Anda di halaman 1dari 39

INTEGRASI METABOLISME

KAJIAN LITERATUR

“REGULATION OF TRIGLYCERIDE METABOLISM BY


GLUCOCORTICOID RECEPTOR”

Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas


Matakuliah Metabolisme

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih, M.Si.

Disusun Oleh :
Rizal Akbar (NIM. 081424253003)
Untari (NIM.081424253004)

PROGRAM MAGISTER KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

Makanan yang mengandung lemak merupakan sumber cadangan energi bagi tubuh saat
asupan karbohidrat berkurang. Lipid yang diperoleh sebagai sumber energi utama adalah lipid
netral yaitu trigliserida. triasilgliserol atau trigliserida adalah senyawa lipid utama yang
terkandung dalam bahan makanan dan sebagai sumber energi yang penting. Trigliserida
merupakan salah satu jenis lemak yang terdapat dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh.
Trigliserida sendri mengandung gliserol dan asam lemak. Makanan yang dikonsumsi akan masuk
ke dalam tubuh untuk diolah dalam sistem pencernaan. Trigliserida merupakan senyawa yang
paling banyak dibutuhkan oleh tubuh, sehingga keberadaannya dalam sistem peredaran darah
mendominasi dibandingkan dengan lain untuk proses metabolisme. Dalam tubuh trigliserida
berperan penting dalam menyediakan cadangan energi bagi berjalannya proses metabolik.

Trigliserida merupakan lemak yang dibutuhkan oleh tubuh karena berfungsi sebagai
penghasil cadangan energi. Menjaga homeostatis dari trigliserida merupakan hal yang penting
untuk dilakukan karena berhubungan dengan sistem meabolisme tubuh. Kondisi homeostatis
trigliserida dapat diatur melalui 2 proses dalam tubuh yaitu lipogenesis dan lipolisis.
Lipogenesis merupakan proses pembentukan trigliserida yang dilakukan jika tubuh memiliki
kelebihan lemak dan karbohidrat sedangkan jumlah energi yang dibutuhkan tubuh terpenuhi.
Ada dua sumber utama sintesis trigliserida yaitu Pertama, trigliserida berasal dari sumber lemak
dari makanan yang dikonsumsi dan yang kedua yaitu trigliserida berasal dari sumber bukan
lemak seperti karbohidrat. Proses lipogenesis merupakan fase anabolik yang terjadi di hati.
Sedangkan proses lipolisis yaitu proses degradasi trigliserida menjadi penyusun-penyusunnya
yaitu gliserol dan asam lemak bebas, liposis terjadi jika asupan makanan berkurang, sedangkan
tubuh tetap membutuhkan asupan energi misalnya ketika puasa, diantara dua waktu makan, atau
aktifitas fisik yang menguras tenaga misalnya berolahraga.

Trigliserida merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, maka pada proses di dalam
tubuh trigliserida yang di pecah menjadi asam lemak dan gliserol akan diangkut oleh miselus
(dalam bentuk besar disebut emulsi) dan dilepaskan ke dalam sel epitel usus (enterosit). Di
dalam sel ini asam lemak dan monogliserida segera mengalami reaksi esterifikasi menjadi

1
trigliserida (lipid) dan berkumpul berbentuk gelembung yang disebut kilomikron. Kilomikron
termasuk dalam golongan lipoprotein yang diproduksi di interstium. kilomikron berfungsi
sebagai alat transportasi trigliserida dari usus ke jaringan lain, kecuali ginjal. Lipoprotein
merupakan media pengangkutan trigliserida sehingga dapat terdstribusi ke lingkungan air seperti
plasma darah. Selanjutnya kilomikron ditransportasikan melalui pembuluh limfa dan bermuara
pada vena kava, sehingga bersatu dengan sirkulasi darah. Kilomikron ini kemudian
ditransportasikan menuju hati dan jaringan adiposa.

Di dalam sel-sel hati dan jaringan adiposa, kilomikron segera dipecah melalui proses
hidrolisis menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Selanjutnya asam-asam lemak dan
gliserol tersebut, dibentuk kembali menjadi simpanan trigliserida. Proses pembentukan
trigliserida ini dinamakan esterifikasi. Sewaktu-waktu jika kita membutuhkan energi dari lipid,
trigliserida dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, untuk ditransportasikan menuju sel-sel
untuk dioksidasi menjadi energi. Asam lemak tersebut ditransportasikan oleh albumin ke
jaringan yang memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Proses
oksidasi asam lemak dinamakan oksidasi beta dan menghasilkan asetil KoA. Selanjutnya
sebagaimana asetil KoA dari hasil metabolisme karbohidrat dan protein, asetil KoA dari jalur ini
pun akan masuk ke dalam siklus asam sitrat sehingga dihasilkan energi. Di sisi lain, jika
kebutuhan energi sudah mencukupi, asetil KoA dapat mengalami lipogenesis menjadi asam
lemak dan selanjutnya dapat disimpan sebagai trigliserida.

Trigliserida merupakan lemak yang dibutuhkan oleh tubuh karena berfungsi sebagai
penyimpan cadangan energi. Menjaga homeostatis dari trigliserida merupakan hal yang penting
untuk dilakukan karena berhubungan dengan sistem meabolisme tubuh. Kondisi homeostatis
trigliserida dapat diatur melalui 2 proses dalam tubuh yaitu lipogenesis dan lipolisis.
Lipogenesis merupakan proses pembentukan trigliserida yang dilakukan jika tubuh memiliki
kelebihan lemak dan karbohidrat sedangkan jumlah energi yang dibutuhkan tubuh terpenuhi.
Ada dua sumber utama sintesis trigliserida yaitu Pertama, trigliserida berasal dari sumber lemak
dari makanan yang dikonsumsi dan yang kedua yaitu trigliserida berasal dari sumber bukan
lemak seperti karbohidrat. Proses lipogenesis merupakan fase anabolik yang terjadi di hati.
Sedangkan proses lipolisis yaitu proses degradasi trigliserida menjadi penyusun-penyusunnya
yaitu gliserol dan asam lemak bebas, liposis terjadi jika asupan makanan berkurang, sedangkan

1
tubuh tetap membutuhkan asupan energi misalnya ketika puasa, diantara dua waktu makan, atau
aktifitas fisik yang menguras tenaga misalnya berolahraga.

Beberapa sistem juga endokrin memegang peranan peran penting dalam proses
keseimbangan lipogenesis dan lipolisis. Hormon Glukokortikoid adalah hormon steroid yang
membawa peranan penting dan kompleks dalam metabolisme trigliserida. Glukokortikoiad
diproduksi pada kortks adrenal. Pada metabolisme lipid, hormon glukokortikoid memberikan 2
efek regulasi. Efek yang pertama adalah redistribusi senyawa lipid dan yang kedua adalah
aktivasi senyawa lipolitik. selama waktu puasa dan kondisi lapar terjadi peningkatan kadar
glukokortikoid dalam tubuh sehingga akan merangsang proses lipolisis pada jaringan adiposit.
Trigliserida dalam jaringan adiposit akan terhidrolisis menjadi asam lemak (FA) dan gliserol.
Hal ini terjadi sebagai respon metabolisme dalam tubuh terhadap kondsi tubuh sedang berpuasa
atau sedang lapar agar kebutuhan energi tetap terpenuhi saat kondisi tubuh kekurangan asupan
karbohidrat.

Aktivitas biologis dari hormon glukokortikoid paling utama disebabkan oleh reseptor
glukokortikoid (GR). Setelah glukokortikoid mengikat GR maka akan terjadi respon dari
glukokortikoid genomik (GRE) untuk memodulasi transkripsi gen tertentu yang akan
memodulasi aktivitas biologis dari glukokortikoid. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan untuk mengetahui aktivitas dari glukokortikoid menggunakan kromatin
immunoprecipitation sequencing diketahui bahwa gen-gen yang diatur oleh hormon
glukokortikoid adalah gen-gen yang terlibat dalam proses lipogenesis trigliserida dan dalam
proses lipolisis trigliserida. Gen-gen yang terlibat dalam proses lipogenesis trigliserida adalah
SCD-1, SCD-2,SCD-3, GPAT3, GPAT4, Agpt2 dan Lpin1, sedangkan gen-gen yang terlibat
dalam proses lipolisis trigliserida adalah Lipe dan Mgll. Gen -gen inilah yang menyebabkan
hormon glucocorticoid berperan dalam proses regulasi trigliserida untuk terbentuknya kondisi
homeostatis.

