Anda di halaman 1dari 10

Jakarta, 2 Mei 2019

Kepada Yth
Serikat Pekerja PT. Pertamina Bina Medika
Dewan Pimpinan Cabang
Rumah Sakit Pusat Pertamina

q.q. Sudarto, SM.Ph., S.H.


di tempat

PERIHAL : LEGAL OPINI

Dengan hormat,
Menindaklanjuti pembahasan tentang permasalahan pekerja/karyawan Rumah Sakit
Pusat Pertamina (RSPP) yang beralamat di Jl. Kyai Maja No 43 Kebayoran Baru – Jakarta
Selatan, maka perkenankanlah saya R. Heru Noto Dewo, S.H., advokat dari kantor
hukum Heru & Co. Advocates & Legal Consultants menyampaikan pendapat hukum
(Legal Opinion) atas permasalahan hukum yang terjadi pada kantor bapak terkait dengan
salah satu status dari karyawan bapak yang diindikasi melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Adapun pendapat hukum yang kami buat adalah dengan
metode pendekatan secara yuridis dan fakta-fakta yang diperoleh yang kemudian kami
kaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

A. KRONOLOGIS
“Bahwa pada tanggal ………… Pukul ……… WIB pemilik akun facebook bernama Tetty
Sihombing melakukan update pada statusnya dengan redaksi sebagai berikut:

“Ahok kalah..pndukungnya gak ada yg gaduh, pd


hal semua rakyat tau kemenangan krn pake ayat
mayat, almaidah berjamaah dll cara kotor, ini
bapak Jokowi murni, asli Menang krn pilihan
rakyat sudah ditantang hadir bpn 02 kok gak hadir
( takut krn salah alias sebenarnya sudah tau kalah
hanya mau bikin rusuh aja tuuh..) , berarti emang
mnusia2 disana yg rasis dan radikal…Bebal
kalipun…

Pemilik akun facebook tersebut ternyata diketahui adalah seorang perawat yang terdaftar
dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) aktif di data karyawan
Rumah Sakit Pusat Pertamina dengan nama karyawan …………… Bahwa ternyata pemilik
akun facebook tersebut memiliki teman yang juga merupakan karyawan Rumah Sakit Pusat
Pertamina. Pernyataan itu kemudian diadukan oleh karyawan yang menjadi teman
facebooknya kepada manajemen Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Bahwa kemudian pihak Badan Dakwah Islam Rumah Sakit Pusat Pertamina menanggapi
postingan dari karyawan itu merupakan ujaran kebencian dan mengarah kepada hal yang
bersifat negative.
Bahwa ternyata pihak manajemen Rumah Sakit Pusat Pertamina menanggapi dan membahas
dalam pertemuan rutin pada hari …………… tanggal ……………… 2019. Dalam pertemuan
tersebut hadir manajemen dan pimpinan Rumah Sakit Pusat Pertamina, Serikat Pekerja dan
pihak perwakilan dari BDI RSPP. Pertemuan tersebut kemudian disampaikan bahwa pernah
ada karyawan yang melakukan hal yang sama, dan kemudian karyawan tersebut langsung
dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa terlebih dahulu peringatan kepada
karyawan tersebut dengan alasan bahwa tindakannya merupakan pelanggaran berat.

B. TARGET
Berdasarkan kronologis singkat di atas, maka target yang hendak dicapai adalah:
1. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang informasi
elektronik dan ketenagakerjaan.
2. Aspek hukum ketenagakerjaan atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian yang
dilakukan PKWTT.
3. Pengaturan dan ancaman pidana bagi pelaku penyebar ujaran kebencian di media
sosial
4. Penanganan pelanggaran pelaku ujaran kebencian di media social.

C. LEGAL STANDING
Bahwa berdasarkan kronologis dan target di atas, maka perlu diketahui bahwa kasus
posisi atas permasalahan hukum tersebut sebagai berikut:

Untuk menemukan solusi dari permasalahan hukum di atas maka perlu diketahui
terlebih dahulu bagaimana pengaturannya berdasarkan hukum peraturan
perundang-undangan yang berlaku termasuk asas-asas yang berlaku dalam bidang
tersebut.

1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) & SE Kapolri


6/2015
Dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225), R. Soesilo mengatakan bahwa
penghinaan ada 6 macam, yaitu:
1. Menista (smaad) terdapat di Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”);
2. Menista dengan surat (smaadschrift) ada di Pasal 310 ayat (2) KUHP;
3. Memfitnah (laster) terdapat di Pasal 311 KUHP;
4. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging) terdapat di Pasal 315 KUHP;
5. Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht) terdapat di Pasal 317 KUHP;
6. Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking) terdapat di Pasal
318 KUHP.
Sementara itu, berdasarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara
Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate
Speech) (“SE KAPOLRI 6/2015”) dijelaskan bahwa ujaran kebencian dapat
berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di
luar KUHP, yang berbentuk:
1. penghinaan;
2. pencemaran nama baik;
3. penistaan;
4. perbuatan tidak menyenangkan;
5. memprovokasi;
6. menghasut;
7. penyebaran berita bohong;

Dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada
tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Selanjutnya, bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas,
bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau
kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1. suku;
2. agama;
3. aliran keagamaan;
4. keyakinan/kepercayaan;
5. ras;
6. antargolongan;
7. warna kulit;
8. etnis;
9. gender;
10. kaum difabel (cacat);
11. orientasi seksual.

Untuk menjawab permasalahan hukum tersebut maka kami lakukan melalui


pendekatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).

Sebelumnya, perlu dibedakan antara diseminasi informasi yang bermuatan pencemaran


nama baik, serta yang berkaitan dengan SARA. Dalam UU ITE, ketentuan penghinaan
dan pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sedangkan ketentuan
SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2016, delik-delik tersebut dapat dilaporkan atau
diadukan kepada Penyidik POLRI atau kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Informasi
dan Transaksi Elektronik (“PPNS ITE”). Sanksi dapat dijatuhkan apabila pelaku
memenuhi seluruh unsur dan telah melalui proses peradilan pidana yang berdasarkan
pada ketentuan hukum acara pidana.

Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian Berdasarkan SARA di Media Sosial,
Delik Biasa atau Aduan?

Pasal yang mengatur mengenai penghinaan, pencemaran nama baik dan ujaran
kebencian berdasarkan SARA diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 28 ayat
(2) UU ITE:

Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diatur
dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yang berbunyi:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).

Kemudian ancaman pidana bagi orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU
ITE, adalah sebagaima diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Perlu dibahas pada topik ini bahwa banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat (3) UU ITE
merupakan delik biasa. Pemahaman ini keliru dari dua hal, yaitu dari segi esensi delik
penghinaan dan dari sisi historis.

Pertama, secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan


menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut
tercemar atau rusak.

Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan
konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau
rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang
bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif tentang
konten atau bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah
menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memberikan perlindungan
terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh
karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain.
Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban.

Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai obyektif terhadap konten.


Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan
pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-
kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan, ed.) konten. Oleh
karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli
bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Kedua, secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan
penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP. Dalam
KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan.

Sebelum adanya perubahan UU ITE, memang tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa
Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Tetapi setelah adanya perubahan,
ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU 19/2016 merupakan delik
aduan.

Selain itu sebelum adanya perubahan UU ITE perlu diketahui bahwa mengenai
penghinaan atau pencemaran nama baik ini sudah dinyatakan sebagai delik aduan juga
oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Putusan tersebut
mengenai penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam
pertimbangan Mahkamah Konstitusi Butir [3.17.1] dijelaskan:

Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf
terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan
dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang
mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga
diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga
Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht)
untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.

Sementara itu mengenai Pasal 28 ayat (2) UU ITE (ketentuan mengenai SARA) juga sudah
pernah diuji konstitusionalitasnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD
1945”) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013. Mahkamah
Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan
Konstitusi. Namun, dalam putusan MK sebagaimana dimaksud, tidak memberikan
penjelasan mengenai apakah ketentuan ini merupakan delik biasa atau delik aduan.

Selain itu dalam UU 19/2016 juga tidak menyebutkan apakah ketentuan mengenai SARA
yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan delik biasa atau delik aduan.
Menuru hemat kami secara a contrario, hal ini merupakan delik biasa karena hanya
ketentuan Pasa 27 ayat (3) UU ITE saja yang didefinisikan sebagai delik aduan
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU 19/2016, yaitu:

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor


2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana
umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan
dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.

Tentang penghinaan agama di Indonesia masih mengacu kepada UU No. 1/PNPS/1965


tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU
1/PNPS/1965”). Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyatakan:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang
dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-
kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 ini menyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk


oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu.
Namun, ini tidak berarti agama-agama lain seperti Yahudi, Zarazustrian, Shinto dan
Thaoism dilarang di Indonesia. Agama-agama ini tetap dijamin keberadaannya
sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, UU 1/PNPS/1965 –dalam Pasal 4- juga memasukan pasal baru ke dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yakni, Pasal 156a yang berbunyi:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

2. Hukum Ketenagakerjaan
Tenaga kerja dan pengusaha dalam melakukan hubungan hukum industrial
berpedoman pada 2 (dua) produk hukum yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (“UU 2/2004).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 012/PUU-1/2003 menjelaskan


bahwa keberadaan Pasal 158 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan -yang
memungkinkan perusahaan bisa langsung melakukan PHK buruh ketika
dianggap melakukan pelanggaran berat berupa tindak pidana- sudah dibatalkan
dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Artinya, buruh yang di-PHK karena dianggap melakukan pelanggaran berat,


harus dibuktikan terlebih dulu dengan putusan pidana. Perusahaan tidak boleh
mem-PHK sebelum mengantongi putusan itu. Selain putusan MK, Surat Edaran
Menakertrans bernomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 sebagai dasar argumennya.

Pada poin 3 huruf a Surat Edaran Menteri itu disebutkan bahwa pengusaha
yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan
berat (eks Pasal 158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan
hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Asas Hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Menurut Bagir Manan dalam bukunya Hukum Positif Indonesia (hal. 56),
sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A. A. Oka Mahendra berjudul
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, lex superior derogate legi inferiori
artinya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatannya, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih
tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Sedangkan lex specialis
derogate legi generalis adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna
bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang
umum.

Lebih jauh lagi, dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa ada beberapa prinsip yang
melihat pada ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa asas-asas tersebut berlaku
bagi peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) menyatakan bahwa jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain itu, menurut Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011, jenis Peraturan Perundang-
undangan selain dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Peraturan perundang-undangan dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 diakui


keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011).

Selain itu, kita juga bisa merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah
Minimum (“Permenaker 7/2013”).

Walaupun mengenai sanksi terhadap pelanggaran telah ditentukan sebelumnya dalam


perjanjian kerja bersama, akan tetapi harus diingat bahwa isi dari perjanjian itu sendiri
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 161 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan:

(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku
untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

D. REKOMENDASI
Berdasarkan penjabaran legal standing tersebut di atas, maka ada beberapa
rekomendasi hukum kepada pihak Serikat Pekerja (“SP”) Rumah Sakit Pusat
Pertamina sebagai berikut:
1. Pihak SP dapat memberikan saran kepada manajemen Rumah Sakit Pusat
Pertamina bahwa pekerja bermasalahan yang bersangkutan dapat dikenakan
sanksi berupa Surat Peringatan. (Pemberian Surat Peringatan harus secara
berturut-turut dan berdasarkan histori pelanggaran karyawan yang
bersangkutan);
2. Pihak SP harus menyampaikan bahwa setiap kebijakan yang akan dikeluarkan
dan dijalankan oleh manajemen Rumah Sakit Pusat Pertamina haruslah merujuk
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk menghindari
konsekuensi hukum lebih besar.
3. Pihak SP dapat menyampaikan kepada manajemen Rumah Sakit Pusat Pertamina
bahwa sanksi yang dapat diberikan dapat berlapis sebagaimana dinyatakan dalam
Perjanjian Kerja Bersmaa (“PKB”), yaitu:
- Surat Peringatan, atau ditambah dengan
- Mutasi, atau diatmbah dengan
- Demosi, atau ditambah dengan
- Skorsing.

E. KEMUNGKINAN YANG AKAN TERJADI


Kemungkinan yang akan terjadi bila:
1. Manajemen melakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak tanpa melalui
Surat Peringatan terlebih dahulu
Pekerja tidak menerima pemutusan hubungan kerja yang dinilai tidak
memberikan kesempatan kepadanya untuk memperbaiki diri, sehingga dapat
mengajukan bipartite yang pada akhirnya akan terus berlanjut pada rekomendasi
sudinakertrans sampai kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
2. Pemberian sanksi sebagaimana disampaikan dalam rekomendasi.
Pekerja akan memperbaiki dirinya dan menjadikan peristiwa hukum tersebut
sebagai hukuman dan pembinaan untuk lebih berhati-hati menggunakan media
social. Konsekuensi hukum dapat diminimalisir karena bersifat persuasive.

Demikian legal opini ini dibuat berdasarkan informasi dan data yang diperoleh.

Hormat kami,

Heru Noto Dewo, S.H.


Managing Partner
Heru Noto & Co. Advocates & Legal Consultants

Anda mungkin juga menyukai