Anda di halaman 1dari 17

PRESENTASI KASUS

BELL’S PALSY

Disusun sebagai salah satu syarat mengikuti ujian


Stase Ilmu Penyakit Syaraf di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada :
dr. TH Suryono, Sp. S.

Disusun Oleh :
Lutfiana Arifah 20184010034

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. K
Usia : 49 tahun
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
Agama : Islam

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Wajah kaku sebelah kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang wanita datang ke poli saraf dengan keluhan wajah sebelah kanan kaku
sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengaku sulit untuk mengunyah dan hanya bisa
makan makanan halus seperti bubur karena mulut sebelah kanan terasa kaku. Jika
senyum tidak dapat sempurna karena bibir sebelah kanan tidak dapat tertarik ke
samping. Selain itu pasien juga mengeluhkan mata kanan buram, keluar air mata
terus menerus, dan kelopak mata tidak dapat menutup sempurna. Pasien juga
menyatakan bahwa semua makanan yang dimakan terasa pahit.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan serupa 2 tahun yang lalu. Sisi wajah yang
kaku juga sebelah kanan. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak didapatkan keluhan penyakit serupa. Terdapat riwayat
hipertensi pada bapak dan ibu pasien, sedangkan DM tidak ada.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas ringan di rumah.
Pasien tidak merokok dan tidak meminum alkohol. Kebersihan lingkungan baik dan
perawatan diri baik.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 150/90 mmHg
b. Frekuensi Nadi : 82 x/ menit
c. Frekuensi Nafas : 18 x/ menit
d. Suhu : 36 oC
Kepala:
a. Ispeksi:
Paralisis wajah kanan. Mata: Pupil Isokor 4 mm, CA -/-, SI -/-, RCL
+/+, RCTL +/+, nystagmus (-). Alis mata kanan turun, dahi tidak berkerut.
Mata kanan tidak bisa menutup, air mata terus mengalir. Sudut nasolabial
kanan tidak tampak. Mulut tertarik ke kiri. Lidah tertarik ke kiri.
b. Palpasi:
Nyeri tekan area wajah (-), nyeri tekan retroorbital (+)
Thorak:
a. Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi (-)
b. Palpasi : Ketertinggalan gerak (-)
c. Perkusi : Paru kanan dan kiri sonor
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung:
S1-S2 reguler, bising jantung (-)

Abdomen:
a. Inspeksi : Distensi (-), Jejas (-), Striae (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Nyeri tekan (-), supel (+)
Ekstremitas: Akral teraba hangat, edema (-/-), tidak terdapat tremor.

Pemeriksaan Fisik Neurologis:

Sistem Motorik : Kekuatan otot: 5/5//5/5, Refleks fisiologis +2/+2//+2/+2, Refleks


patologis -/-//-/-

D. DIAGNOSIS KERJA
Bell’s Palsy

E. TATA LAKSANA
Lameron 4 mg 3 x 1
Lapibal 500 mg 2 x 1
Meloxicam 15 mg 1 x 1
Omeprazole 1 x 1
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
BeIl’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut (<72 jam) dengan penyebab
yang tidak dapat diidentifikasikan. Kondisi ini dinamakan Bell’s Palsy karena
ditemukan oleh Sir Charles Bell, dengan Palsy yang mempunyai arti nervus yang
tidak dapat bekerja normal. Bell’s Palsy menyebabkan ketidakmampuan
pergerakan otot volunter wajah yang dapat bersifat partial maupun total.

B. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di
berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi
geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar
11 - 40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan
keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin.
Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000).
Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer
2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun.
Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf
fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko
terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang
sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).
Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy
(Kubik dkk, 2012).

C. ANATOMI
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu
akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih
lateral) (gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi
membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius
yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut
parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf
intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua
pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna
(gambar 2) (Monkhouse 2006).

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara
lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis
menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 centimeter (cm),
dibungkus dalam periosteum dan perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)


memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang
berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula
dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit
berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi
pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada
ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang
sedikit yaitu saraf petrosal.

Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial


media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan
menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan
palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009). Serabut saraf lainnya berjalan
turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga
tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada
stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda
timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani
merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran
timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa.
Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf
lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012;
Monkhouse 2006).
Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar
sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan,
Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum,
dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius (gambar 4) (Ronthal
dkk, 2012; Monkhouse 2006).

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk


cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus
dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral
menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang
menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal
mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior
dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m.
orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Gambar 5)
(Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).
D. ETIOLOGI
Bell’s palsy disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum,
yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak
didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana
lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra dkk,
2007). Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain
iskemik vaskular, imunologi, infeksi bakteri, infeksi virus, dan herediter telah
diduga menjadi penyebabnya.

E. PATOFISIOLOGI
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut
merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot wajah. Masing-
masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap derajat
trauma yang berbeda.
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai
satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi
yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai saraf fasialis
secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes
zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi
bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi
selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau dari suatu
pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan cepat. Pada Bell’s palsy,
herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba
atau lambat progresif dalam 5 - 10 hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang
terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural,
namun hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster
cephalicus. Diawali dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran
vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan
dengan cepat terjadi kehilangan endoneural tube yang kemudian menyebabkan
derajat ketiga dari trauma. Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau
semua endoneural tube telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat
keempat trauma, dan prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima,
penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama (tabel 1) (May 2000).

Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada
akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson- akson yang
baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal (3)
terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson- akson yang menginervasi kembali
kelompok-kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan
susunan badan sel motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari
faktor-faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter.
Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan
berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan
abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural
junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan
disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan pada
hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-faktor ini, dapat
menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan
mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri
(May 2000).

F. GEJALA KLINIS
Gajala klinis pada Bell’s Palsy bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf
fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan
tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada
inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan
pengecapan pada dua pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008).
Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang
terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering terjadi adalah pasien tidak dapat
mengontrol pergerakan pada satu sisi wajahnya, alis mata turun, dahi tidak berkerut,
tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas
(Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang
sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau
berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah (Ronthal dkk, 2012;
Tiemstra dkk, 2007). Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai
gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien BeIl’s palsy. Nyeri postauricular
dapat ditemukan pada hampir 50% pasien. Bell’s palsy. Nyeri ini dapat terjadi
bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi sebelum
onset paralisis (Peitersen 2002; Garg dkk, 2012; Setyapranoto, 2009).

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam
mendiagnosis Bell’s palsy.
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit,
ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk
membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s Palsy
kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif,
dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang.
Menurut Baugh, 2013, ketika akan mengevaluasi pasien Bell’s Palsy, hal
yang harus diperhatikan adalah:
a. Onset yang tiba- tiba (<72 jam)
b. Terjadinya unilateral pada satu sisi wajah
c. Tidak ada tanda- tanda penyakit lain yang menyebabkan kelemahan otot
wajah (pada susunan saraf pusat, penyakit telinga, dan penyakit
cerebellopontine angle)
d. Tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasikan menjadi kausa Bell’s
Palsy
e. Bell’s Palsy biasanya merupakan self-limited
f. Bell’s Palsy bisa terjadi pada wanita, pria, maupun anak-anak, tetapi lebih
sering pada usia 15-45 tahun, pada pasien DM, infeksi saluran pernapasan
atas, immune-compromise, atau pada wanita hamil.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik prinsipnya adalah mengevaluasi fungsi dari nervus
fasialis, dengan cara memperhatikan kerutan dahi (M. frontalis), penutupan
kelopak mata (M. orbicularis oculis), penggembungan pipi (M. Buccinator),
elevasi sudut bibir, dan pendangkalan lipatan nasolabial (M. orbicularis oculi).
Dari hasil pemeriksaan neurologi tersebut, didapatkan gangguan fungsi saraf
fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear)
juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi
perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat
menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan
defisit neurologis lainnya, sekurang kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada
sisi yang kontralateral (Tiemstra dkk, 2007).
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain
yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis
rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis
dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy.
Literatur menyebutkan bahwa House-Brackmann facial nerve grading
scale dapat digunakan untuk mengevaluasi derajat dan recovery pada paralisis
nervus fasialis.
House-Brackmann Facial Nerve Grading System
Grade Karakteristik
1 Normal Fungsi semua otot wajah normal.
2 Disfungsi Kelemahan ringan yang hanya terlihat pada inspeksi jarak
ringan dekat. Pada saat istirahat: dahi normal dan simetris, mampu
menutup mata dengan usaha ringan dan asimetris ringan,
mampu menggerakkan sudut bibir dengan usaha maksimal
dan asimetris ringan. Tidak ada synkinesis, kontraktur,
maupun spasme hemifasial.
3 Disfungsi Terlihat adanya kelemahan tanpa inspeksi jarak dekat.
sedang Adanya sinkinesis, kontraktur, dan/atau spasme hemifasial.
Pada saat istirahat: simetris normal. Pada saat bergerak, dahi
bergerak sedikit atau tidak ada gerakan, mata dapat menutup
dengan usaha maksimal dan terlihat jelas asimetris, sudut
mulut dapat bergerak dengan usaha maksimal dan terlihat
jelas asimetris.
4 Disfungsi Kelemahan pada satu sisi wajah terlihat jelas. Pada saat
sedang- istirahat, wajah terlihat normal, namun pada saat bergerak,
berat tidak dapat mengerutkan dahi, dan tidak dapat menutup mata
walaupun dengan usaha maksimal.
5 Disfungsi Gerakan hanya sedikit. Pada saat istirahat, wajah asimetris
berat dengan sudut mulut dropping dan tidak terlihat sudut
nasolabial. Pada saat bergerak: tidak ada pergerakan dahi,
penutupan mata tidak sempurna dan kelopak mata hanya
bergerak sedikit walaupun dengan usaha maksimal. Tidak ada
sinkinesis, kontraktur, dan spasme hemifasiel.
Total Hilangnya kekuatan otot, asimetris, tidak ada pergerakan,
paralisis tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme hemifasial.

