Anda di halaman 1dari 10

13

Kejang Pada Tumor Otak

Nasrul Musadir

Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/


Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Definisi dan Pengertian


Tumor disebut juga neoplasma adalah jaringan abnormal yang
tumbuh secara tidak terkontrol pada jaringan tubuh. Pada sel normal
terjadi pertumbuhan secara terkontrol dan biasanya akan mengganti sel
yang sudah tua ataupun rusak dengan sel yang baru. Sel tumor yang
terjadi akan berkembang secara tidak terkendali tanpa penyebab yang
jelas. Tumor otak merupakan sekumpulan sel abnormal yang tumbuh tak
terkontrol membentuk massa di dalam ruang tengkorak kepala
1
(intracranial).
Tumor otak terdiri dari tumor primer yaitu tumor yang berasal dari
jaringan otak sendiri. dan tumor sekunder (metastase) yang merupakan
tumor yang berasal dari daerah lain dan menyebar ke otak. Bagaimana
pilihan tatalaksana tumor yang tumbuh di otak tersebut sangat bervariasi
bergantung pada tipe, ukuran, lokasi, penyebaran tumor dan usia pasien
saat tumor terdiagnosis, Tumor otak primer merupakan pertumbuhan

149
abnormal yang dimulai dari otak dan biasanya tidak menyebar ke bagian
tubuh yang lain. Tumor otak primer dapat terdiri dari jenis tumor benigna
dan maligna. Tumor benigna biasanya berbatas tegas, dan jarang
menyebar. Meskipun tidak bersifat ganas, tumor jenis ini dapat
mengancam jiwa jika tumbuh di area vital. Sedangkan tumor maligna
tumbuh dan menyebar dengan cepat di bagian otak dan berbatas tidak
tegas. Meskipun bersifat ganas, tumor jenis ini jarang menyebar ke luar

otak dan medula spinalis.1,2 Tumor otak sekunder (metastatic)


merupakan penyebaran dari kanker pada bagian lain dari tubuh dan
menyebar ke otak, misalnya tumor paru yang menyebar ke otak, ini

disebut dengan kanker metastase paru.1,2

Grading tumor Otak


World Health Organization (WHO) telah menetapkan sistem stadium
untuk menstandarisasi rencana penatalaksanaan dan prediksi terhadap
pertumbuhan tumor otak. Grade dari tumor otak tersebut menunjukkan
bagaimana keabnormalan sel yang terlihat secara mikroskop dan
menunjukkan juga kecepatan pertumbuhan dan penyebaran dari tumor

otak tersebut. Sistem stadium tersebut terdiri dari :1,2


1. Grade I
Pada stadium ini, tumor berkembang secara lambat, dengan sel yang
tampak kecil ataupun sel normal, dan jarang terlihat menyebar disekitar
jaringan lunak lainnya. Pada stadium ini tindakan operatif untuk
1,2
mengangkat tumor masih sangat dimungkinkan.
2. Grade II

150
Stadium ini menunjukkan adanya penyebaran di sekitar jaringan lunak
meskipun tumor berkembang secara lambat. Pada tahap ini, tumor dapat
1,2
saja berkembang ke gradium yang lebiuh tinggi.

3. Grade III
Akan terlihat perbedaan yang jelas antara sel tumor dengan sel normal
disekitarnya. Tumor berkembang secara cepat dan seringkali menyebar
1,2
ke jaringan lunak yang lain.
4. Grade IV
Pertumbuhan tumor terjadi secara sangat cepat dan agresif, dan sel
tumor terlihat berbeda dengan sel normal. Pada stadium ini, tumor sulit
untuk diterapi.1,2
Gejala Klinis
Berbagai gejala klinis dapat terjadi akibat tumor otak. Gejala awal
dapat berupa nyeri kepala yang dirasakan terus-menerus. Pada tahap
lebih lanjut, akibat pendesakan jaringan otak, pasien dapat mengalami
tanda-tanda peningkatan tekanan tinggi intrakranial. Bisa terjadi
gangguan visus, hemiparesis dan gejala gangguan serebral umum seperti
perubahan perilaku, perubahan kemampuan berfikir, kehilangan nafsu
makan, dan kejang merupakan keadaan yang sering didapati pada
1,2,3,5
penderita tumor otak..
Nyeri kepala
Nyeri kepala bersifat ringan, episodik sampai berat, serta
berdenyut. Umumnya bertambah berat di malam hari dan pagi hari
setelah bangun tidur dimana terjadi peninggian tekana intrakranial. Nyeri
kepala ditemukan 30% pada tumor otak, sedangkan 70% ditemukan pada
gejala lanjut.3,5
151
Muntah
Terdapat pada 30% kasus dan umumnya menyertai nyeri kepala.
Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya
muntah bersifat proyektil dan tidak disertai dengan mual.3,5
Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial
Keluhan nyeri kepala di daerah frontral dan oksipital yang timbul
pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dn penurunan
kesadaran. Jika papil udem ditemukan perlu tindakan segera
3
karena setiap saat dapat timbul ancaman herniasi.
Kejang
Kejang merupakan gejala yang sering terjadi pada penderita
dengan lesi intracranial. Kemungkinan adanya tumor otak perlu
dicurigai bila kejang terjadi pada usia di atas 25s, kemudian pada
penderita yang mengalami post iktal paralisis, dan terjadinya
3
status status epilepsi.
Kejang merupakan onset gejala yang sering didapati pada penderita
tumor otak. Bangkitan epilepsi yang terjadi akibat tumor otak telah
dibahas sejak abad 19; dimana John Hugling Jackson merupakan orang
yang pertama kali melaporkan hubungan langsung antara kejang dan
tumor otak. Kejang dapat saja terjadi sebagai gejala awal dan bisa terus
3
terjadi selama proses pengobatan terhadap tumor otaknya. . Kira-kira
30-50% pasien dengan tumor otak mengalami kejang sebagai gejala awal
dan umumnya pasien dengan tumor otak primer lambat mengalami angka
insiden kejang mencapai 80-90%.. Kejang yang terjadi umunya berupa
kejang fokal dengan generalisasi sekunder dan seringnya sulit diobati
(refractory epileptic). Kejang yang terjadi belakangan biasanya dapat
juga diakibatkan prosedur tindakan bedah saraf atau perkembangan lebih
152
lanjut dari lesi abnormal intrakranial tersebut. Pengobatan terhadap
penderita tumor otak yang disertai dengan epilepsi tersebut umumnya
sangat kompleks dan membutuhkan pendekatan dari berbagai bidang.
Karenanya di samping sebagai penanda diagnosis tumor otak, kejang
juga merupakan patokan penting dalam menilai kualitas hidup
pasien.Berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara awal
timbulnya kejang dengan prognosis yang lebih baik. Patofisiologi
Kejang Pada Tumor Otak
Bagaimana hubungan antara tumor dan timbulnya kejang
sebenarnya masih belum dipahami sepenuhnya. Secara pathogenesis
sampai saat ini ada dua pendapat yang menghubungkan antara tumor dan
timbulnya kejang. Pendapat pertama didasarkan pada asal tumor, dimana
tumor mengeluarkan molekul yang dapat menjadikan jaringan tumor
bersifat epileptogenic. Pendapat yang lain berdasarkan pada pemikiran
bahwa tumor menekan jaringan normal di sekitarnya yang kemudian
pada waktunya berubah menjadi “epileptogenic” setelah mengalami
proses iskemia dan hipoksia.
Sementara secara mekanisme, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kejang pada penderita tumor otak :
1. Histologi
Dari segi histologi kejang biasanya terjadi pada pasien pada tumor
jinak seperti disembriblastik neuroepitelial tumor, ganglioglioma dan
oligodendroglioma. Sementara pada tumor-tumor ganas seperti dan
tumor metastase seperti glioblastoma multiform kejang jarang terjadi.
Penjelasan mengenai hal ini adalah pada tumor jinak terjadi deferensiasi
sel yang baik yang mampu mengeluarkan neurotransmitter dan zat-zat
modulator yang bersifat epileptogenik. Materi-materi tersebut akan
153
merangsang korteks dan subkorteks yang akan memicu transmisi elektrik
sebagai precursor kejang. Selain itu, inflamasi kronis berupa edem
perifokal akan mengubah komposisi elektrolit yang dapat memicu
timbulnya kejang. Sementara, kenyataannya juga tidak semua pasien
dengan lokasi dan histology yang sama akan mengalami kejang. Hal ini
memberikan kemungkinan adanya factor genetic yang berperan dalam
10,11,12
hubungan tumor otak dan terjadinya kejang.
2. Lokasi Tumor
Lokasi sebuah tumor juga sangat menentukan timbulnya kejang.
Tumor yang belokasi di daerah subkorteks sangat jarang menimbulkan
gejala kejang. Beberapa penelitian menyebutkan keberadaan tumor di
korteks serebri terutama di subtansia grisea merupaka lokasi yang sering
menimbulkan kejang. Dari segi pembagian lobus, lobus frontal dan lobus

temporal serta sistem limbik berperan penting dalam terjadinya kejang.4


3. Sawar Darah Otak
Komponen selular yang menyusun sawar darah otak meliputi sel
endothelial, astrosit, perisit, neuron, dan komplek jungtional dan juga
dilapisi oleh protein seperti okludin, klaudin, dan molekul adhesi.
Aktivitas proliferasi sel-sel tumor akan menghasilkan zat-zat yang akan
merusak sawar darah otak, sehingga menurunkan fungsi protein
transmembran, sehingga dihasilkan VascularEndothelial Growth Factor
(EGF). Difusi zat VEGF di peritumor akan menginisiasi edema disekitar
lesi yang berakibat pada meningkatkan TGF beta, akumulasi potasium,
dan N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang memediasi hipereksitabilitas
4
dari susunan saraf dan berujung pada timbulnya kejang.
4. Gap Junction

154
Komunikasi antar sel glia dijembatani oleh protein yang
dinamakan connexins. Sel-sel tumor akan mengeluarkan materi-materi
yang berperan dalam peningkatan reaktivitas protein tersebut, sehingga
koneksi antara sel glia menjadi meningkat. Hipereaktivitas dari

connexins merupakan salah satu faktor pencetus kejang.4


5. Perubahan Molecular Genetilk
Faktor genetic yang dimiliki oleh sel tumor jika memilki peran
dalam timbulnya proses kejang. Sebagai contoh, ekspresi gen tumor
LGI1 berkontribusi dalam mempercepat pertumbuhan sel tumor disertai
peningkatan aktivitas potensial aksi sel-sel normal disekelilingnya.
Perubahan genetik dari sel tumor itu sendiri juga dapat menjadi focus
4
eksitatorik yang berperan dalam proses terjadinya kejang.
IV. Treatment
Pasien dengan tumor otak yang berkaitan dengan epilepsi
memperlihatkan gambaran terapi yang sangat kompleks dan memerlukan
pendekatan unik dan multidisiplin. Banyak faktor yang berpengaruh dan
perlu dipertimbangkan. Pertama, manajemen dari pemberian terapi
farmakologik termasuk penggunaan obat antiepilepsi, kemoterapi, dan
terapi suportif yang dapat menimbulkan interaksi obat dan efek kolateral.
Kedua, pertimbangan untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik
untuk pasien. Sebagai tambahan, kita harus mengetahui epilepsi masih
menjadi stigma dan mengakibatkan seseorang yang didiagnosa dengan
17
penyakit ini akan dikucilkan dari kehidupan social.
Kehadiran epilepsi dianggap faktor risiko yang paling penting
bagi kecacatan jangka panjang pada pasien tumor otak. Untuk itu,
pemberian obat-obatan yang tepat dan efek samping obat sangat penting.
Berdasarkan efektivitas klinis, obat antiepilepsi (Antiepileptic Drugs/
155
AED) pada pasien tumor otak dengan epilepsi, penggunaan obat
antiepilepsi seperti Carbamazepine, Phenytoin, dan Fenobarbital
memberikan efektitivitas yang sedikit. Penggunaan obat antiepilepsi
seperti monoterapi oxcarbazepine menunjukkan 62,9% pasien bebas dari
kejang, sedangkan penggunaan monoterapi topiramate menunjukkan
55,6% pasien bebas kejang. Penggunaan monoterapi Levetiracetam
ataupun sebagai terapi tambahan lebih baik, yang menunjukkan 88%

pasien bebas kejang.18


Efek samping dari obat dapat dibagi menjadi dua jenis:
1) Toksisitas pada dosis-independen yang tak terduga, dan biasanya
manifestasi muncul dalam tahap awal pemberian obat;
2) Efek toksik akut, yang tergantung dosis, sangat sering, dan dapat
terjadi sepanjang perjalanan pengobatan dengan obat (efek ini sering
karena modifikasi farmakokinetik yang disebabkan oleh terapi
bersamaan), dan 3) Efek toksik kronis, yang timbul setelah bulan atau
tahun pengobatan, terkait dengan jumlah total obat yang dikonsumsi,
yang spesifik untuk masing-masing obat, dan bahkan dapat muncul pada
dosis terapi.17
Setiap AED dikaitkan dengan efek samping tertentu, baik pasien
onkologi dan non-onkologi:
1) Fenobarbital menyebabkan gambaran kognitif yang buruk (sedasi,
masalah perilaku, defisit kognitif, perasaan depresi), dan
penggunaannya tidak dianjurkan pada pasien dengan tumor otak dan
defisit kognitif. Hal ini juga dapat menyebabkan anemia
megaloblastik dan periarthritis scapular-humerus, yang terakhir
sering menyebabkan nyeri dan fungsional impotensi, yang dapat
17
memperburuk kecacatan yang berhubungan dengan tumor.
156
2) Carbamazepine dapat menyebabkan pusing, diplopia dan sedasi,
sedangkan efek khusus yang paling ditakuti, meskipun jarang, adalah
toksisitas hematologi, biasanya terjadi hanya pada awal perawatan,
leukopenia ringan dan non-progresif, yang tidak memerlukan

suspensi obat.17

3) Phenytoin dapat menyebabkan agranulositosis (yang tidak


memerlukan suspensi obat) dan ensefalopati akut dengan masalah
psikologis dan neurologis itu, dengan tidak adanya tanda-tanda
17
klasik keracunan, bisa untuk menyarankan perkembangan tumor.

4) Topiramate dapat menyebabkan masalah dengan bahasa dan memori.


Secara khusus, satu studi double-blind dari subyek sehat
menunjukkan penurunan global fungsi kognitif, terutama bahasa dan
17
memori, tapi bukan dari fungsi motorik.

5) Diantara AED baru, salah satunya levetiracetam memberikan


toleransi yang lebih baik, yang menunjukkan efektifitas yang baik
dan beberapa efek samping, tetapi dapat menyebabkan perilaku
17
agresif dan agitasi.
Daftar Pustaka
1. Philip Theodosopoulus. Brain Tumor: an Introduction. Mayfield
Clinic. 2013: http://www.mayfieldclinic.com
2. Manoj L, Kalyani M, Jyothi K, Bhavani GG, Govardhani V.
Review of brain and brain cancer treatment. International journal
of Pharma and Bio Sciences. 2011;1(2): 468-477
3. Ausman. Intracranial neoplasma in AB Berker (ed.) Clinical
neurology. Philadelphia: Harper & Row. 1987: 649-659
4. Gan You, Zhiyi Sha, Tao Jiang. The pathogenesis of tumor-related
Epilepsy and its Implications for Clinical Treatment. J. Seizure.
2012;21: 153-159
5. Black BP. Brain tumor review article. Nejm. 1991;324: 1471-
1471

157
6. Van Breemen MS, Wilms EB, Vecht CJ. Epilepsy and Patiens
with Brain tumors: Epidemiology, Mechaanisms, and
management. Lancet Neurol. 2007;6: 421-30
7. Lote K, Stenwig AE, Skullerud K, Hirschberg H. Prevalence and
prognostic Significance of Epilepsy in patients with gliomas. Eur
J cancer 1998;34: 98-102
8. Danfors T, Ribom R, berntsson SG, Smits A. Epileptic Seizure
and Survival During Early disease in grade 2 gliomas. Eur J
Neurol. 2009;16: 823-831
9. Piepmeier J, Christoper S, Spencer D, Byne T, Kim J, knisel JP, et
al. Variations in the natural history and survival of patients with
supratentorial low grade astricytomas. Neurosurgery. 1996;38:
872-878
10. Beaumont A, Whittle IR. The pathogenesis of tumor associated
apilepsy. Acta Neurochir. 2000;142:1-15
11. Rosati A, Tomassini A, Pollo B, Ambrosi C, Schwart A,
Padovani, et al. Epilepsy in cerebral glioma: timing of appearance
and histological correlations. J Neuroncol. 2009; 93: 395-400
12. Wolf HK, Roos D, Blumcke I, Pietsch T, Wiestler OD.
Perilesional neurochemical changes in focal epilepsies. Acta
Neuropathol. 1996;91: 376-84
13. Schaller B, Ruegg SJ. Brain tumor and seizures: pathophysiology
and its implications for treatment revisited. Epilepsia. 2003;44:
1223-32
14. Engel Jr J. Seizures and epilepsy. Philadelphia: FA Davis; 1989.
P. 221-39
15. Chi OZ, Hunter C, Liu X, Tan T, Weiss HR. Effects of VEGF on
the blood brain barrier disruption caused by hyperosmolarity.
Pharmacology. 2008; 82: 187-92
16. Aronica E, Gorter JA, Jansen GH, Leenstra S, Yankaya B, Troost
D, et al. Expression of connexin 43 and connexin 32 gap junction
proteins in epilepsy associated brain tumor and in the perilesional
apileptic cortex. Acta Neuropathol. 2001;101: 449-59
17. Maschio M. Brain tumor related epilepsy. Current
Neurophamacology. 2012;10: 124-133
18. Maschio M, Dinapoli L, Savcriano F, Pompili A, Carapella, Vidiri
A, Jandolo B. Efficacy and tolerability of zonisamide as add on in
brain tumor related epilepsy: preliminary report. Acta Neurol.
2009;120: 210-212

158

Anda mungkin juga menyukai