Kelebihan jumlah hormon glukokorticoid dalam tubuh dapat menyebabkan beberapa


gangguan lipid seperti obesitas sentral, dislipedemia, penumpukan lemak hati, resistensi insulin
yang dapat memicu terjadinya syndrom crushing. Syndrom crushing timbul ketika kelenjar
adrenal pada tubuh terlalu banyak memproduksi hormon kortisol, yang dikenal sebagai simtoma
hiperkortisolisme. Gejala yang ditimbulkan pada syndrom Crushing adalah berat badan naik,

1
terutama disekirar perut dan punggung bagian atas, kelelahan yang berlebihan ,otot terada lemah,
terutama pada daerah disekitar bahu dan pinggul, muka memundar, edema dan tanda merah pada
bagian paha, pantat dan perut. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikaji fungsi hormon
glukokortikoid yang mengatur regulasi metabolisme trigliserida.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TRIGLISERIDA

2.1.1 Definisi Trigliserida


Trigliserida merupakan jenis lemak yang dapat ditemukan dalam darah dan
merupakan hasil uraian tubuh pada makanan yang mengandung lemak dan kolesterol
yang telah dikonsumsi dan masuk ke tubuh serta juga dibentuk di hati. Setelah
mengalami proses di dalam tubuh, trigliserida ini akan diserap usus dan masuk ke dalam
plasma darah yang kemudian akan disalurkan ke seluruh jaringan tubuh dalam bentuk
klomikron dan VLDL (very low density lipoprotein).
Trigliserida dalam bentuk klomikron berasal dari penyerapan usus setelah
konsumsi makanan berlemak. Sebagai VLDL, trigliserida dibentuk oleh hati dengan
bantuan insulin dari dalam tubuh. Sementara itu, trigliserida yang berada di luar hati dan
berada dalam jaringan misalnya jaringan pembuluh darah, otot, jaringan lemak akan
dihidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase. Sisa hidrolisis kemudian akan dimetabolisme
oleh hati menjadi kolesterol LDL.
Kalori yang didapatkan tubuh dari makanan yang dikonsumsi tidak akan langsung
digunakan oleh tubuh melainkan disimpan dalam bentuk trigliserida dalam sel-sel lemak
di dalam tubuh yang berfungsi sebagai energi cadangan tubuh. Asupan makanan yang
.dalam tubuh seseorang. Jika kadar trigliserida meningkat, maka kadar kolesterol pun
akan meningkat pula.
Trigliserida yang berlebih dalam tubuh akan disimpan di dalam jaringan kulit
sehingga tubuh terlihat gemuk. Seperti halnya kolesterol, kadar trigliserida yang terlalu
berlebih dalam tubuh dapat membahayakan kesehatan. Namun, trigliserida dalam batas
normal sebenarnya sangat dibutuhkan tubuh. Asam lemak yang dimilikinya bermanfaat
bagi metabolisme tubuh. Selain itu, trigliserida memberikan energi bagi tubuh,
melindungi tulang, dan organ-organ penting lainnya dalam tubuh dari cedera. Trigliserida
merupakan lipid netral yang terdiri dari gliserol yang terikat pada 3 gugus asam lemak.
Trigliserida berfungsi untuk menghasilkan energi dan dapat sebagai cadangan energi
melalui proses lipolisis dan lipogenesis.

1
2.1.2 Struktur dari trigliserida
Terdiri dari sebuah gliserol yang berikatan dengan 3 asamlemak. Asam lemak yang
terikat dapat berupa molekul yang sama maupun bentuk molekul yang berbeda.
Trigliserida yang terbentuk dari asam lemak dengan ketiga rantai sama disebut sebagai
trigliserida sederhana sedangkan jika asam lemak penyusun trigliserida berbeda maka
disebut trigliserida kompleks.
Berikut ini adalah struktur dari trigliserida:

Gambar 2.1 Struktur trigliserida yang tersusun dari asam lemak dan gliserol

Trigliserida dan kolesterol merupakan jenis-jenis lemak dasar yang terdapat dalam
tubuh manusia dan bersikulasi dalam aliran darah. Walaupun keduanya sama-sama jenis
lemak dasar dan memiliki kemiripan, tetapi ada beberapa perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel1. Perbedaan anatara kolesterol dengan trigliserida

1
Selain asupan makanan dengan lemak jenuh tinggi, beberapa penyebab tingginya
trigliserida adalah kegemukan, kurang bergerak, dan konsumsi makanan yang kaya
karbohidrat sederhana (gula, tepung). Pada beberapa kasus, lonjakan trigliserida juga
terkait dengan penyakit diabetes, penyakit ginjal atau hati, serta faktor keturunan dalam
keluarga. Faktor genetik paling sulit diatasi karena reseptor di dalam sel-sel hati yang
bertugas untuk mengubah trigliserida yang berlebih untuk menjadi kolesterol telah
mengalami cacat bawaan
2.1.3 Proses Dan Transport Lipid
Triasilgliserol atau trigliserida adalah senyawa lipid utama yang terkandung dalam
bahan makanan dan sebagai sumber energi yang penting bagi tubuh. Sebagian besar
triasilgliserol disimpan dalam sel-sel jaringan adiposa sebagai cadangan energi. Berikut
adalah Proses dan distribusi lipid dalam jaringan tubuh melalui 8 tahap:
a. Triasilgliserol yang berasal dari diet makanan tidak larut dalam air. Untuk
mengangkutnya menuju usus halus dan agar dapat diakses oleh enzim yang dapat
larut di air seperti lipase, triasilgliserol tersebut disolvasi oleh garam emp edu
seperti kolat dan glikolat membentuk misel
b. Di usus halus enzim pankreas lipase mendegradasi triasilgliserol menjadi asam lemak
dan gliserol. Asam lemak dan gliserol diabsorbsi ke dalam mukosa usus.
c. Di dalam mukosa usus asam lemak dan gliserol disintesis kembali menjadi
triasilgliserol
d. Di dalam mukosa usus asam lemak dan gliserol disintesis kembali menjadi
triasilgliserol
e. Kilomikron bergerak melalui sistem limfa dan aliran darah ke jaringan-jaringan
f. Triasilgliserol diputus pada dinding pembuluh darah oleh lipoprotein lipase menjadi
asamlemak dan gliserol
g. Komponen ini kemudian diangkut menuju sel-sel target
h. Di dalam sel otot (myocyte) asam lemak dioksidasi untuk energi dan di dalam sel
adiposa (adipocyte) asam lemak diesterifikasi untuk disimpan sebagai triasilgliserol.

1
gambar 2.2 . Pemrosesan dan distribusi lipid pada Pencernaan dan absorpsi lipid dari
diet terjadi di usus halus. Asam-asam lemak hasil pengurain trigliserida di pak dan
ditransport ke otot dan jaringan adiposa
2.1.4 Jalur Metabolisme Lipid
lipid merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sehingga untuk distribusi lipid
daram darah melalui 2 metabolisme lipid, yaitu dengan jalur eksogen dan jalur endogen.
a. Jalur eksogen
Trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus berbentuk
kilomikron, akan diangkut dalam saluran limfe melalui duktus thorasikus menuju ke
darah. Trigliserid dalam kilomikron mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase pada
permukaan sel endotel membentuk asam lemak dan kilomikron remnan. Kolesterol juga
dapat disintesis dari asetat dibawah pengaruh enzim HMG Co A reduktase yang menjadi
aktif jika terdapat kekurangan kolestrol endogen. Asupan kolesterol dari darah juga diatur
oleh jumlah reseptor LDL yang terdapat pada permukaan sel hati
b. Jalur Endogen
Trigliserid dan kolesterol yang disintesis oleh hati diangkut secara endogen dalam
bentuk VLDL kaya trigliserid dan mengalami hidrolisi dalam sirkulasi oleh lipoprotein
lipase yang juga menghidrolisis kilomikron menjadi partikel lipoprotein yang lebih kecil
yaitu IDL dan LDL. LDL mengalami katabolisme melalui reseptor LDL yang terdapat
pada permukaaan sel hati dan jalur non reseptor. Jalur katabolisme reseptor dapat ditekan
oleh produksi kolesterol endogen. Kenaikan kadar kolesterol kira-kira 25 mg/dl yang juga

1
tergantung umur. Di Amerika, rata-rata kenaikan 18 kg berat badan pada usia 25-50
tahun, kenaikan berat badan ini diikuti dengan kadar kolesterol yang meningkat
2.1.5 Regulasi Metabolisme Trigliserida
Sebagian besar lemak yang terdapat dialam terdiri dari 98-99% trigliserida, sehingga
ketika kita mengkonsumsi lemak maka sebagian besar lemak yang masuk dalam tubuh
dalam bentuk trigliserida. Trigliserida merupakan suatu ester gliserol yag terbentuk dari
asam lemak bebas dan 1 gliserol. Ketika masuk dalam tubuh maka trigliserida akan
dipecah dan hanya menyisakan 1 asam lemak yang berikatan dengan satu gliserol yang
disebut dengan monogliserida. Fungsi utama Trigliserida dalam tubuh adalah sebagai zat
energi atau sebagai cadangan energi bagi tubuh yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu
saat tubuh membutuhkan pasokan energi tambahan. Apabila sel membutuhkan energi,
maka lemak yang disimpan sebagai trigliserida akan dipecah oleh enzim lipase menjadi
gliserol dan asam lemak yang akan dilepaskan ke pembuluh darah. Oleh sel-sel yang
membutuhkan komponen-komponen tersebut kemudian dibakar dan menghasilkan
energi, karbondioksida (CO2), dan air (H2O).
Jarngan lemak atau jaringan adiposit merupakan depot penyimpanan energi yang
paling besar bagi mamalia. Tugas utamanya adalah untuk menyimpan energi dalam
bentuk trigliserida melalui proses lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap
kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respons
tefhadap kekurangan energi. Pada keadaan normal, kedua proses ini diregulasi dengan
ketat. Jaringan lemak merupakan jaringan ikat yang mempunyai fungsi sebagai tempat
penyimpanan lemak dalam bentuk trigliserida.Sehingga untuk menjaga kondisi
homeostatis dalam tubuh dan menjaga agar tercukupinya jumlah energi paa sel-sel untuk
kelancaran metabolisme dalam tubuh maka proses lipogenesis dan lipolisis harus
seimbang dan berjalan dengan baik.

