Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Pada saat sekarang ini kualitas pendidikan di Indonesia makin memburuk. Salah satu

faktor buruknya kualitas pendidikan dikarenakan kurangnya kemampuan para guru dalam

menggali potensi dalam diri peserta didik. Para pendidik seringkali memaksakan

kehendaknya kepada peserta didik tanpa memperhatikan bakat dan minat yang ada di

dalam diri para peserta didik. Hal ini mengakibatkan kurang nyamannya si peserta didik

dalam menuntut ilmu.

Berdasarkan Survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pasifik,

Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru,
1
kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang . Posisi tersebut

menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa

tahun lalu. Dari survei di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia sedang

dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain kurang kreatifnya para pendidik

dalam membimbing para siswa, kurikulum yang bersifat membosankan membuat

pendidikan tidak mampu mencetak lulusan yang kreatif. Kurikulum hanya mampu

menghasilkan lulusan yang hanya pintar dalam mencari kerja tetapi tidak kreatif dalam

menciptakan lapangan kerja sendiri.

1 Diakses dari https://www.kompasiana.com/indahsuraya/54f5f384a333117a028b46b6/masalah-

pendidikan-di-indonesia pada 16 Maret 2019

1
Dari permasalahan diatas dapat diketahui bahwa proses pendidikan di Indonesia

seolah-olah sedang menciptakan “robot cerdas bernyawa” yang hanya cerdas secara

intelektual tetapi kurang kreatif dalam menciptakan peluang kerja bagi dirinya sendiri dan

orang lain. Berdasarkan masalah ini penulis mencoba untuk membahas mengenai

permasalahan pendidikan di era modern yang menciptakan “robot cerdas bernyawa” di

Indonesia.

B. Tujuan dan manfaat penulisan

a. Tujuan

Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini

adalah untuk mengetahui permasalahan menurunnya kualitas pendidikan yang ada di

Indonesia.

b. Manfaat

Dari penulisan ini diharapkan bermanfaat menambah pengetahuan serta wawasan

penulis kepada pembaca tentang kondisi pendidikan Indonesia pada saat sekarang ini

sehingga kita dapat menemukan solusinya bersama agar pendidikan di masa yang

akan datang dapat ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas yang

diberikan.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

Sebelum kita membahas permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya

terlebih dahulu kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu

memelihara dan memberi ajaran mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan

pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang

atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

latihan, proses perbuatan, cara mendidik 2.


Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan nasional di Indonesia

merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan umumnya berarti daya

upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran

(intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian

itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan

penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya” 3. Dari etimologi dan

analisis pengertian di atas, pendidikan itu sendiri dapat dirumuskan sebagai tuntutan

pertumbuhan manusia manusia sedari lahir sehingga tercapainya kedewasaan jasmani dan

rohani dalam interaksi dengan lingkungan masyarakatnya.


Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti (long life

education). Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat

2 Ilmu Ekonomi ID, “pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia”, diakses

dari https://www.ilmu-ekonomi-id.com/2016/09/pengertian-pendidikan-menurut-kamus-besar

-bahasa-indonesia.html? pada 17 Maret 2019

3 Moh. Murrofiq, “pengertian pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara”, diakses dari

http://www.diwarta.com/2012/06/04/penertian-pendidikan-menurut-ki-hajar-dewantara.html pada

17 Maret 2019

3
karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan.

Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar

tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu

sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting,

maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia

sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang

berpribadi, yang bertanggung jawab.


Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-

subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada

perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi

perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit

itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan

rohani juga. Melalui pendidikan manusia dapat menyadari hakikat dan martabatnya di

dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu

berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan

sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya

tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercabut dari akar tradisinya.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pendidikan yang menciptakan robot cerdas bernyawa

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari

bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan

yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia

4
menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali

pendidikan tidak memanusiakan manusia.


Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Sistem

pendidikan yang dari atas ke bawah atau jika menggunakan istilah dari Paulo Freire,

seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin, adalah sistem pendidikan gaya bank ini

sangat tidak membebaskan karena peserta didik dianggap seperti manusia yang tidak tahu

apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk memghafal

secara mekanis isi pengajaran yang diberikan. Model pendidikan ini karena sangat

menindas peserta didik.


Oleh karena itu, bisa dikatakan pendidikan di Indonesia pada saat ini seperti

“menciptakan robot cerdas bernyawa”. Maksud dari pernyataan di atas adalah pendidikan

di Indonesia pada saat sekarang seolah-olah menghasilkan manusia yang memiliki

kepandaian yang siap menjadi pekerja di industri. Pendidikan di Indonesia dikatakan

demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak

seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar

yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung

semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir.

Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan

berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai,

semangat dan sebagainya.


Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan

instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-

gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai”. Kata “siap

pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan

dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut,

akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen

pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga

5
produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut

pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga

pendidikan.
Model pendidikan yang demikian hanya untuk memenuhi kebutuhan zaman dan

bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai obyek (yang adalah wujud

dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi

humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia

Timur/Asia). Kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu

gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat. Oleh karena itu strategi pendidikan di

Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah

berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi,

sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini

penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat

kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita.

B. Kualitas pendidikan yang ada di Indonesia


Praktek sekarang ini, kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia membuat

peserta tertekan. Sebagai contoh, bayangkan seorang pelajar SMA tahun pertama harus

menguasai empat bidang sains (biologi, kimia, fisika, dan matematika), lalu tiga bahasa

(Bahasa Indonesia, Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi,

ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga, dan komputer. Tidak mengherankan kalau

sekolah menjadi sangat menakutkan, stress, banyak korban kesurupan, terbiasa

mencontek, dan sebagainya.


Dari sudut pandang metode pengajaran pun, materi pelajaran yang diberikan hanya

berupa konten saja. Remaja hanya diajari cara menggunakan rumus, parahnya ketika

ujian mereka harus menghafalkan sedemikian banyak rumus. Sungguh tidak masuk akal,

padahal saat prakteknya nanti kita juga diperbolehkan melihat buku sebagai referensi dan

mencari bahan dari internet ketika bekerja. Dalam setiap pertemuan pun seringkali

6
membahas soal-soal teori dan solusinya dengan rumus, lain soal lain pula rumus yang

digunakan, dan seterusnya hingga akhirnya cara untuk mendapat nilai tinggi adalah

dengan menghafalkan tipe soal dan rumus yang digunakan untuk menjawab pertanyaan,

sebaiknya konsep pelajaran diajarkan terlebih dahulu sehingga remaja mengerti

bagaimana pola berpikir dalam memahami persoalan sampai kepada teknis

menyelesaikan masalah. Ada baiknya juga di awal semester, pengajar memberikan

gambaran besar apa yang akan dipelajari, bagaimana cara memahami materi pelajaran,

hasil yang diharapkan setelah belajar, dan lain-lain sehingga bisa memberikan motivasi

dan memperjelas hal yang akan dipelajari.


Apabila dilihat dari faktor penyebabnya, secara umum ada dua faktor yang

mempengaruhi kualitas pendidikan menjadi seperti pada saat ini di Indonesia, yaitu :
– Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan

Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.

Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar

pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.


– Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana, masyarakat

merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu

sebagai obyek dari pendidikan.


Selain dua faktor di atas, ada lagi faktor-faktor lain yang menyebabkan kualitas

pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu:


1. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru

belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya

sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan

pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,

melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan

melakukan pengabdian masyarakat 4.

4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39, ayat 2

7
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun

secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara

umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan

optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya

dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya

jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Meskipun demikian, dalam

hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi

ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah

atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah

gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas

secara paralel dan stimultan.


Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal

maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada

anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under

quality). Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum

sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak

sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa

lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya

lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya

tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu,

diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat

mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak

didik. Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak

didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.


Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan

pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,

8
sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada

kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan

pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat

kesejahteraan guru.
2. Rendahnya Prestasi Siswa
Keadaan rendahnya kualitas guru di Indonesia menyebabkan pencapaian

prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi

fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.

Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2014 (September

2015), Indonesia hanya berada di ranking ke-45 dari 50 negara dalam hal prestasi

matematika dan di ranking ke-45 dari 48 negara dalam hal prestasi sains 5. Dalam

hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai

negara tetangga yang terdekat.


Dalam hal prestasi, tahun 2015 lalu United Nations for Development

Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas

manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul

Human Development Report 2016. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya

menduduki posisi ke-113 dari 188 negara 6. Apabila dibanding dengan negara-

negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.


Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney, 1992),

studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational

Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa

5 Bernas, “Peringkat berapakah Indonesia di TIMSS?”, diakses dari https://www.bernas.id/50899-

peringkat-berapakah-indonesia-di-timss.html pada 20 Maret 2019

6 Yuliyanna Fauzi, “Ranking Indeks Pembangunan Manusia Indonesia turun ke 113” diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170322182446-78-202081/ranking-indeks-

pembangunan-manusia-indonesia-turun-ke-113 pada 21 Maret 2019

9
kelas IV SD berada pada peringkat terendah 7. Rata-rata skor tes membaca untuk

siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina),

dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai

30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal

berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka

sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.


Dalam dunia pendidikan tinggi menurut THE’s (Times Higher Education)

Asia-Pacific University Ranking dari 300 universitas yang disurvei di asia pasifik

ternyata ada 5 universitas terbaik di Indonesia 8. Hal ini menandakan bahwa

Prestasi siswa di Indonesia masih jauh dari kata memuaskan.


3. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data

BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka

pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,

Diploma sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang

sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing

tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang

Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak

memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan

tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia

kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap

keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7 Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal. 12

8 Febriyanti Revitasari, “THE Rilis Kampus Terbaik di Asia Pasifik, Indonesia Nomor Berapa
Ya?” diakses dari https://www.idntimes.com/life/education/vita/the-rilis-kampus-terbaik-di-asia-

pasifik-indonesia-nomor-berapa-ya-1/full pada 23 Maret 2019

10
C. Solusi Pendidikan di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas guru, rendahnya

kualitas siswa, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada

dua solusi yaitu:

– Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan

dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan

dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang

ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),

yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam

urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

– Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung

dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru

dan prestasi siswa.

Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis

untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya,

di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan

membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan

memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya

prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas

materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan

sebagainya.

Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat

bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang

memiliki Sumber Daya Manusia tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.

11
BAB IV
PENUTUP

Apabila kita melihat konsep pendidikan di Indonesia memang tidak ada yang salah,

namun jika kita perhatikan masih banyak hal yang harus diperbaiki. Pendidikan di

Indonesia secara keseluruhan masih berfokus pada pengetahuan individual hafalan dan

sangat berorientasi pada nilai. Seorang pendidik yang baik hendaknya meninjau kembali

program-program pendidikan yang telah dirancang dan dilaksanakan di sekolah-sekolah.

Jangan sampai program pendidikan membuat peserta didik berpikir bahwa pendidikan itu

identik dengan pemaksaan, rutinitas yang monoton, serta kegiatan yang terlalu serius

namun tak memiliki nilai plus dan pada akhirnya menciptakan manusia robot yang hanya

mampu beroperasi saat mendapatkan instruksi tentang apa yang harus dikerjakan.
Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

Faktor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya

prestasi siswa, dan tidak adanya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Namun

sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah

sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai obyek,

sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk

memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka

disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi

segala permasalahan pendidikan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Samba, Sujono. 2007. Lebih Baik Tidak Sekolah. Yogyakarta: LKiS.

12
Suraya, Indah. 2014. Masalah pendidikan di Indonesia di

https://www.kompasiana.com/indahsuraya/54f5f384a333117a028b46b6 (akses 16

Maret 2019)

Ilmu Ekonomi ID. 2016. Pengertian Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia di https://www.ilmu-ekonomi-id.com/2016/09 (akses 17 Maret 2019)

Murrofiq, Moh. Pengertian Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara di

http://www.diwarta.com/2012/06/04 (akses 17 Maret 2019)

Bernas. 2016. Peringkat berapakah Indonesia di TIMSS? di https://www.bernas.id

(akses 20 Maret 2019)

Fauzi, Yuliyanna. Ranking Indeks Pembangunan Manusia Indonesia turun ke 113

di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170322182446-78-202081 (akses

21 Maret 2019)

Revitasari, Febriyanti. 2017. THE Rilis Kampus Terbaik di Asia Pasifik, Indonesia

Nomor Berapa Ya? di https://www.idntimes.com/life/education/vita (akses 23

Maret 2019)

13

Anda mungkin juga menyukai