Anda di halaman 1dari 31

Makalah

Cedera Kepala

Oleh:

Sheisa Marinka, S.Ked 04084821820042


Ahmad Reiman, S.Ked 04084821820060
Anindya Riezkaa B, S.Ked 04084821820061
Berliana Agustin, S.Ked 04084821921070

Pembimbing:
dr. Anugerah Onie, Sp.BS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul:
Cedera Kepala
Oleh:
Berliana Agustin, S.Ked 04084821921070

Pembimbing:
dr. Anugerah Onie, Sp.BS

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 April – 24 Juni
2019.

Palembang, April 2019


Pembimbing,

dr. Anugerah Onie, Sp.BS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Cedera Kepala”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas makalah yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada
Departemen Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Anugerah Onie, Sp.BS
selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan
penyusunan makalah, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan
kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah di masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi
pembaca.

Palembang, April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2
BAB III KESIMPULAN ................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah suatu keadaan non-kongenital dan non-degeneratif


yang terjadi pada otak yang disebabkan oleh energi mekanik dari luar yang
menyebabkan penurunan kognitif, fisik, dan fungsi psikososial yang bersifat
sementara atau permanen dan dapat disertai penurunan kesadaran atau tidak.
Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada pada kepala, mulai
dari bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap
komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisma trauma yang
terjadi.
Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan
yang terlambat.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan
usia produktif khususnya di negara berkembang. Kasus trauma terbanyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan
olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.Trauma kepala
didefinisikan sebagai trauma non degeneratif – non konginetal yang terjadi akibat
ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan
kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian / kelumpuhan pada usia dini.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera
kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun
dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua
pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh
lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
SCALP
Anatomi kepala terdiri dari SCALP, tulang kranium, meningen,
parenkim otak, pembuluh darah otak, cairan serebrospinal (CSF), dan
tentorium. SCALP merupakan singkatan dari susunan skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan ikat, aponeurosis, loose areolar tissue atau
jaringan ikat longgar dan perikranium.(1)
MENINGEN
Meningen adalah selaput yang menutupi seluruh permukaan otak dan
terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras dan tidak melekat pada selaput arakhnoid
dibawahnya sehingga terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang
terletak antara duramater dan arakhnoid, dimana sering terjadi perdarahan
subdural. Selain itu juga terdapat ruang potensial diantara duramater dan
tulang kranium yang disebut ruang epidural atau extradural. Lapisan kedua
dari meningen di bawah duramter yang tipis dan tembus pandang disebut
arakhnoimater. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang
subarakhnoid. Parenkim otak dibagi menjadi serebrum (otak besar),
serebelum (otak kecil) dan batang otak. Tentorium merupakan struktur yang
membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (fossa kranii
anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (fossa kranii
posterior).
2.2 Cedera Kepala
a. Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat,
2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (8).
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2
macam yaitu:
 Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak
juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan
sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
 Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan
akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar
otak, kontusio memar, dan laserasi.

b. Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,
dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat
memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama
diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera
(rotasional, translational, atau angular), dan besar serta lamanya
dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala
bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada
percepatan atau perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak
relatif terhadap tengkorak. Meskipun satu proses mungkin
mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera kepala mengalami
kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala; benturan
kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban
impulsif memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang
signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan
kekuatan bertahap.
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti
memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi
mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma
(SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih
cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga
Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus
menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak
bagian dalam (9).
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi
dan rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia.
Karena sifat biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering
mengakibatkan defleksi kepala dan leher bagian tengah atau tulang
belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan).

2. Beratnya Cedera Kepala


Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara
klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka.
Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), merupakan skala
universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis
yang menyebabkan penurunan kesadaran.
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and
Jennett pada 1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu
membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan
berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada
penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan
sebagai koma atau cedera otak berat.

Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai


GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14- 15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

3. Morfologi Cedera Kepala


Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (10)
 Laserasi Kulit
Kepala Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh
benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang
disebabkan oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan
teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh
tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala
sering di dapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala
terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim
SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose
connective tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis
dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur
tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.
 Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi:
o Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh
ketebalan tulang kepala.
o Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura
tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita
karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
o Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
o Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan
atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur
impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna
segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah
tabula interna segmen tulang yang sehat.
o Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai
dengan robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar
tengkorak. pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa
anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis
cranii fossa media.
 Luka memar (kontusio)
Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga
darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak,
menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar
pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler
pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di
CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada
kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami
pembengkakan yang disebut edema. Jika pembengkakan cukup
besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah
tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
 Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya
superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit.
Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa
sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
 Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit
terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang
kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas
setelah cedera(11).
 Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan
yang berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala,
yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin
akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
 Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal
atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak
(Sjamsuhidajat, 2010).
 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
cerebri merupakan penyebab dari perdarahan subdural.
Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak, dan kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan epidural
(Sjamsuhidajat, 2010).

c. Gejala Klinis Trauma Kepala


Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala
adalah seperti berikut:
 Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
o Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang
telinga di atas os mastoid)
o Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani
telinga)
o Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma
langsung)
o Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
o Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga).
 Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala
ringan;
o Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama
beberapa saat kemudian sembuh.
o Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
o Mual atau dan muntah.
o Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
o Perubahan keperibadian diri.
o Letargik.
 Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
o Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan
peningkatan di otak menurun atau meningkat.
o Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
o Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi,
depresi pernafasan).
o Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat
pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas

d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Cedera Kepala Komponen utama pemeriksaan
neurologis pada pasien cedera kepala sebagai berikut:
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral,
hematom pada mastoid (tanda Battle), hematom
subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya
batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang
mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung
atau telinga (cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung
glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil,
untuk melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial
(Ginsberg, 2007).

e. Pemeriksaan Penunjang Cedera Kepala


Cedera kepala mengacu cedera pada struktur intrakranial berikut
trauma fisik pada kepala. Istilah Cedera kepala mengacu pada luka
yang mencakup struktur baik intrakranial dan ekstrakranial,
termasuk kulit kepala dan tengkorak. Kemajuan teknologi
pencitraan medis telah mengakibatkan kemajuan beberapa
modalitas pencitraan baru untuk evaluasi cedera kepala. Sementara
kemajuan dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini
dan informasi prognostik yang berguna. Pemilihan diagnostik yang
tepat di antara berbagai teknik pencitraan yang tersedia,
diantaranya:

Konvensional radiografi (X-ray)


Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis,
merupakan penanda risiko independent untuk lesi intrakranial
(Adams, 2012). Namun, film tengkorak terutama digunakan untuk
identifikasi patah tulang tengkorak dan tidak untuk evaluasi dari
patologi intrakranial. Bahkan, radiografi konvensional adalah
prediktor yang buruk patologi intrakranial dan tidak boleh
dilakukan untuk mengevaluasi cedera kepala (Bell, 2011). Pada
cedera kepala ringan, x-ray tengkorak jarang menunjukkan temuan
yang signifikan, sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya
kelainan pada x-ray tengkorak tidak menyingkirkan cedera
intrakranial utama.
X-ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada
(State of Colorado Department of Labor and Employment, 2006).
Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya:
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera SCALP
5. Dugaan cedera penetrating
6. Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga
7. Deformitas tengkorak tampak atau teraba
8. Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat,
epilepsi, atau anak-anak)
9. GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang
langsung dan keras.
Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur mempengaruhi
tindakan:
1. Karena ada kemungkinan perdarahan, perlu CT.
2. Fraktur terbuka termasuk basis meninggikan risiko infeksi.
Fraktur depres meningkatkan kemungkinan kejang,
terutama bila laserasi duramater.
3. Fraktur menunjukkan sisi operasi pada pasien dengan
perburukan cepat karena perdarahan ekstradural.

Computed Tomography Scanner (CT Scan)


Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi
setiap pasien dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas
pilihan karena cepat, digunakan secara luas, dan akurat dalam
mendeteksi patah tulang tengkorak dan lesi intrakranial. CT scan
dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi perdarahan,
efek penekanan, dan komplikasi yang mengancam serta apabila
membutuhkan intervensi pembedahan segera. Berdasarkan
gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya gambaran
abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala (French,
1992).
Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah
seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang
dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan
gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau
herniasi jaringan otak.

f. Tatalaksana Cedera Kepala


Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya
dirawat di rumah sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika
terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur kranium dan tanda
neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya
dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka
/ laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana
spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom
yang mendesak ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur
kranium yang menekan pada laserasi kulit kepala. Jika
ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera
dengan debridement luka dan menaikkan fragmen
tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada meningen
dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan
pada tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan,
karena dapat memperburuk penurunan kesadaran.(13)

Penanganan cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat mempunyai


urutan prosedur, yaitu :
Primary Survey (Survey Primer)
Semua prosedur penanganan gawat darurat dengan kejadian
trauma, maka langkah pertama yang dilakukan sejak detik pertama
pasien masuk instalasi gawat darurat adalah pemeriksaan secara
cepat dan efisien disebut sebagai primary survey. Dasar dari
pemeriksaan primary survey adalah ABCD, yaitu Airway (jalan
nafas), Breathing (pernafasan), Circulation (sirkulasi darah),
Disability (status neurologi) (Wahjoepramono, (2005).
1. Airway (Menjaga Jalan Nafas) dengan kontrol servikal
Airway Manajemen merupakan suatu hal yang terpenting
dalam melakukan resusitasi dan membutuhkan ketrampilan
khusus dengan penanganan keadaan gawat darurat. Oleh sebab
itu, hal yang pertama harus segera dinilai adalah kelancaran
jalan nafas, meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat
disebabkan oleh benda asing, fraktur manibula atau maksila,
fraktur laring (Dewi, 2013 dalamSetyawan, 2015). Adapun
gangguan jalan nafas (airway) terjadi dikarenakan lidah yang
jatuh kebelakang. Ketika cedera tidak ada di daerah cervikal,
dengan posisi kepala ekstensi, jika tidak membantu maka akan
dilakukan pemasangan pipa orofaring atau pipa endotrakeal dan
dilakukan pembersihan dibagian mulut dengan adanya lendir,
darah, muntahan, atau gigi palsu (Wahjoepramono, (2005).
Gangguan airway ini juga dapat timbul secara mendadak dan
total, perlahan-lahan dan secara berulang (Dewi,
2013dalamSetyawan, 2015 ).
Bebasnya jalan nafas paling terpenting bagi kecukupan
ventilasi dan oksigenasi. Ketika penderita tidak mampu dalam
mempertahankan jalan nafas, oleh karena itu, patensi jalan
nafas harus segera dipertahankan dengan cara buatan,
diantaranya : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Smith,
Davidson, Sue, 2007).
Dalam usaha untuk membebaskan jalan nafas harus segera
melindungi pada vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada pasien yang dapat
berbicara, dianggap bahwa jalan nafasnya bersih, walaupun
penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Pasien dengan
gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale< 8 ini
memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan
motorik yang tidak bertujuan dalam mengindikasikan
diperlukan pada airway definitif.
2. Breathing
Oksigen terpenting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh
memerlukan pasokan konstan O2 digunakan untuk menunjang
reaksi kimiawi penghasil energi dan menghasilkan CO2 yang
harus dikeluarkan secara terus menerus (Dewi, 2013).
Terbukanya airway yaitu langkah awal yang tepenting untuk
pemberian oksigenkonsenterasi tinggi (nonrebreather mask 11-
12 liter/menit). Oksigenasi menunjukkan pengiriman oksigen
sesuai ke jaringan ini untuk memenuhi kebutuhan metabolik,
efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Krisanty, 2009).
Gangguan pernafasan (breathing) terjadi adanya gangguan
bersifat sentral maupun perifer. Kelainan perifer disebabkan
karena akibat dari adanya aspirasi atau trauma dada yang
menyebabkan pneumothorax atau gangguan gerakan
pernafasan. Hal ini terjadi karena kerusakan pusat napas di otak
(Wahjoepramono, 2005).
Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai yaitu
perhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi dengan buka
leher dan dada penderita, tentukan dengan laju dan dalamnya
pernafasan, lakukan inspeksi dan palpasi leher dan thoraks
untuk mengenali kemungkinan deviasi trakhea, espansi thoraks
yang simetris, perhatikan pemakaian otot-otot tambahan dan
tanda-tanda cedera, lakukan perkusi thoraks untuk menentukan
redup atau hipersonor dan auskultasi pada thoraks bilateral
(Greenberg 2005 dalam Arsani, 2011). Disamping u, nilai PaO2
yang direkomendasikan >75 mmHg dan kadar PaCO2 yaitu 35-
38 mmHg (Arifin, (2013). Ketika pernafasan tidak adekuat,
ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-maskini
cara yang lebih efektif jika dilakukan oleh dua orang dimana
kedua tangan dari salah satu petugas.
3. Circulation (kontrol perdarahan)
Perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian
setelah truma (Krisanty, 2009). Gangguan sirkulasi (circulation)
terjadi karena cedera otak, dan faktor ekstra kranial. Gangguan
ini terjadi kondisi hipovolemia yang mengakibatkan pendarahan
luar, atau ruptur organ dalam abdomen, trauma dada,
tamponade jantung atau pneumothoraks dan syok septik.
(Wahjoepramono, (2005). Pada shock hipovolemik ini dibatasi
dengan tekanan darah kurang dari 90 mmHg dan dapat
mengalami penurunan tekanan darah yang berpengaruh
terhadap tingkat kinerja otak (Arifin, 2013) Oleh sebab itu, hal
yang pertama harus segera dinilai adalah mengetahui sumber
perdarahan eksternal dan internal, tingkat kesadaran, nadi dan
periksa warna kulit dan tekanan darah.
4. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap
keadaan neurologis secara cepat (ATLS, 2004). Selain
itu,Pemeriksaan neurologis secara cepat yaitu dengan
menggunakan metode AVPU (Allert, Voice respone, Pain
respone, Unrespone) (Pusbankes 118, (2015).Hal ini yang
dinilai yaitu tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS/PTS,
ukuran dan reaksi pupil (Musliha, (2010). Exposure Pada
exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey,pasien
harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk melakukan
pemeriksaan thoraks kemudian diberikan selimut hangat, cairan
intravena yeng telah dihangatkan dan ditempatkan pada ruangan
cukup hangat ini dilakukan pada saat dirumah sakit (Musliha,
2010). Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan
cara long roll (Dewi 2013). Pemeriksaan seluruh bagian tubuh
harus segera dilakukan tindakan agar mencegah terjadinya
hiportermia. Dalam pemeriksaan penunjang ini dilakukan pada
survey primer, yaitu pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse
oxymetri, foto thoraks, dan foto polos abdomen. Tindakan
lainnyaseperti pemasangan monitor EKG, kateter dan NGT
Pusbankes 118, (2015).

Secondary Survey
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan
stabil dan dipastikan airway, breathing dan sirkulasidapat membaik.
Prinsip survey sekunder adalah memeriksa ke seluruh tubuh yang
lebih teliti dimulai dari ujung rambut sampai ujung kaki ( head to
toe) baik pada tubuh dari bagian depan maupun belakang serta
evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai
dengan anamnesa yang singkat meliputi AMPLE (allergi,
medication, past illness, last meal dan event of injury).

2.3 Epidural Hematome


a. Definisi
Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara dura
mater dan tabula interna karena trauma (Gambar-1). Pada penderita
traumatik hematoma epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang
sama. Perdarahan berasal dari pembuluh darah -pembuluh darah di
dekat lokasi fraktur (2)
b. Lokasi
Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah
temporoparietal, di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang
berakibat robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya,
sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital. Volume
EDH biasanya stabil, mencapai volume maksimum hanya beberapa
menit setelah trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresifitas
perdarahan sampai 24 jam pertama
c. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang
tengkorak dan durameter.Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah
temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek.Robekan
ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah
bersangkutan.Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di
permukaan dan os.temporale.(3)
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan
oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar
di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak
kearah bawah dan dalam.Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal
oleh tim medis. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang
mengurus formasi retikularis di medulla oblongata menyebabkan
hilangnya kesadaran.Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga
(okulomotorius).Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil
dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang
berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik
kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski
positif. (3,4)
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan
intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan
intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda
vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri,
maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan
kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut
interval lucid.Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang
ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera
primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma
primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. (3,4)
Sumber perdarahan : (4)
 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
 Sinus duramatis
 Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica
dan vena diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di
bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter
melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak
menyebabkan mudah herniasi trans dan infratentorial. Karena itu setiap
penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang
berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat
dan diperiksa dengan teliti.

d. Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara
progresif.Pasien dengan kondisi seperti ini sering kali tampak memar di
sekitar mata dan di belakang telinga.Sering juga tampak cairan yang
keluar pada saluran hidung atau telinga.Pasien seperti ini harus di
observasi dengan teliti.Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang
muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala. (5)
Gejala yang sering tampak : (6)
 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera


umumnya bukan karena terjadinya hematoma epidural, melainkan
karena teregangnya serat-serat formasio retikularis di dalam batang
otak. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang sama yang terjadi
pada hilangnya kesadaran saat terjadi komosio serebri. Setelah beberapa
saat, dimana hematoma yang terjadi telah mencapai sekitar 50 cc
barulah gejala neurologis akibat hematoma bermanifestasi. Gejala
neurlogis ini muncul terutama karena efek penekanan massa terhadap
jaringan otak, bukan efek terjadinya iskemia jaringan otak. Penekanan
hematoma menyebabkan pendorongan otak dan menimbulkan herniasi
yang menekan batang otak. (6)
Setelah efek regangan pada serat formasio retikularis di
batang otak telah pulih, umumnya pasien akan segera sadar kembali
sampai akhirnya hematoma yang terjadi sudah cukup besar sehingga
menyebabkan terjadinya defisit neurologis, termasuk penurunan
kesadaran. Masa dimana penderita sadar sebelum kemudian mengalami
penurunan kembali ini disebut masa interval lusid.Walaupun lucid
interval kerap dianggap ciri klasik dari hematoma epidural, tetapi
sesungguhnya bukan merupakan hal yang patognomik, dan hanya
dijumpai pada sepertiga kasus. Pada dasarnya lucid interval dapat saja
dijumpai pada setiap cedera kepala yang disertai lesi intrakranial yang
memberikan efek massa, yang menekan jaringan otak secara progresif(7)
Hematoma yang terjadi di daerah temporal akan
menyebabkan gejala neurologis yang cukup progresif. Pasien akan
semakin menurun kesadarannya, seperti hendak tidur terus tetapi tidak
dapat dibangunkan. Hematoma yang semakin besar akan mendorong
jaringan otak ke bawah, ke arah insisura tentorii, sehingga terjadilah
herniasi jaringan otak yang menekan nervus okulomotorius pada sisi
yang sama. Sebagai dampaknya, akan terjadi miosis beberapa saat, yang
kemudian midriasis, pada mata sisi ipsilateral dengan hematoma yang
tidak lagi berespon terhadap cahaya, dan terjadilah anisokoria. Defisit
neurologis lainnya yang dapat dijumpai dapat berupa hemiparesis,
kejang, muntah, dan pada pemeriksaan fisik dapat pula dijumpai refleks
Babinsky kontralateral yang positif. (7)
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa
dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya,
pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada
permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi
herniasi tentorial.Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi.Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam,
pupil kontralateral jugamengalami pelebaran sampai akhirnya kedua
pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian.Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika Epidural
hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval
bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi
kabur.

e. Gambaran Radiologi
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma
kepala lebih mudahdikenali(6)
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya
fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media. Sebaiknya
foto ini hanya dilakukan pada cedera kepala ringan yang disertai dengan(6)
 Riwayat pingsan atau amnesia
 Adanya gejala neurologis seperti diplopia, vertigo, muntah, atau
sakit kepala
 Adanya tanda neurologis seperti hemiparesis
 Adanya otorrhea atau rhinorrhea
 Adanya kecurigaan luka tembus kepala
 Adanya kecurigaan intoksikasi obat atau alkohol

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,
dan potensi cedara intracranial lainnya.Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal.Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,
Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah.

Indikasi pemeriksaan CT scan pada penderita cedera kepala: (6)


 GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama
observasi
 Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
 Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
 Disertai dengan kejang
 Adanya tanda neurologis fokal
 Sakit kepala yang menetap

Pada pemeriksaan CT Scan kepala, akan ditemukan gambaran sebagai


berikut: (6)
 Hiperdens ellips yang bikonveks dengan batas tegas
 Densitas yang bervariasi menunjukkan adanya perdarahan aktif
 Hematoma tidak menyebrangi garis sutura kecuali jika terjadi
fraktur sutura yang diastatik
 Dapat memisahkan sinus vena dari cranium; epidural hematoma
merupakan satu-satunya bentuk perdarahan intrakranial yang dapat
memberikan gambaran seperti ini.
 Adanya efek massa yang bergantung pada ukuran perdarahan dan
berhubungan dengan edema.
 Perdarahan vena dapat memberikan gambaran yang lebih
bervariasi.
 Garis fraktur yang berkaitan dapat dilihat
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001)
cedera kepala ada 2 macam, yaitu cedera kepala terbuka dan cedera kepala
tertutup. Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, dapat diklasifikasi
penilaiannya berdasarkan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan dikelompokkan
menjadi cedera kepala ringan, cedera kepala sedang, dan cedera kepala berat.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada cedera kepala adalah foto
cranium dan CT Scan kepala. Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold
standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas
pilihan karena cepat, digunakan secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah
tulang tengkorak dan lesi intrakranial.
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah
sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat
kesadaran, fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat
ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit
luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah
saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Langkah pertama yang dilakukan pada pasien masuk instalasi gawat
darurat adalah pemeriksaan secara cepat dan efisien disebut sebagai primary
survey. Dasar dari pemeriksaan primary survey adalah ABCD, yaitu Airway (jalan
nafas), Breathing (pernafasan), Circulation (sirkulasi darah), Disability (status
neurologi), kemudian dilanjukan dengan secondary survey.
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B.
M. (n.d.). Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special
Edition:Arteries to Brains and Meningens, NJ : 2012
2. Price DD, Wilson SR. Epidural hematoma. In: McNamara RM,
Talavera F editors. Traumatic brain injury. March 2006. Available from:
URL: http://www.emedicine.com/EMERG/topic167.htm
3. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi,
edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
4. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf,
Neurologi Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
5. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua,
Jong W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819
6. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
7. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua,
Harsono, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
8. Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E., Traumatic brain
injury in the United States: emergency department visits, hospitalizations,
and deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention,
National Center for Injury Prevention and Control, 2006.
9. Youmans, J.R., 2011, Trauma : Neurological Surgery, 6th ed,
Volume 3, W.B. Saunders Company, New York.
10. Pascual, J.L., 2008. Injury to the Brain. Trauma :contemporary
principles and therapy. Philadelphia: pp.276-88
11. Mansjoer, arief.2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta :
Media Aesculapius.
12. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi,
edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
13. Ginsberg Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Jakarta; Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai