Diajukan Oleh :
EVA YUNISA
NIM. H1C106201
2010
LEMBAR PERSETUJUAN
PROPOSAL SKRIPSI
NURHAKIM, MT Riswan, MT
NIP. 19730615.200003.1.002 NIP. 19731231.200812.1.008
BAB I
PENDAHULUAN
Gambar 2.2
Close circuit crushing
a. Hopper
Hopper adalah alat pelengkap pada rangkaian unit peremuk yang
berfungsi sebagai tempat penerima material umpan yang berasal dari lokasi
penambangan sebelum material tersebut masuk ke dalam alat peremuk.
b. Vibrating Fedeer
Merupakan susunan batang-batang baja yang membentuk ukuran
lubang bukaan tertentu. Vibrating Feeder berfungsi sebagai pengumpan
mesin peremuk, juga untuk memisahkan material umpan yang sudah
memenuhi ukuran yang diharapkan. Dengan adanya alat ini maka material
umpan yang telah memenuhi ukuran produk tidak perlu dilakukan
pengecilan ukuran lagi. Produksi teoritis vibrating feeder didasarkan pada
rumus :
𝐾 = 𝑇 × 𝐿 × 𝑉 × 𝐵𝑖
dimana :
K = Produksi nyata vibrating feeder (ton/jam)
T = Tebal material pada vibrating feeder (m)
L = Lebar feeder (m)
V = Kecepatan vibrating feeder (m/jam)
Bi = Bobot isi material (ton/m3)
c. Alat Peremuk ( Roll Crusher)
Alat ini terdiri dari dua buah silinder baja dan masing-masing
dihubungkan pada as (poros) tersendiri. Silinder ini berputar berlawanan arah
sehingga material yang ada diatas roll akan terjepit dan hancur.
Gambar 2.3
Gambar beberapa tipe shell pada roll crusher (a) two corrugated shells, (b)
one corrugated and one smoth shell, (c) one step tooth and one smooth
shell, (d) two step tooth shells synchronized, (e) two smooth shells
dimana :
A = luas penampang melintang muatan di atas ban berjalan ( m2 )
K = koefisien dari luas penampang melintang di atas ban berjalan dan
harganya tergantung harga trough angle dan surcharge angle
B = lebar conveyor ( m )
Sedangkan kapasitas teoritis conveyor dihitung dengan :
𝑄𝑡 = 60 × 𝐴 × 𝑉 × 𝐵𝑖 × 𝑆
dimana :
Qt = kapasitas teoritis conveyor (ton / jam)
A = luas penampang melintang muatan di atas ban berjalan ( m2 )
V = kecepatan ban berjalan (m / menit)
Bi = bobot isi material yang diangkut (ton / jam)
S = koefisien harga yang dipengaruhi kemiringan ban berjalan
𝐹 =𝐶+𝑇
dimana :
F = berat material umpan (ton)
C = berat konsentrat (ton)
T = berat tailing (ton)
2.4.2 Recovery
Recovery adalah perbandingan antara berat konsentrat dibandingkan
dengan berat umpan. Recovery berguna untuk mengetahui perolehan atau
hasil dari suatu proses peremukan yang dinyatakan dalam persen.
𝑐
𝑅 = 𝑓 × 100%
dimana :
R = recovery (%)
C = konsentrat (ton)
F = umpan (ton)
𝑡𝐹 𝑤𝐹
𝑅𝐿 = 𝑡𝑃 = 𝑤𝑃
dimana :
RL = limiting reduction ratio
tF = tebal umpan (cm)
tP = tebal produk (cm)
wF = lebar umpan (cm)
wP = lebar produk (cm)
𝑊
𝑀𝐴 = 𝑊+𝑅 × 100%
dimana :
W = jumlah jam kerja alat tanpa mengalami kerusakan
R = jumlah jam perbaikan
b. Physical Availability
Adalah berguna untuk menunjukkan ketersediaan keadaan fisik alat
yang sedang digunakan.
𝑊+𝑆
𝑃𝐴 = 𝑊+𝑅+𝑆 × 100%
dimana :
S = Jumlah jam alat tidak dapat digunakan tapi tidak
mengalami kerusakan
W + R + S = Seluruh jam kerja dimana alat dijadwalkan untuk
dioperasikan
c. Use of Availability
Menunjukkan persen waktu yang digunakan alat untuk beroperasi pada
saat alat dapat digunakan.
𝑊
𝑈𝐴 = 𝑊+𝑆 × 100%
dimana :
UA = Memperlihatkan efektivitas alat yang tidak sedang rusak dapat
dimanfaatkan.
f. Efektifitas Penggunaan
Untuk mengetahui tingkat penggunaan alat peremuk dan kemampuan
yang bisa dicapai.
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑁𝑦𝑎𝑡𝑎
𝐸𝑃 = × 100%
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑑𝑖𝑎𝑚
2.6.1 Moisture
Moisture yang ada pada atau di dalam batubara akan ikut
terangkut atau tersimpan bersama batubara. Bila banyaknya ada dalam
jumlah besar, ia akan meningkatkan ongkos atau mendatangkan
kesulitan pada penanganannya. Misalnya adanya air permukaan akan
menyebabkan batubara lengket dan akan menyulitkan hopper atau
chute atau pada waktu menggerusnya. Adanya moisture akan
menurunkan nilai panas dan juga hilang pada penguapan air. Moisture
yang ada pada batubara terdapat pada:
permukaan dan didalam rekahan-rekahan, disebut air bebas (free
moisture) atau air permukaan (surface moisture).
Rongga-rongga kapiler, disebut inherent moisture.
Pada kristal-kristal partikel-partikel mineral yang ada pada batubara
disebut air hidrasi.
Bagian organik dari batubara, disebut air dekomposisi
Air permukaan mempunyai tekanan uap normal, sama seperti
air sedangkan inherent moisture yang berada di dalam pori-pori, tekanan
uapnya lebih rendah dari normal. Air hidrasi umumnya terdapat pada
material lempung dan merupakan bagian dari lattice (kisi-kisi)
kristalnya. Air ini baru terbebaskan pada temperatur 5000C. Air
dekomposisi terbebaskan pada temperatur 200o- 250o C. Air hidrasi dan
air dekomposisi terbebaskan menggunakan temperatur jauh dibawah
o
200 C. Air total (total moisture) adalah jumlah air permukaan (surface
moisture) dan air bawaan (inherent moisture) dari batubara pada waktu
analisis. Nama lain dari air total ialah as-received moisture. Air dried
adalah air yang ada setelah pengeringan dengan udara terbuka. Ada
beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian air di dalam batubara,
memberikan gambaran umum tentang jumlah air relatif pada batubara.
2.6.2 Zat Terbang (Volatile Matter)
Apabila batubara dipanaskan didalam atmosfir yang insert
o
sampai temperatur 950 C akan menghasilkan material yang disebut zat
terbang. Zat terbang tersebut terdiri dari campuran gas senyawa organik
bertitik didih rendah yang akan mencair menghasilkan material
berbentuk dan tar.
Proses menghasilkan zat terbang ini disebut pirolisis yang
berarti memisahkan dengan menggunakan panas. Kebanyakan material
yang ada di dalam zat terbang adalah hasil pelepasan ikatan kimia di
dalam batubara selam proses pemanasan, terdiri dari gas-gas mudah
terbakar seperti hydrogen, karbon monoksida, metan, uap tar dan gas
yang tidak terbakar seperti karbon dioksida dan uap air. Uap air disini
adalah uap air yang tidak termasuk air total tetapi termasuk air hidrasi dan
air dekomposisi.
Komposisi dari zat terbang berbeda-beda menurut rank dari
batubara dengan bagian zat terbang yang tidak terbakar membesar dengan
menurunnya rank. Zat terbang ini sangat penting karena ia dipakai
sebagai parameter dalam klasifikasi dan evaluasi batubara untuk
pembakaran, karbonisasi (pembuatan kokas), gasifikasi dan liquifikasi.
2.6.3 Porositas
Batubara mengandung dua sistem pori, yaitu pori dengan ukuran
-
rata-rata 500 Å dan yang lain dengan pori berukuran 5 - 15 Å (1 Å = 10
10
m). Pori yang kecil lebih sedikit dibandingkan dengan yang besar, tetapi
luas permukaannya besar (kira-kira 200 m2/gr). Pori-pori yang lebih besar
2
mempunyai total luas permukaan pori 1m /gr. Pori-pori ini dapat
menyerap methan (CH4) yang terbentuk pada tahap akhir
daripembentukan batubara. Low volatile bituminous coal mempunyai
kemampuan menyerap methan lebih besar dari laju difusi rendah,
pada batubara yang tidak rusak. Hal ini berkaitan dengan sering
terjadinya ledakan dan kebakaran pada tambang - tambang low volatile
bituminous coal, bila terbentuknya rekahan-rekahan yang memungkinkan
keluarnya gas methan. Permukaan dalam dari pori ini merupakan akses
terhadap reaktan yang akan memberikan laju reaksi yang seperti pada
proses gasifikasi, pembakaran dan lain-lain.
2.6.8 Kekuatan
Kekutan batubara berkepentingan langsung dengan penambangan
dan peremukan. Kekutan dan mode of failure tergantung pada rank dan
kondisi batubara dan cara-cara menerapkan stress. Kekuatan batubara
banyak dipelajari dengan car uji kompresi, sebab hasilnya dapat
diterapkan dalam memperkirakan kapasitas beban pilar didalam tambang.
2.6.9 Abrasiveness
Abrasiveness dari batubara penting dalam pengertian ekonomi
pada pertambangan, peparasi dan penggunaan. Batubara merupakan
material abrasive. Oleh karena itu keausan pada pemboran, cutting dan
alat angkut sangat tinggi dan sering diganti. Demikian juga pada waktu
crushing dan grinding untuk menghasilkan pulverized coal, keausan alat
tinggi yang berakibat mahalnya ongkos operasi.
Penelitian menunjukan, abrasiveness batubara tidak sama. Batubara
ada yang memiliki keausan tinggi, yang lain lebih rendah. Hal ini
disebabkan karena batubara merupakan material heterogen yang
mempunyai komponen berbeda-beda sifatnya. Suatu cara menentukan
abrasiveness dari batubara dikembangkan oleh Seattle Coal Research
Laboratory of USBM. Secara garis besar caranya sebagi berikut: Alat
terdiri dari 4 blade besi yang berputar di dalam tempat berisi batubara,
diputar dalam jumlah putar yang tetap dan tentukan kehilangan berat
dari blade selama tes. Penelitian menunjukan beban abrasiveness lebih
ditentuakan oleh macam dan banyaknya mengurangi impunrities juga akan
mengurangi abrasiveness.
2.6.12 Karbon
Kandungan karbon dalam batubara semakin besar seiring
naiknya rank batubara. Persentase dari total karbon yang ada dalam
struktur yang kompleks, padat dan berbentuk rantai, juga bertambah
seiring engan naiknya rank batubara. Beberapa batubara mengandung
karbonat anorganik yang cukup berpengaruh yang merupakan hasil
dari pengendapan sekunder dari mineral-mineral yang ikut
terendapkan bersama-sama dengan tumbuhan pada saat pembentukan
batubara. Kandungan karbon merupakan sumber penyedia nilai kalor
terbesar dalam batubara.
2.6.13 Hidrogen
Kandungan hidrogen dalam batubara umumnya berada dalam
rentang 4,5 sampai 5,5 % yang juga merupakan salah penyedia nilai
kalor selain karbon. hidrogen dalam batubara kering terjadi sebagian
besar dalam struktur rantai dengan karbon baik jenuh maupun setengah
jenuh
2.6.14 Sulfur
Sulfur dalam batubara terjadi dalam dua bentuk, organik dan
anorganik. Sulfur organik terdistribusi secara merata bersama-sama
dengan unsur-unsur pembentuk batubara lainnya, dan secara alami
berkaitan dengan fakta bahwa tumbuh-tumbuhan mengandung sulfur
yang apabila tumbuhan tersebut membusuk atau hancur maka sulfur
tersebut bereaksi membentuk senyawa Hidrogen Sulfida (H2S).
Batubara yang memiliki nilai total sulfur kurang dari 1%,
biasanya pada umumnya merupakan sulfur organik, sedangkan
batubara dengan nilai total sulfur yang lebih tinggi maka sulfur organik
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya total total sulfur
dalam batubara tersebut. Namun hal tersebut tidak menjadi patokan
karena tidak ada dasar yang definitif yang menyatakan hubungan
antara jumlah (porsi) antara sulfur organik dan anorganik dalam
batubara. Sulfur organik cenderung berkisar antara 0,3 sampai 3%,
meskipun ada juga yang kandungannya lebih besar dari 5 % pada beberapa
batubara yang pernah dipublikasikan.
Sulfur anorganik biasanya berada dalam senyawa pyritr (FeS2)
dan sebagian kecil (biasanya kurang dari 0,1 %) dalam bentuk sulfat.
Pyrite memiliki variasi keragaman yang luas baik bentuk maupun
ukurannya. Sulfur umumnya terdapat dalam kebanyakan batubara,
jumlahnya dapat bervariasi mulai jumlah yang sangat kecil (traces)
sampai 4%, kadang lebih tinggi. Sulfur terdapat dalam tiga bentuk
utama yaitu:
Sulfur Pritik (FeS2), jumlahnya sekitar 20-30 % dari sulfur total dan
terasosiasi dalam abu, terjadi baik sebagai makrodeposit
(lensa,veins,joints,balls, dsb) dan mikrodeposit (partikel-partikel halus
yang terdisseminasi).
Sulfur Organik, jumlah sekitar 20-80% dari sulfur total dan secara
kimia terikat dalam substansi batubara, biasanya berasosiasi dengan
konsentrasi sulfur (dan sulfida) selama proses pembatubaraan.
Sulfur Sulfat, kebanyakan sebagai kalsium sulfat dan besi sulfat,
jumlahnya sangat kecil kecuali pada batubara yang terekspos dan
teroksidasi. Makro deposit dari sulfur piritik dapat dihilangkan
dengan proses pencucian, sementara itu mikrodeposit dari sulfur
piritik serta organik dan sulfat sulit dihilangkan.
2.6.15 Oksigen
Oksigen dalam batubara berada dalam beberapa bentuk. Hydroxyl,
Carbonyl, atau dapat juga hadir dalam kelompok carboxyl. Pada
batubara peringkat rendah kandungan air dalam batubara memberikan
kontribusi dalam pelaporan persentasi kandungan oksigen dan hidrogen.
2.6.16 Nitrogen
Nitrogen dalam batubara dalam jumlah yang bervariasi mulai dari
jumlah yang sangat sedikit sampai 3%, tetapi yang umum berada dalam
rentang 1 dan 2% pada basis pelaporan dry ash free (daf). Bituminous
umumnya mengandung nitrogen lebih banyak daripada lignit dan antrasit.
b. Abu
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, abu adalah residu yang
berasal dari mineral matter hasil dari perubahan batubara.
Komposisi kimianya berbeda dan beratnya lebih kecil dari
mineral matter yang ada di dalam batubara asalnya. Selama
perubahan, terjadi perubahan berat karena kehilangan air dari
silikat asal, kehilangan CO2 dari karbonat, oksidasi pirit menjadi besi
oksida.
BAB III
METODOLOGI
a) Studi Literatur
b) Pengamatan Lapangan
d) Analisa data
Dari rumusan-rumusan yang telah didapat kemudian dilakukan analisa
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal rumusan dan hal-hal yang
diperoleh dalam penelitian.
e) Kesimpulan
Setelah pengolahan dan analisa data kemudian dilakukan pengambilan
suatu kesimpulan tentang hasil penyelidikan atau penelitian yang telah
dilakukan.
DIAGRAM ALIR PENELITIAN
Mulai
Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana ukuran material yang ideal sebagai umpan ke crusher?
2. Bagaimana pengaruh kecepatan pengumpanan material pada conveyor
terhadap kapasitas crusher?
3. Bagaimana ketersediaan conveyor yang digunakan?
4. Bagaimana besarnya processing losses dan faktor-faktor yang
menyebabkan processing losses tersebut?
Studi Literatur
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Analisis waktu kerja efektif crushing plant
Perhitungan produksi crushing plant teoritis dan aktual saat ini.
Analisis pengaruh kecepatan pengumpanan material terhadap kapasitas
crushing plant.
Analisa besarnya processing losses
Analisa nisbah reduksi (reduction ratio) crusher.
Membuat kurva hubungan kecepatan pengumpanan dengan kapasitas
crusher.
Selesai
BAB IV
SISTEMATIKA PENULISAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Perumusan Masalah
1.4. Penyelesaian Masalah
1.5. Metodologi Penelitian
1.6. Manfaat Penelitian
V. PEMBAHASAN
5.1. Penilaian Terhadap Material Umpan
5.2. Penilaian Terhadap Rangkaian Crusher
5.3. Peningkatan Terhadap Pencapaian Target Produksi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB V
JADWAL PENELITIAN
tabel berikut.
Orientasi Lapangan
Pengambilan Data
Analisis Data
Pengolahan Data
Penyusunan Laporan
DAFTAR PUSTAKA
Gaudin, AM, 1939. Principles of Mineral Dressing, Mc. Graw Hill Book Company
Inc, New York.
Hartman, HL, 1987. Introductory Mining Engineering, A Wiley-Interscience
Publication, John Willey and Sons, New York.
Sudarsono, A., 1993, Pengolahan Bahan Galian, Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Sukamto. 2001. “Pengolahan Bahan Galian”. Jurusan Teknik Pertambangan,
Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” ,
Yogyakarta.
Taggart AF, 1987. Hand Book of Mineral Dressing, John Willey and Sons, New
York.
Wills, B.A. 1985. Mineral Processing Technology. Pergamount Press, Oxford, New
York.