Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR LANSIA


1. Pengertian Lansia
Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia
65-75 tahun (Potter, 2005). Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan
tua (Nugroho, 2008).
Penuaan adalah suatu proses yang alamiah yang tidak dapat dihindari,
berjalan secara terus-manerus, dan berkesinambungan (Depkes RI, 2001).
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam (2008), Usia lanjut dikatakan sebagai
tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia sedangkan
menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 Tentang Kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008). Penuaan adalah normal, dengan
perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan dan terjadi pada
semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan
kronologis tertentu (Stanley, 2006).

2. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam (2008), lansia memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13
tentang kesehatan).
2) Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaftif
hingga kondisi maladaptif
3) Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi (Maryam, 2008).
3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia.
1) Pralansia (prasenilis), Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2) Lansia, Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia Resiko Tinggi, Seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan (Depkes RI, 2003)
4) Lansia Potensial, Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI,
2003).
5) Lansia Tidak Potensial, Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI,
2003).

4. Tipe Lansia
Di zaman sekarang (zaman pembangunan), banyak ditemukan
bermacam-macam tipe usia lanjut. Yang menonjol antara lain:
1) Tipe arif bijaksana, Lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2) Tipe mandiri, Lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang
dengan kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman
pergaulan, serta memenuhi undangan.
3) Tipe tidak puas, Lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin,
menentang proses penuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan,
kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman
yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut,
sulit dilayani dan pengkritik.
4) Tipe pasrah, Lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib
baik, mempunyai konsep habis (“habis gelap datang terang”), mengikuti
kegiatan beribadat, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
5) Tipe bingung, Lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian,
mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh
(Nugroho, 2008).
5. Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi
oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Adapun tugas
perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun.
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
d. Mempersiapkan kehidupan baru.
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai.
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan
(Maryam, 2008).

B. KONSEP DASAR EPILEPSI


1. Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling
tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik
.
2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),
sering terjadi pada:

a. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum


b. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
c. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
e. Tumor Otak
f. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab
utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan
otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis
epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut
terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan
prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai
nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada
saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12
bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang.
Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang,
yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan
adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi,
kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

3. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat
lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps
dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula
setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang
lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer
yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena
adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak
di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat
membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga
respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan
cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
(Pathway terlampir)

4. Manifestasi Klinis
- Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan
- Kelainan gambaran EEG
- Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
- Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
- Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
- Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
- Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi,
bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
- Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode
epileptikus tersebut lewat
- Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
- Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
- Gigi geliginya terkancing
- Hitam bola matanya berputar- putar
- Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air
kecil
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-
tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap
rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang
pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala
penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya
menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-
putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar.
Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba
melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan
tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis
maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada
lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara
lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran
darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya
pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh
sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya
epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.

5. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi
pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan
jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

6. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
a. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari
epilepsi
b. Melakukan terapi simtomatik
c. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat
yang normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika
penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia,
hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut
menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan
mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini:
fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik.
Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di
atas.

7. Pencegahan
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum
obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-
70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun
serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau
yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai
prognosis relatif jelek.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,
dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
2. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan
kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien /
keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat.
Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering
berhenti mendadak bila diajak bicara.
3. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
4. Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
5. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab
terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor
keturunan.
6. Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum
di masyarakat).
7. Pemeriksaan fisik (ROS)
a. B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
b. B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
c. B3 (brain): penurunan kesadaran
d. B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
e. B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
f. B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah
di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat

C. Intervensi dan rasional


1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:

Identivikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat


memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri

Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti


mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi: Mengurangi aktivitas kejang yang
Berikan obat anti konvulsan sesuai berkepanjangan, yang dapat mengurangi
advice dokter suplai oksigen ke otak
Edukasi:

Anjurkan pasien untuk memberi tahu Sebagai informasi pada perawat untuk
jika merasa ada sesuatu yang tidak segera melakukan tindakan sebelum
nyaman, atau mengalami sesuatu yang terjadinya kejang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan terjadinya
kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah


di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak
ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan menurunkan resiko aspirasi atau
mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke faring.
palsu atau alat yang lain jika fase aura
terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
meningkatkan aliran (drainase) sekret,
Letakkan pasien dalam posisi miring,
mencegah lidah jatuh dan menyumbat
permukaan datar
jalan nafas
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / untuk memfasilitasi usaha bernafas /
dada dan abdomen ekspansi dada

Melakukan suction sesuai indikasi Mengeluarkan mukus yang


berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau
asfiksia.

Membantu memenuhi kebutuhan oksigen


Kolaborasi
agar tetap adekuat, dapat menurunkan
Berikan oksigen sesuai program terapi
hipoksia serebral sebagai akibat dari
sirkulasi yang menurun atau oksigen
sekunder terhadap spasme vaskuler
selama serangan kejang.

3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor Memberi informasi pada perawat tentang
yang berpengaruh pada perasaan isolasi factor yang menyebabkan isolasi sosial
sosial pasien pasien
Mandiri

Memberikan dukungan psikologis dan Dukungan psikologis dan motivasi dapat


motivasi pada pasien membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:

Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi


perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada Memberikan kesempatan untuk
kelompok penyokong, seperti yayasan mendapatkan informasi, dukungan ide-
epilepsi dan sebagainya. ide untuk mengatasi masalah dari orang
lain yang telah mempunyai pengalaman
yang sama.
Edukasi:

Anjurkan keluarga untuk memberi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,


motivasi kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan Menghilangkan stigma buruk terhadap


teman dekat pasien bahwa penyakit penderita epilepsi (bahwa penyakit
epilepsi tidak menular epilepsi dapat menular).
DAFTAR PUSTAKA

Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient
Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.

Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.

Hudac. M. C. R and Gallo B. M, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik


(Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia.

Kariasa Made, 1997, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.

Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing Psychology Approach,


Fourt Ed, Philadelpia London.

Price S. A and Wilson L. M, 1982, Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease


Process, Second Ed, St Louis, New York.
Pathway Epilepsi

Anda mungkin juga menyukai