2. Konflik etnis
Di akhir '80-an, pada masa Perestroika, terjadi peningkatan kekerasan yang
disebabkan persaingan nasionalisme etnis di republik-republik Soviet.
Contoh pertama kekerasan etnis terjadi pada akhir 1986 di ibu kota
Kazakhstan, Almaty. Saat itu, anak-anak muda Kazakh yang tak puas dengan
pengangkatan kepala republik mereka, yang merupakan seorang beretnis
Rusia, berdemonstasi hingga menyebabkan kerusuhan. Akhirnya, pemerintah
mengirim pasukan untuk meredakan kerusuhan. Kemudian, ada pogrom
(pembunuhan besar-besaran) di kota Sumgait, Azerbaijan, dan aksi kekerasan
di Tbilisi, Baku, dan tempat-tempat lain di seluruh negeri. Konflik paling
berdarah terjadi di Karabakh antara Azerbaijan dan Armenia, yang kadang-
kadang disebut sebagai “salah satu pemicu politis utama yang
mengawali disintegrasi Uni Soviet”. Pada akhir 1980-an, konflik etnis
berubah menjadi mematikan, menewaskan ratusan orang dalam pertempuran.
Konflik di Karabakh antara Azerbaijan dan Armenia kadang-kadang disebut sebagai salah
satu pemicu politis utama yang mengawali disintegrasi Uni Soviet.
Sergey Titov/Sputnik
Namun, bahkan pada 1990, mayoritas republik Soviet tak ingin
meninggalkan Uni Soviet. Menurut sejarawan Rusia Aleksandr Shubin,
situasi kala itu terbilang relatif tenang. Dari 15 republik Soviet, hanya negara-
negara Baltik (Latvia, Lituania, dan Estonia) dan Georgia yang dengan tegas
ingin melepaskan diri. “Terlepas dari semua bahaya yang ditimbulkan
gerakan separatis nasionalis terhadap keutuhan Uni Soviet, mereka tak
memiliki cukup kekuatan untuk menghancurkan negara,” ujar sang
sejarawan.
3. Reformasi Gorbachev
Kinerja ekonomi yang buruk dan berkembangnya gerakan nasionalis tentu
berpengaruh pada kejatuhan Soviet, tetapi faktor yang benar-benar dianggap
memicu keruntuhan Negeri Tirai Besi adalah tindakan pemimpin negara itu
sendiri, yang dimulai pada pertengahan 1980-an dengan kebijakan
Perestroika Gorbachev. Ada teori konspirasi yang populer di Rusia bahwa
Gorbachev sengaja berusaha menghancurkan sosialisme dan Uni Soviet.
Namun, itu tak ditanggapi secara serius karena tidak ada indikasi apa pun
yang menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin melemahkan
kepemimpinannya sendiri.
Boris Yeltsin (kanan) ingin menciptakan Rusia yang merdeka./Getty Images
Sebaliknya, Perestroika mencoba mereformasi sistem Soviet, yang pada saat
itu menunjukkan tanda-tanda penurunan. Reformasi pertamanya, yang
disebut “percepatan” ekonomi, seharusnya melepaskan potensi “sosialisme
modern”. Shlapentokh menyebut reformasi ini “neo-Stalinis” karena
dilakukan dalam paradigma yang sama dengan kebijakan pendahulu
Gorbachev yang kejam.