Anda di halaman 1dari 4

INTERNALISASI NILAI-NILAI HUMANISME

DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN YANG UNGGUL DI TAHUN 2025

Keaneragaman agama, budaya, bahasa, ras, suku, adat istiadat dan sebagainya merupakan jati diri
dari bangsa Indonesia. Namun, di era sekarang gejala dekulturisasi atau pemudaran budaya lokal dalam
berbagai bentuk semakin mengkhawatirkan. Hal ini dibuktikan dengan semakin maraknya westernisasi yang
bergesekan langsung dengan budaya lokal terutama mengenai adab atau moral.

Pada era globalisasi ini perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang begitu pesat,
teknologi informasi serta komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya
budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak
sesuai dengan kebudayaan kita dan dapat merusak ketahanan nasional, karena mempercepat dekulturisasi
yang bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan masyakat Indonesia yaitu keramahan, kesopanan dan
kesantunan. Hal itu di buktikan juga dengan arus kebudayaan yang datang dari barat semakin gencar
mewarnai sistem kehidupan sosiokultural masyarakat indonesia. Di perparah lagi dengan adanya
kecenderungan sebagai generasi muda yang berkiblat kepada kebudayaan barat. Keadaan akan tampak
semakin konkret ketika kita mencoba melihat fenomena yang ada di kalanagan mahasiswa seperti
individualisme, kemalasan serta kurang keramahan individu terhadap lainnya.

Di tengah pusaran pengaruh hegemoni global tersebut, fenomena yang terjadi juga telah membuat
budaya lokal serasa kehilangan gerak. Selain itu juga membuat menipisnya pemahaman remaja mengenai
kesopanan dan kesantunan individu di dalam masyarakat. Kini banyak sikap acuh tanpa keramahan dari
remaja terhadap masyarakat hal itu tidak sesuai dengan masyarakat indonesia yang dikenal sebagai
masyarakat teramah. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas kita untuk mengupayakan bagaimana caranya
agar sikap ramah yang menjadi nilai moral baik itu keramahan, kasopanan maupun kesantunan tertanam dan
terjaga kepada generasi muda di era milenial.

Dengan penanaman sikap humanisme di masyarakat maka kita dapat optimis akan terjaganya sikap
keramahan, kesopanan dan kesantunan yang mampu memberi makna bagi kehidupan bermasyarakat di
kampus.

Implementasi teori humanisme di perguruan tinggi


Aplikasi teori humanisme dalam perkuliahan cenderung mengarahkan mahasiswa untuk berfikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses
perkuliahan. Oleh sebab itu dosen harus dapat menentukan langkah-langkah pembelajaran yang mengacu
pada aspek tersebut. Adapun contoh langkah kongkrit yang bisa dijadikan bahan pertimbangan oleh dosen
adalah :
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2. Menentukan materi pelajaran.
3. Mengidentifikasi kemampuan awal mahasiswa.
4. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan mahasiswa secara aktif melibatkan diri dalam
proses pembelajaran.
Kemudian implementasi dari teori humanisme dalam pembelajaran itu dapat kita lihat dengan
beberapa model pembelajaran yang telah digunakan pada beberapa lembaga pendidikan. Dalam makalah ini
penulis hanya memaparkan tiga model pembelajaran yang berkaitan dengan implementasi teori humanisme,
yaitu Confluent Education, Open Education dan Cooperative Learning.
1) Confluent Education
Confluent Education adalah pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman-
pengalaman afektif dengan belajar kognitif di dalam kelas. Hal ini merupakan cara yang bagus sekali untuk
melibatkan para mahasiswa secara pribadi di dalam bahan pelajaran.
Sebagai contoh misalnya, dosen juruan Bahasa dan Sastra Indonesia memberikan tugas kepada para
mahasiswa untuk membaca sebuah novel yang berjudul Azab dan Sengsara. Melalui tugas itu, mahasiswa-
mahasiswa tidak hanya diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan baik tetapi juga memperoleh
kesadaran antar pribadi yang lebih baik dengan jalan dosen membahas nilai-nilai yang terkandung dalam
novel tersebut. Sehingga mahasiswa tahu bagaimana seharusnya bersikap dalam kehidupan sehari-hari.
2) Open Education
Open Education adalah proses pendidikan terbuka. Menurut Walberg dan Tomas(1972), Open
Education itu memiliki delapan kriteria, yaitu:
a) Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan yang diperlukan untuk belajar tersedia, para
mahasiswa bergerak bebas di sekitar ruangan, tidak dilarang berbicara, tidak ada pengelompokkan atas dasar
tingkat kecerdasan.
b) Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat, artinya menggunakan bahan buatan mahasiswa, dosen
menangani masalah-masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan mahasiswa
yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.
a) Mendiagnosa pristiwa-pristiwa belajar, artinya mahasiswa-mahasiswa memerikasa pekerjaan mereka
sendiri, dosen mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
b) Pengajaran, yaitu pengajaran individual, tidak ada tes ataupun buku kerja.
c) Penilaian, wujudnya: dosen membuat catatan, penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes
formal.
d) Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya dosen menggunakan bantuan orang lain, dosen
bekarja dengan asisten dosennya.
e) Persepsi dosen sendiri, artinya dosen mengamati semua mahasiswa untuk memantau kegiatan mereka.
f) Asumsi tentang para mahasiswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah, para
mahasiswa asyik melakukan sesuatu.
g) Meskipun pendidikan terbuka memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk bergerak secara
bebas di sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan dosen tetap
diperlukan.
3) Cooperative Learning
Cooperative Learning atau belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk menigkatkan
dorongan berprestasi mahasiswa. Menurut Slavin (1980) Cooperative Learning mempunyai tiga karakteristik:
1. Mahaiswa bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4-6 orang anggota), komposisi ini tetap selama
berminggu-minggu.
2. Mahasiswa didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik atau
dalam melakukan tugas kelompok.
3. Mahasiswa diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.

Adapun teknik Cooperative Learning itu ada empat macam, yaitu:


1. Team-Games-Tournament.
Dalam teknik ini mahasiswa yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda-beda disatukan dalam tim
yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota. Setelah dosen menyajikan bahan, tim lalu mengerjakan
lembaran-lembaran kerja, saling mengajukan pertanyaan, dan belajar bersama untuk persiapan menghadapi
turnamen atau pertandingan, yang biasanya diselenggaran sekali seminggu. Dalam turnamen itu ditentukan
beranggotakan tiga orang mahasiswa untuk bertanding melawan mahasiswa-mahasiswa yang
kemampuannya serupa (atas dasar hasil minggu sebelumnya). Hasilnya mahasiswa-mahasiswa yang prestasi
paling rendah pada setiap kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh poin bagi timnya
sebagai mahasiswa yang berprestasi paling tinggi.
2. Student Teams-achievement Divisions.
Teknik ini juga menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai lima anggota tetapi kegiatan turnamen
diganti dengan saling bertanya selama lima belas menit, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terlebih dahulu
disusun oleh tim, skor-skor yang tertinggi memperoleh poin lebih dari pada skor-skor yang lebih rendah,
kecuali itu juga digunakan “skor perbaikan”.
3. Jigsaw.
Dalam teknik ini mahasiswa dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan
pelajaran dibagikan kepada anggota-anggota tim, kemudian mahasiswa-mahasiswa tersebut mempelajari
bagian mereka masing-masing bersama-sama dengan anggota-anggota dari tim lain yang memiliki bahan
yang sama. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing dan mengajarkan bagian-bagian
yang telah dipelajari bersama-sama dengan anggota tim lain itu kepada anggota-anggota timnya sendiri.
Akhirnya, semua anggota tim dites mengenai seluruh bahan pelajaran.
Sebagai contoh misalnya dosen menetapkan tujuan yang menuntut para mahasiswa mempelajari
kurikulum. Guru kemudian membagikan bahan tersebut menjadi empat atau lima bagian terganting pada
banyaknya anggota tim. Kemudian para siswa belajar bersama-sama dengan anggota tim lain yang menerima
bahan yang sama. Setelah itu mereka kembali dan mengajarkannya pada anggota timnya sendiri. Tujuannya
adalah agar setiap tim mempelajarai seluruh bahan kurilkulum.
4. Group Investigation.
Group Investigation adalah teknik dimana mahasiswa bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil untuk
menangani berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi-bagi tugas tersebut menjadi sub topik-
sub topik, kemudian setiap anggota kelompok melakukan kegiatan-kegiatan meneliti yang diperlukan untuk
mecapai tujuan kelompok. Setelah itu setiap kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas. Dalam
metode ini, hadiah atau poin tidak diberikan.
Demikianlah sekilas tentang keempat teknik Cooperative Learning itu. Menurut hemat penulis, ternyata
Cooperative Learning itu pada umumnya mempunyai efek positif terhadap prestasi akademik. Keberhasilan
Cooperative Learning bergantung pada kemampuan mahasiswa berinteraksi di dalam kelompok.

Anda mungkin juga menyukai