Anda di halaman 1dari 9

"Utuh si Anak Kampung"

Ceritaku dimulai pada tahun 1975, tepatnya 29 Agustus 1975. Bermula dari sebuah kampung di
pedalaman Kalimantan Selatan. Sebuah kampung yang terisolasi dari kemajuan jaman dan sentuhan
pembangunan pemerintah. Kampung Pagat Batu Benawa namanya menjadi bagian dari kabupaten
huku sungai tengah. Sebuah kampong yang hampir semua penduduknya miskin secara ekonomi
karena dikampung ku mayoritas penduduknya adalah para petani yang tak memiliki lahan sendiri
Namun Pagat Batu Benawa merupakan sebuah kampong yang memiliki potensi alam yang indah.
Dimana udara masih teramat segar, pohon-pohon masih berdiri dengan penuh wibawa menghiasi
gunung sarigading yang menjulang tinggi, aliran sungai yang masih sangat bersih mengalir deras
disela-sela bebatuan. Semua itu tentu tak lepas dari kearifan lokal masyarakat yang setia menjaga
lingkungan.

Nama ku Utuh, aku adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara. Kedua kakaku dan adik ku
adalah seorang perempuan maka jadilah aku seorang anak tunggal laki-laki dalam keluargaku. Takdir
menunjuku terlahir dari keluarga yang serba kekurangan atau dalam kamus bahasa Indonesia biasa
disebut dengan miskin. Ayah dan ibuku adalah seorang petani yang sehari-harinya menggarap lahan
seorang tuan tanah bersama puluhan petani-petani lain di kampong ku. Dengan pekerjaan seperti
itu ditambah jumlah anggota keluarga sebanyak itu sudah bisa ditebak kehidupan keluarga ku
sangatlah sulit. Bahkan sering kali kami kehabisan beras untuk makan sehari-hari sehingga ayah
seringkali harus menelusuri hutan mencari ubi untuk makan sehari-hari kami. Namun aku tetap
bersyukur karena ditengah kekurangan secara ekonomi, aku dan keluarga ku tak pernah kekurangan
cinta dan kasih dalam keluarga.

Ditengah keadaan kampung yang terpinggirkan serta keluarga yang serba kekurangaan, ku jalani hari
ku tetap dengan senyum. Masa kecil kulalui dengan tawa ceria layaknya anak-anak yang bermain
bersama teman sebaya dan bahkan melakukan kenakalan-kenakalan yang biasa dilakukan oleh anak-
anak. Pagi hari aku bersama tman sebaya ku biasa ikut kesawah yidak untuk bekerja tentunya
melainkan untuk bermain. Disana kami sering berburu burung-burung yang terbang liar diatas
persawahan atau bertempur lumpur sawah. Dan di sore hari kami punya permainan yang hampi tiap
hari kami lakoni yaitu bahadang, bahadang adalah pemainan khas anak Kalimantan selatan dimana
ada dua tim yang saling berlawnan dengan jumlah anggota masing-masing tim sama banyaknya lalu
mereka memiliki sebuah tempat yang harus dijaga dan tidak boleh sampai disentuh oleh sang lawan,
biasanya tempat yang sering digunakan adalah sebuah batang pohon setiap tim saling serang,
berupaya untuk menyentuh tempat tim lawan peraturan dalam permainan itu apabila anggota tim
yang keluar dari tempatnya dan disentuh oleh anggota tim lawan yang keluarnya belakangan maka
anggota tim yang disentuh itu menjadi seorang tawanan dan bisa dilepaskan dngan cara kawan dari
tawanan tersbut menyentuhnya yang berpegangan pada tempat lawan dengan catatan si kawan
tersebiut tidak boleh tersentuh lawan., sedangkah tim yang dinyatakan menang adalah tim yang
paling banyak berhasil menyentuh tempat lawan. Oleh karena tempat itu harus dijaga agar lawan
tida bisa menyentuhnya maka disebutlah permainan itu dengan istilah bahadang yang dalam bahasa
Indonessia beranti menunggu/menjaga. Sungguh masa kecil yang sangat menyenangkann tentunya.

Tapi yang menyedihkan adalah kami tak kenal yang namanya sekolah, kami tak mengenal
pendidikan, tak tahu apa itu matematika, IPA, IPS, bahasa Indonesia, dan berbagai macam pelajaran
lain. Apalagi para orang tua kami, jangankan sekolah berbahasa Indonesia pun mereka tak bisa.
Menyedihkan memang..
Begituah aku, sama seperti kebanyakan anak pedalaman lain yang masih tak punya cita-cita, yang
masih tak punya mimpi. Yang ada dalam pemikiran ku adalah ketika nanti aku besar aku menjadi
seorang petani yang menggarap lahan milik orang lain seperti kedua orang tua ku. Hingga suatu hari
proyek pembangunan sekolah di daerah-daerah pedalaman menyentuh kampong ku. Di kampug ku
akan dibangun sebuah sekolah dasar.

Itulah mula perkenalan ku dengan penidikan, saat sebuah sekolah dasar yang dibangun dengan dana
dari pemrintah dan semangat gotong royong masyarakat sekitar yang rela menyumbangkan tenaga
mengankat kayu-kayu dan seng yang bakal menjadi dinding dan atap sekolah kami. Masyarakat
sekitar juga yang bekerja merancang bangunan sekolah tersebuh hingga tegak berdiri dengan gagah
ditengah kampung yang masih belum teraliri oleh listrik itu.

Sekolah itu berdiri di pertengahan tahun 1981 saat usiaku menginjak 6 tahun. Sekolah itu baru
memiliki dua kelas, satu kelas untuk belajar dan satu kelas yang lain untuk ruang guru. Sedangkan
sisa kelas-kelas yang belum dibangun dijanjikan akan dibangun setahun kemudian. Waktu itu
Gubernur Kalimantan Selata yang langsung meresmikannya sebagai sekolah pertama yang dibangun
dikawasan Pagat Batu Benawa dan berstatus negeri. Dan dua orang pahlawan tanpa tanda jasa
sengaja dikirim oleh pemerintah untuk mengajar disekolah itu serta seorang penduduk asli Batu
Benawa ditunjuk sebagai penjaga sekolah yang bertugas membukakan pintu sekolah. Sekolah itu lalu
di beri nama Sekolah Dasar Negeri Pagat Batu Benawa.

Bapak Anang dan Bapak Amat adalah dua orang pahlawan tanpa tanda jasa yang akan mengajar
murid-murid di sekolah itu. Mereka berasal dari ibu kota Provinsi ku yait Banjarmasin atau biasa
dikenal dengan kota seribu sungai karena banyak sungai-sungai mengalir di kota Selatan Kalimantan
ini. .Bapak Anang seorang pria muda berkacamata, rambut ikal tipis, denagan tinggi badan kurang
dari 165 cm mungkin hanya sekitar 160 cm beliau berusia 23 Tahun dan baru saja menyelesaikan
program studi S1 nya sebagai sarjana Pendidikan jurusan guru sekolah dasar. Sedangkan Bapak Amat
seorang yang berperawakan lebih dari 165cm mungkin tinggimya 170 cm mungkin juga lebih dari itu
1 atau 2 cm karena aku tak pernah menghitungnya dengan meteran melainkan hanya dengan
perkiraan, rambut beliau lurus dengan belah kesamping tanpa kacamata dan sama seperti Bapak
Anang pemuda berusia 23 Tahun dan seorang Sarjana Pendiikan jurasan guru sekolah dasar.

Aku sungguh menaruh kekaguman kepada kedua sosok itu, mereka mau kepedalaman Kalimantan
rela meninggalkan hiruk pikuk pesona kota yang terus dipoles modernisasi, mereka rela pergi jauh
meninggalkan keluarga mereka hanya untuk mengajari kami para anak kampong yang terpinggirkan.
Padahal aku tahu gaji mereka sebagai seorang guru tak lah seberapa namun mereka tak pernah
mengajari kami dengan setengah hati. Bapak Anang dan Bapak Amat merupakan gambaran sosok
pahlawan sejati dimasanya dan mereka adalah gambaran ideal pemuda bangsa yang penuh
semangat kebaikan dan rela mengorbankan kepentingan pribadi untuk membangun bangsa dan
Negara dengan caranya.

***

Satu hari setelah peresmian, sekolah dasar Pagat Batu Benawa mulai dipenuhi oleh anak-anak
kampong yang ingin menuntut ilmu. Diantar oleh orang tua mereka masing-masing untuk
mendaftarkan diri sebagai seorang siswa disekolah itu. Mereka tampak begitu bahagia. Begitu pula
aku, diantar ayah ku untuk masuk sekolah dasar dan memulai sejarah baru dalam hidup ku.

