Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konsep bahwa islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran
tertentu yang harus diimani,juga tidak melepakan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat
tertentu. Kearifan lokal (hukum) islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum
dalam alquran yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-islam. S.Waqar
Ahmed Husaini mengemukakan,bhwa agam islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi
mastyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum islam dengan penyempurnaan
dan batasa-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh nabi Muhammad
SAW.kebijakan –kebijkan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunahnya
banyak mencerminka kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu
metode ushul fiqh untuk mengistinbath setiap permaslahan dalam kehidupan ini.

Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan
dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh,
urf disebut adat (adat kebiasaan). Secara bahasa “Al-adatu “ terambil dari kata “ Al-audu” dan
“Al-muaawatu”. Yang berarti “pengulangan”, oleh karena itu, secara bahasa al-‘adah’ berarti
perbuatan dan ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk
dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan. Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu
bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan.
Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat keiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk
memutuskan perkara perselisihan antara manusia.

Saddu al zariat secara bahasa artinya menutup jalan. Akal akan berkata kalau jalan itu
ditutup maka konsekuwensinya semua arah yang akan menuju ke pintu itu tidak boleh dilalui.
Menurut istilah syara’sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Syaukani sebagaimana dikutip
oleh Fathurrahman Djamil; saddu al zariat adalah “sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh
namun hal itu akan membawa kepada hal yang dilarang.”

Dalam makalah ini akan dibahas tentang urf yang terdiri dari pengertian urf dan macam-
macam urf dan perbenturan urf dan kehujjahannya dan akan membahas tentang saddu al-zariat
yang terdiri dari pengertian saddu al-zariat,macam-macam saddu al-zariat,serta kehujjahan saddu
al-zariat dalam ekonomi syari’ah.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Urf dan sebutkan macam-macam Urf ?

2. Bagaimana pembenturan Urf dan kehujjahannya ?

3. Sebutkan pengertian Saddu Adz-Dzari’ah dan macam macamnya !

4. Bagaimana kehujahan Saddu Adz-Dzari’ah dalam ekonomi syariah?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui Pengertian Urf dan Macam-macam Urf

2. Mengetahui Bagaimana Perbenturan Urf dan Kehujjahannya

3. Mengetahui Pengertian Saddu Al-zariat dan Macam-macamnya

4. Mengetahui Kehujjahan Saddu Al-zariat dalam Ekonomi Syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Urf dan Macam-macamnya

1. Pengertian Urf (adat)

Dilihat dari segi bahasa kata urf berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata ,
sering diartikan sesuatu yang di kenal. Contohnya "Si Ahmad lebih dari yang lain dari segi
urfnya". Maksudnya ialah bahwa si Ahmad lebih dikenal dibanding dengan yang lainnya.
Adapun kata adat juga berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti pengulangan suatu
peristiwa tetapi terlepas dari penilaian baik dan buruknya (netral). Adapun kata urf, lebih
cenderung kepada kualitas (baik buruknya) sehingga diakui dan dikenal oleh orang banyak.
Kalau diteliti, sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara adat dan urf, karena keduanya
sama-sama mengacu kepada peristiwa yang berulang kali dilakukan sehingga diakui dan dikenal
orang.

Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal
sehat”. Menurut kebanyakan ulama, ‘urf dinamakan juga adat, sebab perkara yang sudah dikenal
itu berulang kali dilakukan manusia. Namun, sebenarnya adat itu lebih luas dari pada’urf, sebab
adat kadang-kadang terdiri atas adat perseorangan atau bagi orang tertentu, sehingga hal ini tidak
bisa dinamakan ‘urf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat, maka inilah yang disebut
‘urf.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para
ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk
menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang
bertentangan dengannya.

2. Macam-macam Urf

Macam-macam urf ditinjau dari berbagai aspeknya dapat dibagi menjadi:

a. Dilihat dari sumbernya

 Urf qauli, yang dimaksud urf qauli, ialah kebiasaan yang berlaku dalam kata-kata atau
ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah kata "lahm" (bahasa Arab) yag
artinya adalah daging. Pengertian daging dapat mencakup semua daging: (daging ikan,
sapi, kambing dan lain sebagainya). Namun dalam adat kebiasaan sehari-hari kata daging
tidak berlaku untuk ikan. Oleh karena itu, jika ada orang bersumpah " Demi Allah saya
tidak memakan daging" tetapi kemudian ia memakan menurut adat ia tidak melanggar
sumpah meskipun ikan secara bahasa termasuk daging.

3
 Urf Fi'ly, yaitu kebiasaan yang berlaku pada perbuatan. Umpamanya kebiasaan dalam
jual beli barang-barang yang kurang begitu bernilai. Transaksi antara penjual dan pembeli
hanya cukup dengan pembeli menerima barang dan penjual menerima uang tanpa ada
ucapan transaksi (akad). Kebiasaan mengambil rokok diantara sesama teman tanpa
adanya ucapan meminta dan memberi hal ini tidak dianggap mencuri.

b. Dilihat dari Ruang Lingkupnya:

 Urf Umum, ialah kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana hampir di seluruh
penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Contohnya, menganggukkan
kepala pertanda setuju dan menggelengkan kepala pertanda menolak. Jika ada orng
melakukan kebalikan dari itu, maka orang itu dianggap aneh dan ganjil. Contoh lain
mengibarkan bendera setengah tiang menandakan duka cita adanya kematian orang yang
dianggap terhormat.

 Urf Khusus, ialah kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat tertentu
atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sembarang waktu dan tempat. Umpamanya
adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan(matrilineal) di Minang
Kabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak. Orang Sunda
menggunakan kata paman hanya untuk adik dari ayah tidak digunakan untuk kakak dari
ayah. Adapun orang Jawa menggunakan kata paman untuk adik dan untuk kakak dari
ayah. Bagi masyarakat tertentu penggunaan kata budak dianggap menghina. Karena kata
itu, berarti hamba sahaya. Tetapi bagi masyarakat lain-nya kata budak bisa digunakan
untuk anak-anak.

c. Dilihat dari segi baik dan buruknya urf terbagi menjadi dua macam:

 Urf Sahih, ialah kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, diterima oleh orang
banyak, tidak bertentangan dengan norma agama, sopan santun, dan budaya yang luhur.
Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu
tertentu, mengadakan acara halal bihalal halal pada hari raya, memberi hadiah sebagai
penghargaan atau prestasi.

 Urf Fasid, ialah adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu tempat namun bertentangan
dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contoh,berjudi untuk
merayakan suatu peristiwa, main kartu pada malam hari pesta pernikahan. Minum-
minuman keras pada hari ulang tahun, hidup bersama tanpa nikah, dan sebagainya.

4
B. Perbenturan Urf dan Kehujjahannya

1. Perbenturan Urf

a. Perbenturan ‘Urf dengan Syara’

Yang dimaksud dengan perbenturan (pertentangan) antara ‘urf dengan syara’ disini adalah
perbedaan dalam hal pengunaan suatu ucapan ditinjau dari segi ‘urf dan segi syara’. Hal ini
dipisahkan pada perbenturan yang berkaitan dengan hukum dan juga yang tidak berkaitan
dengan hukum :

1. Bila perbenturan ‘urf dengan syara’ itu tidak berkaitan dengan materi hukum, maka
didahulukan ‘urf.
2. Bila perbenturan ‘urf dengan syara’ dalam hal yang berhubungan dengan materi
hukum, maka didahulukan syara’ atau ‘urf.

b. Perbenturan antara ‘Urf (‘Urf Qauli) dengan penggunaan kata dalam pengertian Bahasa.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat :

1. Menurut Qadhi Husein, hakikat penggunaan bahasa adalah beramal dengan bahasa.
Bila berbenturan pengalaman bahasa itu dengan ‘urf, maka didahulukan pengertian
bahasa.
2. Menurut Al-Baghawi, pengertian ‘urf-lah yang didahulukan, karena ‘urf itu
diperhitungkan dalam segala tindakan, apalagi dalam sumpah.
3. Dalam hal ini Al-Rafi’I berpendapat mengenai talak, bila terjadi perbenturan antara ‘urf
dengan pengertian bahasa, maka sebagaisahabat cenderung menguatkan pengertian
bahasa, namun sebagian lain menguatkan pengertian ‘urf.

c. Perbenturan ‘Urf dengan Umum Nash yang perbenturannya tidak menyeluruh.

Dalam hal ini ada 2 pendapat :

1. Menurut ulam Hanafiyah ‘urf digunakan untuk men-takhsis umum nash. Umpamanya
dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa masa menyusukan anak, yang sempurna adalah
selam dua tahun penuh. Namum menurut ‘adat bangsawan Arab, anak-anak disusukan
orang lain dengan mengupahkannya. ‘Adat atau ‘urf ini digunakan untuk men-takhsis
umum ayat tersebut. Jadi, bangsawan yang biasa mengupahkan untuk penyusuan
anaknya, tidak perlu menyusukan anaknya itu selam dua tahun penuh.
2. Menurut ulama Syafi’iyah, yang dikuatkan utuk men-takhsis nash yang umum itu
hanyalah ‘urf qauli bukan ‘urf fi’li. Contoh yang popular digunakan untuk
menunjukkan perbenturan antara ‘urf dengan nash yang umum adalah akad jual beli
salam (pesanan/inden). Umum nash melarang memperjualbelikan sesuatu yangtidak ad
ditangan sewaktu berlangsung akad jual beli. Karena itu, umum nash melarang jual beli

5
salam yang sewaktu akad berlangsung tidak ada barangnya. Namun, jual beli dalam
bentuk salam ini sudah menjadi ‘urf yang umum berlaku dimana saja, maka dalam hal
ini, ‘urf tersebut dikuatkan, sehingga dalam umum nash yang melarang itu dibirikan
batasan, yaitu : “kecuali pada jual beli salam”.

Perbenturan ‘Urf dengan Qiyas

Hampir semua ulama berpendapat untuk mendahulukan ‘urf atas qiyas, karena dalil untuk
menggunakan ‘urf itu adalahs kebutuhan dan hayat orang banyak, sehingga ia harus didahulukan
dari pada qiyas.

Ibn al-Humam menepatkan ‘urf itu sebagai ijma bila tidak menemuakan nash. Oleh karena
itu, bila ia berbenturan denga qiyas, maka harus didahulukan ‘urf.

Ulama Hanafiyah yang mengamalkan istihsan yang dalam istihsan tersebut, juga termasuk
‘urf itu sendirinya, ia mengamalkan dan mendahulukan ‘urf atas qiyas bila terdapat perbenturan
diantara keduanya.

Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dn ulat sutra. Imam Abu Hanifah pada
awalnya menetapkan haramnya menjual lebah dan ulat sutra dengan menggunakan dalil qiyas,
yaitu meng-qiyas-kannya kepada kodok dengan alasan sama-sama “hama tanah”. Kemudian
terlihat bahwa kedua serangga itu ada manfaatnya dan telah terbiasa orang untuk memeliharanya
(sehingga telah menjadi ‘urf). Atas dasar ini muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibani
membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah tersebut berdasarkan ‘urf.

2. Kehujjahan Urf

Urf yang shahihdapat dijadikan sumber pembentukan hukum. Bagi seorang mujtahid
harus menggunkannya pada waktu menetapkan hukum. Seorang hakim pun harus memakai adat
ketika ia akan mengadili. Maka islam telah melestarikan urf bangsa Arab yang shahih dalam
membentuk hukum. Contohnya adanya kaffah (kesesuaian) dalam perkawinan antara calon
suami dan istri. Oleh karena itu, para ulama fiqh mengatakan bahwa adat adalah syariat yang
dikukuhkan sebagai hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian hukumnya kepada amal
perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i ketika berada di Mesir mengubah sebagian hukum
yang telah di tetapkannya ketika beliau di Baghdad. Hal ini dikarenakan karena adanya urf yang
berbeda. Dalam mahzab Hanafiyah banyak hukum-hukum yang di dasarkan kepada urf
diantaranya, apabila berselisih diantara dua orang terdakwa dan tidak ada saksi diantara
keduanya maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang
disaksikan oleh urf. Contohya orang yang bersumpah tidak memakan daging kemudian ia
memakan ikan, maka ia tidak dikatakan melanggar sumpahnya. Adapun urf yang fasid (rusak),
maka tidak boleh memeliharanya karena hal itu bertentangan dengan hukum syara’.

6
Hukum yang di dasarkan oleh urf itu dapat berubah-ubah menurut perkembangan zaman.
Dengan demikian para fuqaha berkata “Perselisihan itu disebabkan oleh perubahan masa bukan
perselisihan hujjah dan bukti”. Oleh karena itu,para ulama mengamalkan urf dalam menetapkan
hukum dngan syarat :

1. Adat atau urf itu mengandung maslahat dan dapat diterima oleh akal. Syarat ini adalah
yang bersifat tetap dalam urf shahih yang dapat diterima secara umum. Contohnya ada
suatu kebiasaan, istri yang ditinggal mati oleh suaminya maka ia tidak akan kawin lagi
untuk seterusnya meskipun ia masih muda belia. Mungkin ini dinilai baik oleh satu adat
daerah tertentu namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat.

2. Adat itu tidak bertentangan dengan dall syara’. Contohnya kebiasaan menghormati orang
tua dengan mencium kedua tangannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa urf adalah bukan sumber hukum yang
berdiri sendiri. Ia harus memiliki sandaran atau pendukungan baik dalam bentuk ijma
maupun maslahat. Adat yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima baik oleh
umat. Bila semua ulama telah mengamalkanya maka secara tidak langsung telah terjadi
ijma meskipun dalam bentuk sukuti.

C. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah

Sebagai gambaran untuk memahami saddu al-zariah, dapat diilustrasikan dari pepatah
yang mengatakan: “Lebih baik mencegah daripada mengobati”. Pepatah ini dapat kita pahami
bahwa mencegah itu lebih relatif lebih murah dan tidak mengeluarkan biaya besar. Adapun
mengobati risikonya lebih besar dan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Contohnya, mengobati panyakit paru-paru lebih besar dan mahal daripada menghindarkan diri
dari merokok. Namun terkadang manusia tidak peduli.

Hukum islam dibanagun atas dasar menarik maslahat dan menolak mufsadat. Untuk
mencapai dua hal di atas, maka diperlukan usaha antisipasi atau usaha presentif. Maka
keharaman zina bukan hanya ditunjukan kepada perbuatan itu secara khusus, tetapi juga
berpacaran diduga kuat sebagai pembukannya juga diharamkan.

D. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah

Secara bahasa, Sadd adz-dzari’ah artinya menutup jalan. Akal akan berkata kalau
jalan ditutup, maka konsekuensinnya semua arah yang akan menuju ke pintu itu tidak
boleh dilalui.

Dari definisi diatas diperolah gambarn secara jelas bahwa saddu al-zariat
merupakan usaha mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang
pada dasarnya mubah. Dengan demikian, metode ini bersifat preventif atau usaha

7
pencegahan. Artinya segala sesuatu yang hukum asalnya mubah, tapi akan membawa
kepada perbuatan yang haram maka hukumnya menjadi haram.

Diantara kasus hukum yang ditetapkan

Secara etimologi dzari’ah berarti jalan menuju kepada sesuatu. Sedangkan yang
dimaksud dengan Saddu Dzari’ah ialah:

َ َ‫ص ُل ْال َم ْرأ َ اِلَى ْالف‬


‫سا ِد‬ ِ ‫ق الَّتِ ْي ت ُ َو‬ َّ ‫سدُّ ال‬
ِ ‫ط ِر ْي‬ َ َ‫سائِ ِل ْالف‬
َ ‫سا ِد دَ ْفعًالَهُ ا َ ْو‬ َ ‫َح ْس ُم َمادَّةِ َو‬

Artinya:

“mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau meyumbat jalan yang dapat
menyampaikan seseorang pada kerusakan”.

Maksudnya, saddu dzari’ah ialah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju
kerusakan.

Oleh karena itu,apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya
kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat agar tidak terjadi
kerusakan.

E. MACAM-MACAM Sadd Adz-Dzari’ah

Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan


adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:

1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan


(mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan
mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.

2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun
secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah).
Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh
dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang
mengakibatkan muncul unsur riba.

3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap
terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi
tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya
adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.

8
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya
daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan
mengkritik pemimpin yang lalim.

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi


membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau
sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur,
meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun
ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.

2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di
tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan
mencelakakan orang.

3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti


memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka
karena khawatir ada unsur riba.

D. Kehujahan Saddu Adz-Dzari’ah

Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan Sadd
adz Dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabillah dapat menerima
kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.

Alasan mereka antara lain :

1. Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am : 108

‫َّللاَ َعد ًْوا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم ۗ َك َٰذَلِكَ زَ يَّنَّا ِل ُك ِل أ ُ َّم ٍة َع َملَ ُه ْم ث ُ َّم إِلَ َٰى َربِ ِه ْم َم ْر ِجعُ ُه ْم فَيُنَبِئُ ُه ْم بِ َما كَانُوا‬ ُ َ‫َّللاِ فَي‬
َّ ‫سبُّوا‬ ِ ‫سبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ ِم ْن د‬
َّ ‫ُون‬ ُ َ ‫َو ََل ت‬
ُ
َ‫يَ ْع َملون‬

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (Qs. Al-An’am :108)

9
2. Hadis Rasulullah SAW. Yang artinya :

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu
Rasulullah SAW. Ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu
dan Bapaknya. Rasulullah SAW. Menjawab, “seseorang yang mencaci maki ayah orang lain,
maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,
maka orang lain pun akan mencaci ibunya.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

Dalam buku lain dijelaskan. Berpegang pada dzari’ah dan memberinya hukum yang sama
dengan hukum yang dihasilkannya, didasarkan baik pada Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

1. Didalam Al-Qur’an terdapat larangan memaki berhala

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):


“Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih.”[14] (Qs. Al-BAqarah : 104)

Larangan tersebut disebabkan oleh Yahudi yang menggunakan kata-kata “Raa’ina” itu
untuk memaki Nabi, maka orang dilarang mengucapkannya untuk menutup peluang
(sadd adz Dzari’ah) dari makian mereka terhadap Nabi.

2. Dalam sunnah Rasul, banyak sekali hadis Beliau, diantaranya:

 Nabi berusaha untuk tidak membunuh orang munafik, pada saat mereka terus
mengumbar fitnah dikalangan kaum muslimin. Hal ini disebabkan dzari’ah, yaitu jika
mereka dibunuh akan dikatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh sahabatnya.

 Nabi melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari yang berhutang
kepadanya untuh mencegah terjadinya riba.

 Nabi melarang orang yang memberi sedekah untuk membeli apa yang
disedekahkannya, karena dzari’ah dari terikatnya kaum fakir mengembalikannya
dengan harga yang buruk/ murah dari pasaran.

Tentang kehujjahan Sadd adz Dzari’ah ada beberapa pendapat:

1). Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Iman yang
memakai sadd adz Dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa
Sadd adz Dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu
memprgunakannya didalam menetapkan hukum-hukum syara’.

10
Imam Malik didalam mempergunakan sadd adz Dzari’ah sama dengan
mempergunakan masalih mursalah dan Urf wal adah. Demikian dijelaskan oleh Imam
Al-Qarafi, salah seorang ulama ulung dibidang ushul dari madzhab Maliki.

2). Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan sad adz Dzari’ah merupakan
satu hal yang penting sebab mencakup seperempat dari urusan agama. Didalam sad
adz Dzari’ah termasuk Amar (perintah) Nahi (larangan).

3). Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyah dan Syi’ah menerima sad adz Dzari’ah sebagai
dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus yang lain.
Imam Asy-Syafi, membolehkan seseorang yang karena udzur, seperti sakit dan
musafir, untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dzuhur.
Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dan diam-diam mengerjakan shalat
dzuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum’at.

4). Imam Al-Qarafi mengatakan:

“ Sesungguhnya dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menyumbatnya, wajib pula kita
membukanya. Karena dzari’ah dimakruhkan, disunahkan, dan dimudahkan. Dzari’ah
adalah wasilah, sebagaimana dzari’ah yang haram diharamkan dan wasilah kepada
yang wajib diwajibkan, seperti berjalan menunaikan shalat Jum’at dan berjalan
menunaikan ibadah haji.”

Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa dzari’ah ini merupakan dasar dalam fiqh
Islam yang dipegang oleh seluruh fuqaha, tetapi mereka hanya berbeda dalam
pembatasannya.

Imam Malik dan Imam Ahmad banyak berpegang pada dzari’ah. Sedangkan
Imam Syafi’I dan Abu Hanifah tidak seperti mereka walaupun mereka tidak menolak
dzari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri.
Menurut Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang sudah
mereka tetapkan, yaitu qiyas menurut Syafi’I dan Ihtihsan menurut Hanafi.

Berpegang kepada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang
tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,
mandub bahkan wajib, karena khawatir terjerumus dalam jurang kedzaliman. Oleh
karena itu, Ibnu Arabi didalam kitabnya Ahkamul Qur’an mengaitkan keharaman
karena dzari’ah. Apabila yang diharamkan karena Sadd adz Dzari’ah itu, maka tsabit
keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas dan bukan pula dengan dzari’ah.
Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta anak yatim karena takut
dikhawatirkan walinya bertindak dzalim.

11
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Menurut kebanyakan ulama, ‘urf dinamakan juga adat sebab perkara yang sudah dikenal
itu berulang kali dilakukan manusia. Namun, sebenarnya adat itu lebih luas dari pada’urf,
sebab adat kadang-kadang terdiri atas adat perseorangan atau bagi orangtertentu,
sehingga hal ini tidak bisa dinamakan ‘urf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat
masyarakat, maka inilah yang disebut ‘urf.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para
ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran
untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih
(tegas) yang bertentangan dengannya.

Saddu dzari’ah ialah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan.
Oleh karena itu,apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya
kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat agar todak
terjadi kerusakan.

B. Saran
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari apa yang telah kita bahas bersama, tentang
‘urf dan dzari’ah. Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
kami, dan kami sadar bahwa makalah kami masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra,Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut: Daar al-fikr al-Araby,1958

Abd.Wahhab,Tajaddin bin Ali al-subki. Jam’u al-jaami’i fi Ushul al-fiqh. Beriut: Dar Al-
ilmiyah,2002,Cet.ke-2.

Rahmat Syafe’I, op cit,h.136

13

Anda mungkin juga menyukai