Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hadis tahlili
Dosen Pengampu
K. Naf’an
Disusun oleh:
Ahmad Ma’mun
NIM 2017.01.01.719
B. Rumusan Masalah
A. Al-Hadits
،ٍس ِعيد َ َس ِم ْعتُ يَ ْحيَى بْن َ : قَا َل،ب َ ُ َحدَّثَنَا َع ْبد،ٍس ِعيد
ِ الو َّها َ َحدَّثَنَا قُت َ ْيبَةُ ب ُْن
،ي ٍ َّس ِم َع َع ْلقَ َمةَ بْنَ َوق
َّ ِاص اللَّ ْيث َ ُ أَنَّه،يم
َ أ َ ْخ َب َر ِني ُم َح َّمدُ ب ُْن ِإب َْرا ِه:َُيقُول
سو َل ُ س ِم ْعتُ َر َ :ُ َيقُول،َُّللاُ َع ْنه َّ ي َ ض ِ ب َر َّ ع َم َر بْنَ الخ
ِ َطا ُ ُس ِم ْعتَ :َُيقُول
ئ َماٍ َو ِإنَّ َما ِِل ْم ِر، « ِإنَّ َما األ َ ْع َما ُل ِبالنِيَّ ِة:ُسلَّ َم يَقُول
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َّ
َ َِّللا
،سو ِل ِه َّ فَ ِه ْج َرتُهُ إِلَى،سو ِل ِه
ُ َّللاِ َو َر َّ َت ِه ْج َرتُهُ إِلَى
ُ َّللاِ َو َر ْ فَ َم ْن َكان،ن ََوى
فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى َما،صيبُ َها أ َ ِو ا ْم َرأ َ ٍة َيت َزَ َّو ُج َها
ِ َُت ِه ْج َرتُهُ ِإلَى دُ ْن َيا ي
ْ َو َم ْن َكان
هَا َج َر ِإلَيْه
”Diceritakan dari Qutaibah bin Sa’id, diceritakan dari Abdul Wahhab dia
berkata: aku mendengar Yahya bin Sa’id berkata: Muhammad bin Ibrahim
telah memberi khabar kepadaku bahwasanya dia mendengar Alqomah bin
Waqqos Al-Laitsi berkata: aku mendengar Umar bin Al-Khathab radhiyallahu
'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan bagi seseorang yaitu apa
yang diniatkannya. Maka barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang
hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”1
B. Bahtsu Al-fadzi
Lafadz اِلعمالmencakup terhadap setiap pekerjaan yang dilakukan oleh lisan dan
anggota tubuh yang lainnya,
Adapun lafadz النياتdengan menggunakan lafadz jama’ menunjukkan arti yang lebih
luas daripada sekedar menyengaja saja, melainkan berupa dorongan hati yang diakibatkan
oleh selarasnya sesuatu yang terlihat dengan tujuan yang ada, baik berupa menarik manfaat
maupun menolak mudhorot darinya. النيةsendiri memiliki arti kehendak yang ter-arah, seperti
1 Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori,(Dar Touq An-Najah, 1422.H) Juz.8 Hal.140
mengerjakan sesuatu untuk mengharapkan ridlo Allah dan tunduk terhadap hukumNya. Dan
lafadz إنماdidalam hadits tersebut berfaidah untuk mengokohkan dan membatasi pekerjaan
dengan niat, baik untuk menghasilkan tujuan agama maupun tujuan duniawi.2
Adapun lafadz الهجرةmemiliki arti meninggalkan suatu tempat menuju tempat lainnya
yang menjadi tujuannya, hijrah ialah memisahkan diri dari yang lainnya dengan
menggunakan badan, lisan, ataupun hatinya. Adapun penggunaan hijrah yang ditunjukkan
oleh syari’ memiliki arti meninggalkan tempat yang tidak aman menuju tempat yang aman
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sahabat ketika meninggalkan mekkah menuju
negeri habasyah, meninggalkan negara kafir menuju negara islam sebagaimana berhijrahnya
shahabat dari mekkah menuju madinah yang kemudian disusul oleh Rasulallah, dan juga
meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Adapun lafadz الدنياbentuk muannats dari lafadz األدنىyang diambil dari lafadz الدنو
dan inilah yang lebih dekat dengan benar. Ketika lafadz الدنياdisebut secara mutlak(tidak
dibatasi) maka memiliki arti kehidupan yang utama bagi manusia dan bagi para makhluq. 3
Menurut As-Suyuthi didalam menysarahi hadits tersebut menyebutkan bahwasanya didalam
lafadz إِنَّ َما األ َ ْع َما ُل بِالنِيَّ ِةpasti terdapat lafdz yang dibuang, yang mana lafadz tersebut
merupakan muta’allaq(tempat kembali) dari huruf jer ب
ِ yang terdapat didalam hadits diatas,
karena seyogyanya bagi huruf jer pasti memiliki muta’allaqnya masing-masing terkecuali
huruf jer yang zaidah.
Adapun perkiraan lafadz yang dibuang tersebut terdapat beberapa fariasi perkiaraan
dari beberapa pendapat yang ada. Ada yang memperkiran bahwa lafadz yang dibuang ialah
ت ُ ْعتَبَ ُر, ada juga yang memperkirakan dibuangnya lafadz َص ُّح
ِ ت, dan ada pula yang
memperkirakan lafadz ت َ ْك ُم ُل. dan hal-hal mengenai pembuangan ini akan berakibat terhadap
sebuah hukum yang akan ditimbulkan dari hadits tersebut.4
C. Asbab Al-Wurud
Zubair bin bakar didalam kitabnya yang berjudul Akhbar Al-Madinah berkata
“muhammad bin hasan Al-Harits menceritakan kepadaku dari ayahnya, dia berkata “ ketika
rasulallah sampai di madinah, para shahabat sedang dilanda penyakit tidak enak badan,
kemudian majulah seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan dari golongan
muhajirin, lalu Rasulallah duduk diatas mimbar kemudian beliau bersabda “wahai para
2
Muhammad Abdul Aziz bin Ali Asy-Syadzili, Al-Adab An-Nabawi,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah,1423.H) hlm.9
3
Ibid hlm.9
4
Jalaluddin As-Suyuthi, Hasyiyah As-Sindi fi Syarhi Sunan Al-Nasa’i,(Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1986) Juz.1 hlm.58-
59
manusia,sesungguhnya setiap segala sesuatu itu tergantung dari niatnya” sebanyak tiga kali
“Maka barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya itu Karena mencari dunia atau karena
seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”
kemudian Rasulallah mengangkat kedua tangannya seraya berkata “ Ya Allah, pindahkanlah
penyakit/wabah dari kami”5 Imam Tabhrani meriwayatkan dalam Mu’jam al-Kabir dengan
sanad yang kuat, diriwayatkan dari ibu mas’ud ia berkata: “ada seseorang diantara kami yang
melamar seorang wanita bernama Ummu Qais, namun ia menolak untuk menikah dengannya,
kecuali jika laki-laki tersebut mau berhijrah. Akhirnya, ia pun ia berhijrah lalu menikahinya,
karnanya, kami menamainya Muhajir Ummi Qois (Orang yang berhijrah karna Ummu
Qois).”6
D. Hukum Hadits
،ٍس ِعيد َ َس ِم ْعتُ يَ ْحيَى بْن َ : قَا َل،ب َ ُ َحدَّثَنَا َع ْبد،ٍس ِعيد
ِ الو َّها َ َحدَّثَنَا قُت َ ْيبَةُ ْب ُن
،ي ٍ َّس ِم َع َع ْلقَ َمةَ بْنَ َوق
َّ ِاص اللَّ ْيث َ ُ أَنَّه،يم
َ أ َ ْخبَ َرنِي ُم َح َّمدُ ب ُْن إِب َْرا ِه:ُيَقُول
سو َل ُ س ِم ْعتُ َر َ :ُ َيقُول،َُّللاُ َع ْنه َّ ي َ ض ِ ب َر َّ ع َم َر بْنَ الخ
ِ َطا ُ ُس ِم ْعتَ :َُيقُول
ئ َماٍ َو ِإنَّ َما ِِل ْم ِر، « ِإنَّ َما األ َ ْع َما ُل ِبالنِيَّ ِة:ُسلَّ َم َيقُول
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َّ
َ َِّللا
،سو ِل ِه َّ فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى،سو ِل ِه
ُ َّللاِ َو َر َّ َت ِه ْج َرتُهُ ِإلَى
ُ َّللاِ َو َر ْ فَ َم ْن َكان،ن ََوى
فَ ِه ْج َرتُهُ إِلَى َما،صيبُ َها أ َ ِو ْام َرأَةٍ يَت َزَ َّو ُج َها
ِ َُت ِه ْج َرتُهُ إِلَى دُ ْنيَا ي
ْ َو َم ْن َكان
هَا َج َر ِإلَيْه
5
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lam’u Fi Asbab Wurud Al-Hadits,(Maktab Al-Buhuts wa Al-Dirasah,1996) Hal.31
6
ibad
Syarh (penjelasan)
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab shahihnya sebagai mukaddimah
kitabnya, di sana tersirat bahwa setiap amalan yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah
Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat.
Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits ini sepertiga Islam. Mengapa
demikian?
Jawab:
Menurut Imam Baihaqi, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan
dan anggota badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut
dan yang paling utama.
Menurut Imam Ahmad adalah karena ilmu itu berdiri di atas tiga ka’idah, di mana
semua masalah kembali kepadanya, yaitu:
Pertama, hadits Innamal a’maalu bin niyyah (Sesungguhnya amal itu tergantung
niatnya).
Kedua, hadits Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd (Barang siapa
yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak).
Ketiga, hadits Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin (Yang halal itu jelas dan yang
haram itu jelas).”
Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya
tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat.
Niat secara istilah artinya keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya
di hati bukan di lisan. Menurut para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki dua makna:
Yakni apakah suatu amal ditujukan karena mengharap wajah Allah Ta’ala
saja (ikhlas) atau karena lainnya, atau apakah ia mengerjakannya karena Allah, juga karena
lainnya atau bagaimana.
Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada
amal.”
Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin kalau seandainya di antara fuqaha ada
yang kesibukannya hanya mengajarkan kepada orang-orang niat mereka dalam mengerjakan
suatu amal dan hanya duduk mengajarkan masalah niat saja.”
Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Katsir di atas bahwa niat lebih sampai
daripada amal, oleh karena itu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dapat mengungguli
orang-orang Khawarij (kelompok yang keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis
kafir pelaku dosa besar) dalam hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil
akan menjadi besar karena niatnya. Sehingga dikatakan “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq dan
sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya oleh
Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka dengan niatnya.”
2. Syarat diterimanya ibadah ada dua; ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), jika salah satunya tidak ada maka amalan tersebut
tertolak, ibarat burung yang butuh terbang dengan dua sayap.
3. Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya
seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan
shalatnya ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, demikian juga mengharapkan
ketentraman batin dan dada yang lapang.
4. Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’adat) menjadi ibadah.
Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada
dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak,
orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan,
ia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji
Allah, ia pun meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan keta’atan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain berkata, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal
Allah) itu perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang
‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barang siapa yang ingin amalnya menjadi
sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang
hamba jika ia memperbagus niatnya meskipun pada saat ia menyuap makanan.”
5. Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi keta’atan meskipun niatnya
baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya untuk membantu orang-
orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku
maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi
ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah
bukan yang haram.
6. Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah namun
ada juga tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi pahala keikhlasan.
Misalnya:
– Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
– Menunaikan ibadah hajji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk
melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
– Shalat malam di samping untuk beribadah kepada Allah sekaligus agar bisa lulus
ujian atau usahanya berhasil.
– Menjenguk orang sakit disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus agar ia
dijenguk pula jika sakit.
– I’tikaf di masjid disamping ibadah kepada Allah sekaligus agar ringan biaya
kontrak (sewa) tempat atau untuk melepas kelelahan mengurus keluarga.
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia bisa tidak
memperoleh balasan di akhirat, tetapi hanya memperoleh balasan di dunia, bahkan
dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya
karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Jawab: “Caranya adalah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah
saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju
kepada ibadah, dan bila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Jika ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, berniat untuk beribadah kepada
Allah dengan tujuan yang lain yang ternyata beratnya sama, maka menurut pendapat yang
lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa orang tersebut tidak mendapat apa-apa.
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:
Bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang
ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”.
(HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
7. Jika seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan
dunia. Misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar
digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam
syirk qasd (syirk dalam hal tujuan), juga terancam ayat:
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terjemah Huud: 15-16)
8. Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin
‘Iyaadh berkata, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena
manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk,
begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amalan karena manusia adalah riya’
juga.”
Wallahu A’alam
Daftar pustaka:
1. Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori,(Dar Touq An-Najah, 1422.H)
Juz.8 Hal.140
2. Muhammad Abdul Aziz bin Ali Asy-Syadzili, Al-Adab An-Nabawi,(Beirut: Dar Al-
Ma’rifah,1423.H) Hal.9
3. Jalaluddin As-Suyuthi, Hasyiyah As-Sindi fi Syarhi Sunan An-Nasa’i,(Maktab Al-
Matbu’at Al-Islamiyah, 1986) Juz.1 Hal.58-59
4. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lam’u Fi Asbab Wurud Al-Hadits,(Maktab Al-Buhuts wa
Al-Dirasah,1996) Hal.31