Anda di halaman 1dari 7

A.

PENDAHULUAN
Kebudayaan, agama, dan adat istiadat erat kaitannya dengan kehidupan manusia.
Baik dalam keadaan sendiri maupun saat bersosialisi dengan orang lain. Ketiganya
sangat erat hubungannya. Pelaksanaan agama bisa dipengaruhi oleh kebudayaan dan
adat istiadat daerah setempat. Hubungan antara kebudayaan, agama, dan adat istiadat
dalam pelaksanaannya di kehidupan manusia dapat dijelaskan dengan sederhana
yaitu, manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya yang dapat dipengaruhi
oleh unsur-unsurkebudayaan, agama, dan adat istiadat di daerah atau lingkungan
tempat dia tinggal.seperti saat dia berbicara atau melakukan suatu kegiatan, misalnya
makan, minum dan juga saat dia berjalan. Dalam pelaksanaan kegiatan beragama
tidak bisa dihindarkan dari unsur-unsur di atas.
Beberapa mitos yang terdapat dalam masyarakat mengenai pernikahan, yaitu
pengantin laki-laki dan perempuan tidak boleh mandi, karena mitos akan terjadi hujan
ketika pasangan pengantin mandi pada hari pernikahannya. Larangan mandi tersebut
harus dilakukan mulai acara akad sampai resepsi pernikahan.
Selain itu, mitos yang dipercaya masyarakat adalah pengantin perempuan tidak
boleh membantu kegiatan didapur ketika masa pernikahannya, karena akan berakibat
makanan tersebut cepat basi dan rasanya tidak enak. Maka pengantin perempuan tidak
boleh membantu untuk menyiapkan hidangan-hidangan makanan untuk tamu ketika
akad sampai resepsi pernikahan.
Dari mitos diatas, menjadi adat atau kebiasaan bagi masyarakat kejawen ketika
terdapat acara pernikahan. Jika di relasikan atau dihubungkan dengan agama, adat
masuk pada sumber hokum islam yang dkenal dengan sebutan ‘urf.
‘Urf secara makna harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang telah dikenal manusa dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkaannya. Dan urf diatas masuk dalam kategori urf
hasanah atau dengan kata lain tidak melanggar atau menympang syariat islam.
B. PEMBAHASAN

1. Sistem Relasi dalam Antropologi Hukum


Ketika manusia mengasumsikan bahwa alam dan budaya merupakan elemen yang
berbeda,namun kedua elemen tersebut memiliki kaitnya erat yang sulit dipisahkan. 1
Dalam pernyataan tersebut menimbulkan spekulasi bahwa budaya mengacu kepada
hal yang dipelajari manusia bukan hal yang dilakukan manusia atau bisa disebut juga
mempelajari apa yang dipelajari manusia.Pada akhirnya, budaya identik dengan
kebiasaan turun temurun seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum,
dan adat istiadat.2
Alam dan Budaya tak terpisahkan dalam ranah kajian antropologi. Kompleksnya
kehidupan manusia yang terbelenggu oleh sekitarnya terutama lingkungan sosial dan
alam, memberikan kontribusi terhadap kemajuan-kemajuan perilaku manusia yang
membentuk konsep-konsep kebudayaan.Manusia yang memiliki sifat alamiah atau
bawaan akan membuat manusia mempelajari apa yang dilihat dan dipikirkan dalam
pengaruh sifat alamiah tersebut. Sifat alamiah tersebut terproses tanpa disadari dan
membangun tingkah laku yang dipelajari hingga membentuk kebudayaan.
Manusia berada didalam kehidupan alam dan alam berada didalam kehidupan
manusia. Begitulah timbal-balik yang terjadi dalam proses kehidupan yang
semestinya dibangun dalam pondasi kesatuan yang utuh dalam pencapaian
keselarasan hidup sehingga dipelajarinya alam dan budaya membantu dalam
memberikan pencitraan keindahan hidup manusia yang berjalan dengan adanya alam.
Tatanan kehidupan manusia tidak akan terwujud tanpa adanya belajarnya manusia
kepada alam.

2. Sistem Adat
Sebagaimana dipahami, bahwa eksistensi hukum adat sangat penting dalam suatu
masyarakat pluralistik. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah
harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa
Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan

1 Keesling, Roger M. 1981. Antropologi Budaya; Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta:


Erlangga Hal 68

2 Saiffudin, A.F. 2006. Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kristis Mengenai


Paradigma. Jakarta: Kencana Hal 21
(custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda
dengan kebiasaan.3 Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan
tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu.
Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah
laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama
dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan
dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua
institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur
perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi
sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.4
Hukum Adat sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen,5 yaitu
a. Struktur sistem hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga
pembuat undang undang (Tetua Adat atau Kepala Suku), institusi pengadilan
(Balai Adat) dengan struktur berfungsi sebagai penegak hukum;
b. substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa norma-
norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku
masyarakat yang berada dibalik sistem hukum; dan
c. budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-
harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku
masyarakat dalam mempersepsikan hukum.
Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang
menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya
juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu
untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung
pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions),
dan norma-norma informal (informal norms) yang diciptakan dan
dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan.6

3. Sistem Agama/ Religi

3 Bohanan, Paul (Ed), Law and Warfare, Studies in the Anthropology of Conflict, The
Natural History Press, New York, 1967. Hal 39

4 Ibid, Hal 95

5 Friedman, Law, W.W. Norton & Company, New York, 1984 Hal 13

6 Ibid, Hal 14
Unsur-unsur khusus dalam rangka sistem religi adalah emosi keagamaan,
sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan umat yang menganut religi itu.
Yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah segala sesuatu yang dilakukan
oleh manusia karena adanya dorongan religi, getaran hati yang mengajaknya
untuk melakukan suatu hal. Sedangkan sistem kepercayaan maksudnya adalah
siapa yang dipercayai oleh suatu masyarakat. Biasanya antropolog tertarik dengan
konsepsi tentang dewa baik dan jahat, dewa yang kuat dan lemah, dan lain
sebagainya. Atau tentang terciptanya alam semesta dan konsepsi tentang dunia
roh, akhirat, dsb.
Upacara-upacara keagamaan telah menjadi salah satu bahan yang dieliti
dalam ilmu antropologi. Para etnografi yang datang ke suatu suku bangsa
tertentu, akan tertarik terhadap upacara keagamaan karena hal-hal yang dilakukan
oleh suku bangsa tersebut sangat berbeda dengan upacara keagamaan yang
dilakukan dalam agama bangsa Eropa. Sehingga hal itu dianggap aneh dan
akhirnya menarik perhatian.7
Kemudian sistem upacara keagamaan adalah bagaimana cara mereka
menyembah hal yang mereka sembah. Yang diteliti oleh para antropolog biasanya
adalah di mana tempat ritualnya dilaksanakan, kapan ritual itu diadakan, apa saja
yang harus dipersiapkan dalam ritual tersebut, dan siapa yang mengikuti serta
yang memimpin ritual itu.
Umat yang menganut religi tersebut biasanya yang menjadi perhatian
antropolog adalah hubungan antar sesama, hubungan antara pengikut dengan
pemimpinnya, cara bergaul ketika dalam ritual dan di luar ritual. Serta, kewajiban
dan hak pemimpin dan pengikutnya.8

4. Sistem Kepercayaan
Dalam sistem keyakinan yang membantu untuk membangun sistem religi yang
kuat dalam suatu masyarakat, pengembangannya pada zaman dahulu melihat konsepsi
dewa-dewa yang tertinggi; terciptanya alam semesta dan konsep hidup dan mati yang
menggali keyakinan sedalam-dalamnya hingga konsep dunia roh dan dunia akhirat.
Dengan konsep-konsep inilah, sistem keyakinan makin diperkuat dan mendorong
emosi keagamaan muncul dalam setiap aktivitas manusia dan pada akhirnya, sistem
7 Koentjaradiningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 375

