Sistema Pernafasan: Patologi Veteriner Sistemik
Sistema Pernafasan: Patologi Veteriner Sistemik
Editor
Dr. drh. I Gusti Agung Arta Putra, MSi.
Cetakan : I
Tahun 2014
Hal, viii + 86 hal; 15x21cm; font TNR 12
PRAKATA
Halaman
PRAKATA ......................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................... v
DAFTAR TABEL .............................................................. vi
DAFTAR GAMBAR . ....................................................... vii
BAB I. Pengertian Umum ......................................... 1
BAB II. Mekanisme Pertahanan ................................. 11
BAB III. Patologi Rongga Hidung dan Sinus .............. 19
BAB IV. Patologi Faring, Laring dan Trakea .............. 29
BAB V. Patologi Bronkus dan Bronkiolus ................. 35
BAB VI. Patologi Parui................................................ 41
BAB VII. Pneumonia Infeksius dan Spesifik ................ 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 76
GLOSARIUM .................................................................... 79
INDEKS ...................................................................... 82
DAFTAR TABEL
Halaman
Halaman
Imunodefisiensi
Imunodefisiensi bisa didapatkan atau bisa merupakan
gangguan kongenital. Kondisi ini mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap radang paru-paru akibat
bakteri, virus dan protosoa. Contoh yang mudah ditemukan
saat ini adalah pneumonia akibat proliferasi dari Pneumocystis
carinii, organisme ini dalam kondisi normal sebenarnya tidak
patogen. Mikroorganisme yang dalam kondisi normal tidak
patogen namun menjadi patogen dalam kondisi imunosupresif,
dapat ditemukan pada babi, anjing, anak kuda dan hewan
pengera. Kondisi imunodefisiensi biasa ditemukan pada anak
kuda yang terkena infeksi adeno virus.
Pada unggas, infeksi virus gumboro, virus ND dan virus
flu burung cenderung mengembangkan kondisi
imunodefisiensi. Pada anjing infeksi virus distemper juga
memunculkan radang paru-paru akibat bakteri yang merupakan
flora normal pada saluran pernafasan.
Stres dan faktor lainnya
Banyak faktor yang mengakibatkan menurunnya fungsi
pertahanan yang mekanismenya belum sepenuhnya dipahami.
Stres karena cekaman udara dingin dinyatakan menurunkan
kemampuan fagositosis makrofag alveolar. Edema pulmonum
dan hipoksia juga menurunkan aktivitas fagostik dari makrofag
alveolar. Stres karena udara panas yang mengakibatkan
dehidrasi yang meningkatkan kekentalan mukus sehingga
menurunkan bahkan menghentikan fungsi pembersihan
(clearence) dari mukosiliaris. Kelaparan yang menurunkan
respons imun humoral dan selular juga berpengaruh langsung
terhadap menurunnya fungsi mekanisme pertahanan.
BAB III
PATOLOGI RONGGA HIDUNG DAN SINUS
Sistem pernafasan dimulai dari hidung yang terdiri atas
hidung bagian luar, rongga hidung dan sinus. Disamping
berfungsi sebagai indra pencium, organ ini memegang peranan
penting untuk menyalurkan udara ke sistem pernafasan di
bagian bawah. Rongga hidung pada hewan sangat bervariasi;
pada domba, vaskularisasi rongga hidungnya sangat tinggi,
sehingga jika terjadi sedikit saja kerusakan pada lapisan
epitelnya akan menyebabkan perdarahan hebat. Rongga
hidung sapi lebih sempit dibandingkan rongga hidung kuda,
rongga hidung unggas variasi nya sangat tinggi. Histologi
rongga hidung mamalia secara umum sama dengan unggas,
yakni sama- sama memiliki epitel respisratorius yang bersilia.
Fungsi rongga hidung selain sebagai indera penciuman
adalah untuk memodifikasi udara sebelum disalurkan ke sistem
pernafasan selanjutnya. Udara dihangatkan ketika melewati
permukaan mukosa rongga hidung yang vaskularisasinya
sangat tinggi. Udara juga dilembabkan ketika melewati
rongga hidung dan dibersihkan ketika kontak dengan mukus
yang disekresikan oleh kelenjar mukus pada rongga hidung.
Partikel-partikel yang terdapat dalam udara yang terinhalasi
akan terperangkap pada mukus kemudian akan digerakan oleh
silia ke faring dan selanjutnya tertelan, proses ini disebut
dengan mucociliary escalator. Pertahanan lain yang dimiliki
oleh rongga hidung adalah reflek bersin.
Ada beberapa kondisi yang mengakibatkan disfungsi dari
rongga hidung dan sinus, diantaranya adalah:
Gangguan Metabolisme.
Gangguan metabolisme pada rongga hidung umumnya
jarang pada hewan peliharaan . Namun amiloidosis sistemik
biasa ditemukan pada kuda yang diambil serumnya secara terus
menerus. Amiloidosis adalah gangguan metabolisme protein
yang ditandai dengan deposisi protein amiliod pada berbagai
jaringan. Pada kuda, pengumpulan amiloid pada daerah
submukosa hidung ini bisa merupakan bagian dari amiloidosis
umum atau suatu keadaan yang berdiri sendiri. Deposit amiloid
ini bisa sampai ke laring. Adanya amiloid dalam bentuk
nodul atau difus ini dapat menyebabkan penyumbatan hidung.
Nodul amiloid secara makroskopik akan nampak merah
mengkilat, licin dan tidak bersifat ulseratif (Gambar 3.1 A)
Secara mikroskopik akan nampak masa amiloid berupa masa
pucat eosinofilik yang bentuknya tidak beraturan (amorfus)
dengan pewarnaan rutin HE. (Gambar 3.1 B). Makrofag,
limfosit dan sel raksasa (giant cells) sering ditemukan
mengelilingi nodul-nodul amiloid tersebut. Guna kepentingan
konfirmasi diagnostik amiloid dapat ditunjukan dengan
pewarnaan khusus yakni Congo red, dan amiloid akan
terwarnai menjadi oranye kemerahan.
Gambar 3.1. Amiloidosis pada kuda . Pada mukosa hidung ada masa
amiloid yang berbentuk multinodul berwarna kemerahan
permukaan licin mengkilap tidak ulceratif (A). Pada lamina
propira rongga hidung nampak masa eosinofilik amorfus,
yang dikelilingi oleh sel raksasa dan eksudat
limpoplasmasitik(B). Sumber:Portela et al., 2012
Gangguan sirkulasi
Kongesti dan hiperemi. Kongesti pada mukosa hidung
merupakan jejas/lesi yang tidak spesifik, umum ditemukan
pada pemeriksaan post mortem dan bisa dikaitkan dengan
gagal jantung serta bloat pada ruminansia. Sedangkan hiperrmi
umumnya dikaitkan dengan tahap awal dari peradangan.
Perdarahan. Epistaksis adalah istilah umum untuk
perdarahan dari hidung. Darah bisa berasal dari nasofaring
atau dari alat pernafasan yang lebih dalam. Pada kuda
epistaksis ada hubungan dengan olahraga yang berat, dalam hal
ini darah berasal dari paru-paru. Pada kadaver domba sering
ditemukan darah berbusa dari lubang hidung. Hal ini
disebabkan oleh adanya kongesti pulmonum,edema dan
hemoragi. Perdarahan yang berasal dari rongga hidung
umumnya disebabkan oleh trauma, peradangan dan neoplasia
yang memecahkan pembuluh darah.
Peradangan
Peradangan pada hidung disebut dengan rhinitis.
Berdasarkan atas penyebabnya rhinitis dapat digolongkan
menjadi rhinitis primer dan rhinitis sekunder, sedangkan
berdasarkan waktu kejadian rhinitis dapat dibedakan menjadi
rhinitis akut dan kronis/menahun
Rhinitis primer dapat disebabkan oleh debu,
benda-benda asing, zat-zat kimia, gas, parasit dan oleh kuman
seperti: Bordetella bronchiseptica, streptococus dan
micrococus. Rhinitis juga ditemukan pada beberapa penyakit
menular seperti malleus, distemper anjing, influenza kuda dan
coryza.
Rhinitis sekunder. Defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan rhinitis sekunder pada unggas. Pada kejadian
defisiensi vitamin A dapat menyebabkan metaplasia dan
proliferasi mukosa hidung yang mempermudah infltrasi
kuman.
Rhinitis menahun biasanya merupakan kelanjutan dari
rhinitis akut. Hal ini sering dijumpai pada penyakit ingus
ganas. Jamur dan kuman seperti Mycobacterium tuberculosis,
Pseudomonas aeroginosa dan Spherophorus necrophorus juga
dapat menyebabkan rhinitis menahun.
Rhinitis atrofik disebabkan oleh toksin yang dihasilkan
oleh Pasteurela multocida, sering ditemukan pada babi. Pada
penyakit ini terlihat deskuamasi epitel selaput lendir hidung
dan atrofi turbinat hidung yang hebat sehingga pembentukan
tulang hidung babi menjadi terganggu. Hidung babi menjadi
salah bentuk, yaitu melekuk ke kiri atau ke kanan.
Sinusitis
Peradangan pada sinus paranasal sering tidak teramati
kecuali jika sampai menyebabkan deformitas pada muka atau
fistula. Sinusitis sering terjadi pada kuda karena
kekomplekan struktur sinus paranasalnya. Pada domba sinusitis
sering terjadi akibat adanya larva Oestrus ovis.
Melioidosis (pseudoglanders)
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Gram negatif
Burkholderia pseudomallei. (bakteri berbentuk basil dan
bersifat motil, aerob, tidak membentuk spora) . Bakteri ini
sangat patogen dan bisa bertahan lama pada tanah dan air.
Melioidosis atau pseudoglanders merupakan penyakit penting
pada kuda, sapi, domba, kambing, anjing, kucing, rodentia dan
manusia. Gambaran patologi dan gejala klinis penyakit ini
pada kuda sangat mirip dengan glanders.
Strangles
Merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan bagian
atas yang bersifat kontagius pada kuda, disebabkan oleh
Streptococcus equi. Penyakit ini dicirikan oleh rhinitis dan
limfadenitis (limfoglandula mandibular dan retrofaringeal).
Tanda klinis yang teramati adalah: lubang hidung yang kotor,
konjungtivitis dan pembengkakan limfoglandula. Dampak yang
ditimbulkan oleh strangles adalah bronkopneumoni karena
aspirasi eksudat, hemiplegia laring (roaring) akibat tertekannya
saraf pada laring oleh limfoglandula retrofaringeal yang
membesar, serta paralisis facial.
Infeksi Virus pada Anjing
Sebenarnya anjing tidak memiliki penyakit yang
predileksi primernya pada rongga hidung dan sinus. Penyakit
rinitis akut umumnya merupakan bagian dari gejala penyakit
pernafasan yang disebabkan oleh infeksi virus seperti:
distemper, adenovirus 1 dan 2, parainfluensa, reovirus dan
herves virus. Jejas infeksi virus pada sitem pernafasan
umumnya bersifat sementara, namun efek virus ini pada oragn
lain bisa berakibat fatal. Misalnya munculnya gejala
encephalitis pada infeksi distemper anjing.
Penyakit Degeneratif
Hemiplegia laringeal pada kuda. Penyakit ini disebut
dengan roaring, merupakan penyakit yang umum pada kuda
yang ditandai oleh atrofi dari muskulus cricoarytenoid di
bagian dorsal dan lateral, terutama di bagian kiri (Gambar 4.1).
Atrofi otot disebabkan oleh adanya gangguan inervasi saraf.
Terjadi perubahan pada suara pada kuda seperti bergemuruh
(roar) akibat paralisis dari otot sehingga terjadi dilatasi tidak
lengkap (inkomplit) pada laring dan penyumbatan saluran
nafas
Secara mikroskopik serabut otot menjadi lebih tipis dan
runcing sering digantikan oleh sel lemak.
Gambar 4.1. Hemiplegia laringeal pada kuda. Penurunan masa otot serta
perubahan warna menjadi pucat pada bagian muskulus
cricoarytenoideus yang disebelah kiri (tanda bintang)
sedangkan muskulus yang di sebelah kanan adalah
normal
Sumber:http://cal.vet.upenn.edu/projects/grossanat/largemen
u/hheadlrxroar. htm.
Gangguan Sirkulasi
Edema. Edema hebat pada trakea yang disebut dengan
honker merupakan penyakit akut pada sapi potong yang
belum diketahui penyebabnya. Gejala klinis yang menonjol
adalah dispnea yang berlanjut menjadi bernafas lewat mulut
(oral breathing) , recumbency dan akhirnya kematian akibat
asfiksia
Perdarahan. Perdarahan di dalam laring dan trakea
sering terlihat pada penyakit akut dan sepsis. Perdarahan ini
terlihat sebagai bintik-bintik dan bercak-bercak darah pada
epiglotis. Perubahan scperti ini biasanya ditemukan pada
salmonellosis babi dan hog cholera.
Peradangan
Peradangan pada faring, laring dan trakea bisa
mengakibatkan terjadinya penghambatan aliran udara bahkan
dapat memicu timbulnya pneumoni aspirasi. Faring mudah
terkena penyakit yang berasal dari saluran pernafasan bagian
atas dan saluran pencernaan.
Laringitis dapat merupakan bagian dari necrobacillosis
oral (calf difteri), yang disebabkan oleh Fusobacterium
necrophorum atau dapat juga terjadi tanpa jejas pada daerah
lainnya. Pada babi, anthraks lokal di daerah laring tidak jarang
ditemukan dan di sekitar laring terlihat edema berupa gelatin
(edema glotis). Laringitis nekrotikan sering ditemukan pada
penyakit Newcastle (ND), sedangkan pembentukan granuloma
didalam laring terlihat pada penyakit TBC dan aktinobasilosis
pada sapi. Laringitis tuberkulosa ini dapat terjadi sebagai
akibat adanya TBC paru-paru.
Penyakit Spesifik
Bronkitis
Bonkitis adalah peradangan pada jalan udara bagian atas.
yan biasa disebabkan oleh : kuman-kuman pyogenes,
Mycobacterium tuberculosis, Aspergilus fumigatus, virus
influenza babi dan cacing (metastrongylus pada babi,
dyctiocaulus pada sapi dan domba). Biasanya perubahan tidak
terbatas pada bronkus bcsar tetapi meluas hingga bronkus kccil
serta parenkim paru-paru, akibatnya terjadi bronkopneumonia.
Tergantung kepada tipe eksudatnya, bronkitis dapat
bersifat fibrinosa,kataral,purulenta, fibrinonecrotic (difteritik)
dan granulomatosa. Bronkitis akut eksudatnya bisa kataral,
mukopurulen, fibrinopurulen atau purulen.
Bronkitis purulen atau supurativa biasanya terjadi
akibat adanya infeksi baktcri. Pada kcadaan ini, ditemukan
nekrosis epitel, karena epitel bersilia pada bagian ini sangat
sensitif terhadap rangsangan agcn.
Bronkitis ulserativa terjadi pada infeksi bakteri dan
virus yang hebat, dan sclama itu banyak bagian epitel yang
rusak. Bronkitis yang hebat dapat sembuh jika agen pcnyebab
dihilangkan. Proses pcrsembuhan dicirikan oleh regenerasi
epitel bronki yang kadang-kadang disertai dengan fibrosis
ringan. Ditcmukannya sel limfosit, makrofag dan sel plasma
pada lamina propria umumnya terjadi pada bronkitis akut yang
perlahan-lahan mcnjadi kronis.
Bronkitis kronis biasanya disebabkan oleh bakteri
parasit atau alergen. Pada pemeriksaan patologi anatomi (PA)
ditemukan mukus yang berlebihan atau eksudat mukopurulen
pada daerah trakeobronki. Secara mikroskopik perubahan
mukosa disebabkan oleh peningkanan jumlah dan ukuran
kelenjar mukosa dan infiltrasi limfosit pada lamina propria
serta peningkatan jumlah sel plasma, makrofag dan
kadang-kadang sel netrofil. Metaplasia squamosa yakni
perubahan tipe sel dari epitel khas saluran pernafasan menjadi
epitel squamosa. Epitel squamosa ini lebih tahan terhadap
iritan dibandingkan dengan epitel pernafasan namun
fungsinya dalam mekanisme mucociliaris clearence sangat
buruk atau menurun Metaplasia squamosa umum ditemukan
pada penyakit paru-paru obstruktif (chronic obstructive
pulmonary disease/COPD) CPOD akibat paparan asap rokok
secara terus menerus (Gambar 5.1).
Bronkostenosis
Bronkostenosis adalah penyempitan lumen bronkus yang
dapat discbabkan oleh peruhahain-perubahan pada dinding
bronki dan bronkiolus. .Mukosa bronkus menebal
membentuk lipatan-lipatm tebal sehingga terjadi penyempitan
lumen. Penimbunan eksudat, cacing dan benda asing juga dapat
menyempitkan lumen. Stenosis dapat juga disebabkan oleh
tekanan dari luar, misalnya limfoglandula yang membcngkak
karena TBC atau tumor. Penyumbatan yang total menyebabkan
atelektasis disertai dengan penambahan jaringan ikat.
Pcnyumbatan yang tidak menyeluruh menyebabkan dilatasi
paru-paru (emfisima) atau bronkiektasi.
Bronkiolitis
Peradangan bronkiolus umumnya terjadi scbagai akibat
pcrluasan dari bronkitis, atau merupakan bagian dari
pneumonia. Bronkiolitis biasanya menyertai pneumonia yang
diakibatkan oleh virus dan keracunan.
Bronkiolus dilapisi oleh epitel yang sangat mudah cedera
terutama akibat infeksi beberapa virus yang predileksinya
saluran pernafasan seperti: BRSV (Bovine respiratory syncytial
virus), adenovirus, PI-3 gas (oxidant gases seperti NO2,SO2
dan O3.
Proses persembuhan pada bronkiolus tidak semudah pada
rongga hidung dan trakea. Sequelae dari bronkiolitis kronis
adalah emfisema dan atelektasis, seperti yang dijumpai pada
penyakit heaves pada kuda.
BAB VI
PATOLOGI PARU-PARU
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital umumnya jarang pada semua spesies
hewan, kecuali pada sapi, umum terjadi hipoplasia pulmonum.
Kelainan ini biasanya disertai dengan hernia diafragma
kongenital. Pada keadaan ini, jumlah alveoli menurun dan
banyak ditemukan jaringan interstitial yang mengandung
kapiler yang berdilatasi.
Gangguan Metabolisme
Calcinosis (Kalsifikasi paru-paru).Keadaan ini terjadi
pada keadaan hiperkalsemia yang berhubungan dengan
hipervitaminosis D atau akibat keracunan sejenis tanaman
Solanum malacoxylon (Manchester wasting disease}. Tanaman
ini mengandung sejenis vitamin-D.
Emfisema
Emfisema adalah penambahan volume paru-paru karena
terakumulasinya udara secara berlebihan. Berdasarkan
tempat tertimbunnya udara maka dikenal dua jenis emfisema
yakni emfisema alveolar dan emfisema interstitial.
Emfisema alveolar (akut dan menahun). Pada
emfisema alveolar akut, bagian alveolar paru-paru yang normal
bertambah volumenya untuk menampung udara dari bagian
yang tidak berfungsi (tidak berisi udara), yang disebabkan oleh
pnumoni, atelektasis. dan sebab-sebab lain. Emfisema
alveolar ini diakibatkan oleh gangguan penarikan nafas
misalnya karena sebagian lumen bronnki tersumbat oleh
eksudat, parasit, juga akibat dari spasmus bronki. Secara
mikroskopik alveoli kelihatan sangat rcnggang, rneluas dan
sebagian besar retak. Bagian paru-paru yang menderita
emfisema membesar dan pucat (Gambar 6.2). Emfisema
bulloosum terjadi bila udara yang tertimbun secara lokal di
bawah pleural paru-paru dan membentuk benjol-benjol berisi
udara. Emfisema alveolar menahun terjadi dari bentuk akut
juga dari batuk-batuk menahun umpamanya dari bronkitis
menahun dan spamus bronki yang berulang-ulang. Pada
keadaan ini serabut-serabut kenyal alveoli menjadi lemah dan
alveoli membesar, akibatnya terjadi pembendungan darah
didalam jantung kanan yang menyebabkan dilatasi, kemudian
hipertrofi eksentrik atau insuffisiensi trikuspidalis,
hidroperikard dan pembendungan darah yang disertai edema.
Secara makroskopik paru-paru terlihat pucat dan membesar
dan secara mikroskopik terlihat pembesaran alveoli yang
dindingnya sebagian kisut. Emfisema jenis ini bisa terjadi pada
semua jenis hewan.
Emfisema interstitialis. Emfisema bentuk ini terjadi
sebagai akibat robeknya septa alveoli pada emfisema alveolar.
Emfisema jenis ini dapat terjadi bila didalam bronki ada
banyak cacing yang menimbulkan dyspnoe berat, pada TBC
dan pada keadaan trauma (fraktur tulang rusuk). Akibatnya
adalah kematian hewan karena jantungnya tidak mampu
menyelenggarakan peredaran darah. Emfisema jenis ini umum
ditemukan pada sapi.
Gambar 6.2 Gambaran makroskopik(A) dan mikroskopik(B) emfisema
paru-paru. Bagian yang mengalami emfisema lebih pucat dan
mengandung udara yang terperangkap (tanda panah).
Gambaran mikroskopik dari emfisema, dengan pembesaran
kuat nampak lumen alveoli meluas serta hilangnya dinding
alveoli (tanda bintang). Sumber:http://quizlet.com/7808283/
respiratory-system-session- 7-lung-pathology-flash-cards/.
Ganguan Sirkulasi
Hiperemi dan Kongesti. Hiperemi merupakan proses
yang aktif yang merupakan bagian dari peradangan yang akut
sementara itu kongesti merupakan proses yang pasif akibat
penurunan kecepatan aliran darah pada vena dan umumnya erat
hubungannya dengan kegagalan jantung.
Edema pulmonum. Pengumpulan cairan di dalarn alveoli,
bronki dan jaringan interlobuler paru-paru. Cairan ini
menghambat udara yang masuk ke dalam alveoli. Karena di
dalam bronki cairan itu bercampur dengan udara maka akan
terbentuk busa. Ada dua bentuk edema pulmonum, yaitu edema
yang bersifat bukan radang dan edema radang.
1. Edema yang bersifat bukan radang disebabkan oleh:
kelemahan jantung, penghambatan peredaran darah di
dalam jantung dan hati, dan/atau penyakit ginjal yang
disertai dengan edema umum.
2. Edema yang bersifat radang terjadi pada keadaan:
pncumoni, bronkitis primer pada penyakit SE, influenza
babi dan pneumonia kontagiosa kuda. Cairan tebal
berupa gelatin terlihat dalam jaringan di sekitar bronkus,
secara makroskopis paru-paru yang edema menjadi lebih
berat, tampak basah (jika disayat dari bidang sayat keluar
cairan yang berbusa), bronkhi besar berisi busa. Pada
edema yang hebat, busa juga ditemukan pada trakhea.
Warna dari cairan ederna dan busa tergantung pada ada
tidaknya perdarahan. Jika tidak ada perdarahan maka cairan
edema agak kekuningan dan busanya berwarna putih. Secara
alami dan berdasarkan eksperimental telah dibuktikan bahwa
beberapa hal yang menyebabkan kejadian edema pulmonum
antara lain : perubahan fungsi jantung kiri secara akut atau
menahun, pneumoni yang disebabkan bakteri, virus atau cacing,
keracunan, syok termasuk syok pasca bedah, adanya hambatan
aliran limfe misalnya karena limfosarkoma atau TBC kelenjar
mediastinal, perangsangan paru-paru karena gas atau debu,
atau edema karena pengaruh saraf.
Perdarahan paru-paru. Perdarahan biasanya terjadi
pada paru-paru di bawah pleura Penycbabnya adalah: trauma,
infark, kerusakan pembuluh darah oleh nekrosis, pernanahan
pada TBC. maleus dan gangren paru-paru. Pada penyakit SE
dan anthrax juga sering disertai dengan perdarahan paru-paru.
Perdarahan bervariasi dari ptekie sampai mengenai seluruh
bagian.
Jenis-jenis Pneumonia.
Respons peradangan dari paru-paru bervariasi tergantung
dari sifat agen penyebab, penyebaran agen (jalan yang dilalui
untuk mencapai paru-paru) dan ketahanan agen. Pneumonia di
bidang kedokteran hewan dapat diklasifikasikan berdasarkan
atas: waktu (akut, sub-akut, kronis), agen (viral-pneumonia,
pasteurela-, distemper-, verminosa-, kemikal-, dan hipersensitif
pneunomia), gambaran morfologi (tipe peradangan, pola
penyebaran lesi, epidemiologi, dan miscellaneous).
Berdasarkan tipe peradangan dikenal pneumonia eksudatif dan
proliferatif. Pneumonia eksudatif dikarakterisir oleh adanya
eksudat yang bersifat katar, fibrinosa, supuratif atau hemoragik
pada alveoli. Pneumonia proliferatif, bila perubahan yang
menonjol adalah proliferasi scl alveolar tipe II, fibroblast dan
makrofag. Berdasarkan pola penyebaran lesi dikenal
bronkopneumonia, pneumonia lobaris dan pneumonia
interstitial. Berdasarkan atas epidemiologi dikenal enzootik
pneumonia, contagious bovine pleuropneumonia, shipping
fever pneumonia. Beberapa jenis pneumonia yang tidak bisa
dikategorikan pada salah satu pembagian di atas antara lain:
pneumonia atipikal, cuffing pneumonia, pneumonia progrcsif.
pneumonia aspirasi, dan farmers lung.
Berdasarkan atas perubahan morfologik, meliputi
distribusi lesi,tekstur,warna dan penampakan dari paru-paru,
pneumonia digolongkan menjadi 4, yakni: bronkopneumonia,
pneumonia(p) interstitialis, p granulomatosa dan p. embolik,.
(Tabel 6.1),
Bronkopneuomonia. Bronkopneumonia adalah
peradangan pada daerah bronkoalveolar sebagai akibat
perluasan dari peradangan di bronkus. Biasanya bagian
paru-paru yang terserang adalah bagian kranioventral sehingga
terjadi konsolidasi pada daerah kranioventral. Konsolidasi
atau disebut juga hepatisasi adalah mengeras dan memadatnya
tekstur paru-paru menyerupai tekstur hati.akibat alveoli yang
semestinya berisi udara terisi oleh eksudat ataupun mengalami
atalektasis. Hepatisasi merah adalah kondisi konsolidasi akut
dimana terjadi hiperemia dan eksudasi dari netrofil, selanjutnya
akan menjadi hepatisasi kelabu dimana hiperemi sudah tidak
nampak dan netrofil digantikan oleh makrofag
Bronkopneumonia biasanya berkembang pada saat
terjadinya ketidak seimbangan antara jumlah bakteri yang
merupakan flora normal dengan jumlah bakteri patogen.
sehingga bakteri yang patogen mampu mencapai daerah
bronkoalveolar. Bakteri yang mencapai daerah bronkoalveolar
ini akan bertambah banyak sehubungan dengan tidak
berfungsinya makrofag alveolar. Adapun faktor-faktor yang
menyebabkan menurunnya fungsi makrofag alveolar adalah:
suhu yang terlalu dingin, kelaparan, infeksi virus, gas-gas
beracun, kelainan metabolisme seperti: uremia dan asidosis dan
imunosupresif yang diakibatkan oleh penggunaan
kortikosteroid.
Bronkopneumonia dapat dibedakan menjadi dua
berdasarkan jenis eksudatnya yakni Bronkopneumonia
supuratifa, jika eksudatnya didominasi oleh sel radang netrofil
dan Bronkopneumonia fibrinosa jika eksudat yang dominan
adalah fibrin
.
Bronkopneumonia supurativa: Umumnya disebabkan
oleh patogen yakni bakteri, dan mikoplasma, walaupun bisa
juga akibat bronko-aspirasi dari makan atau isi lambung.
Bakteri merupakan penyebab utama dari bronkopneumonia dan
umumnya terjadi setelah mekanisme pertahanan paru-paru
menurun akibat infeksi virus, stress atau predisposisi lainnya.
Pada domba dan sapi bakteri yang umumnya menyebabkan
keadaan ini adalah: Pasteurella spp dan Actinomyces pyogenes
sedangkan pada babi adalah: Pasteurella multocida dan
Actinobacillus pleuropneumonia. Selain itu ada beberapa
spesies bakteri seperti B bronchiseptica, Streptococus spp, E
coli dan beberapa spesies mycoplasma, sebagai penyebab
infeksi sekunder.
Bronkopneumonia supurativa juga disebut pneumonia
lobularis karena distribusi lesi pada bronkopneumonia
supurativa tipikal pada lobulus, pola ini sangat jelas nampak
pada sapi dan babi, karena kedua jenis hewan tersebut sangat
jelas lobulasi paru-parunya. Secara makroskopik perubahan
yang dapat diamati adalah konsolidasi irregular pada bagian
kranioventral. Konsolidasi ini warnanya bervariasi dari
merah kehitaman sampai abu-abu tergantung pada tingkat
kekronisan dari lesinya. Pada fase akut paru-paru berwarna
merah akibat hiperemi, pada fase sub akut eksudat purulen dan
kolapnya alveoli mengakibatkan paru-paru berwarna pink
keabu-abu an dan pada fase kronis warnanya akan menjadi
abu-abu.
Secara mikroskopik pada tahap awal ditemukan sel
neutrofil, berbagai sel seperti: debris, mukus, fibrin dan
makrofag pada daerah bronkiolus dan alveoli yang terdekat,
epitel bonkiolus bervariasi dari nekrotik sampai hiperplastik.
Bronkopneumonia yang parah menyebabkan kematian akibat
kombinasi hipoksemia dan toksemia. Resolusi yang
sempurna dapat terjadi, jika agen penyebab dihilangkan,
dimana dalam kurun waktu 7-10 hari eksudat seluler dapat
dihilangkan dari paru-paru oleh mekanisme mucocilliary
escalator sehingga persembuhan secara sempurna akan terjadi
dalam waktu 4 minggu. Dalam situasi dimana infeksi bersifat
persisten bronkopneumonia supurativa akan menjadi kronis
dimana akan terjadi hiperplasia sel goblet disertai dengan
hiperplasi BALT disekitar dinding bronkus, yang disebut
juga dengan cuffing pneumonia .
Jika bronkopneumonia supurativa dibiarkan berlarut-larut
akan terjadi sequelae berupa atelektasis, emfisema,bronkiektasi
yang menjadi asbes atau sequester dan adhesi pleura.
Bronkopneumonia fibrinosa (P. lobaris)
Peradangan yang terjadi pada seluruh lobus paru-paru
atau hampir sebagian besar dari lobus. Karena distribusi lesi
yang mencapai sebagian besar lobus maka bronkopneummonia
fibrinosa juga disebut p. lobaris. Distribusi Lesi yang
meluas adalah akibat proses radang yang sangat hebat dan
biasanya disebabkan mikroorganisme yang sangat virulen pada
hewan yang sangat buruk mekanisme pertahanan paru-parunya.
Salah satu contohnya pada hewan adalah bronkopneumonia
fibrinosa yang disebabkan oleh Pasteurella haemolytica, pada
sapi yang stres karena transportasi dan sering juga karena
punya predisposisi infeksi virus pada saluran pernafasan.
Selain akibat infeksi P haemolytica, kadang-kadang bisa juga
disebabkan oleh Haemophilus somnus pada ruminansia,
Haemophilus spp dan Actinobacillus pleuropneumonia
(porcine pleuropneumonia) pada babi. Pada kucing dan babi
kadang-kadang bronkopneumonia fibrinosa bisa juga
disebabkan oleh P multocida Penyebab lain pada hampir
seluruh spesies hewan adalah aspirasi dari cairan asing atau
kandungan lambung ke dalam paru-paru. Komplikasi yang
ditimbulkan oleh bronkopneumonia fibrinosa lebih sering
terjadi dan lebih serius dibandingkan dengan bronkopneumonia
supurativa. Kematian yang ditimbulkan biasanya disertai
dengan pleuritis dan kadang-kadang disertai dengan
pericarditis. Peritonitis bisa muncul akibat adanya
penyebaran penyakit secara hematogen. Komplikasi lain yang
sering ditemukan adalah endokarditis, polyartritis fibrinosa,
meningitis dan ikterus hemolitika.
Secara makroskopik perubahan yang umum adalah
kongesti berat dan perdarahan, sehingga paru-paru nampak
kemerahan. Akumulasi eksudat berfibrin pada pleura
mengakibatkan terbentuknya lapisan kekuningan yang tebal.
Mengingat ada kecenderungan lapisan fibrin ditemukan pada
pleura maka pathologist juga menggunakan istilah
pleuropneumonia sebagai sinonim dari bronkopneumonia
fibrinosa
Karakteristik mikroskopik dari bronkopneumonia
fibrinosa adalah adanya eksudasi plasma protein kedalam
bronkiolus dan alveoli sehinggga kebanyakan rongga udara
berisi fibrin. Fibrin bersifat kemotaksis terhadap netrofil,
sehingga netrofil selalu ditemukan pada daerah yang
mengalami perdangan fibrinosa (Gambar 6.3).. Jika infeksi
melanjut maka eksudat menjadi fibrinocellular dimana selain
fibrin dan netrofil ditemukan juga makrofag dan debris. Pada
tahap yang lebih kronis fibroblas juga ikut menginfiltrasi
membentuk plak fibrovascular.
Pneumonia Interstitialis
Adanya peradangan pada daerah septa alveolar dan di
dalam jaringan ikat peribronkial dari paru-paru, yang disertai
dengan respons eksudatif dan proliferatif dari dinding alveolus.
Secara PA perubahan tidak jelas terlihat, uji apung negatif.
Secara mikroskopik terlihat penebalan septa alveoli akibat
infiltrasi sel radang, penambahan jaringan ikat pada daerah
septa interalveolar dan septa interlobuler dan proliferasi epitel
alveoli Pnumonia Interstitialis akut sering ditemukan pada
penyakit distemper (Gambar 6.4), salmonellosis dan pada
parasitisme akut oleh cacing paru-paru atau migrasi larva
ascaris. Pneumonia interstitialis yang kronis sering ditemukan
pada penyakit TBC dan Histoplasmosis.
Pneumonia Gangrenosa
Merupakan komplikasi dari paru-paru dimana terjadi
nekrosis yang sangat hebat dari parenkim paru-paru.
Biasanya dapat dilihat pada sapi sebagai akibat adanya
penetrasi benda asing dari retikulum. Kejadian ini bisa juga
diakibatkan oleh adanya aspirasi benda asing yang disertai
dengan bakteri yang bersifat saprofit dan putrefaktive (bakteri
yang mempunyai kemapuan melarutkan jaringan yang sudah
mati). Paru-paru berwarna kekuningan sampai hijau
kehitaman yang disertai dengan bau yang khas.
Rongga-rongga terbentuk dengan cepat dan dapat meluas
sampai ke pleura. Jika rongga gangrene meluas sampai ke
pleura maka akan terjadi empyema dengan pneumothorax,
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia yang disebabkan oleh aspirasi benda asing,
biasanya dalam bentuk cair yang mencapai paru-paru melalui
jalan udara.
Tumor
Tumor primer pada paru-paru hewan lebih jarang
dibandingkan dengan tumor primer pada orang. Tumor
paru-paru hewan kebanyakan akibat metastase dari tempat lain.
Metastase ke paru-paru dari tempat lain, bisa secara limfogen,
hematogen, transplantasi dan lain-lain.
BAB VII
PNEUMONIA INFEKSIUS SPESIFIK
A B
Adenovirus BALT
Bordetella
Aerobiologi bronchiseptica
Airbone Bronkiektasi
Airogen Bronkiolitis
Alveoli Bronkitis
Bronkointerstitialpneu
Amiloid monia
Amiloidosis Bronkopneumonia
Asbestos Bronkus
Asbestosis Burlkholderia mallei
Asfixia
Aspergilus
Aspirasi
Atelektasi
AV
C D
Cuffing Debris
Clara Degeneratif
Cryptococcus Deposisi
Crycoarytenoid Desiliasi
Cyanosis Difteri
Dirofillaria
Dispnea
Distemper
Dorsal
E F
Eksudasi Fibrin
Embolik Fibroblast
Endokarditis Fibrinosa
Epidemiologi Fibrosarkoma
Enzootik Fever
G H
Gangren Haemophilus
Gangrenosa Haemolitica
Goblet Hepatisasi
Granuloma Hemoragi
Granulomatosa Heaves
Hiperemi
Hidroperikard
I J
IBR Jaringan 37
Imunodefisiensi Jejas
Infark Jantung
Interstitialis
Intrinsik
Interlobuler
K L
Kortikosteroid Laring
Kranioventral Lateral
Kupfer Limfogen
Kalsifikasi Lober
Lobularis
M N
Malleus ND
Melioidosis Necroforum
Metaplasia Necrobasilosis
Metastase Nekrotik
Mukosiliaris
Mukus
Mineralisasi
O P
Oculonasal Parabronkus
Parabronkus
Paranasal
Pasteurellosis
Pneumosistis carinii
Pneumosit
Putrefaktive
Pleuropneumoni
R S
Rhinitis Saprofit
Roar Seluler
Retrofaringeal Sequelae
Retikulum Serus
Resolusi Sinusitis
Splenisasi
Sreptokokus
T U
TBC Uremik
Tonsil
Trakea
Trakeobronkus
Trombosis
Toksemia
Timfani
Profil Penulis