1
Gambar 2.3 . Regulasi metabolisme trigliserida

a. LIPOGENESIS
Lipogenesis harus dibedakan dengan adipogenesis yang merupakan proses
diferensiasi pra-adiposit menjadi sel lemak dewasa. Lipogenesis adalah proses deposisi
lemak yang meliputi sintesis trigliserida dari asam lemak dan gliserol yang terjadi di hati
pada daerah sitoplasma, mistokondria dan jaringan adiposa. Sumber Energi yang berasal
dari lemak dan melebihi kebutuhan energi tubuh maka akan disimpan dalam jaringan
lemak atau jaringan adiposa sebagai cadangan energi. Trigliserida juga dapat dibentuk
dari kelebihan Demikian pula dengan energi yang berasal dari karbohidrat dan protein
yang berasal dari makanan dapat disimpan dalam jaringan lemak jika saat itu kebutuhan
energi tubuh terpenuhi dari karbohidrat.
Asam lemak dalam bentuk trigliserida yang disimpan dalam jaringan adiposit dan
asam lemak yang terikat pada albumin dalam aliran darah yang didapat dari asupan
makanan atau hasil sintesis lemak di hati. Trigliserida yang dibentuk dari kilomikron atau
lipoprotein akan dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas oleh enzim
lipoprotein lipase (LPL) yang dibentuk oleh jaringan adiposit dan disekresi ke dalam sel
endotelial yang berdekatan dengan jaringan adiposit. Aktivasi LPL dilakukan oleh
apoprotein C-II yang dikandung oleh kilomikron dan lipoprotein (VLDL). Kemudian
asam lemak bebas akan diambil oleh sel adiposit sesuai dengan derajat konsentrasinya
oleh suatu protein transpor transmembran. Bila asam lemak bebas sudah masuk ke dalam
adiposit maka akan membentuk pool asam lemak dan disimpan dalam bentuk
trigeliserida dalam jaringan adiposit.

1
Lipogenesis adalah pembentukan asam lemak yang terjadi di dalam hati. Glukosa
atau protein yang tidak segera digunakan tubuh sebagian besar tersimpan sebagai
trigliserida. Sebagian kecil glukosa tersimpan dalam bentuk glikogen, serta protein
disimpan di dalam cadangan asam amino. Sebagian besar atom karbon yang berasal dari
glukosa dan asam amino yang berlebihan akan disintesis menjadi trigliserida
(lipogenesis). Lipogenesis membutuhkan ATP serta vitamin-vitamin seperti biotin,
niasin, dan asam pantotenat untuk pembentukan trigliserida. Atom-atom karbon yang
berasal dari glukosa dan asam-asam amino diubah menjadi asetil KoA, dengan melalui
beberapa tahap reaksi bagian asetat dari asetil KoA akan membentuk asam-asam lemak
jenuh berupa asam palmitat (C16), asam stearat (C18), atau asam arakidonat (C20). Asam
lemak ini akan melakukan esterifikasi dengan gliserol (diproduksi dalam glikolisis) dan
menghasilkan aliran darah sebagai very low density lipoprotein (VLDL) yang digunakan
untuk menghasilkan energi atau disimpan dalam sel-sel lemak.

gambar 2.4 jalur lipogenesis


De Novo Lipogenesis
De novo lipogenesis merupakan jalur utama pengubahan karbohidrat
menjadi lemak didalam liver. Namun dalam kenyataannya, de novo lipogenesis
merupakan jalur metabolisme yang tidak terlalu penting pada konsumsi standar diet
orang barat, namun menjadi lebih penting k e t i k a b e r a d a d a l a m k e a d a a n
k e l e b i h a n a s u p a n m a k a n a n , k h u s u s n y a k a r b o h i d r a t . D e n o v o lipogenesis
menujukkan kenaikan 2-3 x setelah diberi asupan berlebih berbagai jenis

1
karbohidrat,mencapai 36% dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian yang
telah dilakukan, de novo lipogenesis sebanyak 10-20% terjadi pada orang kurus
setelah diberikan asupan berlebih 25-50% karbohidratkompleks, yang menunjukkan
6-10 x peningkatan dibandingkan perlakuan kontrol. Perberian lemak berlebih
50% dengan lemak menghasilkan sejumlah de novo lipogenesis yang
tidak berbeda jauh dengan perlakuan kontrol. Ketika diukur secara langsung,
de novo lipogenesissangat dipengaruhi komposisi makronutrient dari diet. De
novo lipogenesis meningkat 5x padasubyek kurus yang diberi kadar lemak
rendah, diet karbohidrat tinggi (70% karbohidrat, 10%lemak) apabila
dibandingkan diet orang barat pada umumnya yaitu 45% karbohidrat dan
40%lemak.
Terdapat b u k t i b a h w a j e n i s d i e t k a r b o h i d r a t ya n g d i k o n s u m s i
b e r p e n g a r u h i p a d a berbedanya de novo lipogenesis. Fruktosa misalnya, diketahui
memiliki efek yang sangat tinggi pada de novo lipogenesis daripada glukosa, pada
tikus percobaan dan manusia walaupun dalam jangka waktu yang pendek.
Fruktosa lebih cepat dimanfaatkan liver, yang dapat
menghindari p e m b a t a s a n 6-atau1-fosfofruktokinase pada glikolisis
y a n g d a p a t m e m b a t a s i m e t a b o l i s m e glukosa.
b. LIPOLISIS
Ketika tubuh kekurangan energi maka kebutuhan akan energi akan terpenuhi
dengan memecah cadangan energi berupa trigeliserida yang terdapat dalam jaringan
adiposit melalui proses liposisis menjadi asam lemak dan gliserol.
Lipolisis merupakan suatu proses di mana terjadi dekomposisi kimiawi dan
penglepasan trigliserida dari jaringan lemak. Bilamana diperlukan energi tambahan maka
lipolisis merupakan proses yang predominan terhadap proses lipo-genesis. Enzim
Hormone Sensitive Lipase (HSL) akan menyebabkan terjadinya hidrolisis trigliserida
menjadi asam lemak bebas dan gliserol yang akan dilepaskan dalam aliran darah untuk
diedarkan ke sel-sel yang membutuhkan pasokan energi.
Asam lemak yang dihasilkan akan masuk ke dalam pool asam lemak, yang akan
berakibat terjadinya proses re-esterifikasi, beta oksidasi dari asam lemak tersebut akan
dilepaskan dan akan dialirkan untuk masuk ke dalam sirkulasi darah menjadi substrat

1
bagi otot skelet, otot jantung, dan hati. Asam lemak akan dibentuk menjadi energi dalam
bentuk ATP melalui proses beta oksidasi dan asam lemak hasil lipolisis akan dibawa ke
luar jaringan lemak melalui sirkulasi darah untuk kemudian menjadi sumber energi bagi
jaringan yang membutuhkan.
Berukut ini adalah jalur metabolisme lemak diubah menjadi energi yang akan diedarkan
ke sel-sel yang membutuhkan energi.

Gambar 2.3. jalur metabolisme lemak menjadi energi

2.2 HORMON GLUKOKOTIKOID


Glukokortikoid (bahasa Inggris: Glucocorticoids, GC) merupakan golongan hormon
steroid yang berpengaruh terhadap metabolisme nutrisi. Penamaan glukokortikoid (glukosa +
korteks + steroid) menunjukkan keberadaan golongan ini sebagai regulator glukosa yang
disintensis pada korteks adrenal dan mempunyai struktur steroid. Kelenjar adrenal yang juga
dikenal sebagai kelenjar suprarenal adalah kelenjar berbentuk segitiga yang terletak di atas
ginjal. Kelenjar adrenal termasuk dalam kategori kelenjar endokrin. Setiap kelenjar adrenal
tersusun atas dua bagian. Bagian dalam disebut bagian medula dan bagian luar disebut bagian
korteks. Kerja medula adrenal dipengaruhi oleh sistem saraf otonom, sedangkan korteks
adrenal dipengaruhi oleh hormon ACTH dari hipofisis anterior. Korteks adrenal terdiri dari
lapisan sel-sel epitel dan jaringan kapiler yang terkait. Lapisan ini membentuk tiga wilayah

1
yang berbeda: sebuah zona glomerulosa luar yang menghasilkan mineralokortikoid, sebuah
zona fasikulata menengah yang memproduksi glukokortikoid, dan zona retikularis dalam
yang memproduksi androgen, yaitu hormon seks yang mempromosikan maskulinitas.
Androgen yang diproduksi dalam jumlah kecil oleh korteks adrenal pada laki-laki dan
perempuan. Mereka tidak mempengaruhi karakteristik seksual dan dapat menambah hormon
seks yang dilepaskan dari gonand.

Gambar 2.4 korteks adrenal tempat pembentukan Hormon glukokortikoid


Hormon Glukokortikoid yang dihasilkan oleh kelenjar arenal berfungsi untuk mengatur
peningkatan glukosa darah dan juga mengurangi respon inflamasi tubuh. dalam hormon
glukokortikoiad terdapat tiga hormon adalah kortisol, kortikosteron, dan kortison.
Glukokortikoid merangsang sintesis glukosa dan glukoneogenesis (mengkonversi non-
karbohidrat menjadi glukosa) oleh sel-sel hati. Mereka juga meningkatkan pelepasan asam
lemak dari jaringan adiposa. Hormon-hormon ini meningkatkan kadar glukosa darah untuk
mempertahankan jumlah glukosa dalam darah dalam dalam kisaran normal antara waktu
makan. Kortisol adalah salah satu glukokortikoid yang paling aktif. Biasanya mengurangi
efek peradangan atau pembengkakan di seluruh tubuh. Hal ini juga merangsang produksi
glukosa dari lemak dan protein, yang merupakan proses yang disebut sebagai
glukoneogenesis.
Kortisol adalah glukokortikoid utama dihasilkan oleh zona fasikulata (ZF) dan zona
reticularis (ZR) bagian dalam yang dirangsang oleh ACTH (adenokortikotropik hormon).
Sekresi kortisol memiliki pola tertinggi ketika bangun tidur (pagi) dan terendah pada waktu

1
tidur (malam atau bed time). Sekresi kortisol mencapai puncaknya antara pukul 06.00 sampai
08.00 WIB. Selain itu, produksi kortisol juga meningkat pada waktu latihan fisik karena
penting untuk meningkatkan glukosa dan asam lemak bebas sebagai bahan pembentuk
energi.
a. pengaruh kelebihan Hormon glukokortikoid terhadap fungsi metabolisme
Fungsi metabolik glukokortikoid atau kortisol yang stabil dipengaruhi oleh jumlah
sekresi glukokortikoid atau kortisol. Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan
perubahan berbagai kondisi di dalam tubuh khususnya fungsi metabolik seperti dibawah
ini:
1. Metabolisme Protein
Efek katabolik dan antianabolik pada protein yang dimiliki glukokortikoid
menyebabkan menurunnya kemampuan sel-sel pembentuk protein untuk mensistesis
protein. Kortisol menekan pengangkutan asam amino ke sel otot dan mungkin juga
ke sel ekstrahepatika seperti jaringan limfoid menyebabkan konsentrasi asam amino
intrasel menurun sehingga sintesis protein juga menurun. Sintesis protein yang
menurun memicu peningkatan terjadinya proses katabolisme protein yang sudah ada
di dalam sel. Proses katabolisme protein ini dan proses kortisol memobilisasi asam
amino dari jaringan ekstrahepatik akan menyebabkan tubuh kehilangan simpanan
protein pada jaringan perifer seperti kulit, otot, pembuluh darah, dan tulang atau
seluruh sel tubuh kecuali yang ada di hati. Oleh karena itu secara klinis dapat
ditemukan kondisi kulit yang mengalami atropi dan mudah rusak, luka-luka
sembuh dengan lambat. Ruptura serabut-serabut elastis pada kulit menyebabkan tanda
regang pada kulit berwarna ungu (striae). Otot-otot mengalami atropi dan menjadi lemah.
Penipisan dinding pembuluh darah dan melemahnya jaringan penyokong pembuluh darah
menyebabkan mudah timbul luka memar. Matriks protein tulang menjadi rapuh dan
menyebabkan osteoporosis, sehingga dapat dengan mudah terjadi fraktur patologis.
Kehilangan asam amino terutama di otot mengakibatkan semakin banyak asam amino
tersedia dalam plasma untuk masuk dalam proses glukoneogenesis di hati sehingga
pembentukan glukosa meningkat.

1
2. Metabolisme Karbohidrat
Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat untuk merangsang
glukoneogenesis yaitu pembentukan karbohidrat dari protein dan beberapa zat lain
oleh hati. Seringkali kecepatan glukoneogenesis sebesar 6 sampai 10 kali lipat. Salah
satu efek glukoneogenesis yang meningkat adalah jumlah penyimpanan glikogen
dalam sel-sel hati yang juga meningkat.
Kortisol juga menyebabkan penurunan kecepatan pemakaian glukosa oleh
kebanyakan sel tubuh. Glukokortikoid menekan proses oksidasi nikotinamid-adenin-
dinukleotida (NADH) untuk membentuk NAD+. Karena NADH harus dioksidasi
agar menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam mengurangi pemakaian
glukosa sel. Peningkatan kecepatan glukoneogenesis dan kecepatan pemakaian
glukosa moleh sel berkurang dapat meningkatkan konsentrasi glukosa darah.
Glukosa darah yang meningkat merangsang sekresi insulin. Peningkatan kadar
plasma insulin ini menjadi tidak efektif dalam menjaga glukosa plasma seperti ketika
kondisi normal. Tingginya kadar glukokortikoid menurunkan sensitivitas banyak
jaringan, terutama otot rangka dan jaringan lemak, terhadap efek perangsangan
insulin pada pengambilan dan pemakaian glukosa. Efek metabolik meningkatnya
kortisol dapat menganggu kerja insulin pada sel-sel perifer, sebagai akibatnya
penderita dapat mengalami hiperglikemia. Pada seseorang yang mempunyai kapasitas
produksi insulin yang normal, maka efek dari glukokortikoid akan dilawan denga
meningkatkan sekresi insulin untuk meningkatkan toleransi glukosa. Sebaliknya
penderita dengan kemampuan sekresi insulin yang menurun tidak mampu untuk
mengkompensasi keadaan tersebut, dan menimbulkan manifestasi klinik DM.
3. Metabolisme Lemak
α-gliserofosfat yang berasal dari glukosa dibutuhkan untuk penyimpanan dan
mempertahankan jumlah trigliserida dalam sel lemak. Jika α- gliserofosfat tidak ada
maka sel lemak akan melepaskan asam lemak. Asam lemak akan dimobilisasi oleh
kortisol sehingga konsentrasi asam lemak bebas di plasma meningkat. Hal ini
menyebabkan peningkatan pemakaian untuk energi dan penumpukan lemak
berlebih sehingga obesitas. Distribusi jaringan adiposa terakumulasi didaerah sentral
tubuh menimbulkan obesitas wajah bulan (moon face). Memadatnya fossa

1
supraklavikulare dan tonjolan servikodorsal (punguk bison), Obesitas trunkus dengan
ekstremitas atas dan bawah yang kurus akibat atropi otot memberikan penampilan
klasik perupa penampilan Chusingoid.
2.3 SINDROM CUSHING
a. Definisi Sindrom Cushing
Definisi Cushing Syndrome Cushing sindrome adalah hiperaktivitas atau hiperfungsi
kelenjar adrenal sehingga mengakibatkan hipersekresi hormon glukokortikoid (kortisol).. hal
ini menyebabkan jumlah hormon glukokortikoiad tinggi dalam darah yang tetap. Kadar
glukokotikoid yang tinggi dapat disebabkan karena beberapa sebab antara lain:
1. Sindrom cushing disebabkan oleh hipersekresi kortisol atau kortikosteron didalam
darah, sehingga menyebabkan kelebihan stimulasi ACTH atau hipersekresi
glukokortikoid akibat stimulasi berlebih hormon CRH dan VP yang disekresikan.
Sindrom cushing juga disebabakan karena patalogi korteks adrenal yang
mengakibatkan produksi kortisol abnormal, sehingga terjadi akumulasi hormon
glukokortikoid dalam darah.
2. sindrom cushing dapat diakibatkan oleh pengobatan dengan pemberian hormon
glukokotikoid dalam jangka waktu yang panjang. Hormon Glukokortikoid bias
digunakan untuk berbagai pengobatan penyakit akut, digunakan sebagai bahan
kontrasepsi yang mengandung estrogen seperti mestranol, atau digunakan untuk
terapi adrenalektomi yang biasanya berefek samping mengakibatkan terjadinya
adenoma pada kelenjar hipofisis sehingga terjadi peningkatan hormon glukokortikoid
b. Gelaja Sindrom Cushing
Penderita Sindrom Cushing menunjukkan gejala-gejala yang komplek yang sangat
berbahaya jika tidak segera ditangani secara medis. Gejala-gejala syndrom cushing ditandai
dengan peningkatan berat badan yang cepat terutama terjadi pada perut (obesitas sentral) dan
wajah (moon face), penumpukan lemak pada leher bagian belakang (buffalo hump),
hiperhidrosis (eksresi keringat yang berlebihan), striae (kelainan kulit berupa garis-garis
putih) pada abdomen, penipisan kulit, hirsutisme (merupakan gelaja tumbuhnya rambut
pada bagian tubuh wanita yang biasnya tidak ditumbuhi rambut seperti dagu dan diatas
bibir), hipertensi (tekanan darah tinggi), penurunan libido, gangguan menstruasi dan kondisi
tubuh yang cepat lelah karena otot terasa lema, terutama pada daerah di sekitar bahu dan

1
pinggul, gejala ini disebut miopati proksimal, pembengkakan pada kaki akibat retensi air
dan garam pada jaringan tubuh, depresi dan lain-lain. Patologi penyakit syndrom cushing
telah dijelaskan pertama kalinya oleh Harvey Cushing pada 1932.

Gambar 2.5 Gejala Sindrom Chusing


c. Pengobatan Sindrom Cushing
pengobatan pada penderita Cushing Syndrome bergantung pada penyebab yang
mempengruhi peningkatan roduksi dari hormon kortisol. Pengobatan pada sindrom
cusihng dapat dilakukan melalui pembedahan, radiasi, kemoterapi atau penggunaan obat
untuk menghambat produksi kortisol. Jika pengingkatan jumlah produksi hormon
glukokortikoid disebebabkan oleh pengguaan hormon glukokortikoid untuk pengobatan
suatu penyakit maka dokter akan secara bertahap mengurangi dosis daroi obat tersebut
hingga mencapai dosis terendah namun tetap cukup mampu untuk mengobati penyakit
tersebut. Setelah kontrol produksi horomon glukokortikoid berhasil dilakukan melalui
penekanan jumlah dosis obat yang diberikan, maka untuk mengobati penyakit tersebut
dosis harian pemberian hormon glukokortikoid dapat ditingkatkan dua kali lipat dan
diberikan pada hari lain untuk mengurangi efek samping dari pemberian hormon
glukokrtikoid dalam jumlah yang tinggi. Pengobatan lain yang dapat dilakukan untuk
menekan produksi hormon glukokortikoid untuk mengobati sindrom cushing dapat
melalui beberapa jalan, antara lain:

1
a. Hipofisis Adenoma
Adenoma Hipofise adalah kondisi medis yang ditandai dengan pertumbuhan
abnormal dari sel-sel (tumor) yang nonkanker di kelenjar hipofisis. Adenoma hipofisis
merupakan suatu jenis penyakit yang menyababkanpeningkatan seksresi hormon
glukokortikoid. Sehingga untuk menekan produksi dari hormon glukokortikoid maka
harus dilakukan pengobatan pada penderita hipofisis adenoma. Pengobatan yang paling
banyak dilakukan untuk Pengobatan pada penyakit adenoma hipofisis adalah operasi
pengangkatan tumor atau yang dikenal sebagai transsphenoidal adenomectomy.
Pengobatan melalui pengangkatan tumor dapat dilakukan dengan menggunakan
mikroskop khusus dan instruent khusus yang didesaind sangat halus. Pada pengobatan ini
akan ahli bedah akan mendekati kelenjar pituitari melalui lubang hidung atau pembukaan
yang dibuat di bawah bibir atas. Tingkat keberhasilan pengangakatn tumor untuk
penyakit hipofisis adenoma yaitu lebih dari 80 persen bila dilakukan oleh seorang ahli
bedah yang berpengalaman. Setelah dilakukan operasi hipofisis melalui pengangatan
tumor maka terjadi penurunan produksi ACTH 2 tetes di bawah normal. Sehingga untuk
sementara pasca operasi aka pasien akan diberi hormon glukokortikoid sintesis seperti
hydrocortisone atau prednisone untuk proses metabolisme dalam tubuh.
Sedangkan pada pasien adenoma hipofisis yang mengalami kegagalan operasi
sehingga masih menyebabkan peningkatan produksi hormon glukokortikoid maka dapat
dilakukan pengobatan melalui metode radioterapi. Pengobatan ini dilakukan dengan jalan
memberi radiasi ke kelenjar pituitari.pengobatan dengan jalan radiasi dilakukan dengan
penambahan obat seperti obat Mitotane (Lysodren) karena obat ini dapat mempercepat
pemulihan. Pengobatan ini membutuhkan waktu relatif lama, karena pasien harus
menjalani pengobatan selama beberapa bulan atau tahun hingga pasien merasa lebih baik.
Tingkat keberhasilan dengan menggunakan pengobatan Mitotane mencapai 30
sampai 40%. pengobatan dengan menggunakan obat mitotane pada penderita adenoma
hipofisis dapat menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar hormon plasma dan
urin. Obat lain yang digunakan tanpa atau dengan kombinasi untuk mengontrol produksi
kelebihan kortisol diantaranya aminoglutethimide , metyrapone , trilostane dan
ketoconazole.

1
b. Ektopik ACTH Syndrome
sindrom ACTH entopik merupakan suatu penyakit atau kelainan disebabkan oleh
tumor nonpituari. Salah satu penyebab jumlah hormon glukokortikoid yang berlebih
dalam tubuh adalah penyakit sindrom ACTH ektopik. Namun produksi hormon
glukokortikoid yang berlebihan yang disebabkan oleh sindrom ACTH ektopik dapat
disembuhan dengan cara menghilangkan semua jaringan kanker yang mengsekresi
ACTH. Pilihan pengobatan untuk mengatasi kanker kanker yang mensekresi ACTH
dapat dilakukan melalui operasi pengangkatan kanker, radioterapi, kemoterapi,
imunoterapi, atau kombinasi dari perawatan tersebut yang pengobatnnya tergantung pada
jenis kanker dan seberapa jauh tumor tersebut telah menyebar dalam jaringan tubuh.

1
BAB III
PEMBAHASAN JURNAL

3.1. Regulasi metabolisme trigliserida oleh reseptor glukokortikoid

Secara tradisional, glukokortikoid telah diketahui sebagai hormon katabolik. Namun,


berdasarkan penelitian sebelumnya glukokortikoid ini juga memiliki fungsi anabolik,
karena glukokortikoid merangsang sintesis de novo enzim dari jalur anabolik. Dalam hati,
stimulasi enzim lipogenik telah terbukti. Keseimbangan lipogenesis dan lipolisis sangat
penting untuk menjaga homeostatis trigliserida (TG) pada mamalia. Beberapa sistem
endokrin memainkan peran penting dalam proses ini. Glukokortikoid adalah hormon steroid
yang membawa tindakan penting dan kompleks dalam metabolisme TG. Selama puasa dan
kelaparan, peningkatan kadar glukokortikoid yang beredar merangsang lipolisis di adiposit,
dan TG dihidrolisis menjadi asam lemak (FA) dan gliserol. Asam lemak bebas (FFA)
dipindahkan ke otot rangka dan hati untuk dioksidasi dan digunakan sebagai energi,
sedangkan gliserol menjadi substrat untuk glukoneogenesis hepatik. Adaptasi metabolik
seperti ini penting untuk kelangsungan hidup mamalia selama puasa dan kelaparan. Selama
peroses makan, glukokortikoid berpartisipasi dalam metabolisme lipid untuk beberapa
tujuan fisiologis. Hewan yang mengalami kelaparan selama 36-56 jam dan kemudian diberi
makan dengan kadar gula yang tinggi menunjukkan peningkatan de novo lipogenesis (DNL)
hepatik. Menariknya, efek ini berkurang pada adrenalektomi dan dapat dipulihkan dengan
penggantian glukokortikoid. Khususnya, pasien dengan sindrom Cushing, yang ditandai
dengan peningkatan kadar kortisol, dan memiliki akumulasi lemak di bagian tertentu, seperti
perut pusat, daerah supraklavikula wajah, dan wilayah dorsocervical. Namun, penyimpanan
lemak menurun di bagian kulit (ekstremitas). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang
menguji pengaruh pemberian glukokortikoid kepada tikus yang mengalami masalah
metabolik adiposit, selama 4 hari diberikan deksametason (DEX, sebuah glukokortikoid
sintetik) menunjukkan hasil bahwa glukokortikoid dapat mempengaruhi baik lipogenesis
dan lipolisis secara bersamaan untuk menjaga kondisi homeosetatis dari TG.

1
Sementara glukokortikoid penting untuk pengaturan homeostasis lipid tergantung
pada fisiologis daerah tertentu. Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan gangguan
lipid, seperti obesitas sentral, dislipidemia, penumpukan lemak hati dan resistensi insulin.
Selanjutnya, kelebihan glukokortikoid dapat meningkatkan asam lemak bebas sebagai hasil
dari hidrolisis TG dan menginduksi terjadinya akumulasi lipid di otot rangka dan hati, semua
itu berhubungan dengan penyebab terjadinya resistensi insulin. Sebaliknya, dengan menekan
aktivitas glukokortikoid, misalnya dengan menghambat kerja enzim 11β-HSD1 (11β
hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1, enzim yang berfungsi untuk mengubah glukokortikoid
inaktif menjadi glukokortikoid aktif) atau mengaktifkan enzim 11β-HSD2 (11β
hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2, enzim yang berfungsi mengubah glukokortikoid aktif
menjadi inaktif), peenekan aktivitas glukokortikoid tersebut dapat meningkatkan
homeostatis lipid dan sensitivitas insulin.

Aktivitas biologis dari glukokortikoid terutama disebabkan oleh reseptor


glukokortikoid (GR). Setelah GK mengikat GR maka akan terjadi respon dari
glukokortikoid genomik (GRE) untuk memodulasi transkripsi gen tertentu, yang selanjutnya
gen tersebut akan memicu aktivitas biologis dari glukokortikoid. Berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya yang telah menguji aktivitas GR menggunakan kromatin
immunoprecipitation sequencing (ChIPseq) untuk mengisolasi reseptor glukokortikoid (GR)
di adiposit, untuk selanjutnya dilakukan analisis ekspresi gen, yang menunjukakan bahwa
gen yang diatur oleh glukokortikoid adalah gen-gen yang terlibat dalam proses lipogenesis
trigliserida (TG) dan lipolisis trigliserida (TG). Gen-gen yang berperan dalam proses
lipogenesis trigliserida (TG) yaitu SCD-1, SCD-2, SCD-3, GPAT3, GPAT4, Agpat2, dan
Lpin1. Sedangkan gen-gen yang berperan dalam proses lipolisis trigliserida (TG) yaitu Lipe
dan Mgll.

Penelitian lainnya terkait dengan aktivitas GR menggunakan kromatin


immunoprecipitation sequencing (ChIPseq) yang dilakukan pada sel-sel yang berbeda,
menunjukkan aktivitas GR yang tidak jauh berbeda, berdasarkan hasil skuens yang
dihasilkan, seperti ditunjukkan pada tabel 3.1:

1
Tabel 3.1. Urutan Skuen dari aktivitas GR

Dalam kondisi apapun, kunci untuk memahami mekanisme glukokortikoid dalam


mengatur homeostasis TG adalah dengan mengidentifikasi aktivitas GR yang dapat merespon
transkripsi gen yang akan memodulasi metabolisme lipid.

3.2. Regulasi Gen GR dalam aktivitas lipogenik

3.2.1. Asetil-CoA karboksilase dan asam lemak sintase

Glukokortikoid mengatur beberapa gen yang mengkode enzim dalam DNL dan
lipogenesis TG seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.

Gambar 3.1 glukokortikoid mengatur lipogenesis

1
Gambar 3.2 Lipogenik pathway yang diregulasi glukokortikoid

Asetil-CoA karboksilase 1 dan 2 (ACACA dan ACACB) mengkodekan enzim


yang mengendalikan jalur sintesis asam lemak (FA). Penelitian sebelumnnya
menunjukkan bahwa glukokortikoid telah mampu untuk merespon terekspresinya gen
ACACA dan ACACB baik secara in vitro maupun in vivo, namun lokasi yang tepat dari
GRE gen ACACA dan ACACB pada manusia belum dilaporkan. Sehingga dengan
menggunakan kromatin immunoprecipitation sequencing (ChIPseq), maka daerah yang
mengikat atau GBR dari gen ACACA dan ACACB pada jaringan adiposit tikus uji dapat
diidentifikasi. Untuk gen Acaca tikus ditemukan sebuah GBR tunggal pada bagian dalam

1
intron. Sedangkan untuk gen Acacb tikus, satu GBR diidentifikasi pada bagian awal
transkripsi (TSS), sedangkan beberapa GBR lainnya ditemukan di daerah intronik.
Kemampuan GBR ini sebagai mediator yang dapat menginduksi glukokortikoid untuk
mengekspresikan gen Acaca dan Acacb masih belum diperiksa.

Asam lemak sintesa (FASN) mengkodekan pengendalian lain terhadap enzim


yang berperan dalam lipogenesis. aktivitas FASN yang diatur oleh glukokortikoid telah
dilaporkan di banyak jaringan, termasuk hati, jaringan adiposa, dan paru-paru. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa pengobatan dengan pemberian glukokortikoid dapat
meningkatkan aktivitas gen reseptor yang berisi 65 sampai dengan 1.592 gen FASN pada
manusia. Dengan demikian GRE(s) yang memediasi pengaruh stimulasi dari
glukokortikoid pada gen FASN terletak pada daerah yang menyandi 65 sampai dengan
1.592 gen FASN pada manusia. Tikus transgenik menyimpan gen reporter yang berisi 2,1
kb gen promotor dari FASN, dan dengan menggunakan kloramfenikol acetyltransferase
(CAT) yang dihasilkan dapat digunakan untuk mempelajari regulasi gen FASN secara in
vivo. Pengobatan dengan pemberian DEX yang merupakan salah satu jenis dari
glukokortikoid dapat meningkatkan gen reporter di beberapa jaringan, termasuk hati,
jaringan adiopose putih (WAT), jaringan adiposa coklat (BAT), dan paru-paru. Temuan
ini menunjukkan bahwa GRE(s) terletak di dalam wilayah 2.1 kb dari bagian TSS dalam
gen FASN tikus. Untuk gen FASN tikus, digunakan juga ChIPseq untuk
mengidentifikasi GBR yang terletak dibagian intronic. Namun fungsi dari GBR FASN
pada tikuus belum diteliti.

Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa meskipun dilakukan induksi


untuk ekspresi gen ACACA, ACACB dan FASN dengan menggunakan kortikosteron
dalam Chub-S7 garis sel adiposit manusia, namun lipogenesis tidak meningkat, tetapi
menurun. Hal ini disebabkan karena peningkatan fosforilasi dari ACACA, ACACB dan
FASN pada serin 79/218 sehingga dapat mengurangi aktivitasnya. Namun, ketika insulin
ditambahkan dalam media kultur, maka kortikosteron akan meningkat dan insulin akan
merangsang lipogenesis di dalam sel. Aktivitas yang baik antara glukokortikoid dan
insulin dalam regulasi lipogenesis telah lama dilaporkan, dan beberapa studi
menunjukkan bahwa efek glukokortikoid pada DNL tergantung pada insulin. Dalam

1
hepatosit primer, glukokortikoid memiliki efek kecil atau tidak ada pada sintesis FA, dan
juga memainkan peran permisif untuk insulin dalam menginduksi sintesis FA atau
meningkatkan efek insulin pada sintesis FA. Dalam penelitian lain, glukokortikoid dan
insulin telah terbukti memiliki efek aditif atau sinergis pada ekspres gen ACACA dan
ACACB. Kedua hormon tersebut juga memiliki efek aditif pada gen reporter atau
reseptor gen ACACA dan ACACB. Aktivitas yang bagus antara glukokortikoid dan
insulin juga ditemukan ditemukan pada regulasi gen FASN, karena hormon tersebut
dapat mengaktifkan gen reseptor untuk mengikat gen FASN pada manusia.

3.2.2. Gen yang mengkode enzim dalam sintesis TG

Glukokortikoid mengaktifkan ekspresi beberapa gen yang mengkode enzim yang


berperan dalam sintesis TG. Percobaan menggunakan ChIPseq pada GR dalam adiposit
yang selanjutnya diidentifikasi adanya GBR pada gen Scd1, scd2, Gpat3, Gpat4, Agpat2
dan Lpin1 seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.1. Ekspresi gen ini juga meningkat
ketika dilakukan pengobatan dengan pemberian DEX dengan target adiposit dan jaringan
adipose putih (WAT). Ketika GBR ini dimasukkan ke dalam reseptor plasmid, semua
GBR tersebut dapat memediasi respon glukokortikoid dalam lipogenesis TG. Gen
tambahan yang mengkode enzim dalam jalur sintetis TG, seperti Dgat1 dan Dgat2
(Gambar 3.1), telah terbukti diatur oleh glukokortikoid. Namun, tidak jelas apakah
mereka adalah gen utama yang diekspresikan, karena tidak adanya GBR dekat daerah
genomik mereka yang diidentifikasi sejauh ini.

Tujuan yang paling utama dari glukokortikoid untuk menginduksi transkripsi gen
yang berperan dalam sintesis TG belum sepenuhnya berperan. Di antara gen yang diatur
oleh glukokortikoid yang sudah dibahas di atas, efek paling bagus dari glukokortikoid
ada pada aktivitas Lpin1, yang berisi aktivitas phosphatidate fosfatase (PAP1), Scd1 dan
scd2, yang memiliki aktivitas desaturase stearoyll-CoA juga telah dilaporkan pada
penelitian sebelumnya. sedangkan efek glukokortikoid pada aktivitas Gpat3, Gpat4 dan
Agpat2 belum diketahui. Dolinsky et al. menemukan bahwa ekspresi DGAT1 dan
DGAT2 dalam hati meningkat sekitar 60% dan aktivitas DJPU meningkat sekitar 20%
dengan pemberian DEX. Mirip dengan aktivitas pada sintesis FA, glukokortikoid juga
bertindak bersamaan dengan insulin untuk merangsang sintesis TG. Peningkatan sintesis

1
TG oleh glukokortikoid saja di hepatosit telah dilaporkan dalam beberapa studi, tetapi
tidak semua. Namun, efek sinergis dari glukokortikoid dan insulin pada sintesis TG
diamati di sebagian besar laporan sebelumnya. Glukokortikoid dan insulin berperan aktif
dalam meningkatkan transkripsi gen Scd1. Selanjutnya, insulin menginduksi fosforilasi
Gpat3 dan Gpat4 untuk meningkatkan aktivitas enzim mereka. Glukokortikoid dan
insulin juga bertindak bersama-sama untuk meningkatkan ekspresi lipoprotein lipase
(LPL), yang menghidrolisis ekstraseluler TG ke FFA. FFA ini dapat diambil oleh adiposit
dan dimasukkan kedalam jalur lipogenik. Telah dilaporkan juga bahwa insulin
meningkatkan stabilitas LPL mRNA dan aktivitas LPL pada adiposit dan primer manusia
pra-adipocytes. Glukokortikoid meningkatkan kadar LPL mRNA di adiposit dan
preadipocytes primer pada manusia, tetapi untuk mekanisme yang mendasari efek ini
masih belum diketahui. Percobaan menggunakan ChIPseq untuk mengidentifikasi letak
GBR pada 14 kb LPL TSS di 3 T3-L1 adiposit. Kemampuan GBR ini untuk memediasi
respon dari glukokortikoid belum diselidiki. Satu-satunya gen glukokortikoid yang jalur
lipogenik ekspresinya dihambat oleh insulin adalah Lpin1. Pentingnya efek metabolisme
ini belum sepenuhnya jelas. Ekspresi Lpin1 yang diinduksi akibat puasa, dan protein
Lpin1 telah menunjukkan bahwa Lpin1 berpartisipasi dalam regulasi transkripsi gen yang
terlibat dalam oksidasi asam lemak (FA), yang merupakan langkah penting dalam
adaptasi metabolisme selama puasa. Fungsi dari Lpin1 tampaknya sangat terikat dengan
aktivitas PAP1 nya.

3.4. Regulasi Gen GR dalam lipolitik

3.4.1. Gen yang mengkode enzim dalam adiposit lipolisis

Glukokortikoid telah ditunjukkan dapat meningkatkan ekspresi gen penyandi


enzim yang berperan dalam jalur lipolitik di adiposit. PNPLA2 (juga disebut ATGL atau
desnutrin) mengkodekan enzim yang menghidrolisis TG ke diasilgliserol (DAG)
(Gambar 2). LIPE (alias hormon lipase sensitif) mengkodekan enzim yang menghidrolisis
DAG ke monoasilgliserol (MAG), sedangkan MGLL (monoasilgliserol lipase)
mengkodekan enzim yang menghidrolisis MAG untuk gliserol (Gambar 3.2). GBR gen
Lipe dan Mgll pada tikus diidentifikasi setelah diinduksi menggunakan ChIPseq, dan
GBR ini dapat memediasi respon glukokortikoid ketika dimasukkan ke reporter plasmid

1
sintetis. Dengan demikian, GR gen Lipe dan Mgll cenderung menjadi target utama,
sedangkan GBR gen PNPLA2 belum diidentifikasi. Khususnya, gen Pnpla2 pada tikus
diatur secara positif oleh anggota dari faktor transkripsi FoxO, FoxO1, di 3T3-L1
adiposit. Laporan sebelumnya juga glukokortikoid telah ditunjukkan untuk meningkatkan
ekspresi FoxO1 dan/atau FoxO3, anggota lain dari jenis FoxO, di jaringan adipos putih
(WAT) dan jaringan lainnya. Oleh karena itu, glukokortikoid mungkin mengaktifkan
transkripsi gen Pnpla2 secara tidak langsung melalui peningkatan FoxO1 dan FoxO3.
Namun, model ini masih memerlukan konfirmasi.

Gambar 3.3. Lipopisis diadiposit

Penting untuk dicatat bahwa insulin merepresi ekspresi dan aktivitas protein yang
terlibat dalam lipolisis, seperti Pnpla2 dan Lipe. Pengamatan mengenai efek insulin ini
berbeda dengan gen yang terlibat dalam lipogenesis seperti yang dibahas di atas.

1
3.4.2. Phosphodiesterase 3B, Inhibitor cGMP (PDE3B)

Selain enzim lipolitik, sinyal cAMP memainkan peran kunci dalam induksi
lipolisis adiposit, dimana cAMP mengaktifkan protein kinase A (PKA). Fosforilasi ini
meningkatkan aktivitas enzim LIPE dan translocates LIPE dari sitosol ke tetesan lipid
(Gambar 3.2). PKA juga dapat menyebabkan stimulasi lipolisis. Rincian jalur ini dibahas
di beberapa penelitian baru-baru ini. Pengobatan glukokortikoid telah terbukti
meningkatkan kadar cAMP dalam beberapa jenis sel. Namun, tidak seperti di neuron,
dimana glukokortikoid hanya meningkatkan kadar cAMP intraseluler melalui mekanisme
non-genomik, di adiposit yang induksi dengan cAMP memerlukan beberapa jam
pengobatan dengan pemberian glukokortikoid. Dengan demikian, glukokortikoid yang
tinggi cAMP di adiposit mungkin membutuhkan induksi transkripsi gen dan sintesis
protein. Setidaknya dua mekanisme yang diusulkan, Salah satunya adalah penghambatan
ekspresi PDE3B (Gambar 3.2). yang lain adalah induksi dengan 4 angiopoietin (Gambar
3.2), yang akan dibahas kemudian dalam ulasan ini.

PDE3B mengkode protein yang menurunkan sinyal cAMP pada jalur hidrolisis
cAMP di adiposit. Insulin menghambat aktivitas PDE3B melalui kedua phosphoinositide
3-kinase (PI3K)/Akt dependen dan independen untuk menekan lipolisis. Penekanan
ekspresi Pde3b oleh glukokortikoid ditemukan baik secara in vivo dan in vitro. dan efek
supresif ini dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan tingkat cAMP dalam
adipocytes dan induksi berikutnya lipolisis. Namun, aktivitas glukokortikoid untuk
menekan Pde3b ekspresi gen belum diteliti.

3.4.3. Carboxyesterase 1d (Ces1d, triasilgliserol hydrrolase, TGH)

Dolinsky et al. meneliti efek dari DEX terhadap metabolisme TG di hati. Secara
khusus, mereka fokus pada proses di mana TG disimpan dalam intraseluler, namun
lipolisis sebelum kembali diesterifikasi menjadi partikel VLDL. Penelitian sebelumnya
mengamati bahwa tidak ada efek DEX pada sekresi VLDL di hati in vivo atau in vitro,

1
tetapi tidak menemukan penurunan TG di hepatosit dengan pengobatan DEX. Ces1d
adalah enzim yang diyakini memediasi lipolisis dari TG dalam hati. Tingkat Ces1d
mRNA berkurang dengan pengobatan DEX, tapi represi ini bukan karena efek pada
transactivation, karena tidak ada perbedaan yang terlihat pada eksperimen dan promotor
Ces1d tidak memberi respon dari pemberian DEX. Sebaliknya, ditemukan bahwa DEX
mengurangi stabilitas Ces1d mRNA melalui elemen 3 UTR. Percobaan ini lebih
menunjukkan kompleksitas tindakan glukokortikoid pada metabolisme TG.

3.5. Angptl4

Penelitian terbaru juga mengidentifikasi GR gen Angptl4 sebagai target utama


berpartisipasi dalam metabolisme lipid di hati dan WAT. Gen Angptl4 mengkode protein
yang disekresikan untuk menghambat extraseullular LPL dan menyebabkan lipolisis
intraseluler di adiposit. Kombinasi dari kedua efek ini berdampak pada mobilisasi lipid dari
adiposit ke plasma. Angptl4 pada tikus yang berlebihan dari induksi glukokortikoid
menyebabkan steatosis hati dan hiperlipidemia. Gangguan lipid ini disebabkan, setidaknya
karena kemampuan glukokortikoid untuk mendistribusikan lipid dari adiposit hepatosit.
Memang, ANGPTL4 telah ditunjukkan untuk berpartisipasi dalam induksi glukokortikoid
pada lipolisis adiposit (Gambar 3.2), sebagai akibat dari pemberian DEX menyebabkan
lipolisis terganggu pada WAT tikus. Menariknya, protein ANGPTL4 pada manusia
dimurnikan (hANGPTL4) dan dapat langsung meningkatkan lipolisis di adiposit.

Tingkat sirkulasi glukokortikoid meningkat selama puasa. Pengobatan dengan RU486


yang merupakan antagonis dari GR, menurun lipolisis pada WAT yang diinduksi dengan
puasa selama 24 jam. Ini menyoroti peran penting dari induksi glukokortikoid selama puasa
yang menyebabkan lipolisis WAT. Ekspresi gen Angptl4 mudah dibentuk dengan diinduksi
pada saat puasa, sebagai akibat dari efek yang dilemahkan oleh pengobatan RU486. Oleh
karena itu, glukokortikoid memainkan peran kunci dalam peningkatan ekspresi gen Angptl4
selama puasa. Fakta bahwa Angptl4 pada WAT tikus telah mengurangi lipolisis selama 24
jam berpuasa, yang lebih lanjut menunjukkan pentingnya glukokortikoid-Angptl4 pada
sumbu n lipolisis di WAT sekama induksi puasa. Singkatnya, selama puasa, glukokortikoid
mengaktifkan ekspresi gen Angptl4, yang pada gilirannya berperan dalam lipolisis di
adiposit.

1
Penelitian lain menunjukkan hANGPTL4 dapat meningkatkan kadar cAMP dalam
adiposit (Gambar 3.2). Berpuasa dan dengan pengobatan DEX selama 24 jam dapat
meningkatkan kadar cAMP di WAT, sehingga induksi ini mengganggu Angptl4 pada WAT.
Dengan demikian, ANGPTL4 berperan dalam lipolisis dengan mengaktifkan cAMP reseptor
di adiposit, Namun, sampai sekarang belum diidentifikasi. Sampai saat ini, ANGPTL4 telah
terbukti dapat berinteraksi dengan fibronektin, vitronectin dan integrin β1β5 di keratinosit
untuk mengaktifkan IMS. Angptl4 juga mempengaruhi molekul sinyal lain, seperti RAS,
ERK dan AMPK pada sel endotel dan hippocampus. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah apakah Angptl4 dapat bekerja seperti mekanisme kerjanya pada adiposit seperti
laporan yang telah dilaporkan sebelumnya.

GRE gen Angptl4 pada tikus terletak di wilayah sekitar titik 6227 dan 6441 dari
rantai gen di adiposit. Pengobatan dengan pemberian DEX dapat meningkatkan sensitivitas
DNase dan histone H4 hiperasetilation di dalam sel. Pada manusia gen Angptl4 lain
diidentifikasi berada disekitar sekitar 8 kb dari TSS. Menariknya, insulin telah terbukti
menurunkan ekspresi gen Angptl4. Hal ini sesuai dengan efek metabolik darii insulin, yang
merepresi lipolisis dari adiposit, dan fakta lainnya bahwa resistensi insulin sangat
berhubungan dengan hiperlipidemia.

3.6. Hes1

Glukokortikoid menekan transkripsi dari transkripsi Hes1. Hes1 yang berlebih dapat
meningkatkan ekspresi lipase pankreas (Pnlip) dan protein-lipase pankreas (Pnliprp2).
Dalam hati, Pnlip dan Pnliprp2 berkontribusi pada peroses hidrolisis TG dan stimulasi
selanjutnya untuk oksidasi asam lemak dan ketogenesis. Oleh karena itu, penghambatan
transkripsi Hes1 yang dimediasi oleh glukokortikoid dapat menghasilkan penurunan
ekspresi Pnlip dan Pnliprp2, yang selanjutnya dapat Mengangkat akumulasi TG di hati.
Namun masih belum jelas apakah Hes1 langsung mengatur transkripsi Pnlip dan Pnliprp2,
karena Hes1 biasanya berfungsi sebagai represor transkripsi. Sebaliknya, Hes1 tmenjadi
target gen untuk menguji aktivitas GR. GRE gen Hes1 pada tikus terletak antara -463
sampai -414 yang relatif terhadap TSS. Sebuah gen reporter yang berisi -463 sampai +46
wilayah genomik dari Hes1 ditekan oleh DEX, sedangkan reporter yang berisi -414 sampai
+46 wilyah genomik tidak menanggapi respon dari pemberian DEX.

1
Efek refresif dari GR kemungkinan diakibatkan langsung dari DNA. Dalam sel yang
mengekspresikan jenis GR lain, pengobatan dengan DEX dapat mengurangi aktivitas
reporter yang mengandung -463 sampai +46 gen Hes1. Percobaan lebih lanjut menggunakan
CHIP telah bisa mengkonfirmasi adanya GR untuk wilayah -463 sampai +46 dari hasil
respon terhadap pengobatan dengan DEX. HDAC1, sebuah corepressor transkripsi, juga
dibawa ke daerah ini sebagai respon dari pengobatan DEX. Sehingga dapat dilihat bahwa
HDAC1 berinteraksi dengan GR dan bertanggung jawab dalam pemghambatan transkripsi
gen Hes1. Dengan demikian, Hes1 kemungkinan akan menjadi GR target yang mengontrol
penyimpanan TG di hati dengan mengatur gen yang terlibat dalam hidrolisis TG dalam hati.

3.7. Regulasi Gen GR yang terlibat dalam metabolisme asam empedu Na+ - protein
transport –taurocholate (Ntcp / Slc10A1)

Asam empedu (BA) penting untuk diet lemak. Dia juga berfungsi sebagai ligan untuk
reseptor X farnesoid (FXR), yang mengatur metabolisme TG. Peran FXR di metabolisme
TG dibahas dalam ulasan baru-baru ini. Dalam liverspecific GR di tikus, konten BA yang di
kandung empedu menurun. Serapan BA pada hati terganggu sehingga penyerapan lemak
dalam usus menjadi cacat, hal ini disebabkan karena ada kehilangan tinja yang lebih besar
dari TG dan FFA. Selanjutnya, dilaprkan juga adanya potensi termogenik yang lebih besar
seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan sinyal cAMP di BAT dan lebih tinggi untuk
ekspresi gen termogenik. Selain itu juga ditemukan adanya Nctp yang juga mempengaruhi
penyerapan lemak dari makanan dan aktivasi lemak lainnya. Meskipun GRE dari Nctp
belum diidentifikasi, namun CHIP menunjukkan adanya GR gen Nctp di proksimal, hasil
lainnya menunjukkan glukokortikoid tidak mengaktifkan ekspresi gen Ntcp. Hasil ini
menunjukkan bahwa kemampuan GR untuk mengikat GRE sangat penting untuk menguji
induksi Ntcp oleh glukokortikoid.

3.8. Regulator transkripsi yang berperan dalam metabolisme lipid dan regulasi
glukokortikoid

GR mengatur transkripsi gen spesifik dengan berinteraksi dengan berbagai macam


regulator transkripsi; Namun, hanya sedikit yang telah terbukti ikut berpartisipasi dalam
transkripsi gen yang diatur oleh glukokortikoid untuk selanjutnya terlibat dalam

1
metabolisme TG. Di sini dibahas dua regulator transkripsi yang berperan dalam regulasi
glukokortikoid dan Metabolisme TG.

3.8.1. Med1

Med1, merupakan komponen mediator kofaktor kompleks, yang telah terbukti


mengasosiasikan dan koaktif dengan beberapa reseptor, termasuk GR. Analisis ekspresi
gen Med1 tikus sel fibroblast embrio tikus menunjukkan Med1 secara selektif berfungsi
untuk pengaturan gen target GR. Med1 berisi dua jenis LXXLL yang yang terlibat dalam
interaksi dengan GR. Med1 berlebih dapat meningkatkan pengaktifan glukokortikoid untuk
transkripsi gen reporter berbasis promotor MMTV. Penelitian lain telah menunjukkan
bahwa Med1 bisa dibawa oleh GR melalui jalur lain, dimana N-terminus dari Med1
berinteraksi dengan koaktivator transkripsi, CCAR1, yang pada gilirannya akan bergabung
dengan koaktivators transkripsi lainnya, seperti NCoA1. NCoA1 dapat langsung
mengasosiasikan Med1 dengan ligan untuk mengikat domain GR. Fakta bahwa menipisnya
CCAR1 di sel dapat mengurangi pengankutan ligan dari Med1 ke gen promotor.

Pada WAT tikus, DEX merepresi ekspresi asil-CoA dehidrogenase, yang


mengkode enzim yang terlibat dalam oksidasi FA. Med1 pada liver tikus yang di represi
oleh pengobatan dengan pemberian DEX menjadi berkurang. Oleh karena itu, peningkatan
ekspresi gen yang terlibat dalam oksidasi FA dapat mengurangi akumulasi TG disebabkan
adanya Med1. Med1 biasanya berfungsi sebagai koaktivator transkripsi. Namun,
koaktivators tertentu, seperti GRIP1 dan TIF2.

Untuk mengurangi ekspresi GR dalam hati juga digunakan hairpin RNA (shRNA),
ekspresi gen yang terlibat dalam oksidasi FA, seperti karnitine palmitoyltransferase 1α
(Cpt1α) dan asetil-CoA acyltransferase 2 (Acaa2) akan meningkat. Hasil ini menunjukkan
bahwa GR tidak meninjukkan pengaturan dalam oksidasi FA. Mengingat bahwa gangguan
hati oleh gen Med1 juga menyebabkan peningkatan oksidasi FA, ini menunjukkan
hubungan antara GR dan Med1 dalam aspek mengatur gen dalam oksidasi FA. Untuk
menguji model ini, kita harus memverifikasi apakah semua GR- atau Med1- terlibat dalam
oksidasi FA.

1
3.8.2. Reseptor hati X (LXR)

Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat


menginduksi steatosis hati sehingga menyebabkan X reseptor β tikus nol (Lxrβ - / -)
dalam hati menjadi terganggu. Lxrβ bukan gen glukokortikoid. Namun, Lxrβ diperlukan
untuk induksi GR dengan glukokortikoid ke GRE dari gen carboxykinase
phosphoenolpyruvate (PEPCK), yang mengkode tingkat pengendalian enzim dalam
glukoneogenesis. Dengan demikian, Lxrβ tampaknya bertindak sebagai koaktivator untuk
GR untuk mengaktifkan glukoneogenesis.

Aktivitas Lxrβ masih belum terlalu jelas, namun menariknya, Lxrβ tampaknya
mempengaruhi metabolisme lipid yang diregulasi oleh glukokortikoid dala modulasi
metabolisme glukosa dan sensitivitas insulin. Dibandingkan dengan glukokortikoid yang
diberikan pada WAT tikus.. Pengamatan ini bisa menjadi penjelasan untuk
menurunkan induksi glukokortikoid yang menyebabkan akumulasi TG di Lxrβ tikus.

Menariknya, laporan terbaru lain menunjukkan bahwa mengobati sel hepatoma dengan
ligan LXR dapat menekan induksi glukokortikoid dan ekspresi glukosa-6-fosfatase
(G6Pase). Analisis microarray menunjukkan bahwa ligan LXR hanya mempengaruhi
bagian dari gen glukokortikoid. Percobaan pergeseran gel dan CHIP menunjukkan bahwa
LXRα/RXRα heterodimer bersaing dengan GR untuk mengikat GRE gen G6pase pada
tikus.

Gambar 3.4.Mekanisme glukokortikoid di hati

1
BAB IV

RECOMANDARI

1
BAB V
KESIMPULAN

Dalam naskah ini, kami meninjau regulasi glukokortikoid yang berpartisipasi


dalam modulasi metabolisme TG. Dalam dekade terakhir ini, dengan perkembangan
ekspresi gen dan metodologi ChIPseq, jumlah potensi GR gen target yang diidentifikasi
telah meningkat secara signifikan. Namun, penting untuk dicatat bahwa hanya segelintir
GR gen target yang diidentifikasi yang telah terbukti memediasi efek glukokortikoid pada
metabolisme TG secara in vivo. Untuk sekarang yang sedang berlangsung adalah
identifikasi lebih lanjut dari mekanisme yang mengatur efek metabolik glukokortikoid.

Meskipun GBR sedang diidentifikasi berkaitan dengan keterlibatannya dalam


metabolisme TG, tapi tetap lebih banyak penelitian yang diperlukan untuk memverifikasi
peran GBR ini. Ini bisa menimbulkan tantangan, karena sebagian besar GBR
diidentifikasi dari ChIPseq jauh dari TSS, sedangkan hanya kurang dari 10% dari GBR
berada dalam 5 kb TSS. Pendekatan tradisional difokuskan pada daerah promotor ini
untuk mengidentifikasi GRE dari gen yang diatur oleh glukokortikoid. Diperlukan juga
upaya yang lebih untuk mempelajari peran yang tepat dari GBR/GRE dalam gen tertentu
yang diregulasi oleh glukokortikoid.

Ditetapkan juga bahwa sebagian kromosom GRE adalah elemen komposit, di


mana regulator transkripsi non-GR bertindak dengan GR untuk memberikan suatu
tanggapan hormon. Oleh karena itu, kompleks transkripsi meliputi GR, non-GR DNA
dan kofaktor non-DNA, ditemukan pada setiap GRE yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa kofaktor tertentu mungkin diperlukan hanya untuk pengaturan transkripsi dari
subset gen target glukokortikoid. Pengkajian mekanisme transkripsi bisa juga
menjelaskan dasar molekuler dari hubungan glukokortikoid dengan insulin, khususnya,
sinergis mereka pada efek ekspresi gen yang menyebabkan lipogenik dan efek antagonis
terhadap ekspresi gen lipolitik. Disimpulkan juga bahwa adanya kemungkinan bahwa
hubungan antara dua hormon ini ditentukan oleh interaksi antara GR dan faktor
transkripsi spesifik. Misalnya, FoxO1 dan FoxO3 yang telah terbukti memainkan peran
penting dalam membantu respon glukokortikoid dan mediasi efek represif insulin dalam
gen tertentu, seperti PEPCK dan G6Pase. Dengan demikian, gen glukokortikoid yang

1
diaktifkan mengandung FoxO terdekat dari GRE yang mungkin distimulus oleh insulin.
Faktor transkripsi yang berpartisipasi dalam aksi insulin dan interaksi dengan GR untuk
mengatur metabolisme TG sulit untuk dispekulasi, karena kebanyakan dari GRE belum
teridentifikasi. Diharapkan studi selanjutnya harus membahas isu-isu penting tersebut.

1
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai