Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dzikir

2.1.1 Definisi Dzikir

Dzikir berasal dari bahasa Arab, yaitu asal kata dari dzakara,

yadzkuru, dzikran yang mempunyai arti sebut dan ingat. Menurut

Alquran dan Sunnah, dzikir diartikan sebagai segala macam bentuk

mengingat Allah, menyebut nama Allah, baik dengan cara membaca

tahlil, tasbih, tahmid, taqdis, takbir, tasmiyah, hasbalah, asmaul husna,

maupun membaca doa-doa yang mat’sur dari Rasulullah SAW (Eka,

2016).

Secara harfiah, arti dzikir atau al-daikr adalah ingat. Dzikir

berarti mengingat Allah. Dengan mengingat Allah kita akan merasakan

penjagaan dan pengawasan-Nya (Saleh, 2010). Sedangkan dalam

pengertian terminologi dzikir merupakan suatu amal ucapan atau amal

qauliyah melalui bacaan-bacaan tertentu untuk mengingat Allah.

Berdzikir kepada Allah suatu rangka dari rangkaian iman dan islam

yang mendapat perhatian khusus dan istimewa dari Al-Quran dan

sunnah (Munir, 2008).

Secara etimologi, dzikir mempunyai arti mengingat,

memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau

mengerti dan ingat. Ensiklopedi islam menjelaskan bahwa istilah dzikir

memiliki multi interpretasi, diantara pengertian-pengertian dzikir adalah


menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, atau mengerti perbuatan

baik (Haryanto, R, 2014).

Dzikir merupakan salah satu yang disunahkan Rasulullah SAW.

Dengan berdzikir kita dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan

membatasi diri, meningkalkan keduniawian, dan menyerahkan seluruh

hidup berbakti dijalan kebenaran. Dzikir dengan seluruh hati akan

membawa seseorang mencapai suatu getaran terten tu yang membuat

orang tersebut masuk akan ketenangan pikiran perasaa, sebagai awal

keadaan meditasi (Budi Priyanto, 2011 dalam Islamiyah, 2017).

2.1.2 Bentuk-Bentuk Dzikir

Haryanto, R. (2014) menyatakan bahwa, Secara umum dzikir

dibagi menjadi dua macam, yaitu : dzikir dengan hati dan dzikir dengan

lisan. Masing-masing dari keduanya terbagi pada dua arti, yaitu : dzikir

yang berarti ingat dari yang tadinya lupa, dzikir dalam arti kekal

ingatannya. Sedangkan dzikir yang dimaksud dengan dzikir lisan dan

hati adalah sebagai berikut :

1. Dzikir dengan lisan, berarti menyebut nama Allah SWT, berulang-

ulang kali, sifat-sifatNya berulang-ulang kali pula atau pujian-

pujian kepanyaNya. Untuk dapat kekal senantiasa melakukannya,

hendaknya dibiasakan atau dilaksanakan berkali-kali atau berulang-

ulang kali.

2. Dzikir kepada Allah SWT dengan hati, ialah menghadirkan

kebesaran dan keagungan Allah SWT, di dalam diri dan jiwanya

sendiri sehingga mendarah daging.


Menurut Sari (2015) bahwa, dzikir merupakan pengalaman

rohani yang dapat dinikmati oleh pelakunya, hal ini yang dimaksud oleh

Allah sebagai penentram hati. Ibnu Ata’, seorang sufi yang menulis al-

Hikam (Kata-Kata Hikmah) membagi zikir atas tiga bagian: dzikir jali

(zikir jelas, nyata), dzikir khafi (zikir samar-samar) dan dzikir haqiqi

(zikir sebenar-benarnya).

1. Dzikir Jhali

Suatu perbuatan atau tindakan mengingat Allah swt. dalam

bentuk ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur dan

doa kepada Allah swt. yang lebih menampakkan suara yang jelas

untuk menuntun gerak hati. Mula-mula dzikir ini diucapkan secara

lisan, mungkin tanpa dibarengi ingatan hati. Dzikir jenis ini

biasanya dilakukan orang awam (orang kebanyakan). Hal ini

dimaksudkan untuk mendorong agar hatinya hadir menyertai

ucapan lisan itu.

2. Dzikir Khafi

Metode dzikir yang dilakukan secara khusyuk oleh ingatan

hati, baik disertai zikir lisan ataupun tidak kemudian lidah berdzikir

sendiri sampai lancar, diikuti akal pikiran dengan penuh

penghayatan. Orang yang sudah mampu melakukan dzikir seperti

ini merasa dalam hatinya senantiasa memiliki hubungan dengan

Allah swt. Selalu merasakan kehadiran Allah SWT. kapan dan

dimana saja.
3. Dzikir Haqiqi

Dzikir yang dilakukan dengan seluruh jiwa raga, lahiriah

dan batiniah, kapan dan dimana saja, dengan memperketat upaya

memelihara seluruh jiwa raga dari larangan Allah swt. dan

mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya. Selain itu tiada yang

diingat selain Allah swt. Untuk mencapai tingkatan zikir haqiqi ini

perlu dijalani latihan mulai dari tingkat zikir jali dan zikir khafi.

Dzikir kepada Allah secara umum dapat diklasifikasikan

menjadi empat bentuk atau jenis, hal ini didasarkan pada aktivitas apa

yang digunakan untuk mengingat Allah (Munir, 2008)

1. Dzikir pikir (Tafakkur).

2. Dzikir dengan lisan atau ucapan.

3. Dzikir dengan qalbu.

4. Dzikir dengan amal perbuatan.

Usman membagi model dzikir berdasarkan pusat aktivitas

dzikirnya menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut:

1. Dzikir dalam arti ingat yang sebelumnya lupa atau lalai. Artinya

manusia kembali berdzikir setelah lalai mengingat Allah. Dalam

jangka waktu tertenttu, kemudian dia bertabaat untuk senantiasa

mengingat-Nya.

2. Dzikir dalam artian kekal ingatnya. Artinya setelah manusia

tersebut bertaubat yang sebenar-benarnya kemudian dia akkan

selalu ingat akan Allah SWT (Eka, 2016).


Lebih lanjut, dalam kehidupan sufi dikenal dengan dua jenis

praktik dzikir, yaitu dzikir lisan (jahar) dan dzikir qalbi (khofi) :

1. Dzikir Lisan

Dzikir lisan merupakan dzikir dengan mengucapkan lafal-

lafal dzikir tertentu yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an baik

keseluruhan mauppun sebagian, baik dengan suara keras mau

perlahan. Dalam melakukan dzikir ada bebrapa hal yang harus

diperhatikan. Pertama diniatkan untuk mendekatkan diri dan

beribadah kepada Allah dengan tujuan mencari ridha, cinta, dan

ma’rifatNya. Kedua dilakukan dalam keadaan memiliki wudlu.

Pertimbangnnya karena wudlu menyiratkan penyucian diri dari

hadas. Ketiga dilakukan pada trmpat dan suasan yang menunjang

kekhusyukan. Keempat berusaha memahami makna yang

terkandung didalmnya. Kelima mengkosongkan hati dan ingatan

dari segala sesuatu selain Allah. Keenam mewujudkan pesan-pesan

yang terkandung dalam ucapan dzikir itu dalam sikap hidup

(Solihin, 2004).

2. Dzikir Qalbu

Dzikir Qalbu yaitu zikir yang tersembunyi di dalam hati

tanpa suara dan kata-kata. Zikir ini hanya memenuhi qalbu dengan

kesadaran yang sangat dekat dengan Allah seirama dengan detak

jantung serta mengikuti keluar masuknya nafas disertai kesadaran

akan kehadiran Allah. Dalam literatur sufisme barat, dzikir qalbu


sering dilukiskan sebagai Living Prosenc (hidup dengan merasakan

kehadiran Tuhan) (Solihin, 2004).

2.1.3 Bacaan Dzikir

Sari (2015) menyatakan bahwa, Adapun bacaan-bacaan yang

dianjurkan dalam Dzikir lisan adalah sebagai berikut :

1. Membaca tasbih (subhanallah) yang mempunyai arti Maha Suci

Allah.

2. Membaca tahmid (alhamdulillah) yang bermakna segala puji bagi

Allah.

3. Membaca tahlil (la illaha illallah) yang bermakna tiada Tuhan

selain Allah.

4. Membaca takbir (Allahu akbar) yang berarti Allah Maha Besar.

5. Membaca Hauqalah (la haula wala quwwata illa billah) yang

bermakna tiada daya upaya dan kekuatan kecuali Allah.

6. Hasballah: Hasbiallahu wani’mal wakil yang berarti cukuplah

Allah dan sebaik-baiknya pelindung.

7. Istighfar: Astaghfirullahal adzim yang bermakna saya memohon

ampun kepada Allah yang maha agung.

8. Membaca lafadz baqiyatussalihah: subhanallah walhamdulillah

walaillahaillallah wallahakbar yang bermakna maha suci Allah dan

segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha

Besar.
2.1.4 Cara Berdzikir

Rifai dan Sukamto (dalam Saputra & Safaria, 2012) membagi

berdasarkan dapat dilakukannya dzikir menjadi 2 macam, yaitu sebagai

berikut:

1. Secara Kuantitatif, artinya menyebut nama Allah SWT. Dengan

jumlah bilangan tertentu misalnya mengucap tahmid sebanyak 200

kali.

2. Secara Kualitatif, artinya berdzikir melalui penghayatan yang terdiri

atas 3 tingkatan, sebagai berikut :

a. Dzikir Kontemplatif (perenungan mendalam), artinya ketika kita

membaca tasbih, tahmid, tahlil, istighfar, disertai dengan

penghayatan bahwa kita sangat kecil dibandingkan Allah SWT.,

kita dipenuhi oleh lumpur dosa, kita mengakui dan meyakini

kebesaran-Nya yang menciptakan alam semesta yang Maha luas

karena Allah adalah sang Maha kaya dari segalanya.

b. Dzikir Antisipatif, artinya kita menanggapi segala hal yang

terjadi di seluruh alam raya sebagai aktivitas dan kehendak

Allah SWT. dengan smempersepsikannya melalui pikiran,

perasaan dan tindakan.

c. Dzikir Aplikatif, artinya kita senantiasa mengingat Allah SWT.

ketika melakukan segala sesuatu dan dihubungkan dengan salah

satu sifat-sifat Allah yang Maha Mulia. Misalnya kita

mengucapkan istighfar dan menyebut Arrahman-Ar-rahim

ketika sedang emosi, marah maupun kecewa.


Secara garis besar dzikir menjadi 2 jenis, sebagai berikut

(Saputra & Safaria, 2012) :

1. Dzikir yang dilakukan tidak terikat dengan waktu, tempat dan

keadan. Misalnya, kita bisa mengucap istighfar, tahmid, tahlil,

ketika kita dalam suatu perjalanan atau ketika sedang beraktifitas

yang lainnya.

2. Dzikir yang dilakukan terikat dengan waktu, tempat dan keadaan.

Misalnya ketika kita hendak makan maka dzikirnya akan berbeda

dengan ketika kita akan mandi.

Tata cara berdzikir yang dianjurkan dalam mengerjakannya

sebagai berikut (Saputra & Safaria, 2012) :

1. Berniat semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT., tanpa

maksud atau tujuan yang lainnya.

2. Melakukannya dengan penuh konsentrasi dan penghayatan

mendalam terhadap maknanya.

3. Melakukannya dengan sikap tadlarru’ dengan suara yang pelan,

sengan sikap rendah diri dan rendah hati.

4. Menggunaan lafal-lafal dzikir sesuai dengan tang dituntunkan oleh

syara’ dan menyesuaikan yang dibaca dengan waktu, tempat serta

situasinya sendiri-sendiri, tanpa mengada-adakan dengan yang

lainnya

2.1.5 Manfaat Dzikir

Salah satu usaha untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta

adalah melalui dzikir. Dzikir memiliki daya relaksasi yang dapat


mengurangi ketegangan (kecemasan) dan mendatangkan ketenangan

jiwa. Setiap bacaan dzikir mengandung makna yang sangat dalam yang

dapat mencegah timbulnya stres. Bacaan yang pertama yaitu

Lailahaillallah memliliki arti tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali

Allah swt, adanya pengakuan bertuhan hanya kepada Allah dalam

sebuah keyakinan. Individu yang memiliki kemampuan spiritualitas

yang tinggi memiliki keyakinan yang kuat akan Tuhannya. Keyakinan

ini menimbulkan kontrol yang kuat, dapat memaknai dan menerima

setiap peristiwa yang tidak menyenangkan ke arah yang lebih positif

dan yakin bahwa ada yang mengatur setiap peristiwa yang terjadi di

alam semesta. Dengan begitu individu dapat mengurangi ketegangan

(kecemasan), mengatasi masalah kesehatan dan meingkatkan kekuatan

mental dengan cepat (Anggraieni & Subandi, 2014).

Bacaan Allahu Akbar, di mana sungguh besarnya kekuasaan

Allah, besar kekayaan Allah, besar ciptaan Allah, sehingga

menimbulkan sikap yang optimis. Sikap optimisme, sumber energi baru

dalam semangat hidup dan menghapus rasa keputusasaan ketika

seseorang menghadapi keadaan atau persoalan yang mengganggu

jiwanya, seperti sakit, kegagalan, depresi, dan gangguan psikologis

lainnya (Anggraieni & Subandi, 2014).

Menurut Anggraieni & Subandi (2014), manfaat dzikir

diantaranya adalah:

1. Menentramkan, membuat hati menjadi damai. Apabila manusia

mengalami kesulitan, kesusahan dan kegelisahan maka berdzikirlah,


insyaallah hati manusia akan menjadi lebih tenang dengan

rahmatnya. Melalui dzikir, hati menjadi tentram, damai, melalui

kedamaian ini maka jiwa dipenuhi oleh emosi positif seperti

bahagia dan optimis.

2. Menambah keyakinan dan keberanian. Melalui dzikir jiwa

bertambah yakin akan kebesaran Allah SWT. Sehingga bisa

menjadikan kita berani menghadapi tantangan apapun.

3. Mendapatkan keberuntungan. Keberuntungan bisa diartikan sebagai

mendapatkan kemudahan ketika kita sedang diliputi oleh masalah

pelik. Ketika jiwa mulai putus asa dan lemah, Allah memberikan

jalan terang kepada kita sehingga kita mampu menyelesaikan

masalah dengan baik.

4. Menghilangkan rasa takut. Melalui dzikir, rasa takut yang meliputi

jiwa perlahan-lahan dapat ditundukan. Hilangnya ketakutan ini

membuat teguh pendirian. Keteguhan membuat pantang berputus

asa sehingga tetap berusaha secara maksimal mencapai

keridhoannya dalam kehidupan.

5. Mendapatkan kenikmatan dan keselamatan lahir batin. Melalui

dzikir senantiasa dilindungi Allah dari segala bencana. Keselamatan

selalu menyertai, sehingga kehidupan menjadi tentram.

Keselamatan merupakan rahmat yang besar dari Allah, yang akan

menjamin tercapainya kehidupan yang damai dan sejahtera di dunia

dan akhirat kelak.


6. Melepaskan manusia dari kesulitan hidup. Melalui dzikir, mampu

melewati ujian yang diberikan Allah dengan sabar dan tawakal.

Karena dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Sekuat kuatnya

manusia, tetaplah ia makhluk yang lemah dan tak berdaya tanpa

pertolongan dari Allah.

Saleh (2010) menyatakan bahwa seorang ahli hadis terkenal, Al-

Hasif Ibn Al-Qayyim menuliskan sebuah kitab yang berjudul a;-wabil

al-shayyib. Dalam kitab itu ia berbicara secara panjang lebar tentang

manfaat dzikir yang akan dirasakan manusia, diantaranya :

1. Dzikir akan menimbulkan kecintaan kepada Allah SWT

2. Dzikir merupakan media untuk kembali kepada Allah SWT. Dzikir

akan membawa seseorang menyerahkan dirinya kepada Allah

sehingga secara perlahan Allah menjadi tempat perlindungan dan

bentengnya dari segala hal. Ia akan senantiasa berlindung kepada

Allah dari setiap musibah dan kesulitan yang mengadangnya

3. Dzikir akan mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Semakin

banyak seorang hamba berdzikir kepada Allah, semakin dekat pula

jarak antara dirinya dan Allah. Semakin ia melalaikan dzikir,

semakin ia menjauhi Allah

4. Dzikir akan meningkatkan derajat manusia di sisi Allah. Seorang

hamba yang berdzikir setiap saat, disaat sehat maupun sakit, di saat

senang maupun susah, tempat tidur, di pasar, maupun di tengah

pekerjaan, niscaya ia akan berada sangat dekat kepada Allah.

Hatinya akan dipenuhi dan disinari oleh cahaya Dzikir.


Haryanto, R (2014) menyatakan bahwa, beberapa manfaat dzikir

yang berhubungan dengan kesehatan mental :

1. Menghilangkan segala kerisauan dan kegelisahan serta

mendatangkan kegembiraan dan kesenangan

2. Mendatangkan wibawa dan ketenangan bagi pelakunya

3. Memberi rasa aman kepada mereka yang takut sekaligus

menjauhkan bencana

4. Dzikir menghilangkan rasa dahaga di saat kematian tiba sekaligus

memberi rasa aman dari segala kecemasan

5. Orang yang berdzikir akan diteguhkan kalbunya, dikuatkan

tekadnya, dijauhkan dari kesedihan, dari kesalahan, dari setan dan

tentaranya. Selain itu kalbunya akan didekatkan pada akhirat dan

dijauhkan dari dunia.

Dzikir ditinjau dari sudut ilmu kedokteran kontemporer,

pengucapan “Laa Illaaha Illallah” dan “astaghfirullah” dapat

menghilangkan nyeri dan bisa menumbuhkan ketenangan serta

kestabilan saraf. Sebab dalam kedua bacaan dzikir tersebut terdapat

huruf jahr yang dapat mengeluarkan CO2 dari otak. Dalam kalimat

”Laa Illaaha Illallah” terdapat huruf jahr yang dapat diulang tujuh kali,

yaitu huruf “lam” dan “Astaghfirullah” ada empat huruf jahr yang

harus dilafalkan keras sehingga kalimat dzikir tersebut akan

mengeluarkan CO2 lebih banyak saat udara dihembuskan keluar mulut.

Dan CO2 yang dikeluarkan oleh tubuh tidak mempengaruhi perubahan

diameter pembuluh darah dalam otak. Sebab bila proses pengeluaran


CO2 kacau, maka CO2 yang ke luar juga kecau sehingga menyebabkan

pembulu darah di otak akan melebar berlebihan ketika kadar CO2 di

dalam otak menurun. sehingga ditinjau dari ilmu saraf, terdapat

hubungan yang erat antara pelafalan huruf (makharij al-huruf) pada

bacaan dzikir dengan aliran darah pernapasan keluar yang mengandung

zat CO2 dan proses yang rumit di dalam otak pada kondisi fisik atau

psikis seseorang (Haryanto, 2014).

Manfaat dzikir menurut ahli metafisik adalah untuk menarik

energi positif, agar energi dzikir yang bertebaran di udara dapat masuk

dan tersikulasi ke seluruh bagian tubuh pelaku dzikir. Manfaat utama

energi dzikir pada tubuh adalah sebagai pendinginan guna menjaga

keseimbanagan suhu tubuh, agar tercipta “suasana kejiwaan yang

tenang, damai dan terkendali, bermoral (berakhlakul karimah)”

(Haryanto, 2014).

2.1.6 Keterkaitan Dzikir Menyembuhkan Penyakit

Rifki (2018) menyatakan bahwa, semua penyakit yang dialami

oleh manusia berasal dari hati. Penyakit fisik maupun penyakit

psikologis yang disebabkan oleh kondisi hati yang tidak baik. Hati yang

gelisah (gundah) dapat menimbulkan stress. Rasulullah SAW, bersabda:

“ingatlah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal


daging. Apabila ia baik maka seluruh anggota tubuh lain akan
menjadi baik; dan jika ia rusak maka seluruh tubuh yang lain
menjadi rusak, sesungguhnya yaitu qalb (jantung) (HR.Bukhari
dan Muslim.”
Dengan demikian, jantung merupakan organ tubuh yang

mengontrol sistem sirkulasi darah di tubuh. Apabila jantung mengalami

gangguan maka seluruh tubuh akan menerima dampaknya.

Menurut Dadang Hawari dalam Ardila (2019) mengatakan

bahwa untuk metode penyembuhan dapat dijelaskan melalui teori

psiko-neuro-imunologi. Dzikir yang diucapkan mempengaruhi sistem

saraf pusat yang merupakan pengobatan psikoreligius sehingga dzikir

memiliki dampak yang sangat besar dan sangat positif dalam mengelola

dan membuat perasaan hati yang baik. Saat suasana hati baik maka

menjadi penawar bagi kondisi stress dapat diartikan bahwa dzikir dapat

mengobati penyakit jantung (Rifki, 2018).

Dari paparan Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 28 yang artinya:

“yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi


tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan zikir
dan mengingat Allah hati menjadi tentram”

Bahwa dzikir merupakan salah satu cara untuk terapi semua

penyakit rohani yang dialami manusia. Walaupun dalam teks Al-Qur’an

dzikir hanya sebagai penentram hati saja. Kita dapat memahami bahwa

banyak penyakitt hati yang muncul karena tidak tenangnya hati. Dalam

hal ini dzikir dapat menenangkan hati dan jiwa seseorang yang sedang

mengalami goncangan dan menentralisasi pikiran yang sedang

merasakan kepenatan. Sebagian ahli kedokteran jiwa telah menyakini

bahwa penyembuhan penyakit klien dapat dilakukan lebih cepat jika

memakai cara pendekatan keagamaan, yaitu dengan membangikitkan

potensi keimanan kepada Tuhan lalu menggerakan kearah pencerahan


batiniah. Dengan kondisi inilah akhirnya timbul kepercayaan diri bahwa

Tuhan adalah satu-satunya penyembuh dari berbagai penyakit (Munir,

2008).

Allah berfirman dalam Qur’an Surat Al-Ahza (33) : ayat 41

yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan


menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.”

Menurut Imam Izzudin ibn Abdussalam bahwa banyaknya

hadist-hadist tentang dzikir dapat disamakan dengan kata “perintah”

sebab segala perbuatan yang dipuji dan yang dijanjikan akan

mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat maka hal itu berarti perintah.

Tak diragukan lagi bahwa mengingat Allah adalah perintah Allah dan

Rosul-Nya (Munir, 2008).

Menurut Askat (2000) Dzikir adalah segala sesuatu atau

tindakan dalam rangka mengingat Allah SWT, mengagungkan asma-

Nya dengan lafal lafal tertentu, baik yang dilafalkan dengan lisan atau

hanya diucapkan dalam hati saja yang dapat dilakukan di mana saja

tidak terbatas pada ruang dan waktu. Said Ibnu Djubair dan para ulama

lainnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzikir itu adalah

semua ketaatan yang diniatkan karena Allah SWT, hal ini berarti tidak

terbatas masalah tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, tapi semua aktifitas

manusia yang diniatkan kepada Allah SWT (Askat, 2000). Jadi

berdzikir tidak pakem terhadap satu atau dua lafal saja, tetapi semua hal

yang mengingatkan diri dengan Allah merupakan aktifitas berdzikir.


Dari penjelasan terapi dan dzikir diatas dapat disimpulkan

bahwa terapi dzikir adalah psikospiritual dimana pengobatan psikologis

dengan mengingat Allah dengan cara membaca lafal tertentu dan

disertai dengan perenungan terhadap petunjuk yang Allah tampakkan.

2.2 Mekanisme Koping

2.2.1 Pengertian Koping

Koping merupakan respon individu terhadap situasi yang

mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Kemampuan koping

dipengaruhi oleh antara lain faktor internal meliputi umur, kepribadian,

intelengesi, pendidikan, nilai, kepercayaan, budaya, emosi dan kognitif

dan faktor eksternal meliputi support sistem, lingkungan, keadaan

finansial penyakit (Stuart & Sundeen, 2009).

Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan

dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal

khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Koping yang

efektif adalah koping yang membantu seseorang untuk menoleransi dan

menerima situasi menekan serta tidak merisaukan tekanan yang tidak

dapat dikuasainya (Lazarus dan Folkman dalam Nasir dan Muhith,

2011).

Secara alamiah baik disadari ataupun tidak individu

sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi

stress. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah

lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang

dirasakan/dihadapi. Koping yang efektif akan menghasilkan adaptasi


yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari

situasi lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan

maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif

dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan,

setiap individu dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya

menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukanya bervariasi, hal ini

tergantung dari kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).

Koping dipandang sebagai suatu faktor penyeimbang yang dapat

membantu invidu beradaptasi dengan kondisi yang menekan dan dapat

menimbulkan berduka (Nursalam, 2011 dalam Dyanna dkk, 2015).

2.2.2 Pengertian Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah cara berespon bawaan seseorang

terhadap perubahan lingkungan, masalah, atau situasi tertentu. Strategi

koping bervariasi diantara individu dan sering kali berhubungan dengan

persepsi individu terhadap kejadian yang menimbulkan stress (Kozier,

Erb, Berman, Snyder, 2010).

Mekanisme koping adalah distorsi kognitif yang digunakan oleh

seseorang untuk mempertahankan rasa kendali terhadap situasi,

mengurangi rasa tidak aman, dan menghadapi situasi yang

menimbulkan stress (Videbeck, 2011).

Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu

untuk menghadapi perubahan yang diterima. Kemampuan koping

individu tergantung dari temperamen, presepsi, dan kognisi serta latar


belakang budaya/norma tempatnya dibesarkan (Nursalam dalam

Dyanna dkk, 2015).

Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam

menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi, dan situasi

yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku. Koping adalah

proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang

diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang

dinilai dalam suatu keadaan yang penuh tekanan, koping dapat

diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai suatu masalah dapat juga

membantu mengubah persepsi atas ketidaksesuaian, menerima bahaya,

melepaskan diri atau mengindari situasi stres (Nasir dan Muhith, 2011).

Model keperawatan jiwa supportive therapy (Wermon,

Rockland) bahwa pada konsep ini faktor biopsikososial dan respons

maladaptif akan berakumulasi menjadi satu, aspek biologis yang

menjadi masalah seperti sering sakit mag, batuk, dan lain-lain,

sedangkan aspek psikologis yang didapat dari kejadian itu diantaranya

mudah cemas, sulit berkonsentrasi, kurang percaya diri, mudah

melamun, dan pemarah, serta pada aspek sosialnya adalah susah

bergaul, menarik diri, manja, tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu

mendapat pekerjaan. Prinsip terapinya dengan menguatkan respons

koping adaptif, individu diupayakan mengenal kekuatan-kekuatan yang

ada pada dirinya, kemudian kekuatan mana yang akan menjadi

pemecahan masalah yang dihadapi (Kusumawati dan Hartono, 2010).


Ketika individu mengalami kecemasan ia akan menggunakan

berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya.

Ketidakmampuan mengatasi cemas merupakan penyebab utama

terjadinya perilaku patologis. Kecemasan ringan sering ditanggulangi

tanpa pemikiran yang sadar. Kecemasan sedang dan berat menimbulkan

dua jenis mekanisme koping :

1. Reaksi berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari untuk

memenuhi tuntutan situasi stress secara realistis dengan perilaku

menyerang yang digunakan untuk mengatasi hambatan pemenuhan

kebutuhan, menarik diri dengan menjauhkan diri dari ancaman baik

secara fisik maupun psikologis, perilaku kompromi digunakan

untuk mengubah cara yang biasa dilakukan.

2. Mekanisme pertahanan ego dengan membantu mengatasi

kecemasan ringan dan sedang (Stuart & Sundeen, 2009). Sedangkan

rentang respon kecemasan dapat dikonseptuasikan dalam rentang

respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif

sampai maladaptif. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat

konstruktif dan destruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang

untuk belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama

perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan berfokus pada

kelangsungan hidup. Sedangkan reaksi destruktif adalah reaksi yang

dapat menimbulkan tingkah laku maladaptif serta disfungsi yang

menyangkut kecemasan berat atau panik.


2.2.3 Klasifikasi Koping

Mekanisme berdasarkan penggolongan dibagi menjadi dua

(Stuart dan Sundeen dalam Nasir dan Muhith, 2011). Mekanisme

koping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi

(kesempurnaan atau keseluruhan), pertumbuhan, belajar, dan mencapai

tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan

masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang, memiliki

persepsi luas, dapat menerima dukungan dari orang lain dan aktivitas

konstruktif.

Kemudian mekanisme koping maladaptif merupakan

mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi (kesempurnaan

atau keseluruhan memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan

cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah perilaku

cenderung merusak, melakukan aktifitas yang kurang sehat seperti obat-

obatan, jamu dan alkohol, tidak mampu berfikir apa-apa atau

disorientasi dan tidak mampu menyelesaikan masalah.

2.2.4 Gaya Koping

Gaya koping menurut Nasir dan Muhith (2011) adalah

penentuan gaya seseorang atau ciri-ciri tertentu dari seseorang dalam

memecahkan suatu masalah berdasarkan tuntutan yang dihadapi. Gaya

koping dibagi menjadi dua yaitu gaya koping positif dan gaya koping

negatif.

Gaya koping positif adalah gaya koping yang mampu

mendukung integritas ego, gaya koping positif mempengaruhi


mekanisme koping adaptif sedangkan gaya koping negatif adalah gaya

koping yang akan menurunkan integritas ego, dimana gaya koping

tersebut akan merusak dan merugikan diri sendiri, gaya koping negatif

mempengaruhi mekanisme koping maladaptif.

Beberapa kelompok dalam gaya koping positif diantaranya :

1. Problem solving (masalah dihadapi dan dipecahkan)

2. Utilizing social support (dukungan dari orang lain untuk

menyelesaikan masalah)

3. Looking for silver lining (berfikir positif dan mengambil hikmah

dari masalah).

Beberapa kelompok dalam gaya koping negatif diantaranya :

1. Avoidance (membebaskan diri atau lari dari masalah)

2. Self-blame (menyalahkan diri sendiri)

3. Wishfull thinking (penentuan standar diri yang terlalu tinggi)

2.2.5 Strategi Koping

Mekanisme berdasarkan strategi dibagi menjadi dua (Lazarus

dan Folkman dalam Nasir dan Muhith, 2011):

1. Koping yang berfokus pada masalah (Problem Focused Coping).

Problem focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres

dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan

lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

Problem focused coping ditujukan untuk mengurangi keinginan dari

situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk

mengatasinya. Seseorang menggunakan metode problem focused


coping apabila mereka percaya bahwa sumber atau keinginan dari

situasinya dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem

focused coping antara lain sebagai berikut.

a. Confrontative Coping: usaha untuk mengubah keadaaan yang

dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan

yang cukup tinggi, dan pengambilan risiko.

b. Seeking Social Support: usaha untuk mendapatkan kenyamanan

emosional dan bantuan informasi dari orang lain

c. Planful problem solving: usaha untuik mengubah keadaan yang

dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan

analitis.

2. Koping yang berfokus pada emosi (Emotion Focused Coping)

Emotion focused coping yaitu usaha mengatasi stres dengan

cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri

dengan dampak yang akan ditumbulkan oleh suatu kondisi atau

situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping

ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres.

Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan

perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan dalam emotion focus

coping antara lain sebagai berikut.

a. Self control: usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi

situasi yang menekan.

b. Distancing: usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan,

seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-


apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif,

seperti menganggap masalah seperti lelucon.

c. Positive reappraisal: usaha mencari makna positif dari

permasalahan dengan berfokus dalam pengembangan diri,

biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

d. Accepting responsibility: usaha untuk menyadari tanggungjawab

diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba

menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.

e. Escape/avoigen: usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan

lari dari situasi tersebut dengan beralih pada hal lain seperti

makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Koping Individu

Menurut Siswanto (2007), stresor yang sama dapat

menimbulkan respon yang berbeda pada setiap individu sesuai dengan

karakteristik yang memiliki seperti:

1. Usia

Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres

dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa biasanya

lebih mampu mengontrol stres dibanding dengan usia anak-anak

dan usia lanjut.

2. Jenis kelamin

Wanita biasanya memiliki daya tahan yang lebih baik

terhadap stresor dibanding dengan pria terutama wanita-wanita di

usia produktif karena hormon-hormon masih bekerja secara normal.


3. Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, toleransi dan

pengontrolan terhadap stresor biasanya lebih baik.

4. Tingkat kesehatan

Orang yang sakit lebih mudah menderita akibat stres

dibandingkan orang yang sehat.

5. Kepribadian

Seseorang dengan kepribadian tipe A (tertutup) lebih mudah

terkena stres daripada orang dengan kepribadian tipe B (terbuka).

6. Harga diri

Harga diri yang rendah cenderung membuat efek stres lebih

besar dibandingkan dengan orang yang memiliki harga diri yang

tinggi.

2.3 Pasien Pre Operasi (Pre Op)

2.3.1 Pengertian Pre Operasi

Pre operasi adalah waktu dimulai ketika keputusan untuk

informasi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja

operasi. Tindakan operasi atau pembedahan, baik elektif maupun

kedaruratan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan. Sehingga

pasien memerlukan pendekatan untuk mendapatkan ketenangan dalam

menghadapi operasi (Brunner & Suddarth, 2014).

Konsep pre operasi adalah bagian dari keperawatan perioperatif

dan merupakan persiapan awal sebelum melakukan tindakan operasi.

Tahap ini merupakan awalan yang menjadi kesuksesan tahap-tahap


berikutnya. Kesalahan yang dilakukan pada tahap ini akan berakibat

fatal pada tahap berikutnya (HIPKABI, 2014).

2.3.2 Gambaran Pasien Pre Operasi

Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun

mental aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan

reaksi stres fisiologis maupun psikologis. Menurut Majid, Judha, dan

Istianah (2011), alasan yang dapat menyebabkan kekhawatiran/

kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain: nyeri

setelah pembedahan, perubahan fisik, ruang operasi, peralatan

pembedahan dan petugas, mati saat di operasi/ tidak sadar lagi, dan

operasi gagal.

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015), beberapa hal yang

menyebabkan kecemasan sebelum pembedahan dan anestesi yaitu:

lingkungan yang asing, masalah biaya, ancaman akan penyakit yang

lebih parah, masalah pengobatan, dan pendidikan kesehatan.

2.3.3 Kecemasan Pre Operasi

Tindakan pembedahan menimbulkan ketakutan dan kecemasan

pada pasien walaupun respon individu terhadap tindakan tersebut

berbeda-beda. Beberapa pasien menyatakan takut dan menolak

dilakukan tindakan pembedahan, tetapi klien mengatakan tidak tahu

yang menjadi penyebab, namun ada juga beberapa pasien yang

menyatakan ketakutannya dengan jelas dan spesifik (Long, 2008).

Kecemasan adalah perasaan tidak menyenangkan, yang ditandai dengan

istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang


kadang-kadang dialami dalam tingkatan yang berbeda-beda (Atkinson

dalam Yanti, dkk., 2013).

Kecemasan merupakan respon individu terhadap keadaan yang

tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam

kehidupan sehari-sehari (Harsepuny, 2012). Mekanisme yang

menyebabkan kecemasan meningkatkan resiko penyakit jantung

koroner yang fatal termasuk hiperventilasi yang terjadi selama serangan

akut yang dapat menyebabkan spasme koroner dan dapat menyebabkan

kegagalan ventrikel sehingga dapat menyebabkan aritmia (Szirmai,

2011).

Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai

ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari

ketidakmampuan mengatasi masalah atau tidak adanya rasa aman.

Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak

menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai

perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2010). Kecemasan

adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya. Kecemasan juga

merupakan kekuatan besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik

tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu. Keduanya

merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan

terhadap kecemasan tersebut (Gunarsa, 2008).

2.3.4 Persiapan Pasien Pre Operasi

Menurut Sjamsuhidajat, Prasetyono, dan Riwanto (2017), bahwa

persiapan pasien pre operasi meliputi persiapan fisik dan persiapan


mental, persiapan ini penting sekali untuk mengurangi faktor resiko

yang diakibatkan dari suatu pembedahan.

1. Persiapan fisik

Perawatan yang harus diberikan pada pasien pre operasi,

diantaranya keadaan umum pasien, keseimbangan cairan dan

elektrolit, status nutrisi, puasa, personal hygiene, dan pengosongan

kandung kemih.

2. Persiapan mental

Pasien secara mental harus dipersiapkan untuk menghadapi

pembedahan, karena selalu ada rasa cemas atau khawatir terhadap

penyuntikan, nyeri luka, anestesi, bahkan terhadap kemungkinan

cacat atau mati. Hubungan baik antara penderita, keluarga dan

tenaga kesehatan sangat membantu untuk memberikan dukungan

sosial (support system) dan pendidikan kesehatan.

Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi

fisik, biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan

kesuksesan suatu operasi. Dalam hal ini persiapan sebelum operasi

sangat penting dilakukan untuk mendukung kesuksesan tindakan

operasi. Persiapan operasi yang dapat dilakukan diantaranya persiapan

fisiologis, dimana persiapan ini merupakan persiapan yang dilakukan

mulai dari persiapan fisik, persiapan penunjang, pemerikaan status

anastesi sampai informed consent. Selain persiapan fisiologis, persiapan

psikologis atau persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah

pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang


tidak siap atau lebih dapat berpengaruh terhadap kondisi fisik pasien

(Smeltzer, 2010).

Persiapan klien di unit perawatan, diantaranya (Smeltzer, 2010):

1. Persiapan fisik

Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap

pasien sebelum operasi antara lain:

d. Status Kesehatan Fisik Secara Umum

Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan

pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas

klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat

kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status

hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi

ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-

lain. Selain itu pasien harus istirahat yang cukup karena dengan

istirahat yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik,

tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat

hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan pasien wanita

tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal.

e. Status Nutrisi

Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi

badan dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas,

kadar protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan

nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi

sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup


untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat

mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca

operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di

rumah sakit.

f. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya

dengan input dan output cairan. Demikian juga kadar elektrolit

serum harus berada dalam rentang normal. Keseimbangan cairan

dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal

berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi

metabolik obat- obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka

operasi dapat dilakukan dengan baik.

g. Pencukuran Daerah Operasi

Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk

menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan

pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi

tempat bersembunyi kuman dan juga mengganggu/ menghambat

proses penyembuhan dan perawatan luka. Meskipun demikian

ada beberapa kondisi tertentu yang tidak memerlukan

pencukuran sebelum operasi, misalnya pada pasien luka incisi

pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus dilakukan

dengan hati- hati jangan sampai menimbulkan luka pada daerah

yang dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk

mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman. Daerah


yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan

daerah yang akan dioperasi.

h. Personal Hygiene

Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan

operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber

kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang di

operasi. Pada pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk

mandi sendiri dan membersihkan daerah operasi dengan lebih

seksama. Sebaliknya jika pasien tidak mampu memenuhi

kebutuhan personal hygiene secara mandiri maka perawat akan

memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene.

i. Pengosongan Kandung Kemih

Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan

melakukan pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi

bladder tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk

mengobservasi balance cairan.

j. Latihan Pra Operasi

Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum

operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam

menghadapi kondisi pasca operasi, seperti: nyeri daerah operasi,

batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan-latihan yang

diberikan pada pasien sebelum operasi, antara lain :

1) Latihan Nafas Dalam


Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien

untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu

pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi

dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain

itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan

oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan melakukan

latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka

pasien dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah

operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.

2) Latihan Batuk Efektif

Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi

klien terutama klien yang mengalami operasi dengan

anestesi general. Karena pasien akan mengalami

pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi

teranestesi. Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami

rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak

lendir kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat

bermanfaat bagi pasien setelah operasi untuk mengeluarkan

lendir atau sekret tersebut.

3) Latihan Gerak Sendi

Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting

bagi pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera

melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk

mempercepat proses penyembuhan. Pasien/keluarga pasien


seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang

pergerakan pasien setelah operasi. Banyak pasien yang tidak

berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi

sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan

seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai

operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih cepat

merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan

lebih cepat kentut/flatus. Keuntungan lain adalah

menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan

dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus.

Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk

mencegah stasis vena dan menunjang fungsi pernafasan

optimal.

2. Persiapan Penunjang

Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil

pemeriksaan penunjang, maka dokter bedah tidak mungkin bisa

menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien.

Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai

pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan lain

seperti EKG, dan lain-lain.

Sebelum dokter mengambil keputusan untuk melakukan

operasi pada pasien, dokter melakukan berbagai pemeriksaan terkait

dengan keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa


menyimpulkan penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah

memutuskan untuk dilakukan operasi maka dokter anstesi berperan

untuk menentukan apakah kondisi pasien layak menjalani operasi.

Untuk itu dokter anastesi juga memerlukan berbagai macam

pemerikasaan laboratorium terutama pemeriksaan masa perdarahan

(bledding time) dan masa pembekuan (clotting time) darah pasien,

elektrolit serum, hemoglobin, protein darah, dan hasil pemeriksaan

radiologi berupa foto thoraks dan EKG.

3. Pemeriksaan Status Anestesi

Pemeriksaan status fisik untuk pembiusan perlu dilakukan

untuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi

demi kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami

pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana

resiko pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa

digunakan adalah pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA

(American Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan

karena obat dan teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu

fungsi pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf.

4. Inform Consent

Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan

penunjang terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait

dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu

Inform Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari

bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko.


Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis,

wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan

medis (pembedahan dan anastesi).

Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit

menjunjung tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang

bertanggung jawab terhadap pasien wajib untuk menandatangani

surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang

dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga

mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan

konsekuensinya.

Pasien maupun keluarganya sebelum menandatangani surat

pernyataan tersebut akan mendapatkan informasi yang detail terkait

dengan segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta

pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum menjelaskan

secara detail, maka pihak pasien/ keluarganya berhak untuk

menanyakan kembali sampai betul- betul paham. Hal ini sangat

penting untuk dilakukan karena jika tidak maka penyesalan akan

dialami oleh pasien/keluarga setelah tindakan operasi yang

dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran keluarga.

5. Persiapan Mental/Psikis

Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah

pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien

yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi

fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial


maupun aktual pada integeritas seseorang yang dapat

membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Barbara

C. Long, 2000). Contoh: perubahan fisiologis yang muncul akibat

kecemasan dan ketakutan misalkan pasien dengan riwayat

hipertensi jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat

mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan darahnya akan

meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan.

Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien

dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti:

meningkatnya frekuensi denyut jantung dan pernafasan, tekanan

darah, gerakan-gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan

yang lembab, gelisah, menayakan pertanyaan yang sama berulang

kali, sulit tidur, dan sering berkemih. Perawat perlu mengkaji

mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam

menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal

yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi

masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang

terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/support

system.
2.4 Kerangka Teori

Pasien Pre Operasi

Non Kecemasan Farmakologi


Farmakologi Pre Operasi

Klasifikasi Koping
Adaptif
Dzikir Mekanisme Maladaptif
Koping

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping


Mekanisme Koping Individu Problem Focused
Usia Coping
Jenis Kelamin Emotion Focused
Tingkat Pendidikan Coping
Tingkat Kesehatan
Kepribadian
Harga Diri
Kecemasan
Berkurang

Gambar 2.1 Kerangka Teori


DAFTAR PUSTAKA

Anggraieni, W. N., & Subandi, S. (2014). Pengaruh Terapi Relaksasi Zikir Untuk
Menurunkan Stres Pada Penderita Hipertensi Esensial. JIP (Jurnal
Intervensi Psikologi), 6(1), 81-102.

Ardila, A. (2019). Pengaruh Terapi Dzikir terhadap Tekanan Darah pada Lansia
Penderita Hipertensi di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah
Pekanbaru. Pekanbaru: Politeknik Kesehatan Kemenkes Riau.

Askat, A.W. (2000). Wasiat Dzikir dan Doa Rasulullah SAW. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Brunner, & Suddarth. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Dyanna, L., Dewi, Y. I., & Herlina. (2015). Hubungan Dukungan Keluarga
Terhadap Mekanisme Koping Pasien Post Operasi Mastektomi, 558-561.

Eka, N. (2016). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana


Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Bumi Aksara.

Gunarsa, S.D. (2008). Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta:
Gunung Mulia.

Harsepuny. (2012). Gambaran Tingkat Kecemasan pada Pegawai yang Bekerja


di Lembaga Permasyarakatan Wanita Klas II A. Bandung: Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Padjajaran.

Haryanto, R. (2014). Dzikir: Psikoterapi Dalam Perspektif Islam. AL-IHKAM:


Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 9(2), 338-365.

HIPKABI. (2014). Buku Keterampilan Dasar Bagi Perawat Kamar Bedah.


Jakarta: Hipkabi Press.

Islamiyah, I. (2014). Pengaruh Meditasi Dzikir terhadap Perubahan Tekanan


Darah pada Lansia dengan Hipertensi di Kelurahan Romang Polong
Kabupaten Gowa (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar).

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan 1. Jakarta: EGC.

Kusumawati, F., Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Salemba Medika.
Long. (2008). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan.

Majid, A., Judha, M., & Istianah, U. (2011). Keperawatan perioperatif.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Munir, A. S. (2008). Energi Dzikir. Jakarta: Bumi Aksara.

Nasir, Abdul dan Muhith, Abdul. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa:


Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.

Rasmun. (2004). Stres Koping dan Adaptasi: Teori dan Pohon Masalah
Keperawatan Ed 1. Jakarta: Sagung Seto.

Rifki, P.A. (2018). Pengaruh Terapi Dzikir terhadap Tekanan Darah pada Lansia
dengan Hipertensi di Karang Werdha Arjuna Kecamatan Kalisat
Kabupaten Jember. Fakultas Keperawatan Universitas Jamber.

Rochman, K.L. (2010). Kesehatan Mental. Purwokerto: Fajar Media Press.

Saleh, A. (2010). Berdzikir Untuk Kesehatan Syaraf. Jakarta: Zaman.

Saputra, N.E., & Safaria, T. (2012). Manajemen Emosi. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.

Sari, E. A. (2015). Pengaruh Pengalaman Dzikir Terhadap Ketenangan Jiwa di


Majlisul Dzakirin Kamulan Durenan Trengalek. Fakultas Ushuluddin
Adab dan Dakwah Istitut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulung Agung.

Siswanto. (2007). Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan dan Perkembangannya.


Yogyakarta: Andi.

Sjamsuhidajat, R., Prasetyono, T., & Riwanto, I. (2017). Buku Ajar Ilmu Bedah:
Masalah Pertimbangan Klinis Bedah dan Metode Pembedahan. Jakarta:
EGC.

Smeltzer, S.C. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Solihin, M. (2004). Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif


Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Stuart & Sundeen. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Szirmai, A. (2011). Anxiety And Related Disorders. Croatia: Intech Open


Publishers.

Tarwoto, dan Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.
Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric Mental Health Nursing. 5th edition. Wolters
Kluwer Health. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins.

Yanti, S., Erlamsyah, E., Zikra, Z., & Ardi, Z. (2013). Hubungan antara
Kecemasan dalam Belajar dengan Motivasi Belajar Siswa. Konselor, 2(1).

Anda mungkin juga menyukai