Anda di halaman 1dari 28

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Studi Terdahulu


Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan
mengenai evaluasi keserasian kerja alat gali muat dan alat angkut guna pencapaian
target X ton/bulan produksi batu gamping pada front Y PT Semen Padang,
Indarung di Bukit Karang Putih, Sumatera Barat. Berikut merupakan penelitian
terdahulu yang menjadi rujukan penulis pada penelitian kali ini.
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faisal, R (2016), dalam
Jurnal Teknologi Pertambangan Vol. 1 No. 2 yang berjudul Kajian Teknis Alat
Muat Dan Alat Angkut Untuk Memenuhi Target Produksi 780.000 ton/bulan di
PT Semen Padang Indarung Sumatera Barat. Menjelaskan bahwa terdapat
kombinasi alat gali muat dan alat angkut yang digunakan yaitu adalah
excavator backhoe Komatsu PC 1800 dengan 2 alat angkut dump truck
Caterpillar 777D dan excavator backhoe Hitachi EX 2500 dengan 3 alat angkut
Komatsu HD 785, penelitian hanya di lakukan di site bukit karang putih pada
front 1 dan 4. Target produksi yang ditetapkan sebesar 780.000 ton/bulan,
berdasarkan hasil perhitungan, produksi batugampng saat ini hanya 680.638
ton/bulan, sehingga terjadi kekurangan sebesar 99.362 ton/bulan. Kekurangan
tersebut disebabkan efisiensi kerja yang kurang optimal, kesediaan dan
keserasian kerja alat yang belum baik. Sehingga perlu dilakukan perbaikan-
perbaikan agar target produksi dapat tercapai. Setelah dilakukannya perbaikan
waktu kerja efektif dan penambahan jumlah alat angkut. Produksi alat muat
Hitachi EX 2500 menjadi 29.132,85 ton/hari dan produksi 4 alat angkut yang
bekerja pada alat muat tersebut menjadi 20.212,23 ton/hari. Sedangkan
produksi alat muat Komatsu PC 1800 menjadi 21.979,65 ton/hari dan poduksi
3 alat angkut yang bekerja pada alat muat tersebut sebesar 13.387,60 ton/hari,
sehingga total produksi adalah 907.195,41 ton/bulan. Dan target produksi
tercapai.
2. Edel, Frudis S. I (2016), dalam Skripsi di Program Studi Teknik Pertambangan
Universitas Bangka Belitung yang berjudul Kajian Teknis Alat Gali Muat dan
Alat Angkut pada Pencapaian Pengupasan Overburden 1.120.000 BCM di pit
5

Taman Tambang Air Laya Bulan September 2016 di PT Bukit Asam (Persero)
Tbk. Berisi tentang Kegiatan pengupasan lapisan overburden di Pit Taman
dengan menggunakan metode pengamatan serta perhitungan produktivitas
dengan perhitungan cycle time alat gali muat dan alat angkut. Target produksi
tercapai hanya sebesar 82% dari target produksi yang telah ditetapkan yaitu
sebesar 925.187,2 BCM dari target produksi 1.120.000 BCM. Setelah
dilakukan perhitungan secara teoritis didapatkan produksi overburden sebesar
1.656.454,08 BCM untuk alat gali muat serta 1.405.890,89 BCM untuk alat
angkut. Upaya untuk mendapatkan produktivitas yang mencapai target
produksi alat gali muat dan alat angkut dilakukan dengan cara melakukan
pencegahan dan pengurangan terhadap hambatan-hambatan yang terjadi
terutama hambatan yang dapat di tekan, maka akan dapat meningkatkan waktu
kerja efektif, sehingga produksi akan meningkat menjadi 1.670.167,71 BCM
untuk alat muat dan 1.615.712,8 BCM untuk alat angkut.
3. Maia, Alves A, M (2012), dalam skripsi di Program Studi Teknik
Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta yang berjudul Kajian Teknis Alat
Gali Muat dan Alat Angkut dalam Upaya Memenuhi Sasaran Produksi
Pengupasan Lapisan Tanah Penutup pada Penambangan Batubara di PT Yustika
Utama Energi Kalimantan Timur. Berisi tentang kegiatan pengupasan tanah
penutup dengan metode back filling, pola pemuatan top loading dan single
back up. Dengan menggunakan 2 unit backhoe dan 5 unit alat angkut. Target
pengupasan sebesar 164.000 BCM/ bulan tetapi pencapaian produksi sebesar
114.566 BCM/ bulan. Tidak tercapainya target produksi lapisan tanah penutup
dikarenakan berkurangnya waktu kerja efektif yang disebabkan adanya
hambatan-hambatan yang dapat mengurangi waktu kerja yang telah disediakan.
Upaya yang dilakukan dengan cara meningkatkan waktu kerja efektif dengan
mengurangi waktu-waktu hambatan terjadi secara langsung dan dapat
mencapai produksi sebesar 164.000 BCM/bulan.
2.2 Batu Gamping (limestone)
Menurut Wardiyatmoko (2006) batugamping merupakan batuan sedimen
yang terdiri dari mineral kalsit dan aragonit dan merupakan dua varian yang
6

berbeda dari CaCo3 (kalsium karbonat). Pembentukannya dapat terjadi secara


mekanik, kimia dan organik. Batugamping mudah larut dalam air dan warna batu
ini umumnya putih keabu-abuan.
2.2.1 Genesa dan Sifat Fisik Batugamping
Batugamping yang terbentuk secara mekanik, bahannya tidak jauh berbeda
dengan jenis batugamping organik, bedanya adalah terjadinya perombakan bahan
batugamping tersebut, kemudian terbawa oleh arus dan terendapkan tidak jauh
dari tempat semula, sedangkan batugamping yang terbentuk secara kimia terjadi
dalam kondisi iklim dan lingkungan tertentu dalam air laut ataupun air tawar.
Secara kimia batugamping terdiri atas Kalsium Karbonat (CaCO3). Di alam tidak
jarang pula dijumpai batugamping magnesium. Kadar Magnesium yang tinggi
mengubah batugamping menjadi batugamping dolomitan dengan komposisi kimia
(CaCO3MgCO3).
Menurut Tucker (1991) berat jenis (densitas) yang terdapat di batugamping
berkisar antara 2.2 – 2.4 ton/bcm, sedangkan berat loose berkisar antara 1.5 – 1.8
ton/lcm, sedangkan komponen penyusun batugamping dibedakan atas 4 yaitu;
a. non skeleral yang terdiri dari; Ooid dan Pisoid, Peloid, agregat dan Interklas.
b. Skeletal grain.
c. Lumpur Karbonat atau Mikrit.
d. semen.
Selain hal diatas, mata air mineral dapat pula mengendapkan batugamping
(endapan sinter kapur), jenis ini terjadi karena peredaran air panas alam yang
melarutkan lapisan kapur dibawah permukaan, yang kemudian diendapkan
kembali dipermukaan bumi. Magnesium, lempung dan pasir merupakan unsur
pengotor yang mengendap bersama-sama pada saat proses pengendapan,
klasifikasi MgO dalam tiap batu kapur yang berbeda jenisnya. (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Klasifikasi batugamping berdasarkan kadar MgO (Dolomit)


Kadar Kadar MgO
Nama Batuan
Dolomit (%)
7

Batugamping 0–5 0,1 – 1,1

Batugamping bermagnesium 5,0 – 10 1,1 – 2,2

Batugamping dolomitan 10,0 – 50,0 2,2 – 10,9

Dolomit berkalsium 50 – 90 10,9 – 19,7

Dolomit 90 – 100 19,7 – 21,8


Sumber: Petti John, 1990
2.2.2 Kualitas Batugamping Sebagai Bahan Baku Semen
Bahan baku semen adalah mineral yang mengandung komponen-komponen
utama semen, yaitu CaO, SiO3, AI2O3 dan Fe2O3. Bahan baku dengan kadar CaO
yang tinggi disebut dengan komponen gamping, sedangkan untuk komponen
lempung atau serpih yaitu kadar silika, alumina dan besi oksida yang tinggi.
Kedua komponen tersebut harus dicampurkan. Pasir silika dan pasir besi hanya
perlu ditambahkan sebagai koreksi apabila komponen bahan baku masih belum
memenuhi syarat sebagai bahan baku semen (Duda, 1976). Berdasarkan kadar
CaCO3 nya, batu kapur terdiri dari batugamping dengan kadar CaCO3 minimal
50%, chalk dengan kadar CaCO3 98 – 99%, mengandung sedikit SiO2, AI2O3 dan
Mg2O3. Menurut Duda (1976) komposisi kimia dari batugamping pembentuk
bahan baku semen yang sangat dominan berpengaruh adalah enam komposisi
kimia, yang dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Komposisi senyawa batugamping pembentuk bahan baku semen
Komponen Komposisi ideal (%) Kisaran (%)
SiO2 0,95 0,76 – 4,75
AI2O3 0,92 0,71 – 2,00
Fe2O3 0,38 0,36 – 1,47
MgO 0,95 0,30 – 1,48
CaO 54,6 49,8 – 55,6
LOl 42,03 39,65 – 44,03
Sumber: Duda, 1976
2.3 Operasi Penambangan
Menurut Partanto (1995) tujuan utama dari kegiatan penambangan adalah
pengambilan endapan dari batuan induknya, sehingga mudah untuk di angkut dan
8

di proses pada proses selanjutnya. Setelah operasi persiapan penambangan selesai


dan pengupasan lapisan tanah penutup pada bagian atas cadangan batugamping
terlaksana (arah kemajuan penambangan dari kontur atas ke bawah). Maka dapat
dimulai kegiatan operasi penambangan. Kegiatan penambangan terbagi atas tiga
kegiatan yaitu penggalian, pemuatan dan pengangkutan. Adapun rincian dari
kegiatan tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Penggalian
Penggalian merupakan kegiatan untuk memisahkan antara endapan bahan
galian dengan batuan induk yang dilakukan setelah pengupasan lapisan tanah
penutup endapan batugamping tersebut selesai. Penggalian dapat dilakukan
dengan menggunakan peledakan, peralatan mekanis maupun peralatan non
mekanis. Untuk kegiatan penggalian batugamping menggunakan pemboran yang
kemudian dilakukan peledakan. Setelah batuan diledakkan, kemudian digusur
menggunakan alat bulldozer, yang kemudian dikumpulkan di tepi batas
penambangan atau tepi jalan tambang tiap blok. Banyaknya batugamping yang
dibongkar tiap-tiap blok tidak sama, tergantung persyaratan kualitas yang diminta
oleh konsumen.
2. Pemuatan
Pemuatan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan atau
mengisikan material atau endapan bahan galian hasil penggalian kedalam alat
angkut. Kegiatan pemuatan dilakukan setelah kegiatan penggusuran, pemuatan
dilakuakan dengan menggunakan alat muat excavator dan diisikan kedalam alat
angkut. Kegiatan pemuatan bertujuan untuk memindahkan batugamping hasil
pembongkaran kedalam alat angkut. Pengangkutan dilakukan dengan sistem
siklus, yang artinya truck telah dimuati langsung berangkat tanpa harus menunggu
truck yang lain dan setelah membongkar muatan langsung kembali ke lokasi
penambangan untuk dimuat kembali.

3. Pengangkutan
Pengangkutan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengangkut atau
membawa material atau endapan bahan galian dari front penambangan dan dibawa
ketempat pengolahan untuk proses lebih lanjut. Kegiatan pengangkutan
9

menggunakan dump truck yang kemudian dibawa ketempat pengolahan untuk


dilakukan peremukan (crushing). Jumlah truck yang akan digunakan tergantung
dari banyaknya material batugamping hasil peledakan yang akan diangkut.

2.4 Penggunaan dan Kemampuan Alat-Alat Mekanis


Peralatan mekanis yang biasanya sering digunakan pada penambangan batu
gamping adalah alat-alat untuk kegiatan penggalian, pemuatan dan pengangkutan.
2.4.1 Alat Gali Muat (Excavator)
Menurut Rochmanhadi (1982), excavator merupakan alat untuk menggali
yang terdiri dari tiga bagian utama sebagai berikut:
a. Bagian atas revolving unit (bisa berputar)
b. Bagian bawah travel unit (untuk berjalan)
c. Bagian attachment yang dapat diganti
Excavator juga salah satu jenis alat muat yang banyak dipergunakan pada
kegiatan penambangan khususnya tambang terbuka. Cara bekerjanya alat ini
adalah dengan menggali material atau tanah yang berada pada posisi yang lebih
rendah dari pada tempat kedudukan alat ini. Mekanisme gerakan dari pada bucket
bisa dengan menggunakan sistem hydraulic. Kelebihan excavator adalah bisa
mendistribusikan muatan ke seluruh bagian vessel dengan merata. Artinya lebih
mudah dalam mengatur muatan sehingga jalannya dump truck bisa seimbang.
Ada beberapa macam fungsi excavator yang dipergunakan pada kegiatan
penambangan batugamping, yaitu:
1. Membuat saluran dan bendungan, sebagai alat gali pembuatan saluran dan
bendungan yang berguna untuk mencegah air dari luar kolong kerja jangan
masuk ke kolong dan sekaligus tanah hasil galiannya dimanfaatkan untuk
bendungan pengamanan kolong kerja.
2. Pembabatan (clearing), sebagai alat gali pekerjaan pembersihan lokasi kerja
yang merupakan daerah berawa-rawa dimana alat berat bulldozer sulit untuk
masuk lokasi kerja tersebut.
3. Sebagai alat gali muat, sebagai alat gali tanah overburden atau kaksa yang
selanjutnya dimuat ke alat angkut.
10

4. Alat angkat, sebagai alat angkat pada beban tertentu dan pemindahan pada
jarak yang dekat (< 10 m).
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan excavator
adalah dalam hal kapasitas bucket, kondisi kerja, bisa menggali pada daerah yang
lunak sampai keras, tetapi bukan tanah asli berupa batuan keras. Bila batuan keras
perlu dilakukan ripping atau blasting terlebih dahulu.
2.4.2 Alat Angkut (Dump Truck)
Menurut Susy (2008), dump truck merupakan alat yang sangat efisien untuk
pengangkutan jarak jauh. Kelebihan dump truck dibandingkan alat lain :
1. Kecepatan lebih tinggi.
2. Kapasitas Besar.
3. Biaya operasional kecil.
4. Kebutuhanya dapat disesuaikan dengan kapasitas alat gali.
Namun, alat ini juga memiliki kekurangan dibanding alat lain karena dump
truck memerlukan alat lain untuk pemuatan. Dalam pemilihan ukuran dan
konfigurasi dump truck ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu material
yang akan diangkut dan excavator atau loader pemuat.
Dump truck tidak hanya digunakan untuk pengangkutan tanah tetapi juga
material-material lain. Dalam pengisian baiknya, dump truck memerlukan alat lain
seperti excavator dan loader. Karena dump truck sangat tergantung pada alat lain,
untuk pengisian material tanah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Excavator merupakan penentu utama jumlah dump truck, sehingga tentukan
jumlah dump truck agar excavator tidak menunggu.
2. Jumlah dump truck yang menunggu jangan sampai lebih dari 2 unit.
3. Isi dump truck sampai kapasitas maksimum.
4. Untuk pengangkutan material beragam, material paling berat diletakan dibagian
belakang.
A. Klasifikasi dump truck
Dump truck diklasifikasikan berdasarkan faktor berikut :
1. Ukuran, tipe mesin dan bahan bakar.
2. Jumlah roda, as dan cara penyetiran.
3. Metode pembongkaran muatan.
4. Kapasitas.
5. Sistem pembongkaran.
Berdasarkan metode pembongkaran maka terdapat tiga jenis dump truck
yaitu : rear dump, bottom dump dan side dump.
a) Rear Dump
11

Rear dump terdiri dari dua jenis, yaitu rear dump truck dan rear dump
tractor wagon. Dari semua jenis dump truck maka rear dump truck adalah alat
yang paling sering dipakai. Dump truck mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan wagon karena dump truck lebih mampu jika harus bergerak pada jalan
menanjak. Cara kerja pembongkaran alat tipe ini adalah material dibongkar
dengan cara menaikkan bak bagian depan dengan sistem hidrolis. Rear dump
truck dipakai untuk mengangkut berbagai jenis material. Akan tetapi material
lepas seperti tanah pasir kering merupakan material umum yang diangkat oleh
dump truck. Material seperti batuan dapat merusak dump truck yang dipakai, oleh
karena itu, pemuatan material harus dilakukan secara hati-hati atau bak dump
truck dilapisi bahan yang tidak mudah rusak. Ukuran bak dump truck jenis ini
berkisar antara 25 sampai 250 ton.
b) Side Dump
Side dump truck mengeluarkan material yang diangkut dengan menaikkan
salah satu sisi bak ke samping. Saat dibongkar material harus memperlihatkan
distribusi material dalam bak. Kelebihan material pada salah satu sisi dapat
menyebabkan terjadinya jungkir pada saat pembongkaran material. Pada kondisi
dimana pembongkaran muatan dilakukan pada tempat yang sempit dan panjang
maka pemakaian dump truck dan tractor wagon jenis ini merupakan pilihan yang
tepat.
c) Bottom Dump
Umumnya bottom dump adalah semi trailer. Material yang diangkut oleh
bottom dump dikeluarkan melalui bagian bawah bak yang dapat dibuka ditengah-
tengahnya. Pintu bak adalah sisi bagian bawah yang memanjang dari depan ke
belakang, pintu-pintu tersebut digerakan secara hidrolis.
Bottom dump umumnya mengangkut material lepas seperti pasir, kerikil,
batuan sendimen, lempung kera dan lain-lain. Pembongkaran material dilakukan
pada saat kendaraan bergerak. Kelandaian permukaan dimana alat tersebut tidak
memungkinkan untuk daerah terjal.
B. Kapasitas Dump truck
Volume material yang diangkut harus dengan kapasitas dump truck. Jika
pengangkutan material oleh dump truck dilaksanakan melampaui batas
kapasitasnya maka hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi, seperti :
1. Konsumsi bahan bakar bertambah.
12

2. Umur ban berkurang.


3. Kerusakan pada bak.
4. Mengurangi produktivitas.
Kapasitas dari bak penampung dump truck terdiri dari stuck capacity
(kapasitas peres) dan heaped capacity (kapasitas munjung). Struck capacity
adalah kapasitas alat diamana muatan mencapai ketinggian dar bak penampung.
Jenis material yang lepas dengan daya lekat rendah seperti pasir dan kerikil
umumnya tidak bisa menggunung jadi pengangkutnya dalam kapasitas peres.
Sedangkan heaped capacity adalah kondisi dimana muatan mencapai ketinggian
lebih dari ketinggian bak. Karena tanah liat mempunyai daya lekat antara butir
yang cukup besar maka kapasitas pengangkutan tanah liat dapat mencapai
kapasitas munjung. Besarnya kapasitas dump truck tergantung pada waktu yang
dibutuhkan untuk memuat material ke dalam dump truck terhadap waktu angkut
dump truck. Akan tetapi penggunaan dump truck yang terlalu besar sangat tidak
ekonomis kecuali jila volume tanah yang akan diangkut sangat besar.

Menurut Tenriajeng (2003), dump truck adalah suatu alat yang digunakan
untuk memindahkan material pada jarak menengah sampai jarak jauh (500 m atau
lebih). Muatannya diisikan oleh alat pemuat, sedangkan untuk membongkar
muatannya, alat ini dapat bekerja sendiri. Ditinjau dari besar muatannya, dump
truck dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :
1. On high way dump truck, muatannya lebih kecil dari 20 m3.
2. Off high way dump truck, muatannya lebih besar dari 20 m3.
Dalam pemilihan dump truck, kapasitas dump truck yang dipilih harus
berimbang dengan alat pemuatnya. Jika perbandingan ini kurang proporsional,
maka ada kemungkinan alat pemuat ini banyak menunggu atau sebaliknya.
Kapasitas dan ukuran dump truck sangat bervariasi, oleh karena itu pemilihan
ukuran dump truck sangat penting karena dump truck besar atau kecil akan
memberikan beberapa keuntungan dan kerugian (Rostiyanti, 2002).

Tabel 2.3 Keuntungan dan Kerugian Dumptruck


Truck Keuntungan Kerugian
13

Kecil - Waktu hilang lebih banyak


- Lincah dalam beroperasi
- Mudah pengoperasiannya akibat banyaknya truck yang
- Jalan kerja lebih terjaga karena
beroperasi, terutama waktu
beban tidak terlalu berat
muat
- Salah satu break down tidak
- Excavator lebih sulit memuat
berpengaruh terhadap produksi - Banyak membutuhkan sopir
- Maintenance lebih mudah - Biaya pemeliharaan lebih
banyak dengan dipergunakan
- unit yang banyak

Truck Keuntungan Kerugian


Besar - Jumlah unit lebih sedikit - Jalan kerja sering diperbaiki
- Sopir yang dibutuhkan sedikit
akibat beban berat
- Cocok untuk jarak jauh
- Produksi terpengaruh bila
- Alat pemuat lebih mudah dalam
salah satu break down
memasukkan bucket ke vessel/bak
- Maintenance lebih sulit
Sumber: Tenriajeng, 2003

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Alat


Menurut Indonesianto (2007), produksi alat gali muat dan alat angkut dapat
dilihat dari kemampuan alat tersebut dalam penggunaannya di lapangan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi hasil produksi tersebut adalah sebagai berikut:
2.6.1 Kondisi Front Kerja
Medan kerja sangat berpengaruh, karena apabila medan kerja buruk akan
mengakibatkan peralatan mekanis sulit untuk dapat dioperasikan secara optimal.
Tempat kerja tidak hanya harus memenuhi syarat bagi pencapaian sasaran
produksi, tetapi juga harus aman bagi penempatan alat beserta mobilitas pekerja
yang berada disekitarnya. Tempat kerja yang luas akan memperkecil waktu edar
alat karena ada cukup tempat untuk berbagai kegiatan, seperti keleluasaan tempat
untuk berputar, mengambil posisi sebelum melakukan kegiatan sebelum pemuatan
maupun untuk tempat penimbunan sehingga kondisi tempat kerja menentukan
pola pemuatan yang akan ditetapkan.
2.6.2 Pola Pemuatan
Pola pemuatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi waktu edar
alat untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan sasaran produksi. Pola pemuatan
14

yang digunakan tergantung pada kondisi lapangan operasi pengupasan serta alat
mekanis yang digunakan dengan asumsi bahwa setiap alat angkut yang datang,
bucket alat gali muat sudah terisi penuh dan siap ditumpahkan. Alat angkut yang
telah terisi penuh segera keluar dan dilanjutkan dengan alat angkut lainnya,
sehingga tidak terjadi waktu tunggu pada alat angkut maupun alat gali muatnya.
Pola pemuatan dapat dilihat dari beberapa keadaan yang ditunjukkan alat gali
muat dan alat angkut, yaitu:
1. Pola pemuatan yang didasarkan pada keadaan alat gali muat yang berada di
atas atau di bawah jenjang dibagi menjadi 2 pola, yaitu :
a. Top Loading, yaitu pola pemuatan dimana posisi alat gali muat saat
melakukan penggalian berada di atas jenjang atau alat angkut berada di
bawah alat gali muat.
b. Bottom Loading, yaitu pola pemuatan dimana alat gali muat melakukan
penggalian dengan menempatkan dirinya di jenjang yang sama dengan
posisi alat angkut.

a. Top Loading b. Bottom Loading


Gambar 2.3 Pola pemuatan berdasarkan posisi alat gali muat terhadap
alat angkut (Indonesianto, 2007)
2. Pola pemuatan berdasarkan jumlah penempatan posisi alat angkut untuk
dimuati terhadap posisi alat gali muat dibagi menjadi 3 pola, yaitu :
a. Single Back Up, yaitu pola pemuatan dimana alat angkut memposisikan diri
untuk dimuati pada satu tempat sedangkan alat angkut berikutnya menunggu
alat angkut pertama dimuati sampai penuh.
b. Double Back Up, yaitu pola pemuatan dimana alat angkut memposisikan
diri untuk dimuati pada dua tempat, kemudian alat gali muat mengisi salah
15

satu alat angkut sampai penuh setelah itu mengisi alat angkut kedua yang
sudah memposisikan diri di sisi lain.

a. Single Back Up b. Double Back Up c. Triple Back Up


Gambar 2.4 Pola pemuatan berdasarkan jumlah penempatan alat angkut
(Indonesianto, 2007)

2.6.3 Sifat Material


Sifat material tergantung pada kekerasan jenis material yang akan
dikerjakan di lapangan. Material di lapangan tidak hanya terbatas pada tanah (soil)
saja, tetapi kadang-kadang juga berhubungan dengan batuan (rock). Tanah adalah
bagian dari kulit bumi yang relatif lunak dan tidak begitu kompak, terdiri dari
material-material lepas. Sedangkan batuan adalah bagian kulit bumi yang lebih
keras dan terdiri dari kumpulan mineral-mineral.
Karena perbedaan kekerasan dari material yang akan digali, maka jenis
material digolongkan sebagai berikut :
a. Lunak atau mudah digali (easy digging), misalnya tanah penutup (soil), pasir,
lempung pasiran, pasir lempungan.
b. Agak keras (medium hard digging), misalnya clay dan batuan yang sudah
lapuk (wheathered rock).
c. Sukar digali (hard digging), misalnya material yang kompak (compacted
material), batuan sedimen (sedimentary rock), konglomerat breksi (breccia).
d. Sangat sukar digali (very hard digging) atau batuan (rock), diperlukan
pemboran atau peledakan sebelum digali, misalnya batuan beku segar (fresh
igneous rock), batuan malihan segar (fresh metamorphic rock).
16

Semakin keras jenis material yang dikerjakan dan semakin banyak kandung
air material maka produksi alat gali muat dan alat angkut akan semakin menurun.
Sifat-sifat material tersebut juga dapat berpengaruh terhadap fill factor.
2.6.4 Faktor Pengembangan
Menurut Partanto (1983), material di alam diperoleh dalam keadaan padat
dan terkonsolidasi dengan baik, sehingga kandungan rongga yang berisi udara
atau air antar butir dalam material di alam tersebut sangat sedikit. Sehingga
apabila material yang berada di alam tersebut terbongkar, maka akan terjadi
pengembangan volume (swell). Besarnya pengembangan volume tersebut dikenal
istilah yaitu swell factor.
Pengembangan volume suatu material perlu diketahui karena yang
diperhitungkan pada penggalian selalu didasarkan pada kondisi material sebelum
digali yang dinyatakan dalam bank volume atau volume insitu. Sedangkan
material yang ditangani adalah material yang telah mengalami pengembangan
(loose volume). Untuk mendapat nilai swell factor dapat digunakan Persamaan
2.5.

volume tanah insitu


SF   100% .......................................................(2.5)
volume tanah lepas

Tabel 2.6 Faktor Swell material


Bobot Isi (Density) Swell Factor
Macam Material (in bank correction
lb/cu yd insitu
factor)
Bauksit 2.700 – 4.325 0,075
Tanah liat, kering 2.300 0,85
Tanah liat, basah 2.800 – 3.000 0,82 – 0,80
Antrasit (anthracite) 2.200 0,74
Batubara bituminous 1.900 0,74
Bijih tembaga 3.800 0,74
Tanah biasa, kering 2.800 0,85
Tanah biasa, basah 3.370 0,85
Tanah biasa bercampur pasir
3.100 0,90
dan kerikil (gravel)
Kerikil kering 3.250 0,89
Kerikil basah 3.600 0,88
Granit, pecah-pecah 4.500 0,67 – 0,56
Hematit, pecah-pecah 6.500 – 8.700 0,45
17

Bobot Isi (Density) Swell Factor


Macam Material (in bank correction
lb/cu yd insitu
factor)
Bijih besi, pecah-pecah 3.600 – 5.500 0,45
Batu kapur, pecah-pecah 2.500 – 4.200 0,60 – 0,57
Lumpur 2.160 – 2.970 0,83
Lumpur sudah ditekan
2.970 – 3.510 0,83
(packed)
Pasir, kering 2.200 – 3.250 0,89
Pasir, basah 3.300 – 3.600 0,88
Serpih (shale) 3.000 0,75
Batu sabak (slate) 4.590 – 4.860 0,77
Sumber : Partanto, 1983
2.6.5 Faktor Isian Mangkuk
Faktor pengisian adalah perbandingan antara kapasitas nyata alat gali muat
dengan kapasitas baku alat gali muat yang dinyatakan dalam persen. Semakin
besar faktor pengisian maka semakin besar pula kemampuan nyata dari alat
tersebut. Faktor pengisian mangkuk disebut juga bucket fill factor.
Menurut Pfleider (1972) dalam Pongoh (2011) untuk menghitung faktor
pengisian dapat digunakan Persamaan 2.6.

Vb .......................................................................... (2.6)
Fp   100%
Vd
Keterangan :
Vb = Volume nyata alat gali-muat (m3)
Vd = Volume teoritis alat gali muat (m3)

Faktor pengisian bucket alat gali muat tergantung dari material yang digali,
karena pada setiap menggali, bucket kadang terisi penuh dan tidak terlalu penuh.
Menurut spesifikasi alat gali muat, pembagian faktor pengisian ditunjukkan pada
Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Faktor pengisian Bucket
No. Material Fill Factor (%)

1. Tanah lempung, lempung kepasiran 100 – 110

2. Pasir atau kerikil 95 – 100


18

3. Lempung keras, tanah keras 80 – 90

4. Batu pecak baik 60 – 90

5. Batu pecah jelek 40 – 50


Sumber : Wigroho dkk, 1993
2.6.6 Waktu Edar
Waktu edar merupakan waktu yang digunakan oleh alat mekanis untuk
melakukan suatu siklus kegiatan. Lamanya waktu edar dari alat-alat mekanis akan
berbeda antara material yang satu dengan yang lainnya, hal ini tergantung dari
jenis alat dan jenis serta sifat dari material yang ditangani. Semakin kecil waktu
edar suatu alat, maka produksinya semakin tinggi.
a. Waktu edar alat gali muat
Merupakan total waktu pada alat gali muat, yang dimulai dari pengisian
bucket sampai dengan menumpahkan muatan ke dalam alat angkut dan kembali
kosong (Pfleider, 1972 dalam Pongoh, 2011). Waktu edar alat gali muat dapat
dihitung menggunakan Persamaan 2.7.

CTm = Tm1 + Tm2 + Tm3 + Tm4 ...........................................................(2.7)

Keterangan :
CTm = waktu edar alat gali muat (detik)
Tm1 = waktu menggali (detik)
Tm2 = waktu ayunan bermuatan (detik)
Tm3 = waktu menumpahkan material (detik)
Tm4 = waktu ayunan kosong (detik)

b. Waktu edar alat angkut


Merupakan total waktu pada alat angkut, yang dimulai dari waktu mengatur
posisi sampai dengan menumpahkan material ke dumping area dan kembali
kosong. Waktu edar alat angkut dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.8.

CTa = Ta1 + Ta2 + Ta3 + Ta4 + Ta5+ Ta6 .............................................. (2.8)

Keterangan :
19

CTa = waktu edar alat angkut (menit)


Ta1 = waktu mengatur posisi (menit)
Ta2 = waktu isi material (menit)
Ta3 = waktu angkut (menit)
Ta4 = waktu mengatur posisi (menit)
Ta5 = waktu tumpah (menit)
Ta6 = waktu kembali kosong (menit)

Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu edar alat-alat mekanis adalah :


1. Berat alat, adalah berat muatan ditambah berat alat dalam keadaan tanpa
muatan yang akan berpengaruh terhadap kelincahan gerak alat.
2. Kondisi tempat kerja, tempat kerja yang luas dan kering akan meningkatkan
kelancaran dan keleluasaan gerak alat, sehingga akan memperkecil waktu edar.
3. Kondisi jalan angkut, kemiringan dan lebar jalan angkut baik di jalan lurus
maupun pada tikungan sangat berpengaruh terhadap lalu lintas jalan angkut.
Apabila kondisi jalan sudah memenuhi syarat, maka akan memperlancar
jalannya lalu lintas alat angkut, sehingga akan memperkecil waktu edar alat.
4. Keterampilan dan pengalaman operator, semakin terampil operator dan
berpengalaman maka akan semakin memperkecil waktu edar.
2.6.7 Efisiensi Kerja Alat
Menurut Partanto (1983), efisiensi kerja adalah perbandingan antara jam
kerja efektif terhadap jam kerja tersedia. Jam kerja efektif adalah banyaknya
jumlah jam kerja yang benar-benar digunakan untuk kegiatan produksi. Efisiensi
kerja akan semakin besar apabila banyaknya waktu kerja semakin mendekati
jumlah waktu kerja yang tersedia. Waktu yang tersedia adalah waktu yang telah
disediakan atau ditetapkan oleh perusahaan untuk bekerja. Jam kerja efektif
diperoleh dari jam kerja yang tersedia dikurangi hambatan-hambatan yang terjadi
selama proses produksi termasuk perbaikan dan perawatan alat. Yang termasuk
hambatan-hambatan selama proses produksi adalah :
1. Hambatan yang dapat dihindari, adalah hambatan yang terjadi karena adanya
penyimpanga-penyimpangan terhadap waktu kerja yang dijadwalkan.
Hambatan tersebut antara lain :
20

a. Terlambat memulai kerja.


b. Berhenti bekerja sebelum waktu istirahat.
c. Terlambat bekerja setelah waktu istirahat.
d. Berhenti bekerja lebih awal pada akhir shift.
2. Hambatan yang tidak dapat dihindari, adalah hambatan yang terjadi pada
waktu jam kerja yang menyebabkan hilangnya waktu kerja dikarenakan
kondisi alam atau perawatan rutin yang harus dilaksanakan.
Hambatan tersebut antara lain :
a. Hujan.
b. Pindah posisi penempatan alat.
c. Perbaikan front penambangan.
d. Pemeriksaan dan pemanasan alat
e. Pengisian bahan bakar
f. Kerusakan dan perbaikan alat di tempat
Dengan mengetahui hambatan-hambatan tersebut, maka dapat diketahui
waktu kerja efektif. Untuk menghitung waktu kerja efektif dan efisiensi kerja
dapat digunakan Persamaan 2.9 dan 2.10.
........................................................................(2.9)
We = Wt – ( Wdh + Wtdh)

We .......................................................................(2.10)
Efisiensi kerja   100 %
Wt

Keterangan :
We = waktu kerja efektif (menit)
Wt = waktu kerja tersedia (menit)
Wd = total waktu hambatan dapat dihindari (menit)
Wtd = total waktu hambatan tidak dapat dihindari (menit)

Pengertian efisiensi kerja sebenarnya sama saja dengan pengertian EU


(Effective Utilization), yaitu menunjukkan berapa persen waktu untuk bekerja
secara produktif. Klasifikasi efisiensi kerja ditunjukkan pada tabel 2.8.
Tabel 2.8 Klasifikasi efisiensi kerja
Kondisi Kerja Kondisi Management
21

Baik sekali Baik Sedang Buruk

baik sekali 0,84 0,81 0,76 0,70

baik 0,78 0,75 0,71 0,65

sedang 0,72 0,69 0,65 0,60

buruk 0,63 0,61 0,57 0,52


Sumber : Partanto, 1983

Efesiensi kerja ini menggambarkan secara umum kinerja dari aktivitas


penggalian dengan menggunakan alat-alat berat. Prinsip perhitungan efesiensi
dapat juga diaplikasikan dalam menentukan kinerja keseluruhan dalam pekerjaan
penambangan bijih timah di darat.
2.6.8 Kondisi Peralatan
Menurut Partanto (1983), kondisi alat yang digunakan jika masih baik dan
terpelihara akan sangat membantu meningkatkan produksi, bila kondisi alat sudah
tua, sering macet/rusak akan sangat mengganggu kelancaran pekerjaan dan
produksi. Kondisi peralatan mekanis dibagi menjadi :
a. Kondisi peralatan 90 – 100 %,
Berlaku untuk peralatan baru dan siap pakai, kemampuan minimal 70% dan
belum mengalami perbaikan apapun serta dalam keadaan lengkap.
b. Kondisi peralatan 70 – 89 %,
Berlaku untuk peralatan lama yang dalam keadaan yang siap beroperasi dengan
kemampuan minimal 70% namun sudah dipakai lebih dari satu tahun atau
seribu jam.
c. Kondisi peralatan 50 – 69%
Berlaku untuk peralatan yang dalam keadaan rusak ringan operasi,
Kemampuan alatnya minimal 60% dan sudah dioperasikan lebih dari dua tahun
atau tiga ribu jam kerja.
Beberapa pengertian yang dapat menunjukkan keadaan/kondisi alat mekanis
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Availability Index Percent
22

Merupakan cara untuk mengetahui ketersediaan mekanis atau mechanical


availability yang sesungguhnya dari alat yang digunakan. Availability Index
Precent (AI) dapat diketahui menggunakan Persamaan 2.11.

W
AI   100 ...............................................................................(2.11)
%
WR

Keterangan :
AI = Ability Index (%)
W = jumlah jam kerja alat
R = jumlah jam untuk perbaikan
W didefinisikan sebagai waktu kerja yang benar–benar digunakan oleh
operator untuk mengoperasikan alat berat (waktu kerja efektif). R didefinisikan
sebagai waktu untuk perbaikan alat + waktu menunggu suku cadang (spare part)
+ waktu untuk perawatan preventif.
2. Physical Availability Percent
Merupakan catatan dari ketersediaan fisik atau operasi dari alat tersebut.
Physical Availability Percent dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.12.

W S
PA   100 ........................................................................(2.12)
%
W R S

Keterangan :
S = jumlah jam suatu alat tidak dipakai padahal dapat digunakan, sedangkan
tambang dalam keadaan beroperasi (standby hours)
W + R + S = jumlah seluruh jam dimana alat dijadwalkan untuk beroperasi (jam
kerja tersedia)
Physical Availability Percent pada umumnya selalu lebih besar dari pada
Availability Index Precent. Tingkat efisiensi dari operasi naik jika nilai PA
mendekati nilai AI.
3. Use of Availability Percent
Menunjukkan berapa persen waktu yang digunakan oleh suatu alat untuk
beroperasi pada saat ia dapat digunakan. Use of Availability Percent dapat
dihitung menggunakan Persamaan 2.13.
23

W ............................................................................(2.13)
UA   100 %
W S

UA menjadi ukuran seberapa baik pengelolaan peralatan yang digunakan.


4. Effective Utilization (EU)
Pengertian EU sebenarnya sama saja dengan pengertian efiesiensi kerja,
yaitu berapa persen dari seluruhwaktu kerja yang tersedia itu dapat dimanfaatkan
untuk bekerja secara produktif. EU dapat dihitung dengan persamaan 2.14.

W ....................................................................(2.14)
EU   100 %
W R S

2.6.9 Faktor Keserasian Kerja Alat


Menurut Hartman (1992), faktor keserasian digunakan untuk mengetahui
jumlah alat angkut yang sesuai untuk melayani satu unit alat gali muat agar
terdapat hubungan kerja yang serasi antara alat gali muat dan alat angkut. Untuk
mendapatkan hubungan kerja yang serasi antara alat gali muat dan alat angkut,
maka produksi alat gali muat harus sesuai dengan produksi alat angkut. Faktor
keserasian dinyatakan dalam Match Factor (MF). Untuk menghitung nilai
keserasian kerja alat gali muat dan alat angkut dapat menggunakan Persamaan
2.15.

(Na  CTm ............................................................................(2.15)


n)
MF 
Nm  CTa
))
Keterangan :
Na = jumlah alat angkut
CTm = waktu edar alat gali muat (detik)
n = jumlah curah bucket untuk mengisi penuh alat angkut
Nm = jumlah alat gali muat
CTa = waktu edar alat angkut (detik)

Adapun penilaian dari hasil perhitungan nilai keserasian kerja alat gali muat
dan alat angkut yang diperoleh adalah sebagai berikut:
24

1. MF < 1, artinya:
a. Produksi alat angkut lebih kecil dari produksi alat gali muat.
b. Alat angkut bekerja 100 %, sehingga waktu tunggu alat angkut (Wta) = 0.
c. Alat gali muat bekerja kurang dari 100 %, sehingga terdapat waktu tunggu
bagi alat gali muat (Wtm) karena menunggu alat angkut belum datang.
Waktu tunggu alat muat dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.16.

Nm  CTa
WTm  .............................................................(2.16)
 (CTm  n)
Na

2. MF = 1, artinya:
a. Produksi alat angkut sama dengan produksi alat gali muat.
b. Alat gali muat dan angkut bekerja 100%, sehigga tidak terjadi waktu tunggu
dari kedua jenis alat tersebut.
3. MF > 1, artinya:
a. Produksi alat angkut lebih besar dari produksi alat gali muat.
b. Alat gali-muat bekerja 100%, sehingga tidak ada waktu tunggu bagi alat gali
muat (WTm = 0).
c. Alat angkut bekerja kurang dari 100%, sehingga terdapat waktu tunggu alat
angkut (WTa). Waktu tunggu alat angkut dapat dihitung menggunakan
Persamaan 2.17.

Na  (CTm  n) ...............................................................(2.17)
WTa   CTa
Nm

Secara perhitungan teoritis, produksi alat gali muat haruslah sama dengan
produksi alat angkut (produksi alat gali muat = produksi alat angkut), sehingga
perbandingan antara alat angkut dan alat gali muat mempunyai nilai satu.
2.6.10 Keadaan Cuaca
Keadaan cuaca menurut Partanto (1983) juga akan berpengaruh pada
produktivitas alat mekanis yang digunakan, seperti di Indonesia yang
menghambat pekerjaan adalah musim hujan, sehingga hari kerja menjadi pendek.
Hujan yang sangat lebat juga akan menyebabkan rusaknya jalan produksi yang
akan menimbulkan slippery, sehingga menyebabkan alat-alat tidak bekerja dengan
maksimal dan perlu pengeringan (drainase) serta perawatan jalan produksi yang
25

baik. Sebaliknya pada musim panas, akan timbul banyak debu yang dapat
menganggu kegiatan produksi. Hal lain terkait dengan keadaan cuaca, jika terlalu
panas atau terlalu dingin akan mengurangi efisiensi mesin-mesin yang digunakan.

2.7 Produktivitas Alat Gali Muat dan Alat Angkut


Menurut Indonesianto (2007), perhitungan produktivitas alat terdapat 2
macam kemampuan alat yaitu kemampuan alat secara teoritis dan kemampuan
alat secara nyata. Produksi teoritis alat merupakan hasil terbaik secara perhitungan
yang dapat dicapai suatu hubungan kerja alat selama waktu operasi tersedia
dengan memperhitungkan faktor koreksi yang ada. Secara umum perhitungan
untuk memperkirakan produksi alat mekanis dapat dirumuskan sebagai berikut:

2.7.1 Produktivitas Alat Gali Muat


Alat gali muat berfungsi sebagai alat gali sekaligus memuat material ke
dalam dump truck yang akan diangkut ke lokasi penimbunan. Untuk mengetahui
produktivitas alat gali muat dapat menggunakan Persamaan 2.18.

3600 ............................................................(2.18)
Pgm   Cb  Bf  Sf  Eff
CTm

Keterangan :
Pgm = produksi alat gali muat (m3/jam)
CTm = waktu edar alat gali muat (detik)
Cb = kapasitas bucket alat gali muat (m3)
Bf = faktor isian mangkuk (%)
Sf = faktor pengembangan
Eff = efisiensi kerja alat gali muat (%)
2.7.2 Produktivitas Alat Angkut
Produktivitas alat angkut sangat dipengaruhi jumlah curah bucket alat gali
muat terhadap alat angkut. Semakin banyak jumlah curah bucket maka
produktivitas akan semakin besar. Jumlah curah bucket disesuaikan juga dengan
kapasitas alat angkut. Produktivitas alat angkut dapat dihitung menggunakan
Persamaan 2.19.
26

3600
Pa   Ca  Sf ..........................................................................(2.19)
 Eff
CTa

Keterangan :
Pa = produksi alat angkut (m3/jam)
CTa = waktu edar alat angkut (detik)
Ca = kapasitas bak alat angkut ( n x Cb x Bf )
n = jumlah curah bucket alat gali muat terhadap alat angkut
Cb = kapasitas bucket alat gali muat (m3)
Bf = faktor isian mangkuk (%)
Sf = faktor pengembangan
Eff = efisiensi kerja alat angkut (%)
2.8 Estimasi Jumlah Alat yang dibutuhkan
Jumlah alat angkut yang dibutuhkan dapat dihitung dengan mengetahui hal-
hal seperti berikut:
a. Volume pekerjaan, dinyatakan dalam m3 atau ton.
b. Waktu penyelesaian pekerjaan, dinyatakan dalam jam kerja.
c. Taksiran kapasitas produksi alat yang digunakan, dinyatakan dalam m3/jam
atau ton/jam.
Dari ketiga data tersebut maka dapat dihitung jumlah alat yang dipelukan,
dengan menggunakan Persamaan 2.20.

...............................................................(2.20)
N= atau N =

Keterangan :
Vp = volume pekerjaan
Wp = waktu pekerjaan
Tvp = target volume pekerjaan
Kp = kapasitas produksi alat

2.9 Geometri Jalan Angkut


27

Menurut Sulistyana (2010), pada umumnya pola akses material tambang


dibagi menjadi dua, yaitu: pengangkutan overburden ke lokasi penimbunan
(waste dump), dan pengangkutan ore ke lokasi pengolahan (crushing plan). Ada
beberapa geometri yang harus diperhatikan dan dipenuhi untuk menunjang
kelancaran dalam operasi pengangkutan antara lain:
1. Jarak Angkut (Distance)
Selain kondisi jalan, jarak jalan angkut juga harus diperhatikan. Jarak
angkut yang terlalu jauh akan mengurangi kecepatan laju alat angkut untuk
pemindahan material yang diangkut. Kecepatan laju alat angkut makin cepat,
maka jumlah produksi yang dipindahkan alat angkut semakin besar pula.
2. Lebar Jalan Angkut Minimum pada Jalan Lurus
Lebar jalan angkut minimum yang dipakai untuk jalur ganda atau lebih
menurut “AASHTO Manual Rural High-Way Design” dapat menggunakan
Persamaan 2.21.

L=n Wt + (n + 1) (0,5 Wt).............................................................(2.21)

Keterangan :
L = lebar jalan angkut minimum (m)
n = jumlah jalur
Wt = lebar alat angkut total (m)

Gambar 2.5 Lebar jalan angkut lurus untuk dua jalur (Suwandhi, 2004)

3. Lebar Jalan Angkut Minimum pada Tikungan


28

Lebar jalan angkut pada tikungan selalu lebih besar daripada jalan angkut
pada jalan lurus. Untuk menghitung lebar jalan angkut dapat menggunakan
Persamaan 2.22 dan 2.23.

W = n ( U + Fa + Fb + Z ) + C........................................................... (2.22)

(U  Fa  Fb)
........................................................................ (2.23)
CZ
2

Keterangan :
W = lebar jalan angkut minimum pada tikungan (m)
N = jumlah jalur
U = jarak jejak luar roda kendaraan (m)
Fa = lebar juntai depan (m)
Fb = lebar Juntai belakang (m)
Ad = jarak as roda depan dengan bagian depan truk (m)
Ab = jarak as roda belakang dengan bagian belakang truk (m)
C = jarak antara dua truk yang akan bersimpangan (m)
Z = jarak sisi luar truk ke tepi jalan (m)
Fa =
Ad sin α

Fb =
Ab sin α

Gambar 2.6 Lebar jalan angkut untuk dua jalur pada tikungan
(Suwandhi, 2004)

4. Jari-jari Tikungan
29

Jari-jari tikungan jalan angkut berhubungan dengan konstruksi alat angkut


yang digunakan, khususnya jarak horizontal antara poros roda depan dan
belakang. Gambar 2.6 memperlihatkan jari-jari lingkaran yang dijalani oleh roda
belakang dan roda depan berpotongan di pusat C dengan besar sudut sama dengan
sudut penyimpangan roda depan. Jari-jari belokan dapat dihitung menggunakan
Persamaan 2.24.

........................................................................................... (2.24)

Keterangan :
R = jari-jari belokan jalan angkut, m
W = jarak poros roda depan dan belakang, (m)
β = sudut penyimpangan roda depan

Gambar 2.7 Jari-jari belokan pada jalan (Suwandhi, 2004)

5. Kemiringan Melintang (Cross Slope)


Untuk menghindari agar pada suatu hujan air tidak tergenang pada jalan.
maka pembuatan kemiringan melintang (cross slope) dilakukan dengan cara
membuat bagian tengah jalan lebih tinggi dari bagian tepi jalan. Nilai umum dari
30

kemiringan melintang yang direkomendasikan adalah sebesar 20 sampai 40


mm/m jarak bagian tepi jalan ke bagian tengah/pusat jalan.

Gambar 2.8 Kemiringan melintang (Cross Slope) pada jalan (Suwandhi, 2004)

6. Kemiringan Jalan Angkut (grade)


Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan salah satu faktor penting yang
harus diamati secara detail dalam suatu kajian terhadap kondisi jalan tambang
karena akan mempengaruhi kinerja alat angkut yang melaluinya. Kemiringan
jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kemiringan 1% berarti jalan
tersebut naik atau turun 1 m pada jarak mendatar sejauh 100 m. Kemiringan
(grade) dapat dihitung menggunakan menggunakan Persamaan 2.25.

h....................................................................... (2.25)
Grade ( )  Arc Tg
x


A B

A B C D
31

Gambar 2.9 Kemiringan jalan angkut (Sulistyana, 2010)

Keterangan :
= beda tinggi antara dua titik yang diukur (m)

= jarak antara dua titik yang diukur (m)

Secara umum kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik
oleh alat angkut besarnya kurang dari 10 %. Namun untuk jalan naik maupun
turun pada daerah perbukitan, lebih aman menggunaan kemiringan jalan
maksimum sebesar 8% atau 4,5o.

Anda mungkin juga menyukai