Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

Sumber Hukum Islam dan Ruang

Lingkupnya

Sumber Hukum Islam


A. Pengertian
Kata “sumber“ dalam hukum fiqh adalah:

terjemahan dari kata mashdar yang jamaknya adalah masha dir, yang dapat diartikan suatu
wadah yang dalam wadah tersebut dapat ditemukan atau ditimba norma hukum.

Secara Etimologi ( bahasa )


Istilah hukum Islam sendiri terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Arab
yakni kata hukum dan kata Islam. Kata hukum berarti ketentuan dan ketetapan.
Sedangkan kata Islam terdapat dalam Al-Qur’an, yakni kata benda yang berasal dari kata
kerja “salima” selanjutnya menjadi Islam yang berarti kedamaian, kesejahteraan,
keselamatan, atau penyerahan (diri) dan kepatuhan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa hukum Islam secara etimologis adalah segala macam ketentuan atau ketetapan
mengenai sesuatu hal di mana ketentuan itu telah diatur dan ditetapkan oleh Agama
Islam.

Secara Terminologi ( istilah )


Hukum menurut ajaran Islam antara lain dikemukakan oleh Abdurraf, hukum adalah peraturan-
peraturan yang terdiri dari ketentuan-ketentuan, suruhan dan larangan, yang menimbulkan
kewajiban dan atau hak.

Jadi, yang dimaksud Sumber Hukum Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul yang
merupakan seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.

Disimpulkan :
Sumber hukum Islam adalah Asal (tempat pengambilan) hukum Islam yang berlaku
dan diyakini mengikat untuk semua muslim.

B. Tujuan Hukum Islam


Secara umum tujuan penciptaan dan penetapan hukum oleh Allah SWT adalah
untuk kepentingan, kemaslahatan dan kebahagiaan manusia seluruhnya baik di
dunia maupun di akhirat.
Menurut Abu Zahra, terdapat tiga sasaran utama dari tujuan penetapan hukum
Islam, yaitu pensucian jiwa, penegakan keadilan, dan perwujudan kemaslahatan
(Mohammad Daud Ali, 2007, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, PT. Rajagrafindo, Jakarta, hlm. 21).

Tujuan dari hukum Islam tidak terbatas dari segi material semata, tetapi jauh ke
depan memperhatikan segala segi, material, immaterial, individu, masyarakat, dan
kemanusiaan pada umumnya

Hal ini dapat dilihat pada segi ibadah dan muamalah, disamping itu tujuan dari
hukum Islam adalah untuk:

1. Membersihkan jiwa dan taqarrub (mendekat) dengan Tuhannya,


2. Kepentingan jasmani,
3. Kebaikan individu masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya, dunia dan
akhirat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum Islam menentukan aturan yaitu:


 Menolak bahaya harus didahulukan daripada mengambil manfaat,
 Kemaslahatan umum harus didahulukan dari kemaslahatan khusus,
 Kesulitan akan dapat membawa kepada adanya kemudahan,
 Keadaan darurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang, tidak ada bahaya
yang membahayakan, dan
 Islam tidak mengenal prinsip tujuan membenarkan cara.

Sedangkan menurut Mohammad Daud Ali (Mohammad Daud Ali, op.cit, hlm.6 ), tujuan
hukum Islam dapat dilihat dari dua segi yaitu
a. Segi pembuat hukum Islam yakni Allah SWT dan Rasul-Nya,
b. dan dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam
PENJELASAN

a. Dari segi Pembuat Hukum Islam yakni Allah SWT dn Rosul-Nya


- Untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat
Primer (kebutuhan yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya agar
kemaslahatan hidup manusia terwujud yang terdiri dari Agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta),
Sekunder (kebutuhan yang dibutuhkan untuk mencapai kebutuhan primer seperti
kemerdekaan dan persamaan), dan
Tersier (kebutuhan selain kebutuhan primer dan sekunder seperti sandang, pangan, dan
papan);
- Untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari;
Agar ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya untuk memahami ushul fiqih (dasar pembentukan dan pemahaman
hukum Islam sebagai metodeloginya).

b. Dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam
- tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan
sejahtera dengan cara mengambil yang bermanfaat, mencegah dan menolak
yang mudharat bagi kehidupan.
- Dalam hal kewarisan, tujuan sistem kewarisan Islam yang sesuai dengan tujuan
hukum Islam adalah agar terhindar dari kesalahan dalam pembagian warisan
yang dapat mengakibatkan pertikaian karena harta warisan dan terciptanya
pembagian warisan yang adil serta diridhai Allah.