c. Pemeriksaan penunjang
Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan
penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan
berikut dapat dianjurkan, yaitu:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging
(MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan
paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf
kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan
sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang
mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan
juga imaging.
2. Tes elektrodiagnostik untuk menstimulasi nervus fasialis untuk
mengevaluasi derajat nervus fasialis yang terlibat.
3. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi
dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
4. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan
sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu.
5. Tes Schimer juga diperlukan untuk menilai produksi air mata pada sisi
wajah yang lemah atau lumpuh.

H. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang identik dengan
Bell’s palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang membedakannya dari
Bell’s palsy. Penyakit- penyakit tersebut adalah:
1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (cholesteatoma, tumor
saliva)
Pasien dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dan
berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala
sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua
cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah
yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid.
2. Guillain Barre Syndrome (GBS)
Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati
inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral dapat
dijumpai pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada saraf
motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon negatif pada daerah yang
terlibat.
3. Lyme disease
Pasien dengan Lyme disease memiliki riwayat terpapar dengan kutu,
adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis yang sering terlibat
adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah tertentu, seperti di negara-
negara bagian utara dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat
(Minnesota dan Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim
panas dan bulan- bulan pertama musim gugur.
4. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)
Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri
dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan faring. Penyakit
ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis,
atau gangguan pendengaran atau.
6. Sarcoidosis
Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral dan
uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal yang tidak
ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat
berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi jaringan yang terlibat oleh
sarcoid.
I. PENATALAKSANAAN
Pada kasus Bell’s Palsy, tidak dibutuhkan pengobatan karena mayoritas
pasien akan sembuh sendiri dalam waktu 2-3 minggu setelah onset gejala, dan akan
pulih sempurna dalam 3-4 bulan. Studi juga menyebutkan bahwa 70% pasien Bell’s
Palsy yang lumpuh total akan sembuh sempurna tanpa intervensi dalam 6 bulan,
dan 94% pasien incomplete paralisis Bell’s Plasy sembuh sempurna tanpa
intervensi. Dan 30% pasien tidak sembuh sempurna.
Jika terapi medikamentosa dibutuhkan, tujuan utamanya adalah untuk
mengurangi gejala yaitu dengan memberikan kortikosteroid untuk mengurangi
inflamasi pada nervus fasialis. Selain itu juga dapat diberikan antivirus dan tetes
mata untuk membasahi mata yang tidak bisa menutup sempurna.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada Bell’s Palsy adalah
1. Paralisis fasialis yang permanen
2. Fasial pain
3. Hiperakusis
4. Hiperlakrimasi
5. Nyeri telinga
6. Gangguan nervus fasialis
7. Mata kering
8. Konjungtivitis

K. PROGNOSIS
Prognosis Bell’s Palsy baik. Dengan terapi maupun tanpa terapi, pasien akan
membaik dalam 2 minggu, dan pada 80% pasien sembuh dalam 3 bulan. Namun
pada beberapa pasien gejala dapat menetap lebih lama, bahkan ada juga yang gejala
tidak sempurna menghilang sehingga masih tersisa gejala walaupun ringan.
DAFTAR PUSTAKA

Baugh, R., Basura, G., Ishii, L., Schwartz, S. M., Drumheller, C. M., Burkholder,
R., . . . Dawson, C. (2013). Clinical Practice Guideline Summary: Bell’s
Palsy. AAO-HNS Bulletin, 34-42.

Clarcke, C., & Lemon, R. (2009). Nervous System Structure and Function.
Blackwell Publishing Ltd.

Kanerva, M. (2008). Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson-


Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery.

Monkhouse, S. (2006). Cranial Nerves: Functional Anatomy. New York:


Cambridge University Press.

Moore, K. L. (2002). Essential Clinical Anatomy, 2nd Edition. Batimore:


Lippincott Williams&Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai