Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KEGIATAN

F.1 UPAYA PROMOSI KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PENYULUHAN KUSTA

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

OLEH :

dr. Aryoga Samudra Asmara

dr. Nunki Aprillita

PENDAMPING :

dr. Hadi Purnomo, M.Mkes

PUSKESMAS CONDONG

DINAS KESEHATAN KABUPATEN PROBOLINGGO

2017

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan kondisi dimana kita berada jauh atau terbebas dari penyakit.
Merupakan suatu yang mahal jika dibandingkan dengan hal-hal yang lain. Bagaimana tidak,
harta yang melimpah, memiliki paras tampan atau cantik, memiliki badan tegap dan gagah,
semuanya itu akan sirna dengan sekejap jika kita terserang penyakit atau tidak sehat. Dengan
penyakit harta bisa habis digunakan untuk berobat, paras tampan atau cantik berubah menjadi
pucat dan tidak enak untuk dipandang, badan yang tegap dan gagah seketika roboh dikarenakan
lemas dan lesu akibat kondisi tubuh yang menurun drastis.

Beginilah alur kehidupan, semuanya menjadi seimbang. Ada sehat dan ada sakit, kita
tidak akan selalu sehat dan kita juga tidak akan selalu sakit. Semuanya itu bagaimana kita bisa
menjaga diri untuk terhindar dari penyakit sehingga kesehatan itu merupakan hal yang mutlak
harus dijaga.

Salah satu penyakit yang masih menjadi permasalahan saat ini yaitu penyakit kusta.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional
kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan
permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.

Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikiari besarnya, sehingga menimbulkan
keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya,
masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan periderita terhadap
penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit
kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis
dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa
sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit
mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena

1
adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena
pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan.
Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia. Yang
bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional.
Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke masalah
sosial.

Mencegah adalah lebih mudah dan murah dari pada mengobati seseorang apabila jatuh
sakit. Salah satu cara untuk mencegah hal tersebut diatas salah satunya adalah dengan melakukan
upaya promosi kesehatan. Promosi kesehatan dilakukan untuk memberikan informasi tentang
kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan hal yang dapat
mengganggu kesehatan serta memberikan edukasi agar stigma leprophobia dapat berkurang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan/pendidikan kesehatan merupakan cabang dari ilmu kesehatan yang


mempunyai dua sisi, yakni sisi ilmu dan sisi seni. Dilihat dari sisi seni, yakni praktisi atau
aplikasi pendidikan kesehatan adalah merupakan penunjang bagi program-program kesehatan
lain. Ini artinya bahwa setiap program kesehatan yang telah ada misalnya pemberantasan
penyakit menular/tidak menular, program perbaikan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan, upaya
kesehatan ibu dan anak, program pelayanan kesehatan dan lain sebagainya sangat perlu ditunjang
serta didukung oleh adanya promosi kesehatan.

Promosi kesehatan bukanlah hanya proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan semata, akan tetapi di dalamnya terdapat
usaha untuk dapat memfasilitasi dalam rangka perubahan perilaku masyarakat. Dalam hal ini
organisasi kesehatan dunia WHO telah merumuskan suatu bentuk definisi mengenai promosi
kesehatan : “Health promotion is the process of enabling people to increase control over, and
improve, their health. To reach a state of complete physical, mental, and social, well-being, an
individual or group must be able to identify and realize aspirations, to satisfy needs, and to
change or cope with the environment“. (Ottawa Charter,1986).

Jadi, dapat disimpulkan dari kutipan tersebut diatas bahwa Promosi Kesehatan adalah
proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya. Selain itu untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental,
dan sosial, maka masyarakat harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasinya,
kebutuhannya, dan mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial
budaya dan sebagainya).

Selanjutnya, Australian Health Foundation merumuskan batasan lain pada promosi


kesehatan sebagai berikut : “Health promotion is programs are design to bring about
“change”within people, organization, communities, and their environment ”. Artinya bahwa

3
promosi kesehatan adalah program-program kesehatan yang dirancang untuk membawa
perubahan (perbaikan), baik di dalam masyarakat sendiri, maupun dalam organisasi dan
lingkungannya.

Dengan demikian bahwa promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan


menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan dan peraturan perundangan untuk perubahan
lingkungan dan perilaku yang menguntungkan kesehatan (Green dan Ottoson,1998). Promosi
kesehatan merupakan proses pemberdayaan masyarakat agar mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatannya. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dari, oleh, untuk dan
bersama masyarakat; Artinya proses pemberdayaan tersebut dilakukan melalui kelompok-
kelompok potensial di masyarakat, bahkan semua komponen masyarakat. Proses pemberdayaan
tersebut juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosial budaya setempat. Proses
pembelajaran tersebut juga dibarengi dengan upaya mempengaruhi lingkungan, baik lingkungan
fisik termasuk kebijakan dan peraturan perundangan.

Visi dari Promosi Kesehatan yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat untuk


memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental, dan sosialnya sehingga
produktif secara ekonomi maupun sosial.

1.2 Gambaran Umum Penyakit Kusta

1.2.1 Definisi Kusta

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti


kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus
Hansen. Pendapat kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi

4
meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional. Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan Tuhan.

1.2.2 Cara Penyebaran Kusta

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa
penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk
ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-
orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan


tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si
penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15


tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.

Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan


perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Mocrobakterillm Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping
itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :

- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

5
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan


tingkat sosial ekonomi rendah

- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

1.2.3 Diagnosa Penyakit Kusta

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau


tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda
secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam,
yaitu:
 Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
 Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
 adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,
aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja
sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
 adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit
 Alis rambut rontok
 Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa)

Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus


berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang
mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan klasifikasi
harus dilihat secara menyeluruh dari segi Klinis, Bakteriologis, Immunologis,
Hispatologis. Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan anamnesa
dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan bakteriologis.

6
1.2.4 Pengobatan Penyakit Kusta

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil
penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara
teratur.

Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara


pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kusta
mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan
hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.

Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita
tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada
obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan
demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada
setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan
berisikan pengajaran bahwa :

a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta

b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta

c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain

d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan


secara teratur

e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik

7
8
BAB III

PERMASALAHAN

• Beberapa desa di wilayah kerja Puskesmas Condong belum seluruhnya mendapatkan


informasi dan penyuluhan tentang penyakit kusta sehingga pengetahuan masyarakat
tentang penyakit kusta masih rendah.

• Beberapa penderita kusta yang telah terdiagnosa masih belum memiliki kesadaran penuh
untuk berobat dan masih menganggap bahwa kusta tidak dapat diobati ataupun
merupakan penyakit kutukan akibat guna-guna dsb.

• Adanya stigma negatif (leprophobia) dari masyarakat bahwa penderita kusta membawa
penyakit menular yang tidak dapat diobati dan harus dijauhkan dari lingkungan.

9
BAB IV

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Salah satu kiat dalam penanganan permasalahan dengan melakukan pembinaan kader
dan penyuluhan kepada masyarakat melalui program ICF Kusta pada bulan Juli (dilaksanakan 3
bulan sekali per tahunnya) di beberapa desa di wilayah kerja Puskesmas Condong (Desa
Ranuwurung, Dusun Ranon, Dusun Mangaran, Desa Kaliacar, Desa Sumbersecang dan Desa
Mojolegi).

10
BAB V

MONITORING DAN EVALUASI

Gambar 1: Tabel Promosi Kesehatan (Sumber : PKP Januari-Juli 2017)

11
Gambar 2: Tabel Penanggulangan Penyakit Kusta (Sumber : PKP Januari-Juli 2017)

Dari tabel diatas (tabel 1), didapatkan data bahwa program promosi kesehatan di
puskesmas condong telah berjalan 29,16%. Hal ini disebabkan karena promosi kesehatan di
sekolah dasar (58,33%), gedung puskesmas jaringannya (0%) dan pemberdayaan masyarakat di
bidang kesehatan (29,16%) belum berjalan maksimal.

Sedangkan untuk program kusta (tabel 2), didapatkan data bahwa program penanggulangan
kusta telah berjalan 41,73%. Hal ini disebabkan karena Meskipun beberapa sub variabel sudah
memenuhi target Kasus Kusta yang dilakukan PFS secara rutin (100%) dan Proporsi tenaga
kesehatan di desa endemis Kusta tersosialisasi (100%), masih ada beberapa variabel program
tidak memenuhi target ataupun belum berjalan antara lain Cakupan pemeriksaan kontak dari
kasus Kusta baru (0%), RFT penderita kusta (71,40%), Penderita baru pasca pengobatan dengan
score kecacatannya tidak bertambah atau tetap (62,50%), Proporsi kasus defaulter Kusta (0%),
Proporsi kader kesehatan di desa endemis Kusta tersosialisasi (0%) dan Proporsi SD/ MI di desa
endemis Kusta dilakukan screening Kusta (0%).

Dari data diatas, maka hal ini menunjukkan antara lain bahwa :

1. Antara target sasaran dan pencapaian program promosi kesehatan dan program
penanggulangan kusta belum memenuhi target.

2. Perlunya pengerahan tenaga medis ataupun paramedis dari Puskesmas Condong yang
cukup komunikatif dan edukatif sehingga pesan tentang penanggulangan kusta dapat
teratasi serta dapat menekan angka kesakitan kusta

3. Masyarakat perlu diberikan penyuluhan ataupun promosi kesehatan tentang kusta


secara rutin agar dapat teredukasi dengan baik

4. Perlunya pengkaderan atau pemberdayaan kader kusta di setiap desa cakupan wilayah
condong agar angka kesakitan kusta dapat berkurang serta masyarakat dapat terdekuasi
dengan baik

12
BAB VI
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Perlunya sebuah program promosi kesehatan melalui pembinaan kader, penyuluhan dan
pemberdayaan masyarakat terhadap penyakit kusta, karena penyakit kusta menimbulkan
beberapa masalah antara lain :

a. Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma
psikis. Sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita antara lain dapat :

1. Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia atau keluarganya


menderita penyakit kusta.

2. Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk


keluarganya.

3. Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa bodoh
terhadap penyakitnya.

b. Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas maka muncul berbagai masalah antara lain:

1. Masalah terhadap diri penderita kusta

Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekan batin, takut
terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan
masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar. Segan berobat
karena malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang
lain (jadi pengemis, gelandangan dsb).

2. Masalah Terhadap Keluarga

Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan


pengobatan tradisional, keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat disekitarnya,

13
berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya,
dan mengasingkan penderita dari keluarga karena takut ketularan.

3. Masalah Terhadap Masyarakat.

Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan
agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular,
tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta,
maka penderita sulit untuk diterima di tengah-terigah masyarakat, masyarakat
menjauhi keluarga dari perideita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat
mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan.

5.2 Saran

a. Bekerja sama dengan beberapa tokoh masyarakat untuk meningkatkan penyuluhan dan
sosialisasi mengenai penyakit kusta

b. Memberikan Penyuluhan tentang penyakit kusta secara rutin perbulannya

c. Mempertahankan pelaksanaan, monitoring dan evaluasi baik melalui kegiatan ICF Kusta
ataupun melalui pemberdayaan kader desa sehingga target penemuan kasus kusta dapat
lebih merata serta pemberantasan kusta dapat terlaksana

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Ngatimin Rusli HM, Upaya Menciptakan Masyarakat Sehat di Pedesaan, Disertasi

Pascasarjana, Ujung Pandang, 1987.

2. Ditjen PPM dan PLP, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta, 1996.

3. Kosasih, A, Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin, Kusta, FK-UI, 1988.

4. Ngatimin Rusli HM, Leprophobia, Majalah Kesehatan Masyarakat, Tahun XXI, Nomor

5, 1993.

5. Ditjen PPM dan PLP, Buku Pegangan Kader dalam Pemberantasan Penyakit Kusta,

Jakarta, 1990.

15
LAMPIRAN

Dokumentasi Promosi Kesehatan Pada Program ICF Kusta

16

Anda mungkin juga menyukai