Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari berdzikir sangat penting untuk diterapkan


khususnya bagi umat Muslim, karena aktivitas tersebut merupakan hubungan
antara seorang hamba dengan Tuhannya, Allah SWT. Kebanyakan orang
mengamalkan dzikir pada saat waktu dan keadaan tertentu. Seperti halnya
berdzikir, jarang sekali manusia mengamalkan dzikir dalam kehidupan sehari-
hari, terkadang manusia berdzikir dan mengingat Allah SWT. hanya saat dalam
kesusahan dan tertimpa masalah saja.
Dzikir adalah suatu kegiatan atau cara yang dilakukan oleh seorang hamba
dalam mengingat Allah SWT. Dalam dzikir seorang hamba memuji dan
mengagungkan kebesaran Allah SWT. dengan merasa bahwa kita hanyalah
seorang hamba yang lemah tak berdaya dan hanya Allah SWT. lah yang Maha
Kuasa. Maka dari itu, kita seorang hamba-Nya hanyalah bagian kecil dari
kekuasaan-Nya.
Dalam pelaksanaanya terdapat ikhtilaf antara ulama yang satu dengan
yang lain. Dalam hal ini kami membahas tentang perbedaan pendapat Imam
Mazhab tentang Zikir dengan Sirr atau Jahr.

1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zikir
Dzikir ditinjau dari segi bahasa adalah mengingat, sedangkan dzikir secara
istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah.1
Secara etimologi dzikir berasal dari kata “zakara” berarti menyebut, mensucikan,
menggabungkan, menjaga, mengerti, mempelajari, memberi dan nasehat. Oleh
karena itu dzikir berarti mensucikan dan mengagungkan, juga dapat diartikan
menyebut dan mengucapkan nama Allah atau menjaga dalam ingatan
(mengingat).2
Dzikir merupakan ibadah hati dan lisan yang tidak mengenal batasan
waktu. Bahkan Allah menyifati ulil albab, adalah mereka-mereka yang senantiasa
menyebut Rabnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk bahkan juga berbaring.
Oleh karenanya dzikir bukan hanya ibadah yang bersifat lisaniyah, namun juga
qalbiyah. Imam Nawawi menyatakan bahwa yang afdhal adalah dilakukan
bersamaan di lisan dan di hati. jika harus salah satunya, maka dzikir hatilah yang
lebih di utama. Meskipun demikian, menghadirkan maknanya dalam hati,
memahami maksudnya merupakan suatu hal yang harus diupayakan dalam
dzikir.3
1. Dzikir dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an kata dzikir disebut sebanyak 267 kali dengan berbagai
bentuk kata. Diantaranya bermakna mengingat Allah dalam arti menghadirkan
dalam hati.
Artinya: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.
(QS. Thaaha ayat 14).
Ayat lain menyebutkan bahwa orang-orang yang berdzikir akan
mendapatkan ketentraman dalam hati seperti dalam al-Qur’an surat ar- Ra’d ayat
28:

1
Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin Dalam Perspektif
Tasawuf (Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2008), h. 244.
2
Hazri Adlany, et al, al-Qur’an Terjemah Indonesia (Jakarta: Sari Agung,2002), 470.
3
Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa,..., h244.

2
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.
Kata tenang dalam ayat diatas bukan tidak memiliki arti apa-apa, namun
kata tenang tersebut memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup
kebahagiaan dunia dan akhirat, kebahagiaan sempurna yang di inginkan setiap
manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik, berdzikir dan yang
menginfakkan hartanya.
2. Dzikir dalam Hadits
Perintah dzikir juga terdapat dalam beberapa hadist Nabi. Dalam Hadist
Qudsi Allah SWT berfirman:
“Aku akan menyertai hamba-Ku ketika berdzikir kepada-Ku dan ketika
bibirnya menyebut nama-Ku”. Pada hadist lain Rasulullah bersabda: “barang
siapa yang ingin selalu berjalan-jalan ditaman surga, hendaklah dia
memperbanyak dzikir kepada Allah azza wa jalla”.
Pada lain kesempatan Rasulullah bersabda tentang keutamaan orang yang
melakukan dzikir secara bersama-sama. Rasulullah SAW bersabda:
“Allah ta’ala berfirman: apabila hamba-Ku berdzikir kepada-Ku sendirian,
Akupun akan menyebut namanya sendirian. Apabila hamba-Ku menyebut nama-
Ku dalam satu kumpulan, Akupun akan menyebut namanya dalam kumpulan
yang lebih utama dari kumpulan dia, dan apabila dia mendekati- Ku satu hasta,
Aku akan mendekatinya satu siku. Apabila dia mendekatiku sambil berjalan, Aku
akan mendekatkan diri kepadanya sambil berlari”.
Hadist diatas menyatakan bolehnya dzikir yang dilakukan secara bersama-
sama atau berjamaah. Hadist nabi menyebutkan bahwa orang-orang yang
berdzikir akan dapat memperbaiki amal dan meninggikan derajat. Dalam
hadist nabi disebutkan:
“Tidakkah kamu ingin aku sampaikan kepadamu tentang sesuatu yang
dapat memperbaiki amalmu, mensucikan amalmu di hadapan Tuhanmu, dan
meninggikan pada kedudukanmu, yang lebih baik bagimu dari pada bertemu
dengan musuh kemudian kamu menebas lehernya atau sebaliknya mereka