C. Macam-macam Sumber Hukum Islam


Para ulama sepakat bahwa, Sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu;
a. Al Quran,
b. Sunnah,
c. Ijma.
d. Qiyas
e. Akal
Landasan hukumnya adalah :
Al Quran surat an- Nisa (4) :59
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya, dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah ( al Quran ) dan Rasul ( Sunnah ) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Ayat di atas mengandung pengertian a.l:

1. Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam al
Quran.
2. Perintah mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul
dalam Sunnahnya.
3. Perintah mentaati ulil amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan
berdasarkan ijma.
4. Perintah mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan
Rasul. Berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyas yang
merupakan hasil dari ijma ( Ijtihad Ulama)

Penjelasan :

a. Al-qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci agama islam merupakan kumpulan wahyu Ilahi yang
disampaikan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril
untuk mengatur hidup dan kehidupan umat Islam pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya.

a.1 Pengertian Al-qur’an

Etimologi

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur'an berasal dari bahasa Arab yang berarti
"bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang".
Kata Al-Qur'an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang
artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu
surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah

yang artinya:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur'an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya


(pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.

Terminologi

 Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:

“Kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya
termasuk ibadah”.

 Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai


berikut:

"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi
Muhammad penutup para nabi dan rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril
dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara
mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Namun demikian ada pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, dan tidak
termasuk Al-Qur’an.

a.2 Fungsi dan Tujuan Turunnya al Qur`an

Fungsi dan tujuan turunnya al Qur`an :

1. Sebagai petunjuk ( hudan ) bagi umat manusia.


2. Sebagai rahmat atau keberuntungan dari Allah dalam bentuk kasih sayang-Nya
untuk umat manusia.
3. Sebagai pembeda ( furqon ) antara yang baik dan buruk, halal haram, salah
benar, dan sebagainya.
4. Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam
kehidupan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.
5. Sebagai berita gembira ( busyro ) bagi orang yang telah berbuat baik kepada
Allah dan semua manusia.
6. Sebagai penjelasan ( tibyan ) atau yang menjelaskan ( mub i n ) terhadap
sesuatu yang disampaikan Allah.
7. Sebagai pembenar ( mushaddiq ) terhadap kitab yang sebelumnya ( Taurat,
Zabur, Injil ) sebelum adanya perubahan terhadap isi kitab tersebut.
8. Sebagai cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia menuju jalan
keselamatan.
9. Sebagai tafsil, yaitu memberi penjelasan secara rinci sehingga dapat
dilaksanakan sesuai yang dikehendaki Allah.
10. Sebagai syifau al shudur, yaitu obat rtohani yang sakit.
11. Sebagai hakim, yaitu sumber kebijaksanaan.

b. Sunnah

b.1 Pengertian sunnah


Secara etimologi
Sunnah (Arab: sunnah, artinya "arus yang lancar dan mudah" atau "jalur aliran
langsung") dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara
rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan (tradisi) yang
dilaksanakan oleh rasulullah.

Secara istilah / terminologi


Sunnah adalah jalan yang di tempuh oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik
ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun penetapan

Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran. Narasi
atau informasi yang disampaikan oleh para sahabat tentang sikap, tindakan,
ucapan dan cara rasulullah disebut sebagai hadits. Sunnah yang diperintahkan
oleh Allah disebut sunnatullah (hukum alam).
Hadist atau sunnah adalah segala apa yang datangnya dari Nabi Muhammad,
baik berupa segala perkataan yang telah diucapkan, perbuatan yang pernah
dilakukan pada masa hidupnya ataupun segala hal yang dibiarkan berlaku.
b.2 Macam-Macam Sunnah :

1. Sunnah Qauliyah, yaitu

ucapan Nabi yang didengar sahabat beliau dan disampaikannya kepada kepada orang
lain. Namun ucapan Nabi ini bukan wahyu al Qur`an. Untuk membedakan sunnah dan
wahyu al Qur`an yang sama-sama lahir dari lisan Nabi adalah dengan cara, antara
lain:

 Bila wahyu al Qur`an selalu mendapat perhatian khusus dari Nabi dan menyuruh
orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta mengurutkannya sesuai
petunjuk Allah. Sedangkan sunnah tidak, bahkan Nabi melarang menuliskannya
karena khawatir tercampur dengan al Qur`an.
 Penukilan alQur`an selalu dalam bentuk mutawatir, sedangkan sunnah pada
umumnya diriwayatkan secara perorangan.
 Penukilan al Qur`an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan arti sesuai dengan
teks aslinya seperti yang didengar dari Nabi. Sedangkan sunnah dinukilkan secara
ma`nawi ( disampaikan dengan redaksi dan ibarat yang berbeda walau maksudnya
sama ).
 Bila yang diucapkan Nabi al Qur`an mempunyai daya pesona / mu`jizat, sedangkan
bila sunnah tidak.

2. Sunnah Fi`liyah, yaitu

Perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui
oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang laindengan ucapannya.

Para ulama membagi perbuatan Nabi ke dalam tiga bentuk :

- Perbuatan dan tingkah laku Nabi sebagai manusia biasa. Ulama berbeda
pendapat tentang keteladanannya bagi umat, ada yang berpendapat bahwa
perbuatan Nabi bentuk ini mempunyai daya hukum untuk diikuti dan ada yang
berpendapat tidak mempunyai daya hukum untuk diikuti.
- PerbuatanNabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan
tersebut khusus untuk Nabi.
- Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum.
- Perbuatan Nabi yang diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat dan
menjadi dalil hukum yang harus diikuti oleh umat.

3. Sunnah Taqri riyah, yaitu

perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan Nabi atau
sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Keadaan
diamnya Nabi dibedakan pada dua bentuk :
- Nabi mengetahui perbuata itu pernah dibenci dan dilarang ileh Nabi. Diamnya
Nabi dapat berarti perbuatan itu tidak boleh dilakukan atau boleh dilakukan (
pencabutan larangan ).
- Nabi belum pernah melarang perbuatan itusebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi menunjukan hukumnya adalah ibahah ( meniadakan
keberatan untuk diperbuat ).

c. Ijma ( Ijtihad Ulama )

c.1 Pengertian Ijma


Secara Etimologi
Ijmak atau Ijma' (Arab:) adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam
suatu perkara yang terjadi.

Secara Terminologi
Ijma adalah penyesuaian paham atau pendapat di antara para ulama mujtahid
pada suatu masa tertentu untuk menentukan hukum suatu masalah yang belum
ada ketentuan hukumnya.

c.2 Unsur-unsur Ijma'

1. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama).


2. Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas.
3. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
4. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah.
5. Yang disepakati itu adalah hukum syara' mengenai suatu masalah/peristiwa
hukum tertentu.

Ijma' umat terbagi menjadi dua:

1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan


pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak
mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut
Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya.
Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma'
yang sebenarnya.
Sandaran ijma'

Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan
merupakan dalil yang berdiri sendiri.

Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir,
juga dapat berupa dalil zhanni yaitu Hadits ahad dan qiyas

d. Qiyas
d.1 Pengertian qiyas
Menurut Etimologi Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan
Menurut Termonologi Qiyas artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang
baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab,
manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi
sama.

Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

d.2 Rukun Qiyas ada empat;

1. Al-ashl (pokok)

Al-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan


nash, baik berupa Quran maupun Sunnah.

Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai


berikut:

 Al-ashl tidak mansukh. Artinya hukum syara' yang akan menjadi


sumber pengqiyasan itu masih berlaku pada masa hidup
Rasulullah. Apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka
ia tidak dapat menjadi al-ashl.
 Hukum syara'. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang
hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah
hukum syara', bukan ketentuan hukum yang lain.
 Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan
pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas.

2. Al-far'u (cabang)

Al-far'u ialah masalah yang hendak diqiyaskan yang tidak ada ketentuan nash
yang menetapkan hukumnya.
Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai
berikut:

 Sebelum diqiyaskan tidak pernah ada nash lain yang menentukan hukumnya.
 Ada kesamaan antara 'illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat
dalam al-far'u.
 Tidak terdapat dalil qath'i yang kandungannya berlawanan dengan al-far'u.
 Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat
dalam al-far'u.

3.Hukum Ashl

Hukum Ashl adalah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan
hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari Quran maupun Sunnah.

Mengenai rukun ini, para ulama menetapkan beberapa persyaratan sebagai


berikut:

1. Hukum tersebut adalah hukum syara', bukan yang berkaitan dengan


hukum aqliyyah atau adiyyah dan/atau lughawiyah.
2. 'Illah hukum tersebut dapat ditemukan, bukan hukum yang tidak dapat
dipahami 'illahnya.
3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushshiyyah
Rasulullah.
4. Hukum ashl tetap berlaku setelah waftnya Rasulullah, bukan ketentuan
hukum yang sudah dibatalkan.

4.'Illah

'Illah adalah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi,
dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.

Mengenai rukun ini, agar dianggap sah sebagai 'illah, para ulama menetapkan
beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Zhahir, yaitu 'illah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat disaksikan
dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain.

2. 'Illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan
hukum. Dalam hal ini, tujuan hukum adalah jelas, yaitu kemaslahatan mukallaf di
dunia dan akhirat, yaitu melahirkan manfaat atau menghindarkan kemudharatan.

3. Mundhabithah, yaitu 'illah mestilah sesuatu yang dapat diukur dan jelas
batasnya.
4. Mula'im wa munasib, yaitu suatu 'illah harus memiliki kelayakan dan memiliki
hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat uang dipandang sebagai 'illah.

5. Muta'addiyah, yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang
ada nash hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang
hendak ditetapkan hukumnya.

Ruang lingkup hukum Islam


Ruang lingkup hukum Islam diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu:

1) hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, dan

2) hukum yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan.

Hal ini akan diuraikan sebagai berikut|

1) Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan manusia


denganTuhannya, yaitu iman, shalat, zakat, puasa, dan haji.

2) Hukum kemasyarakatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia


dengan sesamanya yang memuat: muamalah, munakahat, dan ukubat.

a. Muamalah mengatur tentang harta benda (hak, obligasi, kontrak, seperti


jual beli, sewa menyewa, pembelian, pinjaman, titipan, pengalihan utang,
syarikat dagang, dan lain-lain).

b. Munakahat, yaitu hukum yang mengatur tentang perkawinan dan


perceraian serta akibatnya seperti iddah, nasab, nafkah, hak curatele, waris,
dan lain-lain.
Hukum dimaksud biasa disebut hukum keluarga dalam bahasa Arab disebut
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah. Cakupan hukum dimaksud biasa disebut hukum
perdata.

c. Ukubat atau Jinayat, yaitu hukum yang mengatur tentang pidana seperti
mencuri, berzina, mabuk, menuduh berzina, pembunuhan serta akibat-
akibatnya. Selain bagian-bagian tersebut, ada bagian lain yaitu (a)
mukhasamat, (b) siyar, (c) ahkam as-sulthaniyah. Hal ini akan dijelaskan
sebagai berikut:

- Mukhasamat, yaiu hukum yang mengatur tentang peradilan: pengaduan


dan pembuktian, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan hukum acara perdata
dan hukum acara pidana

- Siyar, yaitu hukum yang mengatur mengenai urusan jihad dan/atau perang,
harta rampasan perang, perdamaian, perhubungan dengan Agama lain, dan
negara lain.

- Ahkam As-Sulthaniyah, yaitu hukum yang membicarakan persoalan


hubungan dengan kepala negara, kementerian, gubernur, tentara, dan pajak.

Kalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematika hukum


eks Barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik
seperti yang diuraikan pada pembagian hukum menurut daya kerjanya, maka
susunan hukum muamalah dalam arti luas adalah sebagai berikut:

Hukum perdata (Islam) adalah


(1) munakahat (mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya);
(2) wirasah (mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris,
ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan). Hukum waris ini
sering disebut hukum faraid;
(3) muamalah dalam arti khusus mengatur masalah kebendaan, hak-hak
atas`benda, tata hubungan manusia dengan soal jual beli, sewa menyewa,
perserikatan, dan sebagainya.

Hukum publik (Islam) adalah


(4) jinayat (memuat aturan-aturan mengenai perbuatan yang diancam
hukuman pidana);
(5) al-ahkam as-sulthaniyah (membicarakan soal-soal yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, tentara, pajak, dan sebagainya);
(6) siyar (mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan
pemeluk Agama, dan negara lain);
(7) mukhamasat (mengatur soal peradilan, kehakiman, dan tata hukum
acara).

Anda mungkin juga menyukai