KAJIAN PUSTAKA
2.1 Selulosa
Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan
dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan
selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi
secara kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan
polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama
dinding sel tumbuhan (Holtzapple et.al 2003).
Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit
keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa
adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel
tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari
jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi
untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan
jaringan (Lehninger 1993) (Gambar 1).
Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi
selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pectin, hemiselulosa,
dan xilan (Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Kebanyakan selulosa
berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa,
hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Di dalam tumbuhan
molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul
paralel yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga sulit diuraikan
(Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Komponen-komponen tersebut
dapat diuraikan oleh aktifitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu
menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri
dan fungi (Sukumaran et.al 2005).
6
7
Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling berikatan
melalui atom karbon pertama dan ke empat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan ß-
1,4-glikosidik. Secara alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk
fibril-fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan
ikatan glikosidik. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh
lignin. Komposisi kimia dan struktur yang demikian membuat kebanyakan bahan
yang mengandung selulosa bersifat kuat dan keras. Sifat kuat dan keras yang
dimiliki oleh sebagian besar bahan berselulosa membuat bahan tersebut tahan
terhadap peruraian secara enzimatik. Secara alamiah peruraian selulosa
berlangsung sangat lambat (Fan et al., 1982).
Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium
hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi
600 - 1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat
kemurnian selulosa. Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling
tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan
sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak,
sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku
pada industri kertas dan industri sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa
selulosa, maka semakin baik mutu bahannya (Nuringtyas 2010) (Gambar
2).
8
hidroksil yang terdapat dalam daerah-daerah kristalin dengan berkas yang rapat
dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali.
Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun
dalam esterfikasi (asam) (Sjőstrőm 1995).
Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya
membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk
antara: (1) gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa yang
terdapat pada unit glukosa terdekat, (2) gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada
C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara
gugus hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b (Gambar 4).
Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka
struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di
samping itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur
yang akan membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing
density-nya maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah
packing density maka selulosa akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa
dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan yang diberikan. Rantai-rantai selulosa
akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk mikrofibril, bagian kristalin
akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan
bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat
(Klemm 1998). (Gambar 5).
10
pertama, enzim endoglukonase menyerang daerah amorf dari selulosa secara acak
dan membentuk makin banyak ujung-ujung nonpereduksi yang memudahkan
kerja eksoglukonase. Enzim eksoglukonase selanjutnya menghidrolisis daerah
kristal dari selulosa dengan membebaskan dua unit glukosa. Kerja sama kedua
enzim ini menghasilkan unit-unit sakarida yang lebih kecil yang selanjutnya
dihidrolisis oleh β-glukosidae menghasilkan glukosa (Nugraha 2006).
Menurut Enari (1983) (Tabel 1) serta Prescott and Dunns (1981) (Gambar
7) mengelompokkan enzim utama selulase berdasarkan spesifikasi substrat
masing-masing enzim yaitu :
1. Endo-β-1,4-glukanase (β-1,4-D-glukan-4-glukanohidrolase, EC 3.2.1.4)
menghidrolisis ikatan glikosidik β-1,4 secara acak. Enzim ini dapat bereaksi
dengan selulosa kristal tetapi kurang aktif. Enzim ini secara umum dikenal
sebagai CMC-ase atau selulase Cx.
2. β-1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC.3.2.1.91) atau secara umum dikenal
dengan selulase C1, memutus ujung rantai selulosa non pereduksi dan
membebaskan selobiosa.
3. β-1,4-D-glukan glukohidrolase (EC.3.2.1.74) memutus ujung rantai selulosa
non pereduksi dan membebaskan glukosa. Enzim ini menghidrolisis selulosa yang
telah dilunakkan dengan asam fosfat, selo-oligosakarida dan CMC.
4. β-1,4-glikosidase (β-1,4-D-glukosida glukohidrolase, EC 3.2.1.21)
menghidrolisis selobiosa dan rantai pendek selo-oligosakarida yang menghasilkan
glukosa. Enzim ini tidak dapat memecah selulosa dan selodekstrin.
14
Substrat
Jenis Enzim
Selulolitik Selulosa CMC Selulosa Selotetraosa Selobiosa
kristalin amorf
Endoglukonase - + + + -
Selobiohidrolase + - + + -
β- Glukosidase - - - + +
Sumber : Enari (1983)
seringkali diuji dengan substrat avisel sehingga enzim eksoglukanase disebut dengan
aviselase (Zhang et al., 2006).
Tahapan hidrolisis selulosa tergantung kepada struktur selulosa, interaksi
antara enzim selulase dengan serat selulosa, mekanisme hidrolisis enzim tersebut
di alam dan inhibitor yang terbentuk. Fase adsorbsi dan pembentukan kompleks
enzim substrat adalah fase kritis di dalam hidrolisis selulosa. Glukosa dan
selobiosa adalah inhibitor enzim dalam menghidrolisis selulosa. Selobiosa
menghambat enzim selobiohidrolase dan glukosa menghambat enzim
penghidrolisis selobiosa yaitu β-glukosidase pada kompleks enzim selulase.
Selobiosa mempunyai potensi lebih kuat menjadi inhibitor dibandingkan dengan
glukosa (Coughlan 1985). Laju hidrolisis enzim selulase ditentukan oleh struktur
substrat. Struktur kristal lebih sulit dihidrolisis dibandingkan dengan struktur
amorf maka hidrolisis dilakukan oleh enzim endoselulase atau endoglukanase
(Coughlan 1985).
Faktor yang mempengaruhi aktivitas selulase yaitu adanya senyawa
penghambat berupa ion logam. Penghambatan tersebut dapat dinetralkan dengan
menambahkan sistein sehingga aktivitas enzim dapat berlangsung kembali (Kulp
1975). Beberapa senyawa logam dan senyawa lainnya yang dapat menghambat
aktivitas selulase ialah Hg2+, Ag2+, dan Cu2+ (Deng and Tabatai 1994; Oikawa
et al. 1994), glukanolakton (Kulp 1975), surfaktan, senyawa pengkelat khususnya
Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetyc Acid (EDTA)
(Oikawa et al. 1994), laktat dalam konsentrasi agak rendah (Chesson 1987), dan
etanol serta alkohol lainnya (Ooshima et al., 1985). Senyawa penghambat tersebut
dapat menekan seluruh kecepatan hidrolisis dengan menghambat adsorbsi
eksoglukanase dan endoglukanase pada selulosa, dan menghambat aksi sinergis
eksoglukanase dan endoglukanase yang bekerja pada permukaan selulosa.
secara langsung dari bahan laut yang diwarnai dengan metode Gram, diperkirakan
sekitar 95 persen dari bakteri laut adalah gram negatif. Hal ini menunjukkan
perbedaan yang cukup besar dibandingkan dengan persentasi bakteri gram negatif
yang ditemukan di perairan tawar dan dua kali jumlah dari gram negatif yang
ditemukan di dalam tanah. Sebagian besar bakteri yang ditemukan di laut
termasuk motil aktif (Zobell 1990).
Bakteri pembentuk spora juga diketahui tidak banyak ditemukan di
lingkungan laut. Bakteri pembentuk spora yang ditemukan di lingkungan laut di
antaranya Bacillus abysseus, B.borborokoites, B.cirroflagellosus, B.filicolonicus,
B.imomarinus, B.submarinus, B.thalassokoites, dan B.epiphyticus. Secara rata-
rata, ukuran bakteri laut lebih kecil dibandingkan bakteri yang terdapat di dalam
susu, air limbah, air tawar, atau tanah .Rata-rata panjang ukuran sel adalah 2
sampai 3 µm dan lebar ukuran sel rata-rata 0,4 - 0,6 µm (Zobell 1990).
Secara umum, bakteri laut tumbuh lebih lambat dan koloninya lebih kecil
dibandingkan kebanyakan mikroorganisme dari tanah, limbah, dan susu. Pada
pengamatan pertumbuhan bakteri, nampak bahwa bakteri terestrial sudah
mencapai pertumbuhan optimum pada usia kultur tujuh hari, sedangkan pada
bakteri laut pada usia kultur 10 hari masih tampak kenaikan pertumbuhan (Zobell
1990).
Ciri-ciri bakteri yang tumbuh di lingkungan perairan, termasuk bakteri laut
adalah bersifat kromogenik, yaitu mampu menghasilkan beragam pigmen.
Distribusi warna adalah sebagai berikut: 31,3 persen kuning, 15,2 persen oranye,
9,9 persen kecoklatan, 7,4 persen neon, 5.4 persen merah atau pink, dan 0,2
persen hijau. Jenis paling umum yang berpendar berwarna kehijauan. Bakteri laut
yang mempunyai pigmen berwarna kuning diantaranya Flavohaclerium
marinotypicum, F.marinovirosum, Fl.okeanokoites, Pseudomonas neritica, Ps.
obscura, Ps.oceanica, Ps.vadosa, Ps.xanthochrus, Vibrio adaptatus,
V.marinoflavus, dan V.marinovulgaris (Zobell 1990).
Bakteri yang hidup di lingkungan laut pada umumnya mampu
mendegradasi hampir semua jenis substrat organik, dan banyak senyawa
anorganik yang diubah oleh aktifitas mikroorganisme laut. Sebagian besar bakteri
18
laut memiliki aktifitas yang cukup tinggi sebagai agen proteolitik, namun sedikit
yang merupakan agen sakarolitik. Semua bakteri heterotrofik laut mampu
menyerap glukosa, hanya 46 dari 60 kultur yang di fermentasi glukosa dengan
pembentukan asam, dan tidak satupun dari mereka menghasilkan "gas" dari
glukosa. Hal ini mungkin karena kurangnya kemampuan fermentasi, tetapi lebih
besar kemungkinan karena efisiensi dari organisme dalam asimilasi bahan
organik. Bila dikultivasi dalam media cair, bakteri laut mampu mengkonversi 30
sampai 35 persen glukosa pada protoplasma atau produk-produk metabolit,
sisanya yang teroksidasi menjadi karbon dioksida dan air sebagai sumber energi
(Zobell 1990).
Bakteri laut dapat dibedakan dari bakteri terestrial berdasarkan
toleransinya terhadap garam. Pada penelitian yang telah dilakukan diketahui
bahwa bakteri laut mampu mentolerir keberadaan garam hingga konsentrasi diatas
100% dalam medium. Kebutuhan salinitas dari bakteri laut terkait dengan adaptasi
fisiologis sel terhadap lingkungan berkadar garam tinggi. Bakteri genus Bacillus
dan Micrococcus yang diisolasi dari lingkungan laut diketahui memiliki tingkat
toleransi salinitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan genus Pseudomonas
atau Vibrio (Zobell 1990).
proses yang ketiga adalah terjadinya pemanjangan dari primer yang telah
menempel (polimerasi) pada suhu 72o - 75oC (Setiawan 2003).
Menurut Nur’utami (2011) tiga tahap utama kerja PCR dalam satu siklus
yaitu :
a. Denaturation (Pemecahan)
Tahap pemecahan berlangsung pada suhu tinggi, 94o - 96oC ikatan
hidrogen DNA terputus dari DNA utas ganda menjadi utas tunggal. Biasanya
pada siklus awal PCR, tahap ini dilakukan lebih lama (5 menit) untuk
memastikan semua berkas DNA terpisah. Denaturation menyebabkan DNA tidak
stabil dan siap menjadi template (patokan) bagi primer. Umumnya waktu durasi
yang dibutuhkan yaitu selama 1 sampai 2 menit.
b. Annealing (penempelan)
Primer menempel pada bagian template DNA yang berkomplementer
urutan basanya. Tahap ini dilakukan pada suhu antara 46 o - 60 oC. Penempelan ini
bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya
penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Umumnya waktu/durasi
yang dibutuhkan untuk tahap ini yaitu selama 1 sampai 2 menit.
c. Extension (pemanjangan)
Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis enzim DNA polimerase yang
dipakai. Karena suhu dinaikkan ke dalam kisaran suhu optimum kerja enzim
DNA polimerase. Dengan Taq polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada
suhu 70o - 76 oC. Pada tahap ini DNA polimerase akan memasangkan dNTP yang
sesuai pada pasangannya (pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula
sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung
(Gambar 8a). Lamanya waktu ekstensi bergantung pada panjang daerah yang
akan diamplifikasi, misalnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 basepair (bp).
Selain ketiga proses tersebut umumnya tahap kerja PCR didahului dan
diakhiri oleh tahapan berikut :
a. Pra-denaturasi : Dilakukan selama 1 sampai 9 menit pada awal reaksi
untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan mengaktivasi DNA
polimerase (jenis hot-start/aktif jika dipanaskan terlebih dahulu).
22
a b
Gambar 8. Prinsip dan Cara Kerja PCR
(Sumber : Sunarto 2006)
Keunggulan metode PCR dapat dilihat dalam hal kecepatan, spesifitas dan
sensitifitasnya untuk mendeteksi mikroorganisme patogen. PCR sangat spesifik
karena mendeteksi mikroorganisme pada tingkat DNA/RNA. DNA/RNA virus
dapat diketahui secara cepat dan sampel yang akan diuji dapat dalam jumlah yang
banyak. Penggunaan teknik PCR juga memiliki beberapa kelemahan antara lain
kemungkinan memperoleh hasil positif maupun negatif yang salah. Hasil positif
yang keliru dapat disebabkan karena adanya kontaminasi oleh kontrol positif
maupun sampel yang lain sebelum proses amplifikasi. Hasil negatif yang salah
dapat disebabkan karena jumlah kopian DNA yang tidak mencukupi dan tingkat
infeksi yang terlalu rendah sehingga pita DNA berpendar redup atau bahkan tidak
berpendar (Sukenda et.al 2009).
2.6 Primer
Primer adalah untai DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida,
umumnya 10-25 nukleotida (oligonukleotida). Primer berperan sebagai pemula
pada proses sintesis menggunakan PCR. Primer akan menempel pada DNA target
dan membentuk rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawanan serta
24
seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer,
konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati
agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik. Keberhasilan teknik ini
lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi dan optimasi proses PCR.
Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain
dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah
genom yang teramplifikasi (Rybicki 1996).
Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang
diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam
mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya
DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru.
Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu
optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak
terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel
pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi
banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing)
ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang
dan komposisi primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 5 0C di bawah suhu
leleh. Tm merupakan temperatur yang diperlukan oleh separuh primer dupleks
mengalami disosiasi/lepas ikatan (President's DNA Initiative 2013). Secara umum
suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T) 0C (Rybicky
1996), sedangkan suhu annealing (Ta) dapat dihitung dengan rumus Ta = 0.3 x
Tm (primer) + 0.7 Tm (produk) – 25 (President's DNA Initiative 2013)
Primer-primer degenerate adalah campuran oligonukleotida yang
bervariasi dalam hal urutan basa nukleotidanya, tetapi mempunyai panjang atau
jumlah nukleotida yang sama. Campuran oligonukleotida tersebut dapat
digunakan sebagai primer dalam PCR untuk melakukan amplifikasi suatu gen atau
fragmen DNA tertentu. Primer-primer degenerate tersebut berguna dalam PCR
jika ingin mengamplifikasikan suatu fragmen DNA yang belum banyak diketahui
urutan nukleotidanya sehingga primer yang spesifik tidak dapat dibuat. Primer-
primer semacam itu juga berguna jika ingin melakukan amplifikasi suatu gen
26
yang belum diketahui urutan nukleotidanya tetapi gen tersebut termasuk dalam
kelompok famili gen (gene family) tertentu. Dengan menggunakan informasi
mengenai urutan nukleotida gen lain yang termasuk dalam famili yang sama maka
dapat menyintesis primer-primer degenerate untuk mengamplifikasi gen yang
belum diketahui urutannya tersebut. Di samping itu, primer-primer degenerate
juga dapat digunakan untuk melakukan amplifikasi anggota-anggota suatu famili
gen untuk identifikasi atau analisis selanjutnya (Yuwono 2006).
untuk berevolusi melalui penambahan atau pengurangan suatu unit tertentu pada
modul domain tersebut. Identifikasi motif dan domain pada suatu protein
merupakan aspek penting pada proses klasifikasi sekuen protein dan annotasi
fungsional. Dikarenakan aspek divergensi pada evolusi, hubungan fungsional
diantara protein-protein seringkali tidak dapat dibedakan begitu saja melalui
BLAST atau pencarian database FASTA. Selain itu, protein atau enzim terkadang
memiliki fungsi ganda yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan menggunakan
annotasi tunggal melalui pencarian database sekuen sehingga diperlukan
identifikasi motif dan domain untuk mengatasi hal tersebut (Xiong 2006).