3
menebas lehermu?” para sahabat menjawab, “Ya, tentu wahai Rasulullah.”
“Dzikir kepada Allah” kata beliau.”(HR. Tirmidzi).4
Rasulullah SAW juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang
berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak
berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati:
"Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak
berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)
3. Menurut Pendapat Para Ulama
a. Menurut pendapat imam Al-Ghazali dzikir untuk mendapatkan ilmu
ma’rifat didasarkan atas argumentasi peranan dzikir itu sendiri bagi
hati. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu tak
ubahnya seperti kolam yang didalamnya mengalir bermacam-macam
air. Dzikir kepada Allah adalah sebuah hiasan bagi kaum sufi yang
merupakan syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah.
Dzikir dapat menembus alam malakut, yakni dengan datangnya
malaikat. Dzikir merupakan pembuka alam gaib, penarik kebaikan dan
bermanfaat untuk membersihkan hati.30
b. Imam Athaillah Al-Iskandary mengatakan bahwa dzikir menurut
ajaran tarekat harus dilakukan menurut penglihatan hati atau batin dan
timbul dari pemikiran yang paling dalam. Dan selanjutnya dikatakan
tidak akan terjadi dhikir kecuali timbul dari pemikiran dan penglihatan
batin.
c. Pendapat lain juga diungkapkan oleh Ibn Qadamah mengatakan bahwa
tidak ada ibadah yang lebih utama bagi lidah setelah membaca al-
Qur’an selain dari dzikrullah atau mengingat Allah dengan dzikir dan
menyampaikan segala kebutuhan melalui doa yang tulus kepada Allah.

Dzikir bisa diklasifikasikan berdasarkan pada apa yang kita baca. Menurut
Abu Atha' Al-Sukandari, dzikir dapat dikelompokkan menjadi dzikir yang berisi
pujian kepada Allah SWT., misalnya, Subhanallah (maha suci Allah),

4
Shaleh Bin Ghanim As-Sadlan, Doa Dzikir Qouli dan Fi’li: (Ucapan dan Tindakan)
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), 2-3.

4
alhamdulillah (segala puji bagi Allah), laa ilaaha illallah (tiada tuhan selain
Allah), tetapi ada juga dzikir yang berisi doa kepada Allah. Serta ada juga dzikir
yang berisi percakapan kita dengan Allah. Dalam dzikir tersebut hanya terdapat
ungkapan perasaan kita kepada Allah. Dzikir seperti itu disebut munajat, dan
munajat biasanya dilakukan oleh seseorang yang telah mencapai maqam
tertentu.
Allah memberikan tambahan nikmat bagi orang yang ahli bersyukur dan
ahli berdzikir. Sebagian ulama berkata;
“Ingatlah Aku (Allah) ketika dimuka bumi, maka aku akan mengingat
kalian ketika berada di perut bumi.”
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan bahwa ketika jenazah telah
dikebumikan didalam kubur dan para pengantar jenazah telah pulang kembali
kerumahnya, maka Allah berfirman:
“Wahai malaikat-Ku, sungguh mengherankan para ahli keluarga mayat
tersebut telah menangisi kematiannya, namun mereka telah menguburkan mayat
tersebut sendirian. Mayat ini semasa hidup di dunia adalah seorang yang ahli
dzikir.”
Kemudian Allah berfirman,
“Wahai hamba-Ku, mereka ahli keluarga yang menguburmu telah
menghinakanmu. Wahai hamba-Ku, mereka telah mengusirmu. Sesungguhnya
demi keagungan-Ku, Aku akan menyiramkan rahmat kepadamu.”33
Dzikir dengan lidah balasannya adalah dapat melihat Tuhan. Abu Yazid
al-Bushtami berkata,”adalah sudah merupakan ujub (sifat bangga yang dekat
dengan takabbur/sombong) jika seseorang berkata “Aku ingat Tuhanku, dan aku
telah berusaha untuk melupakan Tuhanku, namun aku tidak mampu untuk
melupakan-Nya.” Kemudian ia bersyair:
Allah maha mengetahui kalau aku tidak berdzikir (mengingat)kepada-Nya
Tapi, bagaimana aku dapat mengingat dzat yang tidak mampu untuk aku
lupakan?
Diceritakan bahwa pada suatu hari sekelompok orang mendatangial-
Syibili dan bertanya, “Apa pendapatmu mengenai dzikir? Kemudian al-Syibili
menjawab dengan melantunkan syair:

5
Aku heran terhadap orang yang berkata,” Aku ingat Tuhanku.”
Apakah boleh dikatakan aku lupa dan kemudian aku ingat pada dzat yang
aku selalu bersama-Nya.
Kemudian al-Syibili berkata, “Dzikir adalah pekerjaan orang yang lupa.
Zuhud adalah pekerjaan para penganggur.apabila hati merasakan rindu kepada
orang yang diingatnya, maka lidah akan menyebut orang yang diingat
tersebut.”sungguh baik orang yang telah berkata dalam syairnya:
Aku mengingat-Mu bukan karena aku melupakan-Mu walau sesaat.
Namun, aku mengingat-Mu karena Engkau ada dalam lembah
kerinduanku sehingga aku mengucapkan nama-Mu.
Allah telah mewahyukan kepada Nabi yang lama bersedih (Daud AS),
“Wahai Daud, barang siapa yang mengingat-Ku, maka Aku akan mengingatnya.
Barang siapa yang bersyukur kepada-Ku, maka aku akan mencintainya, barang
siapa yang mencintai-Ku, maka Aku akan membunuhnya, barang siapa yang
mencari-Ku, maka Aku akan mengujinya. Barangsiapa yang mengetahui tentang
Aku, maka aku akan membingungkannya. Barangsiapa yang berlari dari-Ku,
maka Aku akan menemukannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata, “Allah memiliki tali-tali kendali yang
digantungkan kepada arasyi. Tali-tali kendali tersebut jumlahnya sama dengan
jumlah hati orang-orang beriman. Dan setiap hati dari hati orang-orang beriman
tersebut ada tali kendalinya sendiri. seseorang tidak akan berdzikir kepada
Allah sehingga Allah menggerakkan tali kendali hatinya. Oleh karena itu, jika
kamu tahu bahwa dzikirmu merupakan pertanda ingatnya Allah kepadamu, maka
perbanyaklah dzikirmu kepada Allah.” Kemudian ia berkata lagi, ”Tatkala
seseorang mengingat dunia, maka matilah akhiratnya. Tatkala seseorang
mengingat akhirat, maka matilah dunianya. Tatkala seseorang mengingat Tuhan,
maka matilah dunia akhiratnya. Oleh karena itu, lakukanlah dzikir kepada
Tuhanmu, maka hal itu akan mengantarkanmu pada kedudukan yang tinggi,
karena mengingat dunia adalah musibah, mengingat makhluk adalah bencana,
sedangkan mengingat akhirat adalah obat, dan mengingat Tuhan adalah
kesembuhan.”

6
Dzikir merupakan salah satu jalan seseorang menuju tasawuf. Jalaluddin
Rakhmat menyebutkan bahwa perjalanan tasawuf dilakukan atau dimulai dari
pembersihan diri dari prilaku yang tercela. Pembersihan diri tersebut dalam
tasawuf disebut sebagai praktik takhliyyah, yang artinya mengosongkan,
membersihkan atau menyucikan diri. Seperti halnya seseorang yang ingin mengisi
sebuah botol dengan air mineral yang bermanfaat, maka hal pertama yang harus
dilakukan adalah mengosongkan isi botol tersebut terlebih dahulu. Karena akan
sia-sia jika memasukkan air bersih kedalam botol sementara botol tersebut dalam
keadaan kotor. Salah satu cara seseorang membersihkan atau menyucikan diri
adalah dengan berdzikir.5
Jalaluddin Rakhmat menceritakan sebuah cerita tentang dzikir. “Suatu
ketika, Imam Ghazali ditanya oleh seseorang, ” katanya setan dapat tersingkir oleh
dzikir kita, tapi mengapa saya selalu berdzikir, tetapi setan tidak pernah
terusir? ” Imam Ghazali menjawab, “ setan itu seperti anjing, jika kita hardik
anjing itu akan menyingkir. Tapi jika disekitar kita masih terdapat makanan
anjing, maka anjing tersebut akan datang kembali. Bahkan mungkin anjing tu
akan mengincar diri kita, dan ketika kita lengah, ia menghampiri kita. begitu pula
halnya dengan dzikir, dzikir tidak akan bermanfaat jika di dalam hati kita masih
disediakan makanan- makanan setan, setan tidak akan takut digebrak dengan
dzikir manapun. Pada kenyataannya, bukan setan yang menggoda kita, melainkan
kita yang menggoda setan dengan berbagai penyakit hati yang kita derita.”36
Dari kisah diatas, dapat disimpulkan bahwa dzikir harus di mulai dengan
pembersihan hati kita dari berbagai macam penyakit hati, seperti iri hati, dengki,
egoisme dan perbuatan-perbuatan yang sifatnya tercela.

B. Fungsi Dzikir
Shaleh Bin Ghanim As-Sadlan menyebutkan beberapa faedah-faedah atau
keutamaan dzikir adalah sebagai berikut:
1. Mengusir, mengalahkan dan menghancurkan setan
2. Menghilangkan rasa susah dan kegelisahan hati

5
Abu Thalib Al-Makky, Ilmu Hati; Teknik Efektif Mencapai Kesadaran Sejati (Erlangga, 2002),
18.

7
3. Membuat hati menjadi senang, gembira dan tenang.
4. Dapat menghapus dan menghilangkan dosa-dosa.
5. Dapat menyelamatkan seseorang dari kepayahan di hari kiamat.
6. Dzikir merupakan tanaman di surga.

Keutamaan-keutamaan bagi orang yang berdzikir kepada Allah SWT


Antara lain:
a. Dzikir sebagai upaya taqarrub kepada Allah
Dzikir sebagai upaya taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah adalah
sebagaimana pertanyaan sayyidina ali kepada Rasulullah;
“Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan? Dijawab oleh
Rasulullah, tidak ada lain dari pada dzikir kepada Allah”
Dalam hadist nabi diatas dapat disimpulkan bahwa jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah tiada lain adalah dengan berdzikir.
b. Dzikir sebagai penenang hati
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu fungsi dzikir adalah
untuk memberi ketenangan dan ketentraman dalam hati. Setiap manusia pada
dasarnya adalah mencari kebahagiaan yang sempurna. Keinginan atau kehendak
manusia untuk mencari kebahagiaan, ketenangan, ketentraman, merupakan hal
yang tidak dapat dipisahkan dari hati manusia.
c. Dzikir sebagai pembersih hati
Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari
kehinaan dan kekotoran. Al-Qur’an menyebutkan sebagai nutfah atau saripati
tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah tersebut, kemudian Allah menyatakan:
lalu aku titipkan kedalamnya ruh ku (QS. Al-Hijr : 29).
Karena tercipta dari tanah, maka sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia
menjadi selalu kotor. Oleh karenanya, manusia ingin menafikan kekotorannya
tersebut dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikir.
d. Dzikir sebagai pengangkat derajat manusia
Allah akan mengangkat derajat orang yang membaca dzikir, hal ini sesuai
dengan hadist Nabi:

8
“Alangkah baiknya jika sekiranya ditanyakan kepada kalian tentang
sebaik-baik amal perbuatan dan semurni-murninya disisi maharaja kalian serta
sangat tinggi bagi derajat manusia, sekaligus yang lebih baik dari menafkahkan
emas dan perak. Juga lebih baik bagi kalian dari pada menghadapi (dalam
peperangan) musuh. Sampai akhir hadist, mereka bertanya: Wahai Rasulullah,
Apakah itu? Nabi menjawab: Dzikrullah (Ingat kepada Allah).”(HR. Bukhari,
Muslim dan lainnya)
e. Dzikir sebagai pembaru iman
Iman seseorang dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Sedang untuk
mempertahankan keimanan seseorang harus memperbanyak membaca kalimat laa
ilaaha illallah. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi:
Perbaruilah imanmu! Sahabat bertanya, bagaimanakah caranya kami
memperbarui iman kami? Nabi menjawab‘ perbanyaklah mengucapkan dzikir
(lafal): laa ilaaha illallah.”40
f. Dzikir sebagai sarana masuk surga
Setiap muslim pada dasarnya mengharapkan kabahagiaan dan kebaikan,
baik dalam kehidupan di dunia dan akhiratnya. Untuk mencapai keinginan atau
kehendak tersebut upaya yang dilakukan salah satunya adalah mendekatkan diri
kepada Allah dengan berdzikir laa ilaaha illallah. Sabda Nabi SAW:
“Barang siapa yang akhir katanya (sebelum menghembuskan nafas
terakhir)mengucapkan laa ilaaha illallah, maka ia masuk surga.”(HR. Abu Dawud
dan Hakim)
g. Dzikir sebagai sarana memperoleh Syafaat Rasulullah SAW. Hadis
Nabi menyebutkan:
“Siapakan manusia paling beruntung dengan syafa’atmu pada hari akhir?
Rasulullah menjawab’ manusia paling beruntung dengan syafaatku pada hari
kiamatt adalah orang yang selalu mengucapkan: laa ilaaha illallah’.”

C. Pendapat Mazhab tentang zikir Sirr atau Jahr


6
Telah diriwayatkan kepada kami dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim dari Ibnu Abbas, beliau berkata:

6
Abdul Somad, 37 Masalah Populer.Pdf

9
“Aku mengetahui bahwa shalat Rasulullah Saw telah selesai ketika terdengar
suara takbir”.

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Kami mengetahui”.

Dalam riwayat lain dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu
Abbas, “Sesungguhnya mengeraskan suara ketika berzikir selesai shalat wajib
telah dilakukan sejak masa Rasulullah Saw”.

Ibnu Abbas berkata, “Saya mengetahui bahwa mereka telah selesai


melaksanakan shalat ketika saya mendengarnya”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim).

Syaikh ‘Abdulaziz bin Baz pernah ditanya tentang hukum dzikir


berjamaah seusai mengerjakan shalat; dan bagaimana berdzikir yang sesuai
sunnah: apakah secara jahr ataukah sirr. Beliau menjawab, “Cara berdzikir yang
sesuai sunnah seusai mengerjakan sholat lima waktu dan seusai shalat Jumat
adalah jahr (suara keras). Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,
“Mengeraskan suara dalam berdzikir setelah selesai mengerjakan shalat Fardhu
adalah kebiasaan yang terjadi pada masa Nabi saw.” Ibnu ‘Abbas juga berkata,
“Saya mengetahui bahwa mereka telah selesai mengerjakan shalat apabila telah
mendengarnya.” Adapun membaca dzikir secara berjamaah yang satu orang
memimpin dan yang lain mengikutinya, sungguh ini tidak ada asalnya. Ini adalah
bid’ah. Yang disyariatkan adalah semua berdzikir kepada Allah dengan suara jahr
tanpa menyengaja untuk membacanya secara bersama-sama, baik dalam
permulaan ataupun akhirannya.” (Fatawa Syaikh Bin Baz 11/191)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pernah ditanya tentang hukum
mengulang-ulang dzikir yang sunnah setelah shalat secara berjamaah. Beliau
menjawab, “Ini bid’ah. Tidak ada riwayat dari Nabi SAW yang menyatakan hal
itu. Yang ada, masing-masing beristighfar dan berdzikir untuk dirinya sendiri.
Hanya saja, setelah shalat disunnahkan menjaharkan dzikir. Yang penting,
pendapat yang kuat adalah disunnahkan berdzikir seusai mengerjakan shalat
dengan cara yang disyariatkan, salah satunya adalah dengan menjaharkannya;
yakni dengan tetap tidak membuat kegaduhan.” (Majmu’ Fatawa ‘Utsaimin
13/261-262).

10
1. Mazhab Hanafi
‫ص ََل ِة ا ْل َغدَا ِة قَا َل فِي ا ْلقُ ْنيَ ِة إ َما ٌم يَ ْعتَا ُد ُك َّل‬ ْ َ‫ص ََل ِة ) أ‬
َ ‫ي‬ َّ ‫ي َوا ْل ُم ْق َت ِدينَ ( قَ ْولُهُ َعقِ َب ال‬ْ َ‫س ِل ْ ِْل َم ِام ) أ‬َ ْ‫( قَ ْولُهُ ََل بَأ‬
‫اْل ْخ َفا ُء‬
ِ ْ ‫س بِ ِه َو‬ َ ْ‫ش ِه َد هللاُ } – َونَ ْح َوهَا َج ْه ًرا ََل َبأ‬ َ { ‫ َو‬، – ‫س ِّي َوآ ِخ َر ا ْلبَقَ َر ِة‬ ِ ‫َغدَا ٍة َم َع َج َما َعتِ ِه قِ َرا َءةَ آيَ ِة ا ْل ُك ْر‬
‫ست ََحبَّةٌ َوأَنَّهُ يُ ْك َرُُ تَأْ ِخي ُر‬
ْ ‫ت ُم‬ ِ ‫يحا‬ ْ َّ‫ت َوالت‬
َ ‫س ِب‬ ِ ‫ص ََل ِة أَنَّ قِ َرا َءةَ آيَ ِة ا ْل ُك ْر‬
ِ ‫س ِّي َوا ْل ُم َع ِّو َذا‬ َّ ‫ َوتَقَ َّد َم فِي ال‬. ‫ا هـ‬ ‫ض ُل‬َ ‫أَ ْف‬
ِ ْ ‫َار‬
‫اْل َما ُم‬ َ ‫اخت‬ ْ ‫ب ا ْل ُم ْجتَ َبى َو‬ ِ ‫اح‬ِ ‫ص‬ َ ‫ش ْي ُخ‬َ ‫ستَا ُذنَا ) ه َُو ا ْلبَ ِدي ُع‬ ْ ُ ‫س ََل ُم إلَ ْخ ( قَ ْولُهُ قَا َل أ‬ َّ ‫َّإَل ِبقَ ْد ِر اللَّهُ َّم أَ ْنتَ ال‬ ‫سنَّ ِة‬ُّ ‫ال‬
‫سنَّةٌ يُ ْك َرُُ َوإِ ََّل فَ ََل‬
ُ ‫ص ََلةُ َب ْع َدهَا‬
َّ ‫َج ََل ُل الدِّي ِن إنْ َكانَتْ ال‬
(Tidak mengapa bagi imam) dan makmum (sesudah shalat) yakni shalat
subuh, Beliau berkata dalam Al Qunyah : Imam yang mempunyai kebiasaan
setiap pagi beserta jama’ahnya membaca ayat kursi dan akhir al baqoroh dan
Syahidallohu dan semacamnya, tidak mengapa baginya membacanya dengan
keras, sedang membaca dengan pelan lebih utama. Telah diterangkan dalam bab
shalat bahwasannya membaca ayat kursi, al ikhlash, dan mu’awwidzatain juga
bacaan-bacaan tasbih adalah sunnah, dan bahwasannya dimakruhkan
mengakhirkan shalat sunnah kecuali hanya dengan sekedar membaca
“Allohumma antas Salaam …dst (guru kami berkata) -dia adalah Al Badi’ yang
merupakan guru dari pengarang kitab Al Mujtabaa- beliau berkata : Al Imaam
Jalaaluddin memilih (pendapat yang mengatakan) “Jika setelah sholat fardhu ada
shalat sunnah (ba’diyah) maka hukumnya makruh, jika tidak ada shalat sunnah
setelah shalat fardhu maka tidak makruh”. (Roddul Mukhtar, vol 27. hal 96)
Imam ‘Alauddin al-Kasaniy, salah satu ahli fikih madzhab Hanafi dalam
Badai’ush Shanai’ 1/196 menyatakan, “Mengeraskan bacaan takbir adalah bid’ah
yang tidak ada asalnya. Sebab takbir adalah dzikir, dan sunnah dzikir itu dibaca
sirr (suara lirih) sebagaimana difirmankan oleh Allah, “Serulah Rabb-mu dengan
khusyuk dan lirih.” Juga sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik doa adalah yang dibaca
secara lirih.” Oleh karena itu, doa secara lirih lebih dekat kepada kekhusyukan
dan adab serta jauh dari riya. Maka janganlah meninggalkan prinsip ini kecuali
ada dalil yang mengkhususkannya.”
Penulis Kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidziy, Abul ‘Ala`
Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, 1/246 menyatakan bahwa para
ulama madzhab Hanafi pada zaman beliau punya kebiasaan mengangkat tangan
saat berdoa setiap selesai shalat fardhu sehingga terkesan itu wajib. Seakan-akan
mereka berpendapat hal itu wajib. Mereka mengingkari orang yang selepas salam

11
dari shalat langsung membaca wirid sejenak lalu berdiri meninggalkan tempat
shalat tanpa melakukan apa yang mereka lakukan: tidak berdoa dan tidak
mengangkat tangan. Perbuatan mereka ini bertentangan dengan pendapat Imam
Abu Hanifah dan pendapat para ulama madzhab Hanafi yang diakui sebagai
rujukan.”
2. Mazhab Maliki
ِ ُ‫س ِه ْم لَ ْي ًَل َونَ َها ًرا ؛ ِلَنَّه‬
ُ‫ َو ِم ْثلُه‬، ‫ش َعا ُرهُ ْم‬ ِ ‫س بَ ْح ٍر ( بِالتَّ ْك ِبي ِر ) فِي َح َر‬ِ ‫ت ُم َرابِ ٍط ) َو َحا ِر‬ ِ ‫ص ْو‬َ ‫( َو ) َجا َز ( َر ْف ُع‬
‫ي ِمنْ ا ْل َج َما َع ِة ََل‬ْ َ‫س أ‬ ِ ‫ت ا ْل َخ ْم‬ ِ ‫صلَ َوا‬ َّ ‫يح ا ْل َواقِ ُع بَ ْع َد ال‬
ُ ِ‫سب‬ ْ َّ‫ َو َك َذا التَّ ْهلِي ُل َوالت‬، ‫َر ْفعُهُ بِتَ ْكبِي ِر ا ْل ِعي ِد َوبِالتَّ ْلبِيَ ِة‬
َُ‫صلِّينَ أَ ْو ال َّذا ِك ِرينَ ( َو ُك ِر‬
َ ‫يش َعلَى ا ْل ُم‬ َ ‫س ُّر فِي َغ ْي ِر َذلِ َك أَ ْف‬
ْ َّ‫ض ُل َو َو َج َب إنْ لَ ِز َم ِمنْ ا ْل َج ْه ِر الت‬
ُ ‫ش ِو‬ ِّ ‫ َوال‬، ‫ا ْل ُم ْنفَ ِر ِد‬
. ‫ي التَّ َغ ِّني ِبالتَّ ْك ِبي ِر‬ ْ َ‫يب ) أ‬
ُ ‫ط ِر‬ ْ َّ‫الت‬
(Dan) boleh (mengeraskan suara bagi Murobith/pemimpin pasukan) dan
penjaga pantai (membaca takbir) dalam wilayah penjagaan mereka baik malam
atau siang hari, karena hal tersebut menjadi tanda bagi mereka. Dan Begitu juga
dengan takbir hari raya, talbiyah, tahlil, tasbih yang terjadi setelah sholat lima
waktu dalam berjama’ah bukan ketika sholat sendiri. Sedang membaca pelan pada
selain yang tersebut lebih baik, bahkan wajib (memelankan suara) jika kerasnya
suara dapat mengakibatkan gangguan bagi orang yang sholat atau orang yang
berdzikir. (dan dimakruhkan) melagukan bacaan takbir. (Hasyiyatud Dasuqi Alas
Syarhil Kabir, vol 7. hal 179)
Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah al-Maliki salah seorang ulama
madzhab Maliki menyatakan bahwa Imam Malik dan para ulama madzhab Maliki
memakruhkan bagi imam-imam masjid dan imam-imam shalat jamaah berdoa
secara jahr seusai shalat agar didengar oleh khalayak yang hadir.” (Ad-Durruts
Tsamin wal Mawrid al-Ma’in, hal 173 dan 212)
3. Mazhab Syafi’i
‫س ًرا أو‬ِ ‫ص ْفت َج ْه ًرا أو‬ ُّ َ‫وم قَا َل َوأ‬
َ ‫ي إ َم ٍام َذ َك َر هللاَ بِ َما َو‬ ِ ‫اح لِ ْ َِل َم ِام َو َغ ْي ِر ا ْل َمأْ ُم‬
ِ َ‫( قال الشَّافِ ِع ُّي ) َوهَ َذا ِمنَ ا ْل ُمب‬
َ‫ص ََل ِة َويُ ْخفِيَا ِن ال ِّذ ْك َر َّإَل أَنْ يَ ُكون‬
َّ ‫اف ِمنَ ال‬ ِ ‫ص َر‬ ِ ‫وم أَنْ يَ ْذ ُك َرا هللاَ بَ ْع َد ِاَل ْن‬ ِ ‫ِب َغ ْي ِر ُِ فَ َحسَنٌ َوأَ ْختَا ُر لِ ْ َِل َم ِام َوا ْل َمأْ ُم‬
ِ ُ‫ب أَنْ ُيتَ َعلَّ َم ِم ْنهُ فَ َي ْج َه َر َحتَّى َي َرى أَنَّهُ قَ ْد تُ ُعلِّ َم ِم ْنهُ ثُ َّم ي‬
‫س ُّر‬ ُ ‫إ َما ًما َي ِج‬
(Imam As Syafi’iy berkata) Dan ini adalah termasuk perkara mubah bagi
imam dan selain makmum. Dan siapapun imam yang berdzikir menyebut Allah
dengan dzikir yang telah aku sifati atau dengan dzikir yang lain, baik dengan keras
maupun pelan, maka hal itu baik. Dan aku memilih untuk imam dan makmum

12
hendaknya mereka berdzikir kepada Allah setelah selesai dari sholat seraya
memelankan dzikir-nya, kecuali bagi imam yang berkewajiban dijadikan belajar
(oleh makmum) maka imam mengeraskan suaranya sehingga sang imam
berpendapat bahwa makmum sungguh telah belajar darinya, baru kemudian imam
memelankan (dzikirnya). (Al Umm, vol 1. hal 127)
ُ ‫ َو َجا َءتْ ِف ْي ِه أَ َحا ِد ْي‬، ‫صَلَ ِة‬
ٌ‫ث َك ِث ْي َرة‬ َّ ‫ب ال ِّذ ْك ِر َب ْع َد ال‬ ْ ِ‫صَلَ ِة) أَ ْج َم َع ا ْل ُعلَ َما ُء َع َلى ا‬
ِ ‫س ِت ْح َبا‬ َّ ‫ال ْذ َكا ِر َب ْع َد ال‬
َ ْ ‫اب‬
ُ ‫( َب‬
.‫ فَنَ ْذ ُك ُر طَ َرفًا ِمنْ أَ َه ِّم َها‬، ‫اع ِم ْنهُ ُمتَ َع ِّد َد ٍة‬
ٍ ‫ص ِح ْي َحةٌ فِي أَ ْن َو‬
َ
(Bab dzikir ba’da shalat) Para ulama telah bersepakat disunnahkannya
dzikir ba’da shalat, dan telah ada hadits-hadits yang cukup banyak dan sohih
(yang menjelaskan) macam-mazam dzikir. (Al Adzkar, vol 1. hal 70)

ِ ‫ض َو ِع َبا َرةُ ش َْر ِحي ِل ْل ُع َبا‬


ُّ‫ب َم َع َم ْت ِن ِه َويُسَن‬ ٍ َ‫س َرا ُر َّإَل ِل ُم ْقت‬ ْ ‫اْل‬ِ ْ ‫ال ْذ َكا ِر‬
َ ْ ‫ال ْد ِع َي ِة َو‬
َ ْ ‫سنَّةُ في أَ ْك َث ِر‬ َ ‫َفأ َ َج‬
ُّ ‫اب ِبقَ ْو ِل ِه ال‬
َ َ‫يم ا ْل َمأْ ُمو ِمينَ فإذا تَ َعلَّ ُموا أ‬
‫س ُّروا‬ ِ ْ ‫س ََل ِم‬
ِ ِ‫اْل َما ُم لِتَ ْعل‬ َّ ‫س ًرا َويَ ْج َه ُر بِ ِه َما بَ ْع َد ال‬ ِ ‫ال ُّدعَا ُء َوال ِّذ ْك ُر‬
Ibnu Hajar Al Haitami ketika ditanya tentang mengeraskan suara dalam
berdzikir sesudah shalat hingga mengganggu orang yang sedang shalat, beliau
menjawab dengan pernyataannya : “Yang sunnah dalam banyak do’a dan dzikir
adalah dengan memelankan suara kecuali ada hal yang mendorong (untuk
mengeraskan). Redaksi penjelasanku atas kitab Al ‘Ubaab berikut matannya
adalah : “Dan disunnahkan berdo’a dan dzikir dengan pelan, sedang Imam dapat
mengeraskan do’a dan dzikir sesudah salam untuk mengajari makmum,
selanjutnya jika makmum telah belajar maka mereka (imam dan makmum)
memelankan (dzikir-nya). (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, vol 1. hal 70)
Fasal : Adapun setelah salam, yakni tentang apa yang dibaca setelah
salamnya shalat, maka Abdulloh bin Al Harits meriwayatkan dari ‘Aisyah –
rodhiyallohu ‘anha- bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Jika seseorang dari kalian selesai salam dari sholatnya hendaknya ia
berdo’a ; “Allohumma Antas Salaam Waminkas Salaam Tabaarokta Yaa Dzal
Jalaali Wal Ikrrom”. Abdulloh bin Az Zubair meriwayatkan; Bahwasannya Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam disetiap selesai dari shalat-nya beliau membaca :
“Asyhadu an laa ilaaha illallohu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul
hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir.” Dan dianjurkan (bagi orang yang selesai
shalat) menggabungkan dua hadits tersebut dalam do’anya, dimulai dengan
riwayat Ibnu Zubair kemudian riwayat ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-, selanjutnya

13
jika ia ingin menambahkan-nya dengan do’a yang ia inginkan baik berupa urusan
agama atau urusan dunia maka ia dapat melakukannya. Dan hendaknya ia
memelankan suara do’anya dan tidak mengeraskannya, kecuali ia menjadi imam
yang bertujuan ingin mengajari manusia dengan do’a tersebut, maka tidaklah
mengapa mengeraskan do’anya. Alloh Ta’aala berfirman : “dan janganlah engkau
mengeraskan suaramu dalam sholat dan janganlah (pula) merendahkannya “ (Al
Isroo’ : 110) Imam As Syafi’iy berkata : “Maksudnya adalah; Jangan engkau
mengeraskan suaramu dalam shalat dengan terlalu keras hingga tidak dapat
didengar, dan janganlah (pula) engkau merendahkannya dengan terlau rendah
hingga tidak didengar.” (Al Haawi Fi Fiqhis Syafi’iy, vol 2. hal 147)

4. Mazhab Hambali
:‫ستِ ْغفَا ِر َك َما َو َر َد فِي ْاَلَ ْخبَا ِر فَ َر َوي اَ ْل ُم ِغ ْي َرةُ قَا َل‬ َّ ‫ست ََح ُّب ِذ ْك ُر هللاِ تَ َعالَى َوال ُّدعَا ُء َع ِق ْي َب ال‬
ِ ْ ‫صَلَ ِة َو‬
ْ ‫اَل‬ ْ َ‫(ف‬
ْ ُ‫ص ٌل) َوي‬
ُ‫ لَهُ ا ْل ُم ْلك‬، ُ‫ش ِريكَ لَه‬َ ‫ ََل إلَهَ َّإَل هللاُ َو ْح َدُُ ََل‬: ‫ص ََل ٍة َم ْكتُوبَ ٍة‬ َ ‫سلَّ َم يَقُو ُل فِي ُدبُ ِر ُك ِّل‬َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫َكانَ النَّبِ ُّي‬
‫ َو ََل َي ْنفَ ُع َذا ا ْل َج ِّد‬، َ‫ َو ََل ُم ْع ِط َي لِ َما َمنَ ْعت‬، َ‫ اللَّهُ َّم ََل َما ِن َع لِ َما أَ ْعطَيْت‬، ‫َي ٍء قَ ِدي ٌر‬
ْ ‫ َوهُ َو َعلَى ُك ِّل ش‬، ‫ َولَهُ ا ْل َح ْم ُد‬،
،‫ِم ْن َك ا ْل َج ُّد ” متفق عليه‬
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, berdo’a dan istighfar
sesudah sholat sebagaimana yang ada dalam beberapa hadits. Al Mughiroh
meriwayat-kan, ia berkata : “Adalah Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- disetiap
selesai sholat maktubah beliau membaca : “Laa ilaaha illallohu wahdahu laa
syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir,
Allohumma laa maani’a limaa a’thoita walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa
yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu” (Muttafaq ‘Alaih) (As Syarhul Kabiir Libni
Qudamah, vol 1. hal 70)
‫ ِم ْث ُل َما َر َوى‬، ‫ست ََح ُّب ِمنْ َذلِ َك َما َو َر َد بِ ِه ْالَثَ ُر‬
ْ ُ‫ َوي‬، ‫ص ََل ِت ِه‬ َ ِ‫ َوال ُّدعَا ُء َعق‬، ‫هللا تَ َعالَى‬
َ ‫يب‬ ِ َّ ‫ستَ َح ُّب ِذ ْك ُر‬ ْ َ‫ف‬
ْ ُ‫ َوي‬: ‫ص ٌل‬
‫ ََل إلَ َه َّإَل هللاُ َو ْح َدُُ ََل‬: ‫ص ََل ٍة َم ْكتُوبَ ٍة‬
َ ‫سلَّ َم يَقُو ُل فِي ُدبُ ِر ُك ِّل‬ َ ‫ { َكانَ النَّبِ ُّي‬: ‫ قَا َل‬، ُ‫ا ْل ُم ِغي َرة‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
‫ َو ََل ُم ْع ِط َي لِ َما‬، َ‫طيْت‬ َ ‫ اللَّهُ َّم ََل َمانِ َع لِ َما أَ ْع‬، ‫ش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬
َ ‫ َوهُ َو َعلَى ُك ِّل‬، ‫ َولَهُ ا ْل َح ْم ُد‬، ‫ لَهُ ا ْل ُم ْل ُك‬، ُ‫ش ِري َك لَه‬
َ
} ‫ َو ََل َي ْنفَ ُع َذا ا ْل َج ِّد ِم ْن َك ا ْل َج ُّد‬، َ‫َم َنعْت‬
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, dan berdo’a sesudah
sholatnya, dan dianjurkan pula hendaknya diantara dzikir dan do’a yang dibaca
terdapat bacaan yang telah ada dalam atsar, seperti bacaan dan do’a yang
diriwayatkan Al Mughiroh, ia berkata : “Adalah Nabi -shollallohu ‘alaihi

14
wasallam- disetiap selesai shalat maktubah beliau membaca : “Laa ilaaha illallohu
wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin
qodiir, Allohumma laa maani’a limaa a’thoita walaa mu’thiya limaa mana’ta
walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu” (Al Mughni, vol. 2, hlm. 471)
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulah bahwa hukum dzikir
berjamaah setelah shalat fardhu tidaklah haram (bid’ah) sebagaimana pendapat
sebagian kecil umat Islam. Bahkan penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa
hukum dzikir berjamaah setelah shalat fardhu itu hukumnya sunnah.

15
KESIMPULAN

Dzikir berasal dari kata “zakara” berarti menyebut, mensucikan,


menggabungkan, menjaga, mengerti, mempelajari, memberi dan nasehat. Oleh
karena itu dzikir berarti mensucikan dan mengagungkan, juga dapat diartikan
menyebut dan mengucapkan nama Allah atau menjaga dalam ingatan
(mengingat).

Pemakalah menarik kesimpulan dari pembahasan diatas, yaitu menurut


pendapat Syekh Ibnu ‘Utsaimin: dimana beliau mengatakan Sunnah, kecuali jika
di samping anda ada seseorang yang menyempurnakan shalat dan anda khawatir
jika anda mengangkat suara anda akan mengganggunya, maka jangan keraskan
suara anda. Dalilnya:

“Hadits Abdullah bin Abbas dalam Shahih al-Bukhari: “Mengangkat suara


berzikir ketika setelah selesai shalat wajib telah ada pada masa Rasulullah
Saw, saya mengetahui shalat telah selesai dengan itu”.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ismail Nawawi, Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin Dalam
Perspektif Tasawuf (Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2008), h. 244.

Hazri Adlany, et al, al-Qur’an Terjemah Indonesia (Jakarta: Sari Agung,2002),


470.

Shaleh Bin Ghanim As-Sadlan, Doa Dzikir Qouli dan Fi’li: (Ucapan dan
Tindakan) (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), 2-3.

Abu Thalib Al-Makky, Ilmu Hati; Teknik Efektif Mencapai Kesadaran Sejati
(Erlangga, 2002), 18.

Abdul Somad, 37 Masalah Populer.Pdf

17

Anda mungkin juga menyukai