8 Ibid, Hal 376


religi menjadi kokoh karena getaran jiwa pada manusia membuat mereka beraktivitas
yang bersifat religi.9 Disamping itu, ketika keyakinan terbentuk maka, dorongan-
dorongan melakukan upacara keagamaan karena biasanya upacara keagamaan
mengandung suatu rangkaian yang terdiri aspek-aspek seperti berikut : dalam
Koentjaradiningrat, yakni aspek pertama yang berhubungan dengan tempat-tempat
keramat dimana upacara dilakukan, yaitu makan, candi, pura, kuil, gereja, langgar,
surau, masjid dan sebagainya. Aspek kedua, aspek mengenai saat-saat beribadah, hari-
hari keramat dan suci dan sebagainya. Kemudian, aspek ketiga, mengenai benda-
benda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan
dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng,seruling suci, genderang suci, dan
sebagainya. Pada aspek keempat, aspek mengenai para pelaku upacara keagamaan,
seperti para pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain. Dalam pernyataan ini,
upacara keagamaan dianggap kegiatan sakral untuk memenuhi sistem keyakinan
melalui aspek-aspek tersebut. Jika hal ini mempengaruhi bukan sekedar satu orang
saja melainkan, banyak orang menjadikan sistem religi bertahan didalam kehidupan
manusia.
Dari uraian diatas, tampak juga bahwa sistem religi memiliki kecenderungan
yang sama terhadap ilmu ghaib.Hal ini mengakibatkan terdorongnya manusia untuk
melakukan kebaikan dengan meyakini konsep-konsep yang telah dijelaskan
sebelumnya (salah satunya konsepsi hidup dan mati). Sedangkan ilmu ghaib lebih
cenderung meyakini hal-hal yang diluar kemampuan batas manusia sebagai elemen
yang dapat memenuhi keinginan atau mencapai suatu maksud dari manusia sehingga,
nilai keikhlasan melakukan hal tersebut bersifat fiktif. Meski unsur-unsur ritualnya
hampir menyerupai namun, keyakinan yang terbentuk itulah yang menjadi tolak ukur
perbedaan diantara keduanya.10

9 Ibid, Hal 379

10 Ibid, Hal 378


C. PENUTUP
Alam dan Budaya tak terpisahkan dalam ranah kajian antropologi. Kompleksnya
kehidupan manusia yang terbelenggu oleh sekitarnya terutama lingkungan sosial dan
alam, memberikan kontribusi terhadap kemajuan-kemajuan perilaku manusia yang
membentuk konsep-konsep kebudayaan.Manusia yang memiliki sifat alamiah atau
bawaan akan membuat manusia mempelajari apa yang dilihat dan dipikirkan dalam
pengaruh sifat alamiah tersebut. Sifat alamiah tersebut terproses tanpa disadari dan
membangun tingkah laku yang dipelajari hingga membentuk kebudayaan.
Sebagaimana dipahami, bahwa eksistensi hukum adat sangat penting dalam suatu
masyarakat pluralistik. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah
harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa
Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan
(custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda
dengan kebiasaan.
Sistem Religi adalah bagaimana cara mereka menyembah hal yang mereka
sembah. Yang diteliti oleh para antropolog biasanya adalah di mana tempat ritualnya
dilaksanakan, kapan ritual itu diadakan, apa saja yang harus dipersiapkan dalam ritual
tersebut, dan siapa yang mengikuti serta yang memimpin ritual itu.
Dalam sistem keyakinan yang membantu untuk membangun sistem religi yang
kuat dalam suatu masyarakat, pengembangannya pada zaman dahulu melihat konsepsi
dewa-dewa yang tertinggi; terciptanya alam semesta dan konsep hidup dan mati yang
menggali keyakinan sedalam-dalamnya hingga konsep dunia roh dan dunia akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Keesling, Roger M. 1981. Antropologi Budaya; Suatu Perspektif Kontemporer.

Jakarta: Erlangga.

Saiffudin, A.F. 2006. Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kristis

Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.

Bohanan, Paul (Ed), Law and Warfare, Studies in the Anthropology of Conflict,

The Natural History Press, New York, 1967.

Friedman, Law, W.W. Norton & Company, New York, 1984.

Koentjaradiningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai