Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut data WHO, sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah

persalinan atau kelahiran terjadi di negara–negara berkembang. Rasio

kematian ibu di negara berkembang merupakan yang tertinggi, dengan 450

kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan rasio

kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara berkembang (saptandari

P,2009).

Di Amerika Serikat sejak 1979 sampai 1992, menganalisis 4915

kematian ibu hamil yang tidak terkait abortus. Mereka mendapatkan bahwa

perdarahan merupakan kasus langsung pada sekitar 30 % kasus kematian

tersebut. Menurut Bonar 2000, perdarahan adalah faktor utama pada kematian

ibu hamil di Inggris antara tahun 1985 dan 1996, tidak diragukan lagi bahwa

telah terjadi kemajuan besar dalam kematian akibat perdarahan dengan

modernisasi bidang obstetri di Amerika Serikat (Chunningham, 2006).

Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap

tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai

meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam

setelah melahirkan. Di Inggris pada tahun 2000, separuh kematian ibu hamil

akibat perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum (Nizam,2010).

Angka Kematian Ibu (AKI) menurut Survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia (SDKI) pada tahun 2002-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran
hidup, angka ini masih jauh dengan target yang ingin dicapai secara nasional

di tahun 2010 yaitu 125 per 100.000 kelahiran hidup (Dep.Kes RI, 2005).

Di Indonesia, sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,

sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post

partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan

umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi.

kematian ibu di Indonesia adalah 650 ibu tiap 100.000 kelahiran hidup dan

43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post partum (Depkes

RI, 2002).

Sampai saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan belum dapat

turun seperti yang diharapkan pemerintah. Menurut laporan BKKBN pada

bulan Juli 2005, AKI masih berkisar 307 per 100.000 kelahiran hidup.

Pemerintah sebenarnya telah bertekad untuk menurunkan AKI dari 390 per

100.000 kelahiran hidup (SDKI, 1994) menjadi 225 per 100.000 pada tahun

1999, dan menurunkan nya lagi menjadi 125 per 100.000 pada tahun 2010

(Prahardina, 2009).

Propinsi Sulawesi Selatan berdasarkan SKRT pada tahun 1992 prevalensi

perdarahan pascapersalinan khususnya pada atonia uteri berkisar 45,5% –

71,2% dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 14,3 % - 76,17%, di

Kabupaten Pinrang dan 28,7% di Kabupaten Soppeng dan tertinggi adalah di

Kabupaten Bone 68,6% (1996) dan Kabupaten Bulukumba sebesar 67,3%

(1997). Sedangkan laporan data di Kabupaten Maros khususnya di

Kecamatan Bantimurung atonia uteri pada tahun 1999 sebesar 31,73%, pada
tahun 2000 meningkat menjadi 76,74% dan pada tahun 2001 sebesar 68,65%

(Fika W, 2008).

Di Sumatra Utara angka kematian ibu lebih tinggi dibandingkan dengan

angka rata – rata nasional. Sampai saat ini rata – rata angka kematian ibu di

Sumatera Utara sebanyak 330 per 100.000 kelahiran, sedangkan rata- rata

angka nasional adalah 307 per 100000 kelahiran (khairuddin, 2009).

Perdarahan pasca persalinan dalam waktu kurang dari satu jam bisa

menyebabkan kematian pada ibu. Salah satu penyebab perdarahan pasca

persalinan yaitu karena atonia uteri dimana tidak terjadinya kontraksi pada

uterus setelah kala tiga atau dimana tidak adanya kontraksi setelah Plasenta

lahir. Akibat dari itu dapat menyebabkan perdarahan pada ibu pasca

persalinan (anik dan Yulianingsih, 2009).

Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk.

(1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan.

Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang

angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut,

diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta

(23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %),

kelainan darah (0,5 – 0,8 %). %). Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak

perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk

melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme

utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi

karena kegagalan mekanisme (Admin, 2009).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Atonia Uteri

Beberapa ahli kesehatan mengatakan definisi atonia uteri sebagai berikut :

Atonia Uteri adalah gagalnya uterus untuk mempertahankan kontraksi

dan retraksi normalnya (Ben dan taber, 2002).

Atonia Uteri merupakan perdarahan pasca persalinan yang dapat terjadi

karena terlepasnya sebagian plasennta dari uterus dan sebagian lagi belum

terlepas sehingga tidak ada terjadinya kontraksi (Anik dan Yulianingsih,

2009). Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus / kontraksi rahim yang

menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat

implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2008).

Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus

untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan

post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir

hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan

hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik (Admin, 2009).

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa defenisi atonia

uteri merupakan perdarahan pasca persalinan dimana akibat dari kegagalan

serabut – serabut otot uterus terjadi perdarahan post partum dimana terjadi

setelah plasenta lahir atau 4 jam setelah plasenta lahir (Anik dan Yulianigsih,

2009).
B. Etiologi

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan

karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila

mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi

kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi

terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,

beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah,

toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat

hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia

akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas

merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum

(Admin, 2009).

Faktor – faktor predisposisi Atonia uteri meliputi :

1. Regangan rahim yang berlebihan dikarenakan Polihidramnion,

kehamilan kembar, makrosemia atau janin besar.

2. Persalinan yang lama

Persalinan yang lama dimaksud merupakan persalinan yang

memanjang pada kala satu dan kala dua yang terlalu lama

(prawirahardjo, 2008).

3. Persalinan yang terlalu cepat atau persalinan spontan.

4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin .

5. Multiparitas yang sangat tinggi.


6. Ibu dengan usia yang terlalu muda dan terlalu tua serta keadaan

umum ibu yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.

Terjadinya peningkatan kejadian atonia uteri sejalan dengan

meningkatnya umur ibu yang diatas 35 tahun dan usia yang

seharusnya belum siap untuk dibuahi. Hal ini dapat diterangkan

karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi perdarahan yang

terjadi (Prawirihardjo, 2006).

7. Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).

8. Bekas operasi Caesar.

9. ernah abortus (keguguran) sebelumnya. Bila terjadi riwayat

persalinan kurang baik, ibu sebaiknya melahirkan dirumah sakit, dan

jangan di rumah sendiri.

10. Dapat terjadi akibat melahirkan plasenta dengan memijat dan

mendorong uterus kebawah sementara uterus belum terlepas dari

tempat implannya atau uterus.

Perdarahan yang banyak dalam waktu singkat dapat diketahui.

Tetapi, bila perdarahan sedikit dalam waktu banyak tanpa disadari,

pasien (ibu) telah kehilangan banyak darah sebelum ibu tanpak pucat

dan gejala lainnya. Perdarahan karena atonia uteri, uterus tanpak

lembek membesar (Anik-Yulianingsih 2009).


C. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang selalu ada pada perdarahan postpartum akibat

Atonia Uteri adalah :

1. Perdarahan segera setelah anak lahir

Pada palpasi, meraba Fundus Uteri disertai perdarahan yang memancur

dari jalan lahir.

2. Perut terasa lembek atau tidak adanya kontraksi

Perut terlihat membesar (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal, 2002).

D. Diagnosa

Pada setiap perdarahan setelah anak lahir, perlu dipikirkan beberapa

kemungkinan karena penanganannya berbeda, jika dengan melalui perabaan

melalui dinding perut, fundus uteri terasa keras dan darah yang keluar

berwarna merah segar, dapatlah dikatakan pada umumnya perdarahan itu

disebabkan oleh laserasi atau robekan pada salah satu tempat dijalan lahir.

Jika perabaan fundus uteri terasa lembek dan laserasi telah disingkirkan,

maka pada umumnnya perdarahan ini disebabkan oleh Atonia uteri (Diro,

2009).

Diagnose ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata

perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan

fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.

Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah
dilakukan rangsangan taktil (masase) pada daerah fundus uteri (Buku Asuhan

Persalinan Normal, 2007).

Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada

saat itu juga masih ada darah sebanyak 500 – 1.000 cc yang sudah keluar dari

pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus

diperhitungkan dalam pemberian darah pengganti ( Prawirohardjo, 2008).

E. Pencegahan Atonia Uteri

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko

perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan

obat tersebut sebagai terapi. Manejemen aktif kala III dapat mengurangi

jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah

(Hidayat, Juni 2009).

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu

onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau

kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat

untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan

pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit

IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam (Hidayat,

Juni 2009).

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai

uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini.

Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai


waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di

Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan

oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata

lebih efektif dibanding oksitosin (Admin, 2009).

F. Penanganan Atonia Uteri

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien.

Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau bahkan sampai

syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung

pada keadaan klinisnya (Prawirohardjo, 2008). Pada umumnya dilakukan

simultan bila pasien syok, dapat dilakukan :

Sikap trendelenburg, memasang venous line dan memasang oksigen.

 Merangsang uterus dengan cara :

1. Merangsang fundus uteri dengan merangsang puting susu.

2. Pemberian misoprosol 800 – 1000 µg per – rectal.

3. Kompresi bimanual interna minimal selama 7 menit. Apabila tidak

berhasil lakukan tindakan selanjutnya yaitu kompresi bimanual

eksternal selama 7 menit.lakukan kompresi aorta abdominalis.

4. Bila semua tindakan gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan

tindakan operatif laparatomi dengan pilihan bedah konservatif

(mempertahankan uterus)atau malakukan histerekomi. Alternatifnya

berupa :

- Ligasi arteria uterine atau arteria ovarika


- Histerektommi total abdominal (Prawirohardjo, 2008)

 Langkah-langkah rinci penatalaksanaan Atonia uteri pasca persalinan :

1. Lakukan massage pundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan :

massage merangsang kontraksi uterus. Sambil melakukan massage

sekaligus dapat dilakukan penilaian kontraksi uterus.

2. Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah :

selaput ketuban atau gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat

menghalangi kontraksi uterus secara baik.

3. Mulai melakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus

berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap

tidak berkontraksi teruskan kompresi bimanual interna hingga 5

menit : sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan tindakan

ini. Jika kompresi bimannual tidak berhasil setelah 5 menit,

dilakukan tindakan lain.

4. Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna : Bila

penolong hanya seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses

kompresi bimanual secara eksternal selama anda melakukan

langkah-langkah selanjutnya.

5. Berikan metal ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena :

metilergometrin yang diberikan secara intramuskuler akan mulai

bekerja dalam 5-7 menit dan akan menyebabkan kontraksi uterus.

Pemberian intravena bila sudah terpasang infuse sebelumnya.


6. Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20 IU/500

ml : anda telah memberikan oksitoksin pada waktu penatalaksanaan

aktif kala tiga dan metil ergometrin intramuskuler. Oksitoksin

intravena akan bekerja segera untuk menyebabkan uterus

berkontraksi. Ringer laktat akan membantu memulihkan volume

cairan yang hilang selama atoni.

7. Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon

uterovagina.

8. Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap.

9. Lakukan laparotomi : pertimbangkan antara tindakan

mempertahankan uterus dengan ligasi arteri uterine/hipogastrika atau

histerektomi. : pertimbangan antaralain paritas, kondisi ibu, jumlah

perdarahan (Diro, 2009).

Seorang ibu dapat dalam satu jam pertama setelah melahirkan

disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan. Penilaian dan

penatalaksanaan yang cermat selama kala tiga dan empat persalinan

dapat menghindarkan ibu dari komplikasi tersebut (Buku Asuhan

Persalinan Normal, 2007).


G. Prognosis

Jika tidak terjadi sampai syok prognosisnya baik, bila terjadi syok

prognosisnya bergantung pada beratnya syok dan kecepatan memperoleh

pertolongan yang tepat disamping fasilitas sumber daya manusia yang terlatih

dan tersedianya peralatan yang memadai seperti keperluan untuk transfusi

darah,anastesi dan perlengkapan operasi darurat sekitarnya diperlukan (Diro,

2009).
DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2009. Penilaian klinik Pada Atonia Uteri.


http//lh5.ggpht,tom/10UHIGx0P6A/sax/li/AAAvy. Diakses Oleh
Asmayarni Panjaitan Pada Tanggal 14 Maret 2010 Pukul 10.17 wib

Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan.


Jakarta : CV. Trans Info Media

Cunningham, F. G. 2006. Wiliam Obstetrics 21th edition. Jakarta : EGC.

Depkes, RI. 2002. Atonia Uteri.


http://www.litbang.depkes.go.id/lanjut/ibu/atonia.htm. Diakses oleh
Asmayarni Panjaitan tanggal 16 Mei 2010 Pukul 13.56 wib

Diro, As. 2009. Pengelolaan Khusus Atonia Uteri.


http//ww.uteri.go//sax.10Prh//al. Diakses Oleh Asmayarni Panjaitan Pada
Tanggal 14 Maret 2010 Pukul 10.25 wib

Fika, Esti. 2009. Asuhan Kebidanan Pathologis. Yogyakarta : Pustaka Rihama.

Khairuddin, dr. Bahar. 2010. Asuhan Kebidanan 4 Pathologis. Jakarta : Trans


Info Media

Madjid, Omo Abdul. 2007. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : JNPK-KR

Nijam. 2010. Pengaruh Atonia Uteri Pada Ibu Perdarahan Postpartum.


http://depkominfo.go.id. Diakses Oleh Asmayarni Panjaitan tanggal 16 Mei
2010 Pukul 13.00 wib

Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : CV.


Sagung Seto.

Prahardina, dr. 2009. Buku Pintar Kehamilan & Persalinan. Jakarta : GM.

Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Saifuddin, abdul Bari. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan


Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

Saptandari, P. 2009. Tindakan Yang Diberikan Pada Ibu Atonia Uteri.

Anda mungkin juga menyukai