Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan keistimewaan akal sebagai
ruang cipta dan hati sebagai ruang rasa. Keduanya menuntun manusia untuk selalu ingin tahu
terhadap segala sesuatu, yang hasil dari keinginan ini disebut pengetahuan. Pengetahuan
yang dimiliki manusia bisa berbentuk pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan
filsafat, dan pengetahuan agama. Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian
dalam sejarah perkembangannya dengan tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya
yang saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu selalu berkembang. Ketidakpuasan
dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang dinamis menjadikan
berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan ilmu atau buah pikiran yang telah
mereka hasilkan. Hal demikian juga terjadi dalam disiplin ilmu filsafat pada umumnya , dan
filsafat hukum pada khususnya.
Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan mendalam
tentang pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia, dengan artian filsafat merupakan
sesuatu yang bersifat abstrak. Adalah pengethuan yang membangun banyak dasar-dasar
keilmuan atas pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari manusia. Dan diantara ilmu yang
dihasilkan dan dikembangkan oleh manusia dari berfilsafat, ilmu hukum merupakan salah
satunya. Sebuah adagium mengatakan, ibi ius ibi societas, yakni dimana ada masyarakat
disitu ada hukum. Sebagian keilmuan, teori-teori dan penemuan norma-norma dalam hukum
didasari oleh filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat. 1
Berdasarkan uarain latar belakang diatas saya selaku Penulis akan Mencoba dan
mengkaji dua paham aliran Filsafat yaitu:
1. Aliran Feminisme
2. Aliran Critical Legal Studies

1 . Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.
Aliran Feminisme

Feminisme diawali dengaan suatu pergerakan sosial yang muncul di dunia Barat pada
tahun 1800-an dengan tuntutan kesamaan hak dan keadilan bagi perempuan. Pergerakan ini
diilhami oleh pemikiran Mary Wollstenocraft dalam bukunya The vindication Rights of Woman
tahun 1975 yang menuding bahwa pembodohan terhadap perempuan disebabkan oleh tradisi
dan kebiasaan masyarakat yang membuat perempuan menjadi subordinasi laki-laki.
Pergerakan perempuan yang dimotori oleh sekelompok perempuan di dunia Barat ini
kemudian disambut secara global. Pergerakan perempuan merupakan pergerakan sosial yang
paling lama bertahan dan terus berkembang sampai kini, merambah ke berbagai lini
kehidupan, bersifat transnasional dan bergulir menjadi wacana akademik di perguruan tinggi.
Ketika wacana-wacana feminisme masuk ke ruang akademis dan menjadi kajian ilmiah,
muncul berbagai teori feminisme.

Feminisme :adalah’ Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap


Perempuan dalam masyarakat di tempat kerja & keluarga serta Tindakan mengubah keadaan
tersebut. Hakikatnya :Perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat serta kebebasan
Perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan baik Didalam maupun diluar rumah.
( kamus bahsin & nighatsaid khan, Dua orang feminis dari asia selatan ) Perempuan baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat Serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki
– laki untuk Mengubah keadaan tersebut2
Menurut Gadis Arivia, gelombang pertama feminisme merupakan pergerakan
perempuan yang menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas pergerakan perempuan, seperti
menuntut hak dan keadilan. Ini diawali oleh pemikir-pemikir perempuan, yang dapat dibilang
berada dibalik lahirnya Deklarasi Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca Falls, yang
menginginkan adanya rumusan hak asasi perempuan. Gelombang kedua, pergerakan
perempuan masuk ke ruang akademis. Pada gelombang ini, lahir berbagai kajian perempuan
dengan teori-teori mengenai keadilan gender, penyebab ketidakadilan dan cara mengatasinya.

2 .Anom Surya Putra, Ilmu dan Teori Hukum Kritis: Struktur riset teks, Citra Aditya Bakti
Bandung,2003, Hlm 6
Pada gelombang dua ini teori feminisme banyak dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme
yang dikembangkan oleh Jean Paul Satre dan teori feminisme dari Simone de Beauvoir
serta teori-teori psikoanalisa. Gelombang ketiga, muncul teori feminisme yang bersinggungan
dengan pemikiran kontemporer dan berkutat pada masalah alienasi perempuan secara
seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sebuah sistem. 3

Marta Rampton juga memetakan perkembangan feminisme dalam tiga gelombang.


Menurut Rampton, gelombang pertama feminisme terjadi awal abad ke-20, muncul dari
lingkungan industrialisme perkotaan. Gelombang pertama feminisme ini diawali dengan
gerakan dalam konvensi Seneca Falls pada tahun 1848, ketika 300 pria dan perempuan
bersatu mengemukakan kesetaraan gender. Elizabeth Cady Stanton yang menyusun
deklarasi Seneca Falls menguraikan ideologi dan politik strategi gerakan baru yang fokusnya
membuka kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak pilih. Gelombang kedua
dimulai pada tahun 1960 dan berlanjut sampai tahun 1990-an. Gelombang ini berlangsung
dalam konteks anti-Perang Vietnam dan gerakan hak-hak sipil yang telah menumbuhkan
kesadaran diri berbagai kelompok minoritas di seluruh dunia. Ketika muncul The New Left (Kiri
Baru), suara feminisme semakin radikal. Pada gelombang ini, gerakan feminisme menuntut
kesamaan hak dan kesetaraan gender dan fokus pembicaraan adalah pada hak-hak
seksualitas dan reproduksi. Gelombang ketiga, dimulai pada pertengahan 1990-an yang dipicu
oleh pemikiran paskakolonial dan posmodern. Pada gelombang ini banyak konsep yang telah
diterima secara universal, seperti perempuan universal, tubuh, gender dan seksualitas. Bila
gerakan perempuan pada gelombang sebelumnya ditandai dengan pembebasan diri dari
penindasan laki-laki, maka dalam gelombang ketiga ini memperlihatkan kebebasan
perempuan dalam menampilkan diri terutama feminisme muda dengan penampilan yang
mewah (lipstik, sepatu hak tinggi dan baju dengan leher berpotongan rendah). Rampton
menggambarkan feminisme di gelombang ketiga sebagai berikut.

3 .Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidak berdayaan hukum), Citra Aditya
Bakti,Bandung, 2003, Hlm 12
“An aspect of third wave feminism that mystifies the mothers of the earlier feminist movement
is the readoption by young feminists of the very lipstick, high heels and cleavage proudly
exposed by low cut necklines that the first two phases of the movement identified with male
oppression. “

Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought mengemukakan bahwa


feminisme punya sejarah panjang untuk memiliki label sendiri secara teoritis tanpa didasarkan
pada pada label pemikir-pemikir besar (laki-laki) seperti pemikiran Marxis, John Stuart mill
dan lainnya. Teori feminisme berkembang sesuai dengan paradigma berpikir manusia dengan
titik perhatiannya pada persoalan perempuan. Sehubungan dengan itu, Tong mengemukakan
berbagai terori feminisme diantaranya :aliran feminisme liberal, aliran feminisme radikal, aliran
feminisme eksitensialis, aliran feminisme psikoanalisa,aliran feminisme posmodern,aliran
feminisme multicultural aliran posfeminis.

1. Feminisme liberal adalah pandangan yang menempatkan perempuan sebagai


subjek yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas yang
merupakan sifat dasariah manusia. Perempuan adalah makhluk yang memiliki
kemampuan untuk berpikir secara rasional. Teori feminisme liberal dapat
disimak dalam pemikiran feminisme Mary Wollstenocraft yang berusaha
menunjukkan hak-hak perempuan dengan menghadirkan gagasan ideal
mengenai pendidikan bagi perempuan. Wollstenocraft mendorong
perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom dan menekankan
bahwa jalan menuju otonomi harus ditempuh melalui pendidikan.
Wollstenocraft menginginkan perempuan menjadi manusia utuh tidak
diperlakukan sebagai objek yang dirawat suaminya dan bukan pula sebagai
instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Perempuan adalah suatu tujuan bagi
dirinya, agen yang bernalar dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan
diri. Feminisme radikal merupakan pandangan yang menyorot bahwa sistem
seks/gender sebagai penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan.
Dalam pandangan feminisme radikal seksisme adalah bentuk opresi yang
pertama, yang paling menyebar dan paling dalam. Feminisme radikal menolak
fisiologi (kromoson, anatomi, hormon) laki-laki dan perempuan dijadikan dasar
identitas dan perilaku maskulin dan feminin, karena hal ini dijadikan alasan
untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan. Masyarakat
patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan
perempuan tetap pasif dan laki-laki tetap aktif. Aliran ini berpandangan bahwa
untuk mengubah kondisi ini, maka perempuan harus menyadari bahwa
perempuan tidak ditakdirkan untuk pasif dan laki-laki aktif. Karena itu,harus
dikembangkan kombinasi sifat-sifat maskulin dan feminin untuk merefleksikan
kepribadian masing-masing.

2. Teori feminisme radikal dalam pemikiran Kate Millett mengungkapkan bahwa


akar opresi terhadap perempuan terkubur dalam sistem seks/gender di dalam
patriarki. Millett dalam bukunya Sexuals Politics (1970) berpendapat bahwa
relasi gender adalah relasi kekuasaan. Kendali laki-laki dalam ruang domestik
dan publik melahirkan patriarki. Untuk membebaskan perempuan dari
penguasaan laki-laki, maka patriarki harus dihapus. Millett menginginkan
masa depan yang androgin, suatu integrasi dari sifat feminin dan maskulin,
karena kedua sifat ini saling melengkapi untuk hidup dengan baik dalam
komunitas.4

3. Feminisme eksistensialis mempersoalkan eksistensi perempuan. Teori


feminisme eksistensialis berakar dari filsafat eksistensialisme, Jean Paul
Satre. Dalam pandangan Satre, ada tiga modus “Ada” pada manusia yaitu
etre en soi (“Ada” pada dirinya) etre pour soi (“Ada” bagi dirinya) dan etre
pour les outres (“Ada” bagi orang lain). Cara berada manusia adalah etre pour
soi yaitu cara berada yang memiliki Simone De Beauvoir mengadopsi
pemikiran Satre di atas. Dia menanggapi cara berada yang didefinisikan oleh
Satre berbeda

4. dengan perempuan. Cara berada perempuan dalam pandangan kesadaran,


kebebasan dan kritis. Tokoh feminisme eksistensialis, Satre etre pour les

4 , Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 5
outres (ada bagi orang lain) bukan sebagai etre pour soi, yaitu cara berada
manusia yang berkesadaran dan memiliki kebebasan, melainkan perempuan
tidak berkesadaran (bukan subjek) dan tidak memiliki kebebasan, sehingga
relasi gender merupakan relasi subjek-objek, dimana laki-laki mengobjekan
perempuan dan membuatnya sebagai the other. Simone de Beauvoir dalam
bukunya The Second sex (1984) mengatakan bahwa eksistensi perempuan
sebagai the other (yang lain) memandang perempuan sebagai makhluk
lemah.

5. Teori feminisme pada setiap alirannya memuat pemahaman dan tujuan yang
khas yaitu politis, ideologis dan emansipatoris dan memiliki pandangan dan
tujuan yang sama terhadap perempuan. Dalam era kontemporer ini muncul
berbagai teori feminis kontemporer seperti teori feminis Posmoderen,
Multikultural dan pos feminis yang pada dasarnya berintikan hal yang sama
yaitu teori mengenai keadilan gender, penyebab ketidakadilan dan cara
mengatasinya, tapi dengan ciri-ciri yang berbeda. Ada tiga ciri penting dalam
teori feminisme kontemporer, yaitu gender sebagai konstruksi sosial yang
merugikan perempuan, dominasi laki-laki menjadi dasar bagi konstruksi
terhadap perempuan dan pengetahuan dan pengalaman perempuan harus
dilibatkan untuk mengembangkan suatu masyarakat non seksis dimasa yang
akan datang.

Crtical Legal Studies

Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh
puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme
Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak
hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi
penggerak Critical Legal Studies adalah Roberto Unger Ken, Duncan nedy, Karl Klare,
Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz , dan yang lainnya.
Perbedaan utama antara Critical Legal Studies dengan pemikiran hukum lain yang tradisional
adalah bahwa Critical Legal Studies menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan
perdebatan politik. Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik dengan
baju yang berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. Critical Legal Studies
menempatkan fungsi pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama.
Critical Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal
berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang
sebenarnya.Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an. Pada
masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi,
beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum telah menjadi juru bicara bagi
kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang
bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku
represif untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang. Adapun dasar
pemikiran Critical Legal Studies yaitu :

1. Ketidak Pastian

Positivisme menuntut bahwa memutuskan suatu kasus menunjuk pada ketetapan dan
kepastian. Namun Critical Legal Studies menganggap bahwa klaim atas suatu kepastian
adalah palsu. Baik aturan hukum maupun ajaran prinsip-prinsip hukum dan pepatah tidak bisa
digunakan untuk menentukan hasil akhir dari suatu kasus. Rasionalitas hukum adalah
semacam manipulasi. Hal ini karena prinsip-prinsip, doktrin atau pepatah yang sama dapat
digunakan untuk lapangan kasus yang berbeda dengan hasil yang berlawanan atau berbeda.
Berbagai aturan hukum dan berbagai kata atau frase yang digunakan dalam aturan sangat
rentan terhadap berbagai penafsiran tergantung pada hakim menerima interpretasi yang
mana. Singkatnya, tidak tergantung pada substansi hukum, apalagi alasan rasio hukum. Yang
ditolak adalah bahwa seluruh hukum memiliki aturan yang tetap.
Namun menurut Hari Chand, positivis memang salah dengan menuntut hukum
memutuskan kasus sebagaimana Critical Legal Studies juga salah karena melihat hukum
sebagai ketidakpastian. Kenyataan kepastian hukum juga ada tetapi tidak benar jika hal itu
ada pada masing-masing dan setiap hukum dan aturan atau sistem hukum. Pada suatu kasus
yang berat, mungkin tidak aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dan fakta
ketidak menentuan banyak terdapat pada kasus-kasus yang berat. Namun tesis ketidak
menentuan tidak dapat dibenarkan dalam banyak kasus lainnya. 5
2. Pertentangan
Bahwa doktrin hukum mengandung kontradiksi adalah pandangan pokok lain dari
aliran hukum kritis. Unger memberikan contoh hukum kontrak yang didasarkan atas prinsip
kebebasan untuk memilih dari patner dan ketentuan dan kondisi yang diinginkan para pihak
dan counterprinsip tidak boleh meruntuhkan aspek sosial kehidupan bersama dan tidak
dilakukannya transaksi dan bargaining yang tidak fair. Namun selalu ada suatu permainan
prinsip dominasi dalam hukum kontrak. Pada kenyataanya terdapat unsur dominasi dalam
kesatuan .
Kelebihan Critical Legal Studies :

1. Critical Legal Studies terdiri dari berbagai macam pemikiran yang


dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut
bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada
pemikiran post-modern. Namun ada beberapa kesepahaman antara
pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidak percayaan terhadap netralitas
hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok
tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.
2. Kekritisan Critical Legal Studies dalam memahami realitas sosial dan tata
hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan
praktis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah
kelebihan utama Critical Legal Studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk
analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang
digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara
obyektif.

5 .Ifdal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies, dalam kajan hokum di Indonesia,
terjemahan dari karya Roberto Mangabeira Unger, The Criticallegal studies, Movement, Harvard
University Press,1986, Hlm 125
3. Kelebihan lain Critical Legal Studies adalah perhatiannya yang sangat besar
terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan
sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis
Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri
sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karen tersedot arus
budaya massa yang abstrak.
Adapun kesimpulan dari teori Critical Legal Studies adalah sebagai berikut :

1. Critical Legal stdies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal
berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang
sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-
an, yaitu ketika praktik hukum saat itu menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang
kontras. Di satu sisi, hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang
tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum
menampilkan sosoknya yang represif terhadap masyarakat.
2. Esensi pemikiran Critical Legal stdies adalah terletak pada kenyataan bahwa hukum
adalah politik. Dari pandangannya bahwa hukum itu adalah politik, maka Critical Legal
stdies menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang
mengembangkan pemikiran hukum liberal. Critical Legal stdies berusaha untuk
membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan
sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan
kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi.
3. Pemikiran Critical Legal stdies juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di
Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip
dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal stdies ini lahir.
Oleh karena itu, maka metode kajian hukum dari Critical Legal stdies menjadi sangat
relevan apabila dipergunakan dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia.
Sebagai contoh, dalam melihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dengan menggunakan metode kritisi yang ditawarkan oleh Critical
Legal stdies, maka dapat terlihat bahwa undang-undang itu sebenarnya penuh
dengan muatan kepentingan pemilik modal nasional dan terlebih lagi internasional,
dengan agenda ekonomi neoliberalismenya. Akibatnya, perlindungan bagi kaum
buruhnya menjadi tersingkirkan. Pada akhirnya, lagi-lagi buruh itu menjadi “…sekedar
sebagai sebuah komoditas” yang tidak diperhatikan dan dilindungi hak-hak asasinya.

Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam critical legal studies
ini, para pemikir critical legal studies tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang
tidak puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin
hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies menggunakan metode :

 Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang
telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan
kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.

 Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan


melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.

 Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi.


Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang
memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat
suatu konstruksi hukum.

Critical Legal Studies bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap baru.
Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini
sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan
menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak
tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya. Saat ini
Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang
mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional
yang sangat-sangat membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran critical legal
studies juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di
Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam penerapannya

Penggunaan critical legal studies untuk menganalisis hukum di Indonesia paling


mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa inilah
dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang
menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan
kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan
debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang
dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat Selain hal tersebut, perlu pula
diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan metode critical legal studies dalam menganalisis
keadaan hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang
sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat
Indonesia atau faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi
hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis terhadap hokum. Misalnya saja, tentu akan
sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap kemungkinan dibentuknya peraturan
perundang-undangan yang melegalkan perkawinan sesama jenis kelamin (homoseksual) di
Indonesia. Hambatan terhadap kajian kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan
masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual
itu adalah dilarang oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan
metode critical legal studies ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan 6

Perbedaan Aliran Feminisme Dan Aliran Critical Legal Studies

6 .Ifdal kasim, Op. Cit, hlm. 38


1. Aliran Feminisme Aliran ini berpendapat bahwa, harus menyadari bahwa
perempuan tidak ditakdirkan untuk pasif dan laki-laki aktif. Karena itu,harus
dikembangkan kombinasi sifat-sifat maskulin dan feminin untuk merefleksikan
kepribadian masing-masing.
2. Aliran Feminisme berpendapat bahwa gender sebagai konstruksi sosial yang
merugikan perempuan, dominasi laki-laki menjadi dasar bagi konstruksi
terhadap perempuan dan pengetahuan dan pengalaman perempuan harus
dilibatkan untuk mengembangkan suatu masyarakat non seksis dimasa yang
akan datang.
3. Aliran Feminisme mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan
yang otonom dan menekankan bahwa jalan menuju otonomi harus ditempuh
melalui pendidikan
4. Aliran Critical Legal stdies Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum
adalah politik dengan baju yang berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu
ideologi. Critical Legal stdies menempatkan fungsi pengadilan dalam
memahami hukum sebagai perhatian utama.
5. Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata
hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan
praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah
kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk
analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang
digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara
obyektif.
6. Kelemahan dari Critical Legal stdies Kelemahan lain adalah dari sifat asli
pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi
sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat
selalu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya
mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Akibatnya critical legal studies
sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical
legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh
orang lain.7

Diakhir tulisan saya ini saya lebih condong memilih aliran Feminisme sebagai pilihan
saya, mengingat betapa menderitanya kaum wanita di jaman terdahulu baik itu di jaman
perang maupun di jaman kerajan dahulu wanita selalu dijadikan alat dan objek untuk
memperoleh sesuatu dengan jalan memuaskan nafsu seseorang dengan tujuan negative baik
itu untuk memperoleh informasi maupun membunuh seseorang, Sudah semestinya sekarang
wanita harus memiliki kedudukan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia.

Di zaman itu perempuan selalu di nomor duakan Haknya disegala bidang bahkan
cenderung diabaikan sudah sepantasnya kita menjadikan wanita sesuatu yang lebih berarti
lagi dalam hidup kita bahkan kalau bukan wanita kita tak bisa melihat dan merasakan betapa
indahnya anugrah Tuhan buat Kita semua.

7 . Ifdal Kasim, Op. Cit, hlm. 7

Anda mungkin juga menyukai