oleh :

Muhamad Fatchul Jawat (1810202072)

Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Tidar
2019
Pendekatan Positivistik

Positivisme berasal dari kata “positif” yang artinya faktual, sesuatu yang berdasar fakta atau
kenyataan, menurut positivism, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta yang ada, sehingga
dalam bidang pengetahuan, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang
pengetahuan. Positivistik muncul pada abad ke-19 di barat. Suatu abad yang ditandai dengan dominasi
fikiran – fikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan
filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat, lebih
ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia.

Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang abstrak”. Aliran Positivistik ini
didirikan atau dicetuskan oleh seorang filosof bernama Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte
(1798-1857) atau yang lebih dikenal dengan nama Auguste Comte. Positivisme diperkenalkan oleh
Auguste Comte dalam buku utamanya yang berjudul Cours de Philosophic Positive, yaitu kursus
tentang filsafat positif (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid7. Dalam aliran positivistic,
pengetahuan akan diakui jika bisa dibuktikan dengan kebenaran inderawi.

Yang paling terpenting dalam Positivistik atau Positivisme adalah jangkauan data yang dapat
dibuktikan secara nyata oleh inderawi (seperti dilihat, dirasakan dan didengar). Misalnya seseorang
mengatakan bahwa air logam merupakan isolator atau penghantar panas yang baik setelah
mengadakan penelitian atau observasi, panas yang mengalir melalui bahan logam itu dapat dirasakan
atau dibuktikan secara inderawi. Penganut positivistik sepakat bahwa tidak hanya alam semesta yang
bisa dikaji, melainkan fenomena sosial termasuk pendidikan harus mencapai taraf objektifitas dan
valid melalui metode yang empirik.

Aliran yang mendukung positivistic yaitu:


1. Empiris, aliran yang mengakui pengalaman indrawi satu-satunya sumber pengetahuan.
2. Positivisme menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang benar hanya ilmu-ilmu alam (empiris) dan
menolak nilai kognitif atau metafisika.

Paham penelitian positivistik adalah statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan
teologis. Bahkan, paham positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis
terlalu primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis dianggap kurang teruji.
Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena
secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.

Pembahasan dalam Posivistik bersifat singkat dan menolak pembahasan yang berbentuk
deskripsi atau cerita. Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara subyek peneliti dan obyek
penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif. Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu
yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif,
menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan
dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif merupakan pendekatan
penelitian yang mewakili paham positivistik.

Filosofi penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur
dalam filsafat secara umum, yaitu :
1. Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan
tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran
penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri.
2. Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan
bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.
3. Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif
yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.

Pendekatan Interpretatif

Pendekatakan Interpretatif termasuk kedalam pendekatan non-positivisme. Pendekatan


alternatif ini berasal dari filosof-filosof jerman yang menitik beratkan pada peranan bahasa,
interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Realitas sosial secara sadar dan aktif dibangun sendiri
oleh individu-individu sehingga setiap individu mempunyai potensi untuk memaknai setiap perbuatan
yang dilakukan. Dengan kata lain, sebuah realitas sosial merupakan hasil bentukan dari serangkaian
interaksi antar para pelaku sosial dalam sebuah lingkungan tertentu.

Bagi paradigma interpretif, ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk to explain (menjelaskan)
dan to predict (memprediksi) sebagaimana halnya pada paradigma positivisme melainkan untuk
memahami (to understand). Ada tiga prinsip dasar yang menjadi landasan dalam pengembangan studi
interpretif (Soetriono dan Hanafie, 2007. Dalam Agung Budi Sulistiyo). Tiga prinsip dasar tersebut
sebagai pegangan yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah:
1. Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu
tersebut pada dirinya;
2. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain ;
3. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang berkaitan
dengan hal-hal lain yang dihadapinya.

Interpretatif tidak berusaha untuk mengontrol fenomena empiris, ia tidak memiliki aplikasi
teknis. Sebaliknya, tujuan dari interpretatif adalah untuk memperkaya pemahaman masyarakat akan
arti tindakan mereka, sehingga meningkatkan kemungkinan komunikasi timbal balik dan pengaruh.
Dengan menunjukkan apa yang dilakukan orang, itu memungkinkan kita untuk memahami bahasa
baru dan bentuk kehidupan. Berikut merupakan aspek-aspek kunci dalam melakukan penelitian
dengan paradigma interpretative:
Aspek & Keterangan
1 Alasan Melakukan Penelitian - Untuk memahami dan menjelaskan tindakan-tindakan
manusia
2 Asumsi Tentang Sifat Realita Sosial - Realitas diciptakan oleh manusia sendiri melalui tindakan dan
interaksi mereka
3 Asumsi tentang sifat manusia - Makhluk sosial yang bersama‐sama menciptakan arti untuk
digunakan sebagai pegangan hidup.
4 Peran Common sense - Sebagai pegangan yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
5 Sifat dari teori yang dihasilkan - Gambaran tentang berbagai sistem makna dari sebuah kelompok
terbentuk dan menjadi langgeng.
6 Penjelasan yang dianggap baik - Masuk akal bagi para pelakunya dan dapat membantu orang lain
memahami dunia para pelakunya.
7 Bukti yang dianggap baik - Diperoleh langsung dari pelakunya dalam sebuah konteks yang spesifik.
8 Nilai‐nilai pribadi pelaku dalam ilmu dan penelitian - Nilai‐nilai adalah bagian tak terpisahkan dari
kehidupan. Tidak ada yang salah/benar, yang ada hanya “berbeda”.
9 Metode penelitian yang digunakan - Studi kasus spesifik dengan penggunaan alat-alat kualitatif
secara intensif, meliputi wawancara, observasi, dan analisis dokumen.

Pendekatan Kritis

Teori kritis disebut juga sebagai mazhab Frankfurt karena terma ini mengacu pada tradisi
teoretis yang dilahirkan oleh para peneliti Ilmu-Ilmu Sosial dari University of Frankfurt. Para teoritisi
yang dimaksud antara lain: Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse (Denzin dan
Lincoln, 2010:171). Teori Kritis ini sering pula disebut dengan Teori Post-Positivisme.
Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu
tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu
penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah. Aliran Kritis atau Postpositivisme ini
bersifat kritikal realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan
dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat
dekat dengan paradigma positivisme.
Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai
proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan
demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai
kalangan dengan berbagai cara.
Asumsi dasar post-positivisme adalah sebagai berikut:
1) Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2) Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris,
bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3) Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4) Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan
hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5) Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6) Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan
dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7) Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari
sebuah keputusan.

Petugas KPPS Meninggal di Pemilu Serentak Tembus 225 Orang

Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah petugas Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia pada penyelenggaraan Pemilu
2019 bertambah menjadi 225 orang. Jumlah korban itu didasarkan pada data yang masuk ke KPU per
Kamis (25/4) hingga pukul 18.00 WIB.

Komisioner KPU, Viryan menyatakan angka itu melonjak naik dari jumlah sebelummya yang
berjumlah 144 orang yang tercatat pada Rabu (24/4).
"Data hingga pukul 18.00 WIB sebanyak 225 petugas KPPS wafat dalam bertugas," kata Viryan saat
dihubungi wartawan, Kamis (25/4).

Selain itu, Viryan turut merinci petugas KPPS yang turut mengalami sakit dengan jumlah 1.470 orang.
Sehingga, total keseluruhan antara petugas yang meninggal dan sakit sebanyak 1.695 orang.

"Jumlah petugas yang sakit sampai saat ini berjumlah 1.470 sehingga keseluruhan totalnya saat ini
1.695," kata dia.

Terpisah, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menegaskan bahwa pemerintah tak akan abai dan
bertanggungjawab untuk mengulurkan bantuan bagi keluarga korban. "Udah nanti negara yang
bertanggung jawab," kata dia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim menyebut pihaknya masih menunggu
besaran santunan untuk keluarga korban petugas KPPS yang meninggal dunia dan sakit dari
Kementerian Keuangan.

Ia mengatakan alokasi dana santunan bagi keluarga korban akan diberikan dari optimalisasi anggaran
KPU. Arif menyatakan Kemenkeu akan membeberkan nominal besaran santunan yang akan diterima
keluarga korban pada pekan ini.

"Pembayaran menggunakan optimalisasi anggaran KPU. Kami dijanjikan minggu ini," kata Arif.
Jatuh korban dalam pemilu serentak tahun ini sebelumnya juga direspons Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Mahfud MD. Ia mengamini pemilu serentak membuat durasi kerja KPPS menjadi
bertambah.
Mahfud menyebut hal itu berdampak pada petugas KPPS kelelahan hingga jatuh sakit dan meninggal
dunia. "Harus ditinjau lagi yang dimaksud pemilu serentak itu apa sih? Apakah harus harinya sama?
Atau petugas lapangan harus sama sehingga tidak bisa berbagi beban? Atau bagaimana? Itu kita
evaluasi lagi," tutur dia.

Seperti diketahui, korban meninggal dunia tak hanya dari petugas KPPS. Bawaslu mencatat turut
meninggal dunia 33 anggota panitia pengawas pemilu (panwaslu) di sejumlah daerah. Sementara dari
pihak kepolisian, Polri mengonfirmasi 16 personel juga meninggal dunia, didominasi faktor kelelahan.

Positivist

Petugas KPPS meninggal diakibatkan oleh kelelahan dan yang lainya tekena musibah, kemungkina
itu terjadi sebelum pemilu terlaksana itu ada, ketika petugas itu merasa kelelahan namun tetap
melanjutkan pekerjaan menjadi panitia mungkin itu juga menjadi faktor utamanya. Setelah pemerintah
mengetahui tak sedikit petugas yang meninggal, pemerintah memberikan keputusan untuk menjamin
atau memberikan santunan kepada korban.

Interpretive

Masyarakat Indonesia mengasumsikan berita tentang petugas KKPS yang meninggal mungkin tidak
hanya berdasarkan berita yang ada namun juga berdasarkan pengalam yang pernah terjadi. Yang
tentunya berdasarkan realita yang terjadi dalam masyarakat. Kejadian yang terjadi dapat menimbulkan
trauma tersendiri kedalam pikiran masyarakat Indonesia untuk tidak mendaftar menjadi panitia KPPS
dipemilihan presiden selanjutnya. Kemungkinan itu dapat terjadi dikarenakan korban yang meninggal
tidak bisa dikatakan sedikit. Namun juga disisi lain kemungkinan yang lainya seperti korban yang
tertabrak babi saat mengirimkan berkas, dapat mempengaruhi pikiran masyarakat hal itu terjadi karena
sebuah takdir.

Kritik

Pendapat dan tindakan mengenai berita meninggalnya panitia KPPS pasti berbeda antara masyarakat
dan pemerintah. Ketika masyarakat berfikir itu sebuah hal yang harus dipertanggungjawabkan
mungkin pemerintah menanggapi permasalahan ini adalah sebuah takdir semata, walaupun
pemerintah bertanggungjawab dengan memberikan santunan kepada korban. Ketika pemerintah
menetapkan uang santunan maksimal 30 juta kepada korban meninggal namun masyarakat berfikir
itu tidak cukup. Hal ini juga bisa dijadikan sebagai evaluasi bahwa pemerintah telah gagal dalam
menjalankan pemilu serentak 2019. Hal ini juga bisa dijadikan sebuah konspirasi oleh kaum tertentu.
Ketika kelelahan menjadi alasan terkuat saat ini, seharusnya juga masyarakat harus lebih kritis dalam
berfikir menggunakan sudut pandang yang lainya, agar keadilan korban dapat maksimal.

Putri Eka Ayu Riska. Tiga Paradigma Utama dalam Ilmu Komunikasi (Positivistik, Interpretif, dan
Kritis). Universitas Airlangga.
https://www.academia.edu/24913928/Tiga_Paradigma_Utama_dalam_Ilmu_Komunikasi_Positivisti
k_Interpretif_dan_Kritis_
Raihanah Aulia. paradigma ilmu komunikasi.Universitas Al-Ahzar Indonesia.
https://www.academia.edu/8779432/paradigma_ilmu_komunikasi

https://www.academia.edu/31578398/Filosofi_Penelitian_Positivistik_Interpretant_dan_Kritis.pdf diakses
tanggal26 April 2019 diakses tanggal 26 April 2019

https://www.academia.edu/24913928/Tiga_Paradigma_Utama_dalam_Ilmu_Komunikasi_Positivisti
k_Interpretif_dan_Kritis_ diakses tanggal 26 April 2019

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190425201638-20-389729/petugas-kpps-
meninggal -di-pemilu-serentak-tembus-225-orang diakses tanggal 26 April 2019
Sebutan Generasi Galau Untuk Kaum Millenial Mahasiswa

Topik Penelitian: Generasi Galau

Fenomena: Kaum Millenial

Das Sein

Setelah beranjak dari masa SMA, yaitu masa kuliah seseorang dihadapkan oleh kejadian dan
permasalahan yang semakin majemuk dan bertumpuk. Ditambah dengan suguhan sosial media yang
secara otomatis semakin dekat. Dalam penyelesaian sebuah masalah masalah mahasiswa diharuskan
bisa menyelesaikan dengan tidak hanya menggunakan sudut pandang yang itu-itu saja seperti masa
SMA. Dilain sisi mahasiswa juga dihadapkan oleh berbagai tugas dari kampus yang menjadikan
mahasiswa terbiasa dengan banyak permasalahan dalam satu waktu. Dan disitulah sering mahasiswa
mengalami kebingungan dalam memecahkan permasalahannya.

Das Sollen

Dalam Ilmu Komunikasi ada satu teori yang berhubungan dengan pikiran dan pengambilan
keputusan. Dengan permasalahan millenial tentang sebutan sebagai generasi galau dapat dikaji
menggunakan teori disonansi kognitif.

Disonansi Kognitif

Leon Festinger, menjelaskan perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif; hal ini
merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak
sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang”(hunt, 1957: 4).

Tingkat disonansi

Factor - faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang
(Zimbardo, ebbsen&Maslach, 1977:80) :

1. Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat


disonansi yang dirasakan.

2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang
konsonan

3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini


merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul.
Makin banyaka alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin
sedikit disonansi yang seseorang rasakan

Disonansi Kognitif dan Persepsi

Teori CDT berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan
perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan retensi
(selective retention) karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang
meningkatkan disonansi. Proses perseptua; ini merupakan dasar dari penghindaran ini
(Bescheid&Walster,1978:120).

1. Terpaan Selektif (Selective Exposure), Mencari informasi yang konsisten yang belum ada,
membantu untuk mengurangi disonansi. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari
informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan
prilaku mereka.

2. Pemilihan Perhatian (Selective Attention), Merujuk pada melihat informasi secara konsisten
begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan
sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.

3. Interpretasi Selektif (Selective Interpretation), Melibatkan penginterpretasikan informasi


yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan
orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang
sebenarnya terjadi (Bescheid&Walster,1978:122).

4. Retensi Selektif (Selective Retention), Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi
yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan
terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang 3 lebih besar dibandingkan yang kita
lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.

Generasi-Generasi Itu

Penamaan generasi ini mulai muncul pada dekade 1920-an di Amerika Serikat. Saat itu,
generasi pertama yang diberi nama adalah mereka yang lahir sebelum 1928. Dunia mengenal mereka
dengan sebutan mentereng: The Greatest Generation. Generasi terbaik. Sebutan ini dipopulerkan oleh
jurnalis Tom Brokaw. Dia menulis: "generasi ini adalah generasi terbaik yang pernah dihasilkan oleh
masyarakat."

Alasannya, generasi ini adalah generasi yang berhasil melewati dua masa berat: Great
Depression dan Perang Dunia II. Ronald Reagan, mantan Presiden Amerika Serikat, menyebut mereka
sebagai generasi yang menyelamatkan dunia.

Setelah itu, muncul The Silent Generation. Generasi diam. Mereka adalah orang-orang yang
lahir antara 1928 hingga 1945. Jumlahnya relatif lebih sedikit ketimbang generasi lain, dikarenakan
mereka lahir di tengah masa depresi dan perang yang mendorong orang untuk membatasi jumlah
kelahiran.

Meski berjumlah sedikit, ada banyak sekali pemimpin gerakan sipil yang lahir dari generasi
ini. Mulai Martin Luther King, Jr. Malcolm X, hingga Robert F. Kennedy. Banyak seniman besar juga
termasuk pada generasi ini. Mulai Andy Warhol, Clint Eastwood, John Lennon, Ray Charles, Jim
Morrison, dan para seniman dari Beat Generation. Intelektual Noam Chomsky juga berada pada
rombongan ini.

Setelah berhasil menang perang dan melewati era Great Depression, tingkat kelahiran di
Amerika Serikat melonjak. Orang-orang optimistis memandang hidup dan tak takut untuk mempunyai
anak. Pada dekade 1940-an, ada 32 juta kelahiran bayi di Amerika Serikat. Bandingkan dengan dekade
1930-an yang hanya ada 24 juta kelahiran bayi.

Karena ledakan kelahiran ini, generasi yang lahir pada pertengahan 1946-an hingga 1964
disebut sebagai Baby Boomer Generation. Generasi ini dikenal dengan sikap pemberontakan kepada
nilai-nilai tradisional.

Setelahnya adalah Generation X. Ini untuk menyebut mereka yang lahir antara 1965 hingga
1980. Generasi ini kerap dianggap sebagai generasi penyendiri yang cerdas dan kreatif. Setelahnya
baru muncul generasi Y, atau yang akrab disebut sebagai Millenial Generation.

Generasi Millenial dan Teknologi

Anne Hathaway adalah anggota generasi Milenial, yakni mereka yang lahir setelah tahun
1980-an. Generasi ini adalah generasi pertama yang lahir pada milenium baru. Lembaga riset Pew
Research Centre menyebut karakteristik generasi ini sebagai generasi yang percaya diri, ekspresif,
liberal, bersemangat, dan terbuka pada tantangan.

Amerika Serikat punya banyak sekali anggota gerbong generasi Milenial ini. Berdasarkan
hasil survei dari Biro Sensus Amerika Serikat, ada 83,1 juta orang generasi Milenial. Lebih dari
seperempat populasi Amerika Serikat.

Di Negara Paman Sam, generasi ini jadi perbicangan karena perbedaan yang teramat mencolok
dengan dengan generasi pendahulu. Tentang penggunaan teknologi dan internet, misalkan. Sekitar 74
persen generasi Millenial menganggap bahwa teknologi baru membuat hidup jadi lebih mudah.

Tentang penggunaan media sosial, para generasi Milenial yang saat ini berumur 18 hingga 29
tahun, sekitar 75 persen mempunyai media sosial. Sedangkan generasi sebelumnya, yakni generasi X
yang berumur antara 30 sampai 45 tahun, hanya sekitar 50 persen yang mempunyai media sosial.
Paling sedikit adalah generasi Silent yang berumur lebih dari 65 tahun. Hanya 6 persen dari mereka
yang menggunakan media sosial.

Generasi Milenial juga menganggap media sosial sebagai dunia yang mengasyikkan. Terbukti
kalau 29 persen generasi Milenial mengunjungi media sosial beberapa kali dalam sehari. Kemudian
26 persen memeriksa paling tidak satu kali dalam sehari, 20 persennya mengecek media sosial setiap
beberapa hari, dan 25 persen satu kali dalam seminggu.

Ponsel pintar juga jadi penanda unik generasi Milenial. Kehadiran ponsel pintar ini ibarat buah
simalakama. Di satu sisi, ponsel pintar seperti menghilangkan batas geografis, juga memudahkan
orang untuk terhubung. Namun di satu sisi, ponsel pintar juga dituding sebagai penyebab keterasingan
di dunia yang semakin ramai. Orang semakin sibuk menatap layar ponsel pintar, dan mengabaikan
orang di sekitar.

Bagi generasi Milenial, ponsel sangatlah penting. Sekitar 94 persen generasi Milenial
mempunyai ponsel. Selain itu, sekitar 83 persen dari generasi Milenial tidur dengan meletakkan ponsel
di sampingnya. Lagi-lagi, generasi Silent yang paling tidak acuh terhadap ponsel pintar, dengan 20
persen saja dari mereka yang tidur bersama ponsel.
Ronald A. Berk, Professor Emeritus pada The Johns Hopkins University membuat daftar 10
karakteristik generasi Milenial yang berhubungan dengan internet.

Millenial dan Etika Kerja

Pada 2014, Universitas Bentley melakukan survei tentang generasi Milenial di tempat kerja.
Hasilnya adalah 61 persen memuji generasi ini sebagai generasi yang mudah bergaul. Namun, terkait
etos kerja, 66 persen menyatakan bahwa mereka susah diatur. Untuk sikap, sekitar 51 persen
responden mengatakan generasi Milenial kurang punya rasa hormat kepada kolega.

Perbedaan karakter dan kultur antar generasi memang berpengaruh besar dan rentan
menghasilkan konflik. Hal ini sebenarnya bukan hal baru, karena pernah terjadi pula antara generasi
Baby Boomer dan Generasi X. Kali ini, konflik di dunia kerja terjadi antara Generasi X dan generasi
Milenial. Dari hasil survei yang sama, sekitar 66 persen generasi Milenial merasa disalahpahami oleh
para seniornya.

Generasi Milenial kerap dituding sebagai generasi yang manja, etos kerja yang buruk, sampai
terlalu banyak menghabiskan waktu di depan televisi atau ponsel pintar. Banyak yang menyebutnya
sebagai generasi galau karena sering tidak betah di suatu tempat atau menekuni suatu hal. Benarkah
demikian?

"Generasi Milenial akan memerlukan pengawasan paling tinggi dalam sejarah dunia. Namun,
mereka juga bisa menjadi generasi paling hebat dalam dunia kerja," ujar Bruce Tulgan, konsultan dan
penulis buku It's Okay to Manage Your Boss, seperti dikutip oleh Fortune.

Lembaga riset Great Place to Work pernah merilis daftar 100 Tempat Kerja yang Cocok Untuk
Generasi Milenial. Beberapa perusahaan yang masuk daftar ini antara lain Google, Boston Consulting
Group, Twitter, hingga Power Home Remodelling Group yang merupakan perusahaan konstruksi dan
real estate.

Ada banyak kesamaan dari perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar. Mereka
membayar gaji dan bonus secara fair, memberikan kesempatan yang sama tanpa memandang
senioritas, dan memberikan suara bagi para pekerja berusia muda.

Atmosfer kerjanya pun nyaris serupa: terbuka, ada komunikasi dua arah, tingkat kerja sama yang
tinggi, toleransi terhadap keputusan berisiko, dan mengurangi hambatan tidak penting seperti politik
kantor.

Perusahaan-perusahaan itu juga menawarkan banyak hal, seperti jadwal kerja fleksibel (73
persen, sementara perusahaan lain hanya 63 persen), pilihan bekerja dari mana saja (82 persen vs 74
persen), hari libur dengan gaji (15 persen vs 11 persen). Perusahaan ini juga menawarkan servis-servis
seperti pijat atau kelas fitness.

Sebagai generasi dengan tingkat pendidikan yang baik dan tech savvy, generasi Milenial
dikenal dengan perpindahan kerja yang sering. Megan Abbott, pendiri usaha pelatihan kepribadian
Fruition Personal Coaching, menyebut bahwa generasi Milenial ingin melihat dampak langsung dari
pekerjaannya. Karena itu mereka cenderung meninggalkan pekerjaan kalau mimpi mereka kerap
dipandang remeh oleh sang bos atau senior.
"Sebagian besar orang yang aku kenal menganggap pekerjaan sebagai transient phenomenon,"
ujar George Dimoulas, 30 tahun pada The Atlantic. "Artinya, kamu bekerja selama beberapa saat, tapi
dalam dua atau tiga tahun kamu akan berhenti dan pindah kerja."

Percaya atau tidak, para generasi Milenial yang berpindah-pindah kerja ini dilaporkan punya kepuasan
hidup yang tinggi, bahkan gaji yang lebih tinggi.

"Orang yang pindah kerja secara rutin pada awal kariernya cenderung punya gaji dan
pendapatan yang lebih tinggi," ujar Henry Siu, professor di Vancouver School of Economics, seperti
dikutip The Atlantic. "Pindah kerja selain berhubungan dengan gaji yang lebih tinggi, juga
berhubungan dengan panggilan hidup mereka."

Generasi Milenial memiliki karakteristik yang sangat unik. Sangat penting bagi sebuah
perusahaan untuk mampu memahami mereka dengan baik. Memahami generasi Milenial sangat
penting mengingat mereka akan menguasai pasar tenaga kerja. Jika perusahaan tidak mampu
memahami perilaku generasi Milenial dengan baik, bukan tidak mungkin mereka akan mudah
kehilangan bakat-bakat terbaiknya. Sebuah kerugian bagi perusahaan karena SDM merupakan aset
berharga bagi perusahaan.

Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, oleh karena itu manusia sering
dipertemukan oleh permasalahan yang berhubungan dengan manusia lainnya. Pengambilan sebuah
kebutusan didasari oleh salah satu faktor yaitu manusia lain. Disisi yang lain juga faktor terbesar
adalah dari dalam diri sendiri. Masalah merupakan pertanyaan kepada seseorang yang mana orang itu
tidak memiliki hukum yang dapat digunakan dengan segera untuk menemukan jawaban dari
pertanyaan tersebut (Hudojo).

Dalam sebuah masalah pada akhirnya manusia dihadapkan oleh pengambilan keputusan untuk
memberhentikan satu masalah dalam dirinya. Walaupun didalam pengambilan keputusan manusia
sering bertentangan antara pikiran dan hatinya. Fenomena ini juga sering disebut dengan disonansi
kognitif.

Komunikasi intrapersonal yang dialami lebih kepada Disonansi Kognitif manusia, sedangkan
keputusan dapat dijelaskan sebagai hasil pemecahan masalah, selain itu juga harus didasari atas logika
dan pertimbangan, penetapan alternatif terbaik, serta harus mendekati tujuan yang telah ditetapkan.
Seseorang dalam pengambilan keputusan haruslah memperhatikan hal-hal seperti: logika, realita,
rasional, dan pragmatis.

Berdasarkan uraian di atas dapat sedikit menjelaskan mengenai penelitian yang akan di
lakukan oleh penulis. Hal yang ingin diketahui penulis disini adalah Disonansi Kognitif dalam
Pengambilan Keputusan Kaum Millenial Sebutan Sebagai Generasi Galau.

Masalah

Generasi Galau merupakan sebutan lain dari manusia millennial yang mengalami disonansi
kognitif dalam pengambilan keputusan kepada masalahnya sendiri.
Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakan sebutan sebagai Generasi Galau dikaum
millennial mahasiswa sesuai dengan kenyataannya dilapangan. Dan apakan disonansi kognitif
merupakan permasalahan besar dalam permalasahan pengambilan keputusan.

Daftar Pustaka

Sofiana Mega. 2013. Disonansi Kognitif Dalam Pengambilan Keputusan Untuk Menjadi Wanita
Pekerja Seks. Universitas Brawijaya
https://www.academia.edu/3556755/DISONANSI_KOGNITIF_DALAM_PENGAMBILAN_KEP
UTUSAN_MENJAI_WANITA_PEKERJA_SEKS?auto=download.

Alfitman. 2017. Konstruk Disonansi Kognitif Dalam Penelitian Perilaku Konsumen: Apakah
Popularitasnya Memang Sudah Meredup?. Universitas Andalas. EKOBIS – Ekonomi Bisnis Vol. 22,
No. 1, Mei 2017: 44 – 57.

https://www.pelajaran.id/2017/09/pengertian-masalah-menurut-para-ahli-dan-jenis-jenis-masalah-
terlengkap.html diakses pada tanggal 27 April 2019

https://tirto.id/memahami-generasi-galau-cY diakses pada tanggal 27 April 2019

Anda mungkin juga menyukai