Bapak Amat dan Bapak Anang duduk sabar melayani sekitar 21 calon siswa yang melakukan
registrasi pendaftaran. Jumlah peminat yang cukup banyak jika melihat kondisi saat itu dimana
tradisi masyarakat ku yang tebelakang oleh kemajuan zaman dan para orang tua yang tidak paham
sama sekali tentang pentingnya pendidikan. Banyaknya peminat tersebut tentu ada sebabnya, dan
sebabnya tak lepas dari peran dua orang pahlawan tanpa tanda jasa itu. Malam hari setelah
peresmian Bapak Anang dan Bapak Amat meminta tetua kampong untuk mengumpulkan para orang
tua dan disana mereka memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendiikan kepada para orang
tua yang hadir pada malam itu. Di Balai kampong yang hanya diterangi lampu obor yang di letakan di
dinding-dinding Balai Kota Bapak Amat mengatakan kepada semua yang hadir “pendidikan adalah
modal dasar dalam pembangunan pradaban sebuah bangsa, pendidikan yang bermaterikan ilmu
pengetahuan dan penuntunan moral yang baik akan menghantarkan suatu bangsa kearah
kemajuan” begitulah salah satu hal yang disampaikan oleh dua orang guru muda untuk
menyadarkan masyarakat kun tentang pentingnya pendidikan, tentu tidak disampaikan dalam
bahasa Indonesia melaikan masih dengan bahasa daerah karena masyarakatku masih belum bisa
berbahasa Indonesia saat itu.

Setelah pendaftaran selesai dan Bapak Amat memberikan sedikit pengarahan agar anak-anak mulai
masuk sekolah besok para calon siswa itu dibagikan buku, pensil, dan seragam sekolah.

13 Juni 1981 menjadi hari bersejarah bagiku serta kawan-kawan lain yang ikut belajar di sekolah
Pagat Batu Benawa karena pada hari itu adalaha hari pertama kami masuk sekolah. Hari itu menjadi
pintu gerbang perubahan menuju kehidupan yang lebih baik bagi ku dan kawan-kawan.

***

Susana penuh kegembiraan mengiringi hari pertama angkatan pertama sekolah dasar Negeri Pagat
Batu Benawa. Bapak Anang dan Bapak Amat memperkenalkan diri sebagai guru kami. Lalu
dilanjutkan dengan perkenalan satu persatu dari kami. Sampai pada giliran ku “ngaran ulun Utuh,
umur ulun anam tahun” dengan lantang ku perkenalkan diri dalam bahasa daerah karena aku belum
bisa berbahasa Indonesia.

Pada tahun1983< semua bangunan sekolah yang dijanjikan kini telah selesai dibangun. Jumlah
ruangannnya sekarang ada tujuh ruangan. Enam ruangan digunakan sebagai kelas bagi para siswa
unuk menjalani proses belajar mengajar sedangkan satu kelas lagi digunakan untuk ruang guru. Dan
hal menggembirakan lainnya adlah ampung kami sekarang telah teraliri oleh listrik, dimalam hari
kampong kami tak lagi gelap karena sinar bohlam yang lumayan modern telah bersinar ditiap rumah
penduduk.

***

Sekarang aku telah duduk di kelas enam. Hari-hari ku lewati dengan semangat tinggi untuk belajar,
untuk tahu banyak ilmu. Kedua guru ku pun tak pernah letih untuk mengajar ku dan nteman-teman
lain Bagi ku saat ini berburu ilmu adalah hal yang sangat mengasikan. Tak jarang sore hari aku
bersama kedua sahabat ku Arbilla dan Adul belajar bersama di bawah pohon kasturi yang berdiri
gagah dekat balai kampong kami. Di bawah pohon khas Kalimantan selatan itu kami saling Tanya
jawab sembari mengulang pelajaran yang diberikan.

***

Di suatu sore ketika kami bertiga berkumpul di bawah pohon kasturi aku bergurau di depan kedua
sahabat ku itu “bagaimana nasib kita setelah lulus dari sekolah ini? Apa kita harus kembali menjalani
kehidupan sebagai anak kampong yang kembali tak punya mimpi dan cita-cita? Harus berhenti
bergelut dengan buku dan menggantinya dengan parang harit untuk bertani? Lalu mematikan api
harapan ini?” Arbilla dan Adul tak menyahut, mereka hanya diam sambil membolak balik buku paket
IPS tapi ku tangkap mereka juga merasakan kegundahan yang sedang aku rasakan sekarang ini.
Sementara itu, aku terus berusaha mencari sendiri jawaban atas kegundahan yang sedang kurasakan
ini. Lalu tiba-tiba saja suara seorang laki-laki muda yang biasa ku dengar dikelas tiap belajar
Matematika menghempas diam di bawah pohon kasturi itu “Tuhan tidak akan mengubah nasib
suatu kaum apabila kaum itu tidak mau merubahnya sendiri. Kamu akan menjadi apa yamg kamu
pikirkan, berpikirlah positif dan lakukan tindakan-tindakan yang akan membaikan hidup mu
kemudian berdoalah kepada Tuhan mu, maka percayalah anak ku harapan kecilmu akan menjadi
besar lalu menjadi nyata” benar suara dengan kat-kata penuh motivasi itu keluar dari salah seorang
guru ku Bapak Anang, ternyata beliau tanpa sengaja mndengar gurauan ku sore itu. Kami bertiga lalu
memandang kearah beliau kemudaian menyalami beliau dan mencium tangannya sebagai tanda
pemghormatan seorang murid kepada gurunya.

Kini Bapak Anang telah duduk diantara kami, beliau kemudian bertanya kepada ku “ Tuh kenapa
kamu berkata seperti itu apa kamu telah kehilangan semangat untuk meraih cita-cita?” “Saya Cuma
tidak tahu apa yang harus saya lakukan setelah lulus ini Pak, saya bingung harus berbuat apa? Saya
mau melanjutkan sekolah ke kota Barabai tapi biayanya pasti sangat mahal dan kedua orang tua
saya pasti tidak bisa membiayainya pak” jawabku sambil tertunduk lesu. Ketika Bapak Anang mau
menjawab keluh kesah ku tiba tiba Arbilla dan Adul bergantian menyela “Saya juga merasakan
kegundahan yang sama Pak” kata Arbilla yanglangsung diamini oleh Adul. Bapak Anang kemudian
menarik nafas yang cukup dalam sebelum menghembuskannya kembali beberapa saat sebelum
beliau menjwab smua keluh kesah kami “Bapak mengerti dab sangat memahami apa yang kalian
rasakan saat ini, apalagi ketika kalian sedang semangat-semangatnya menuntu ilmu dan berudaha
menggapai cita-cita kalian. Namun, seperti yang tai Bapak katakan dengan usaha juga doa pasti
semua cita-ciata kalian bisa diraih karena tak ada yang tidak mungkin selama kalian membuatnya
menjadi mungkin. Kalian jangan khawatir mengenai nasib pendidikan kalian kedepan. Bapak janji
akan mencarikan jalan keluar buat kalian sekarng kalian fokuskan diri saja ke Ujian Akhir Sekolah”
ucap Bapak Anang dengan senyum khasnya.

Perkataan Bapak Anang disore itu lumayan membuat aku, Arbilla, dan Adul sedkit lebih tenang dan
bisa berkonsentrasi lebih untuk menghadapi ujian akhir.

***

Hari ujian telah tiba. Angkatan pertama sekolah ini menghadapi unjian terakhir sebelum menjadi
alumni pertama dari sekolah Dasar yang didirikan pada tahun 1981 ini. Para siswa tampak terlihat
tegang menghadapi ujian, begitu pula aku namun karena jauh hari telah melakukan berbagai macam
persiapan untuk menghadapi ujian ini aku optimis mampu melewatinya dengan baik. Ujian yang
dilaksanakan dalam 6 hari itu akhirnya selesai juga. Kini kami tinggal menunggu hasilnya.

***

2 minggu setelah ujian selesai akhirnya hasil ujian keluar. Dan luar biasa, syukur ku panjatkan
kepada Tuhan YME karena nilai ku tertinggi dan tak hanya itu nilai ku ternyata adalah yang tertinggi
dari semua siswa sekabupaten. Aku tak percaya nilai ku, seorang siswa dari kampong pedalaman
berhasil mengalahkan para siswa dari sekolah yang punya fasilitas lebih banyak juga guru-guru yang
lebih banyak yang bisa mengajari mereka lebih focus tapi kini aku tahu satu hal selama kita masih
memiliki mimpi dan cita-cita, selama kita mau bekerja keras untuk meraih semua mimpi dan cita-cita
itu lalu menyempurnakannnya dengan doa kepada Tuhan yang Maha Kaya maka hal yang tidak
mungkin akan menjadi mungkin.

Setelah ini aku tidak boleh terhenti oleh keterabatasan, aku harus lanjutkan sekolah, aku
harus raih cita-cita ku untuk mngembangkan pariwista di tempat ku dan mensejahterkan masyarakat
kampong ku. Meski aku mungkin hanya berbuat untu kampungku nanti tapi aku percaya satu
kebaikan akan menghasilkan kebaikan dan tarsus menginspirasi orang unruk melakukan kebaikan
lain hingga Negara ku tercinta ini di penuhi oleh kebaikan.

***

Dua hari setelah kelulusan dan pengukuhan ku sebgai Alumni sekolah dasar negeri pertama di
kampong ku, Bapak Anang dating kerumah ku ketika aku sedang berimaji dialam bawah sadar ku
diatas sebuah kursi paikat yang sudah tua. “Asalamualaiku Utuh” sapa beliau dengan semangat
pemuda yang selalu mengiringi derap langkah beliau, “Waalaikumsalam” jawab ku dengan agak
terkejut, “oo, Bapak Anang, ada apa Pak mau cari Bapak Sama Ibu, kalu Bapak sama Ibu masih di
sawah Pak?” lanjut ku. “Tiak Tuh, bapak mncari kamu. Seperti yang bapak katakan dulu waktu Bapak
berbicara dengan kamu, Arbilla dan juga Adul bahwa bapak akan brusaha mencarikan jalan keluar
mengenai persoalan sekolah mu ke jenjang yang lebih tinggi. Bapak punya saran yang mungkin bisa
membantu kamu. Bapak punya teman yang bekerja sebagai kepala panti Asuhan di Barabai, kan
tidak terlalu jauh dari kampong ini sehungga kamu lebih mudah buat pulang kampong apabila rindu
dengan kedua orang tua kamu karena Bapak menyadari anak seusia kamu pasti cepat rindu dengan
orang tuanya, jadi kalau kamu mau dua hari kedepan bapak mau pulang ke Banjarmasin nanti Bapak
antar dulu kamu kesana. Bagaimana Tuh?” ujar Bapak Anang. “iya Pak, saya bersedia sya mau , tapi
nbagaimanapun saya harus meminta izin dulu kepada kedua orang tua sya pak karena seperti yang
dulu bapak bilang waktu di sekolah bahwa restu orang tua akan menjadi penghantar energy yang
baik dalam meraih kebaikan” ucap ku smbil tersenyum. “Baiklah, nanti besok kamu temui Bapak
bagaiman keputusan mu” jawab Bapak Anang juga dengan senyum. “Iya Pak siap!hehe” balas ku.
Kemudian Bapak Anang pun berpamitan.

Malam setelah percakapan ku dengan Bapak Anang, aku langsung berbicara kepada kedua
orang tua ku, kusampaikan apa yang ditawarkan oleh Bapak Anang. Ayah menyerahkan semua
keputusannyanya kepada ku begitu pula ibu. Ayah hanya bilang “ayah tidak bisa membiayai mu
untuk melanjutkan sekolah tapi ayah tidak ingin keterbatasan ini menjadi penghalng mu maka
pergilah dan raih cita-cita mu nak jika memang kau punya kemauan untuk itu” sementara ibu hanya
diam, sepertinya ia menghawatirkan aku jika aku pergi jauh dari kampong ini tai ia tidak mau
mengungkapkan kekhawatirannya karena takut membuyarkan keyakinanku untuk meraih mimpi dn
cita-cita ku.

Paginya, langsung kutemui Bapak Anang di rumahnya, rumah yang dibuatkan oleh penduduk
desa sebagai bentuk trimakasih kepada pahlawan tanpa tanda jasa yang mau ikhlas tinggal di
kampun ini dan mengabdi mengajari anak-anak kampong. Ternyata di rumah itu telah ada dua
sahabatku Arbilla dan Adul. Sepertinya mereka juga ditawarkan hal yang sama dengan ku oleh Bapak
Anang.

Bapak Anang langsung menanyakan bagaimana keputusan dari tiap kami. Aku dan Adul
memutuskan untuk menerima tawaran dari Bapak Anang, sedangkan Arbilla sebenarnya dia mau
menerima tawaran dari Bapak Anang tapi kedua orangnya tidak mngizinkannya maka dengan
terpaksa Arbilla tidak bisa ikut dengan kami untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun aku berharap suatu saatu akan dibangunkan lagi sekolah lanjutan di kampong ku.

***

Besok harinya setelah berpamitan kepada kedua orang tua ku dan juga saudara kandung ku
berangkatlah aku bersama Bapak Anang dan juga Adul menuju Panti Asuhan di Barabai untuk nanti
mendaftar sekolah di ibu kota kabupaten Hulu Sungai Tengah itu.
Setelah 6 jam berjalan kaki karena hanya ada jalan setapak untuk keluar dari kampungku ke sebuah
kampong yang berada lebih dekat dengan kota kini kami masih harus menunggu angkutan untuk
menuju tempat tujuan mungkin satu jam setengah lagi kami baru sampai.

Sebuah papan kayu yang ditopang dua buah tiang dan bertuliskan Panti Asuhan Putra Harapan kini
telah berada di depan ku. Di sinilah tempat baru ku untuk kembali mengejar mimpi dan cita-cita ku
hingga aku mampu memberikan kontribusi pada bangsa dan Negara ini. Kini Aku dan Adul telah
terdaftar sebagai anak asuhan di Panti ini, akan ku temui teman-teman baru sebagai pengganti
keluarga ku, ku singkirkan jauh-jauh rasa rindu pada ayah, ibu, kakak, adik, sahabat, dan kampong ku
Pagat Batu Benawa. Walau aku sekarang ada dip anti Asuhan tapi aku harus menjadi manfaat bagi
orang-orang lain demikianlah ku patri tekad.

Aku sekamar dengan lima orang anak lain yang juga kurang beruntung secara ekonomi. Ya, kamar
yang ku tempati diisi oleh enam orang anak dengan tiga tempat tidur yang bertingkat satu. Sebuah
lemari besar turut serta meramaikan isi kamar lemari itu punya enam petak sesuai jumlah anak yang
mengisi tiap kamar. Aku satu tempat tidur dengan Harun, seorang anak tunggal dari keluarga yang
sangat sederhana dia seorang yatim piatu yang ditinggal mati oleh ayahnya saat dia berusia tiga
tahun dan satu minggu setelah kematian Ayahnya giliran ibunya yang diserang kangker pergi
meninggalkan Harun untuk selama-lamanya maka sejak itu Harun di rawat oleh saudara dari ibunya
namun karena alasan ekonomi saudaranya itu terpaksa mengantar Harun ke Panti Auhan ketika
Harun berusia delapan tahun. Namun satu hal yang aku banyak belajar dari dia tentang ikhlas dan
sabar. Dua pilar kehidupan yang akan menghantarkan manusia paa rasa syukur dan kebahagiaan itu
benar-benar melekat pada seorang anak yatim piatu itu, Harun tidak pernah mengeluh dengan
keadaannya seorang anak yang luar biasa bagi ku. Harun juga seorang anak yang cerdas dan aku
percaya suatu saat dia akan menjadi orangs sukses dan akan menjadi bagian penting pergerakan
pembangunan bangsa dan Negara ini. Aku berani katakana itu karena anak yang kini berusia delapan
belas tahun itu pernah katakana kepada ku bahwa menjadi orang sukses itu tidak kebetulan
melaikan karena kemauan, kemauan untuk berpikir, kemauan untuk bertindak, kemauan untuk
berusaha, kemauan untuk menyerahkan hasil pada Tuhan karena tak ada hal yang tidak mungkin
selama kita mau membuatnya menjadi mungkin.

***

Sekarang aku telah menjalani tahun ketiga ku dan aku belum pernah pulang ke kampong ku karena
aku ingin saat plang nanti aku membawa perubahan bagi kampong ku dan itu juga yang ku
beritahukan kepada kedua orang tua ku saat aku berpamitan untuk berangkat mengejar mimpi ku,
aku benar-benar harus menghapus rindu pada semua yang kurindukan di Kampung.

Aku telah duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama. Sebentar lagi aku akan lulus dan
meneruskan sekolah ku dan lebih dkat menuju mimpi ku. Begitu juga sahabat satu perjuangan ku
dari kampong si Adul. Kami akan selangkah lebih maju ke mimpi kami.

Hingga Satu minggu sebelum ujian kelulusan ku, musibah menimpa sahabat seperujuanganku itu,
ayahnya meninggal dan Adul harus kembali ke kampong dan tak akan kembali untuk meraih
mimpinya karena ia tidak mungkin meninggalkan ibunya yang sudah mulai menua di Kampung
karena Adul adalah anak tertua di keluarganya. Saat berpamitan Adul hanya bilang ke aku untuk
terus mengejar mimpi ku dia bilang “ Tuh, kejarlah mimpi kita, mimpi kamu, aku, dan Arbilla hingga
saat kamu kembali kampong kita akan menjadi lebih makmur “ dan saat it8u aku hanya diam sambil
memeluk erat sahabatku itu. Akan ku kejar mimpi kita kawan ujar ku dalam hati.

***
Juli 1989 aku berhasil menamatkan sekolah ki di sekolah menengah pertama dengan nilai terbaik.
Dan tiga tahun setelah itu atau tepatnya juga di bulan Juli namun pada tahun 1992 aku berhasil
menyelesaikan pendidikan menengah atas ku dan berhasil mendapatkan beasiswa di salah satu
universitas negeri di ibu kota provinsi ku. Ku pilih fakultas Ekonomi. Karena aku berpikir lewat ilmu
ekonomi yang kudapatkan nanti akan ku berdayakan masyarakat sekitar dengan konsep-konsep
usaha kerakyatan.

Dunia kampus mulai ku jelajahi, menjadi aktivis pun ku lakoni. Ditengah pemerintahan yang pada
masa itu sangat otoriter aku bersama mahasiswa lain terus melakukan pergerakan demi satu tujuan
yaitu agar bangsa dan Negara ini tetap berada pada rel yang telah digariskan dalam pembukaan UUD
yaitu untuk memajukan kecerdasan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyat. Dari hal-hal
itulah aku juga disadarkan bahwa aku tak cukup hanya berteriak menyampaikan aspirasi dan
mengkritisi kebijakan pemerintah melainkan juga langsung melakukan tindakan-tindakan nyata yang
dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum karena bagi ku satu
kebaikan akan melahirkan kebaikan-kebaikan lain.

Sebentar lagi aku akan lulus dari universitas ini dan akan kembali ke kampong ku untuk mewujudkan
mimpi dan para sahabat ku yaitu menjadikan kampong kami sebagai pusat Pariwisata di provinsi ini
bahkan Nasional. Setelah siding skripsi ku hari ini aku akan menjadi seorang sarjana. Sebuah skripsi
yang berjudul “Anaisis dampak ekonomi kerakyatan berbasis karakter pemuda terhadap ketahanan
ekonomi nasional” akan ku presentasikan dalam siding skripsi dan semoga aku berhasil lulus dengan
nili terbaik.

“Saudara utuh, Anda sangat luar biasa hari ini, konsep yang Anda tawarkan sangat realistis untuk
dujalankan, selamat Anda lulus” ujar salah satu dosen penguji.

Aku langsung sujud syukur kepada Tuhan yang maha esa karena aku mampu menyelesaikan
pendidikan sampai jenjang sarjana bahkan selalu dengan nilai terbaik,

Inilah saatnya aku kembali ke kampong halaman. Setelah di wisuda dan beberapa har mengurus
administrasi kelulusan ku aku segera kembali ke kampong halaman. Perjalanan panjang ku tempuh
untuk kembali kedesa ku, kini jalanan mulai seikit Nyman namun jalan setapak yang harus ilalui
denan jalan kaki masih belum juga berubah menjadi jalan yang lebih luas dan nyaman. Setelah enam
jam berjalan kaki akhirnya aku sampai di sebuah desa yang Susana aalamnya masih segar tetap sama
seperti yang dulu. Pohon-pohon yang memagari Gunung sarigading seolah enyambutku dengan
bahagia melalui lambaian dedaunannya, sungai Pagat yang menyegarkan pun masih tetap jernih dan
bderas membelas kampong ku. Inilah asset yang akan ku kembangkan hingga kampong ku menjadi
kampong yang makmur dan menjadi sejarah terbaik pembangunan bangsa dan Negara ini.

***Sesampainya di Kampung aku dilahirkan segera kutemui kedua orang tua ku tercinta, yang telah
mmberikan ku kasih tulus dan mengajarkan ku cinta tanpa syarat. Ku cium tangan mereka dan di
peluk erat mereka dengan penuh suka cita, hal yang sam juga ku lakukan kpada kakak dan adik ku.
Berita kepulangan ku ternyata sampai ke telingan dua sahabatku Arbilla dan Adul, mereka telah
berada di dean rumah ku yang sudah makin reot ini, segera ku hampiri mereka dan kurangkul erat.
Sambil berbisik kepada mereka “aku telah bawa mimpi kita kita akan segera wujudkan mimpi itu
kawan”.

***Beberapa hari setelah pulang, aku segera menemui ketua kampong ku, kusampaikan ide ku
kepadanya, dan beliau menyambut baik, Ku sampaikan aku ingin mengembangkan pariwisata di
kampong ini dan dari sana kemudian akan terbangun sebuah jaringan ekonomi kerakyatan yang bisa
mensejahterakan penduduk sekitar. Setelah semua ku smpaikan aku dan beliau bersepakat untuk
besok pergi ke ibu kota kabupaten dan melobi pemerintah agar mau mengembangkan konsep yang
ku tawarkan.

Aku dan Bapak Amank sang ketua kampong berangkat di subuh buta agar tidak kesiangan sampai di
kota, tapi hujan yang turun mnghambat perjalanan kami hingga kami sampai pada sore hari.
Akhirnya ku putuskan untuk mengunap di tempat ulu aku dititipkan ketika menmpuh pendidikan ku
di kota ini, Ya, di Panti Asuhan Putra Harapan. Bapak pengasuh menyambutku dengan suka cita
seperti orang tua kandung yang menyambut anaknya penuh kehangatan kami di jamu beliau.
Setelah berbincang panjang lebar aku izin untuk tidur. Namun kali ini aku tiur I rumah beliau tepat
disamping panti asuhan, aku jadi teringat teman satu tempat tidurku dulu Abang Harun, “jadi apa
bang Harun sekarang ya, tapi pasti jadi orang sukses’ ucap ku dalam hati.

Besoknya setelah berpamitan dengan Bapak pengasuh ku sewaktu dip anti dulu aku dan Bapak
Amang segera menuju kantor Dianas Pariwisata Kabupaten Hulu sungai tengah untuk
menyampaikan keinginan kami.

Sesampainya disana, dan menyampaikan maksud kedatangan kami di penjaga depan kantor kami
dipersilahkan untuk masuk menemui kepala dinas. Dan betapa terkejutnya aku Kepala dinas
tersebut ternyata Abang Harun tman stu tempat tidur ku dulu waktu di Panti, kami langsung
berpelukan melepas rindu sebagaimana sahabat lama yang sekian lama tak bertemu. Setelah
berbicara panjang lebar di luar hal pokok yang mau aku sampaikan, aku langsung menyampaikan
maksud dan tujuan ku ku sampaikan bahwa aku mau bantuan pemerintah untuk mengembangkan
pariwisata di kampong ku karena sangat saying keindahan alam yang merupakan potensi daerah
apabila di sia-siakan. Aku pastikan bahwa sebenarnya kami sudah dengan mandiri melakukan
pembenahan dalam mengembangkan daerah kami agar menjadi daerah pariwsata namun kami
perlu sokongan pemerintah untuk menjalankannya sebab bagaimanapun ketika pemerintah dan
masyarakatnya berjalan seirama dan satu tujuan untuk membangun bangsa dan Negara ini maka
kebaikan-kebaikan untuk bangsa dan Negara ini akan lahir. Juga tak lupa kupresentasikan bagaimana
potensi keindahan alam di kampong ku.

Sambutan beliau ternyata juga sangat antusias, beliau berjanji dalam jangka enam bulan kampong
ku akan menjadi objek wisata unggulan di Kabuoaten Hulu Sungai tengah. Dan aku tahu beliau orang
yang amanah selain itu beliau juga mempunyai kemampuan bekerja sangat bagus hingga aku
percaya dan meyakini semua itu akan terealisasi.

Selama enam bulan dari hari itu aku terus lakukan konsolidasi ke pemerintah sembari terus
memanfaatkan energy masyarakat yang mau secara mandiri bekerja membangun kampong ku.
Pemerintah pun benar-benar serius, mereka bangun fasilitas penunjang, akses jalan ketempat tujuan
benar-benar di buat nyaman.

Luar biasa kini kampong ku disulap menjadi tujuan pariwisata unggulan dan tentu masyarakat sekitar
merasakan manfaatnya karena kami telah membuat kesepakatan bahwa semua harus dikelola
dengan kearifan local masyarakat setempat dan tidak boleh terjadi monopoli usaha di kampong ku.

Kini mimpiku, Arbilla dan Adul telah terwujud, masyarakat kini tak lagi menjadi masyarakat yang
berkelas ekonomi rendah. Bahkan penghargaan dari Pemerintah Provinsi terhadap kampong kami
sebagai Pengembang wisata dan ekonomi kerakyatan terbaik kami terima. Hal ini tentu karena kerja
keras semua penduduk kampong yang mayoritas adalah pemuda. Mereka mau bekerja keras dan
tentu punya semangat perubahan yang lebih baik.
Saat kemauan untuk menjadi lebih baik bermetamorfosis menjadi tindakan nyata dalam kebaikan
maka semuanya akan terwuju. Dan aku telah membuktikan itu semua. Terimakasih Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai