Anda di halaman 1dari 47

PRODUKTIVITAS ALAT CRUSHER PADA PENAMBANGAN

BATUGAMPING DI PT. HOFFMEN ENERGI PERKASA DI DESA


WAWATU KECAMATAN MORAMO UTARA KABUPATEN KONAWE
SELATAN

HASIL PENELITIAN

DIAJUKAN UNTUK MMENUHI SEBAGAI PERSYARATAN MENCAPAI


DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH

NURLISNA YANTI
R1D115078

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

PT. Hoffmen Energi Perkasa adalah salah satu perusahaan tambang di

Indonesia yang melakukan penambangan Batugamping di Desa Wawatu Kecamatan

Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan. PT. Hoffmen Energi Perkasa telah

memiliki Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi melalui Surat Keputusan Kepala

Koordinasi Badan Penanaman Modal Daerah dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 279/BKPMD-PTSP/X/2015 tentang Pemberian

Izin Usaha Pertambangan (IUP) Ekplorasi dengan luas 23.540 Ha..

. Commented [SA1]: Komponen latar belakang :


Lokasi penelitian
Masalah
Peremukan batugamping dimaksudkan untuk memperkecil ukuran material Metode yang akan digunakan
Alasan memiliki lokasi dan metode yang digunakan
Tujuan akhir dari kegiatan penelitian
hasil penambangan yang berbentuk bongkah menjadi ukuran yang di harapkan pada
Commented [U2R1]: Sudah saya tambahkan pak
proses selanjutnya. Kegiatan peremukan ini memerlukan beberapa peralatan yaitu

hopper, pengumpan (fedder), mesin peremuk (crusher), sabuk berjalan (belt

conveyor), dan peralatan tambahan lain dimana saling berkaitan pada sistem kerjanya.

PT. Hofmen Energi Perkasa memasarkan hasil tambang salah satu perusahaan

tambang batugamping yang memiliki sumberdaya yang cukup besar, sehingga

dilakukan penambangan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut. Akan tetapi

target produksi pada perusahaan tidak mencapai target yang diinginkan dalam setiap

bulannya.

1
Dari permasalahan yang ada pada PT. Hoffmen Energi Perkasa target

produksi yang tidak tercapai sebesar 100 ton diakibatkan dari berbagai macam faktor

seperti pengoperasian mesin crusher yang tidak efisien dan banyak hambatan-

hambatan yang terjadi sebelum atau selama mesin crusher beroperasi. Oleh karena itu

2
2

dilakukan penelitian tentang produktivitas alat crusher untuk mencapai target

produksi yang diinginkan.

PT. Hoffmen Energi Perkasa salah satu perusahaan tambang batugamping

yang memiliki sumberdaya yang cukup besar tetapi target produksi yang tidak

tercapai karena disebabkan oleh beberapa faktor maka perlu dievaluasi kinerja alat

crusher dan dilakukanya penelitian tentang “Produktivitas Alat Crusher Pada

Penambangan Batugamping Di PT. Hoffmen Energi Perkasa Di Desa Wawatu

Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan”.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kapasitas produksi crusher ?

2. Bagaimana efisiensi kerja dari unit peremukan?

3. Apa saja hambatan-hambatan yang terjadi pada crushing plant?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Menentukan kapasitas produksi pada crusher.

2. Meningkatkan efisiensi kerja pada rangkaian unit peremukan.

3. Menganalisis jenis-jenis hambatan yang terjadi pada crushing plant.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Batu Gamping

Batugamping merupakan batuan sedimen dengan komposisi utama mineral

kalsit (CaCO3), dolomite CaMg (CaCO3) dan aragonite (CaCO3), terbentuk beberapa

cara yaitu dengan cara organik, mekanik dan kimia. Sebagian besar batugamping di

alam terjadi secara organik. Jenis ini berasal dari kumpulan endapan cangakang,

kerang, siput, foraminifera, ganggang, atau berasal dari kerangka binatang yang telah

mati di sebut dengan gamping coral (Fauzie dkk., 2009).

Proses pembentukan pada batugamping ditentukan berdasarkan persebaran

batugamping, asosiasi mineral dan unsur pengontrol pada batugamping, dan

didukung dengan hasil uji geokimia. Setidaknya terdapat 2 proses geologi yang

berperan dalam pembentukan batugamping, yaitu penambahan material terigenus dan

diagenesis.

Persebaran batugamping merah yang berada di sekitar kontak litologi dengan

satuan lava andesit mengindikasikan bahwa satuan lava andesit dan/atau satuan

intrusi andesit hornblende berpengaruh terhadap pembentukan warna merah pada

batugamping. Satuan lava andesit dan intrusi hornblende merupakan bagian dari

tubuh gunung api purba batu yang merupakan suatu gunung api darat. Oleh sebab itu,

dapat di interpretasikan bahwa kedua satuan batuan tersebut dapat memberikan suplai

material terigenus yang dapat meyebabkan terbentuknya warna merah pada

batugamping (Titisari dan Hendrawan, 2017).

3
4

Beberapa jenis batugamping banyak digunakan karena sifat mereka yang kuat dan

padat dengan sejumlah ruang atau pori. Sifat fisik ini memungkinkan batugamping

dapat berdiri kokoh walaupun mengalami proses abrasi. Meskipun batugamping tidak

sekeras batuan berkomposisi silikat, namun batugamping lebih mudah untuk

ditambang dan tidak cepat mengakibatkan keausan pada peralatan tambang maupun

crusher.

B. Peremukan Batuan

Unit peremukan crushing plant merupakan rangkaian peralatan mekanis yang

digunakan untuk mereduksi ukuran hasil penambangan perlu dilakukan terutama

untuk memenuhi atau menyesuaikan dengan permintaan konsumen akan kualitas dan

ukuran butiran. Secara umum peralatan yang digunakan didalam proses pengolahan

ialah semua peralatan yang dipakai dan diperlukan didalam siklus kegiatan

pengolahan bahan galian. Peremukan batuan pada prinsipnya bertujuan mereduksi

material untuk memperoleh ukuran butir tertentu melalui alat peremuk dan

pengayakan.

1) Dalam memperkecil ukuran pada umumnya dilakukan dengan tahap

yaitu:Peremuk primer yaitu peremuk tahap pertama mereduksi material dari

tambang berukuran 60 inchi dan menjadi produk berukuran -8 + 6 inchi.

2) Peremuk sekunder yaitu peremuk tahap kedua yang berfungsi mereduksi produk

peremuk primer menjadi -3 + 2 inchi


5

3) Peremuk tersier yaitu peremuk tahap lanjut yang mereduksi umpan dari peremuk

sekunder menjadi produk yang berukuran -1/2 + 3/8 inchi (Hidayatullah,dkk,.

2016).

1. Primary crusher dan secondary crusher

Primary crusher merupakan peremukan tahap pertama alat peremuk yang

biasanya digunakan pada tahap ini adalah jaw crusher dan gyratory crusher. Umpan

yang biasanya berasal dari hasil penambangan dengan ukuran berkisar150 mm,

dengan ukuran setting antara 100 mm sampai 30 mm. ukuran terbesar produk

peremukan tahap pertama biasanya kurang dari 100 mm (Pirantarawan, 2014).

Berikut dalah jenis-jenis crusher yang termasuk dalam peremukan tahap

pertama:

a. Jaw crusher

Jaw crusher merupakan crusher primer yang digunakan untuk memecahkan

batuandengan ukuran antara 30 mm dan 85 mm. jaw crusher terdiri dari dua tipe

yaitu blake dan dodge. Alat peremuk jaw crusher dalam prinsip kerjanya adalah

alat ini memiliki dua buah rahang jaw dimana salah satu satu jaw diam (fix jaw) dan

yang satu dapat digerakan (swing jaw), sehingga dengan adanya gerakan pada swing

jaw tadi menyebabkan material yang masuk kedalam dua sisi jaw akan mengalami

proses penghancuran. Material yang masuk diantara mulut jaw akan mendapat

jepitan atau kompresi. Ukran material hasil peremukan tergantung pada pengaturan

mulut pengeluaran (setting), yaitu bukaan maksimum dari mulut alat peremuk

(Dores dkk.,2018). Commented [SA3]: Merujuk gunakan mendeley


6

Jaw crusher memiliki keunggulan struktur sederhana, kinerja stabil,

perawatan mudah, menghasilkan partikel akhir dan rasio penghancuran tinggi. Jadi

jaw crusher merupakan salah satu mesin penghancuran paling penting dalam lini

produksi penghancuran batu. Secara umum mesin crusher dapat digunakan untuk

mengurangi ukuran atau merubah bentuk bahan tambang sehingga dapat diolah

lebih lanjut. Crusher sendiri merupakan alat yang digunakan dalam proses crushing.

Sedangkan crushing merupakan proses yang bertujuan untuk meliberasi mineral

yang diinginkan dari mineral pengotornya (Syam dkk.,2015).

Unit crhusing dan screening plant (pemecah batu) tentang metode kerja

menunjukan proses pembuatan empat jenis kerikil dari batu belah sampai siap

pakai.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peremukan (crushing plant) antara lain:

a) Kuat tekan batuan

ketahanan batuan dipengaruhi oleh keterepasan (fryabiliti) dan kerapuhan

(brittlenes) dari kandungan mineralnya. Struktur mineral yang sangat halus biasanya

lebih tahan dari pada struktur mineral yang kasar.

b) Ukuran umpan material batuan

ukuran umpan material batuan untuk mencapai produk yang baik untuk

peremukan ±85% dari ukuran bukaan dari alat peremuk.

c) Nisbah reduksi (reduction ratio)

Merupakan ukuran perbandingan ayakan yang dapat meloloskan 80% berat

produk kumulatif. Nilai reduction ratio yang baik pada proses peremukan untuk
7

primary crushing adalah 4-7, untuk secondary crushing adalah 14-20 dan tertiary

crushing adalah 50-100.

d) Arah resultan gaya

Untuk terjadinya suatu proses peremukan, maka arah resultan gaya terakhir

haruslah mengarah ke bawah. Jika arah resultan gaya terakhir mengarah ke atas

berarti peremukan tidak terjadi melainkan material hanya akan meloncat-loncat ke

atas.

e) Energi peremukan

Energy yang dibutuhkan alat peremuk tergantung dari beberapa factor antara

lain ukuran umpan, ukuran produk, kapasitas mesin peremuk, bentuk material,

presentase dari waktu berhenti alat peremuk pada suatu proses peremukan (Afrinal

dan gusman, 2016). Commented [SA4]: Merujuk menggunakan Mendeley

Kapasitas mesin peremuk jaw crusher dibedakan menjadi kapasitas desain

dan kapasitas nyata. Kapasitas desain merupaka kapasitas produksi yang seharusnya

dicapai oleh mesin peremuk tersebut, sedang kapasitas nyata merupakan kemampuan

produksi mesin peremuk sesungguhnya yang didasarkan pada system produksi yang

diter apkan. Kapasitas desainahui dari spesfikasi yang dibuat oleh pabrik pembuat

mesin peremuk dan kapasitas nyata didapatkan dengan cara pengambilan contoh

produk yang dihasilkan (Pirantawan, 2014).


8

Gambar 1. Jaw crusher (sumber: Dores dkk, 2018)

Kapasitas primary crusher dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Q = π x 60 x ω x D x L x W x ρ (1)

Keterangan:

Q : Kapasitas, (ton/jam)
Ω : Kecepatan putaran, (rpm)
D : Diameter roll, (m)
L : Jarak antara roll, (m)
ρ : Density material, (ton/m3)

b. Cone crusher

Cone crusher biasanya digunakan untuk tahap secondary crushing yaitu

proses lanjutan yang bertujuan menghancurkan batuan sehingga bisa menghasilkan


9

struktur pecahan batu yang relative homogen dengan bentuk cubicle (kotak) (Dores

dkk, 2018).

Sebuah cone crusher beroperasi dengan cara menggerus batuan yang masuk

kebagian dalam cone crusher yang berbentuk kerucut dan yang ditutupi oleh mantel

tahan aus. Saat batu memasuki bagian atas cone crusher batu akan terjepit diantara

mantel dan mangkuk yang ada ditengah crusher. Potongan batuan akan jatuh ke

bawah karena batuan menjadi lebih kecil dimana batuan terus tergerus. Proses ini

berlanjut sampai potongan cukup kecil untuk jatuh melalui celah sempit dibagian

bawah crusher (Dores dkk, 2018).

Gambar 2. Cone crusher (sumber: Dores dkk, 2018)

Untuk menghitung kapasitas secondary crusher dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:

T = W x V x 60 x 60 (2)
10

Keterangan:

T : Kapasitas, (ton/jam)
W : Berat sampel, (ton/m)
V : Kepatana belt, (m/s)

(Hidayatullah dkk, 2015)

C. Peralatan Pendukung Unit Peremukan (Crushing Plant)

1. Hopper
Hopper merupakan alat yang berfungsi umtuk menampung material sebelum

material dimasukan kedalam alat peremukan batuan (crusher). Dengan menampung

terlebih dahulu material yang ditampung di dalam hopper maka pemberian umpan

pada crusher dapat dilaakukan secara kontinyu. Hopper dibuat dari plat baja yang

dibentuk sehingga dapat menampung material dari proses penambangan yang

selanjutnya akan melakukan proses penghancuran (Rinaldi dkk.,2018).

Panjang atas (m)

Tinggi (m)
Panjang bawah (m)

Lebar
Bawah
(m)
Lebar
Atas (m)

Tampak atas Tampak samping

Gambar 1. Hopper (sumber: Rinaldi dkk,2018)


11

Keterangan:

T = Kapasitas (ton/jam)

W = Berat sampel (ton/m)

V = Kecepatan belt (m/s)

Volume hopper ini dapat ditentukan dengan menggunakan rumus di bawah ini:
1
Vh= t (L atas + L bawah +√𝐿 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑥 𝐿 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (3)
3

Setelah volume tampungan hopper diketahui, maka kapasitas hopper adalah:

K = Vh x Bi (4)

Keterangan:

K : Kapasitas hopper (ton)


Vh : Volume hopper (m³)
Bi : Densitas material (ton/m3)
(Hidayatullah dkk, 2015)

2. Pegumpan (Feeder)

Feeder dipakai untuk mengontrol batuan yang masuk ke primary jaw. Pada

proesnya hanya batu-batuan yang berukuran besar saja yang masuk ke dalam crusher

untuk dipecah. Sementara pasir dan kotoran-kotoran quary dapat di bypass keluar

disekitar primary crusher yang membuat efisiensi crusher akan meningkat (Husna

dkk., 2012).

3. Screening

Screen adalah alat untuk memisahkan ukuran material hasil proses peremukan
12

berdasarkan besarnya ukuran dari lubang bukaan (opening) pada ayakan yang

dinyatakan dengan satuan millimeter atau dapat juga dinyatakan dengan satuan mesh.

Pengertian mesh berdasarkan ASTM adalah jumlah lubang bukaan (opening) yang

terdapat dalam satu inci. Screen sendiri merupakan alat pengayakanya yang memiliki

lubang yang banyk dengan ukuran tertentu yang bisa disesuaikan. Digunakan untuk

pemilahan ukuran butir material dengan cara melewatkan material dari atas ayakan

material yang lebih kecil dari lubang ayakan dapat lolos ke bawah ayakan sebagai

halus (under size) sedangkan partikel yang lebih kasar dari ukuran ayakan akan

tertahan di atas ayakan (over size) (dores dkk.,2018).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengayakan (screening)

yaitu:

a) Lamanya waktu pengayakan

b) Banyaknya material halus dalam umpan

c) Bentuk dari lubang ayakan

4. Ban Berjalan (belt conveyor)

Belt conveyor merupakan salah satu alat angkut yang dapat bekerja secara

berkesinambungan (continous transportation) baik pada keadaan miring maupun

mendatar. Adapun bagian-bagian dari belt conveyor adalah sebagai berikut:

a) Belt, fungsinya untuk membawa material yang diangkut.

b) Idler, fungsinya untuk menahan atau menyangga belt.

c) Centering device, untuk mencegah agar belt tidak meleset dari rollernya.
13

d) Unit pengg erak, pada belt conveyor tenaga gerak dipindahkan ke belt oleh

adanya gesekan antara belt dengan pulley penggerak karena belt melekat pada

sekeliling pulley yang diputar oleh motor.

e) Pemberat (take-ups or counterweight), yaitu komponen untuk mengatur tegangan

belt, dan untuk mencegah terjadinya selip antara belt dan pulley penggerak.

f) Bending the belt, alat yang digunakn untuk melengkungkan belt, yang terdiri dari

pulley trakhir atau pertengahan.

g) Pengumpan, alat untuk pemuatan material ke atas belt dengan kecepatan yang

teratur.

h) Pembersih belt, alat yang dipasang dibagian ujung bawah belt agar material tidak

melekat pada belt balik (return belt).

i) Skirts, semacam sekat yang dipasang dikiri dan kanan belt pada tempat pemuatan

yang terbuat dari logam atau kayu. Gunanya untuk mencegah terjadinya ceceran-

ceceran material.

j) Motor penggerak, adalah alat yang digunakan untuk memutar atau menggerakan

pulley.

Produksi atau jumlah material yang dapat diangkut oleh belt conveyor

tergantung dari:

a) Lebar belt

b) Kecepatan belt

c) Sudut roller atau idler terhadap bidang datar

d) Angle of surcharge dari benda yang diangkut


14

e) Kerapatan material (density)

f) Sudut kemiringan belt conveyor

Kapasitas pengangkutan belt conveyor per satuan waktu diatur oleh kecepatan

belt. Jenis pembawa, sudut kemiringan/penurunan karakteristik dan bentuk material

yang akan diangkut. Namun untuk keperluan umum kapasitas dapat dihitung

menggunakan rumus, (bridgestone conveyor belt handbook, 2007), sebagai berikut

Dalam menghitung kapasitas belt conveyor harus di tentukan luas penampang

melintang diatas belt conveyor, yaitu:

Qt = 3600 x A x V x γ x S (5)

Keterangan:

Qt : Kapasitas belt conveyor (ton/jam)


A : Luas penampang melintang muatan
V : Kecepatan belt conveyor (m/s).
γ : Berat jenis, (ton/m³)
S : Koefisien harga yang dipengaruhi yang dipengaruhi oleh kemiringan belt,
untuk menentukan harga koefisien menggunakan tabel 3.

(Putri dan Abdullah, 2015)

Perhitungan luas penampang (cross section area) dihitung dengan

menggunakan rumus:

A = K (0,9b – 0,05)² (6)

Keterangan:

A : luas penampang melintang muatan diatas belt conveyor, (m³)


15

K : koefisien dari luas penampang melintang diatas belt yang besarnya tergantung
dari harga trough angle dan surcharge angle. Mengetahui nilai koefisien
menggunakan tabel 1 dan 2.
b : lebar belt conveyor

nilai koefisien cross section area dari belt conveyor ditentukan berdasarkan

tipe conveyor, trough angle dan surcharge angle, dapat dilihat dari tabel di bawah ini

(Husna dkk., 2012).

Tabel 1. Koefisien trough angle dan surcharge angle

Tipe Sudut Sudut Tumpah Derajat


Pembawa Penampang
10 20 30
Datar 0 0,0295 0,0591 0,0906
10 0,0649 0,0945 0,1253
15 0,0817 0,1106 0,1408
20 0,0963 0,1245 0,1538
25 0,1113 0,1381 0,1661
30 0,1232 0,1488 0,1754
Idler 3 35 0,1348 0,1588 0,1837
roll
40 0,1426 0,1649 0,1882
45 0,1500 0,1704 0,1916
50 0,1538 0,1725 0,1919
55 0,1570 0,1736 0,1907
60 0,1568 0,1716 0,1869
30 0,1128 0,1399 0,1681
40 0,1336 0,1585 0,1843
Idler 5 50 0,1495 0,1716 0,1946
roll
60 0,1598 0,1790 0,1989
70 0,1648 0,1808 0,1945
Sumber: Putri dan Abdullah, 2015
16

Tabel 2. Sudut tumpah material pada belt conveyor


Sudut Tumpah
Tipe dan Kondisi Material
(Derajat)
10 Material kering yang halus
20 Material berukran besar (batubara, kerikil, bijih dsb) diangkut
dalam keadaan biasa dan dalam kondisi biasa.
30 Ketika bahan ini relative besar dan fasilitas pemuatan
sedemikian rupa sehingga material ini terus dimuat secara
konstan dengan cara yang sama dan penuh
Sumber: Sigit, 2014

Untuk sudut inklinasi lebih dari 20° biasanya menggunakan belt conveyor

yang berbuku-buku. Kondisi ini menyebabkan berbagai pertimbangan untuk memilih

belt conveyor yang akan digunakan, menjadi pertimbangan juga kecepatan belt, sudut

inklinasi dan juga ukuran material yang akan diangkut. Jenis belt conveyor adalah

sebagai berikut:

a) Belt conveyor biasa, sudut inklinasi sampai 20°

b) Belt conveyor dengan permukaan sabuk kasar, sudut inklinasi 20°-35°

c) Belt conveyor dengan sabuk chevron cleat, sudut inklinasi 35° - 45°

d) Belt conveyor dengan sabuk bersirip berbentuk kotak dan sisi bergelombang ,

sudut inklinasi 45° - 60°

e) Belt conveyor sudut curam tipe sandwich, sudut inklinasi 60° - 87°

f) Belt conveyor sudut curam tipe bucket elevator, sudut inklinasi lebih dari 87°
17

Tabel 3. Koefisien sudut inklinasi “S” pada belt conveyor (Putri, F,E, 2015)
Sudut kemiringan Koefisien Sudut Koefisien
(°) kemiringan (°) kemiringan (°) kemiringan (°)
2 1,00 21 0,78
4 0,99 22 0,76
6 0,98 23 0,73
8 0,97 24 0,71
10 0,95 25 0,68
12 0,93 26 0,66
14 0,91 27 0,64
16 0,89 28 0,61
18 0,85 29 0,59
20 0,81 30 0,56
Sumber: Putrid an Abdullah, 2015

Kecepatan belt dapat dihitung berdasarkan waktu tempuh belt dari ujung alat

hingga mencapai ujung lainya dengan menggunakan stopwatch. Cara pengamatanya

adalah dengan menandai sisi belt dengan selotip berwarna saat belt conveyor dan

posisi diam. Kecepatan belt meningkat sebanding dengan lebar belt. Rumus

kecepatan adalah:

𝑠
V= (7)
𝑡

Keterangan:

V= Kecepatan (m/s)
S = Jarak perpindahan (m)
t = Waktu (s)
(Siahaan dkk., 2015).
18

5. Ketersediaan Crusher

Ketersediaan dari limestone crusher merupakan suatu cara untuk mengetahui

kondisi dari masing-masing dari limestone crusher agar dapat diketahui tidak

tercapainya produksi dari limestone crusher. Kondisi tersebut dapat diketahui dari

waktu operasional limestone crusher (Yulia dkk., 2018).

a. Ketersediaan mekanik (Mechanical Availability)

Merupakan suatu cara untuk mengetahui kondisi mekanis yang sesungguhnya

dari alat yang sedang dipergunakan, dapat dinyatakan dengan persamaan:

W
MA = 𝑥 100% (8)
𝑊+𝑅

Keterangan:

MA : mechanical availability
W : jumlah jam kerja produksi (Working hours)
R : jumlah jm perbaikan (repair hours) (Sujiman dan Yakin, 2018)

b. Ketersediaan fisik (physical Availability)

Ketersediaan fisik merupakan catatan mengenai keadaan fisik alat dari alat

yang sedang dipergunakan. Kesediaan fisik yang umumnya selalu lebih besar

daripada kesediaan mekanis dapat dinyatakan dengan persamaan:

𝑊+𝑆
PA = 𝑥 100% (9)
𝑊+𝑅+𝑆

Keterangan:

W : jam kerja
S : working hours atau jumlah jam siap tunggu
R : waktu repair a jumlah jam untuk perbaikan
19

PA : ketersediaan fisik (Sujiman dan Yakin, 2018)

c. Ketersedian penggunaan (Use Of Availability)

Ketersedian penggunaan menunjukan beberapa persen (%) waktu yang di

perguankan oleh suatu alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat di

pergunakan (tidak rusak),dinyatakan dengan persamaan:


𝑊
UA= 𝑥100% (10)
𝑊+𝑆

Keterangan:

UA : us of availability

W :Jumlah jam kerja (working hours)

S :Jumlah jam menunggu (stanbay hours) (Sujiman dan Yakin, 2018)


d. Penggunaan efektif (effective Of Utiliation)

Penggunaan efektif menunjukan beberapa persen (%) dari seluruh waktu

kerja yang tersedia dapat di gunakan untuk kerja produktif ,di nyatakan dengan

persamaan :

𝑊
EU = 𝑥 100% (11)
𝑊+𝑅+𝑆

Keterangan:

We : Jumlah jam kerja produksi (working hours)

R : Jumlah jam perbaikan (repair hours)

S : Jumlah jam menunggu (stanbay hours) (syarif hidayatullah dkk, 2015)


20

6. Effisiensi Kerja

Effisiensi kerja adalah penilaian terhadap pelaksanaan terhadap suatu

Perkerjaan atau merupakan suatu perbandingan antara waktu yang di pakai untuk

bekerja dengan waktu yang tersdia. Effisiensi kerja akan semakin bersar jika

banyaknya waktu kerja semakin mendekati jumlah yang tersedia. Berkurangnya

waktu kerja efektif akan berpengaruh terhadap produksi alat mekanik tersebut.

Efisiensi kerja merupakan tingkat keberhasilan dalam penggunaan waktu yang yang

tersedia. Tingkat pengalaman dari operator alat sangat bepengaruh terhadap

besarnya produksi, dimana operator yang berpengalaman dapat menempatkan dan

menggunakan alatnya secara cepat dan efisien.

Dengan menghitung hambatan, maka jumlah kerja yang efektif dapat di

hitung dengan menggunakan rumus :

We = wt-(whd+whtd) (12)

sehingga efisiensi waktu kerja adalah:

𝑤𝑒
Ek= 𝑥100% (13)
𝑤𝑡

Keterangan :

we : waktu kerja efektif, (menit)


Ek : Effisiensi kerja, (%)
wt : waktu kerja tersedia, (menit)
whd : waktu hambatan yang dapat di hindari, (menit)
whtd : waktu hambatan yang tidak dapat di hindari, (menit)
21

(Hidayatullah dkk, 2015).

𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑒𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓


Efisiensi kerja= 100% (14)
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎

(Syam dkk., 2015).


III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian lapangan dilaksanakan sejak proposal ini di setujui dan secara

administrasi daerah penelitian ini terletak di Desa Wawatu Kecamatan Moramo

Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

PT. Hoffmen Energi Perkasa adalah salah satu perusahaan tambang di

Indonesia yang melakukan penambangan Batugamping di Desa Wawatu Kecamatan

Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan. PT. Hoffmen Energi Perkasa telah

memiliki Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi melalui Surat Keputusan Kepala

Koordinasi Badan Penanaman Modal Daerah dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 279/BKPMD-PTSP/X/2015 tentang Pemberian

Izin Usaha Pertambangan (IUP) Ekplorasi dengan luas 23.540 Ha. Commented [SA5]: Mana peta lokasinya
Commented [U6R5]: Sudah saya tambahkan petanya pak

22
Gambar 4. Peta IUP Lokasi Penambangan

22
Formatted: Centered

23
24

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian observasi langsung dilapangan

berdasarkan kondisi dan produktivitas alat crusher yang bekerja dan keadaan secara

aktual dilapangan, berupa pengamatan dan pengambilan data secara langsung.

C. Instrument Penelitian

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu:

Tabel 4. Alat dan Bahan


No Alat dana Bahan Kegunaan Foto
1. Stopwatch Untuk menghitung waktu
alat beroperasi

2. Laptop untuk menyusun laporan


penelitian

3. Kamera Untuk mengambil


gambar

4. Meteran Untuk melakukan


pengukuran

5 ATK (Alat Tulis Untuk mencatat data-data


Kantor) yang diperlukan di
lapangan
25

D. Prosedur penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer yang diambil

langsung dilapangan dan data sekunder yang di dapat dari instansi yang berkaitan

dengan data tersebut, antara lain:

1. Data Primer

data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari pengamatan dan

tinjauan di lapangan, data primer yang di peroleh:

a) Dimensi pada rangkaian unit crusher

b) Hambatan-hambatan pada crusher

c) waktu kerja efektif alat

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari dokumentasi dan arsip

perusahaan, antara lain:

a) Peta lokasi penelitian

b) Spesifikasi alat crusher

c) Target produksi perusahaan

1. Analisi Dan Pengolahan Data

Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul tentu dibutuhkan metode untuk

melakukan analisis terhadap data-data tersebut agar hasilnya mampu menjawab

masalah penelitian ini. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis secara deskriptif kuantitatif.


26

a. Kapasitas hopper

Perhitungan kapasitas hopper menggunakan rumus volume trapezium

dihitung berdasarkan keadaan alat di lapangan.

b. Kapasitas crusher

Perhitungan kapasitas dan produktivitas alat pada crusher pimery dan crusher

secondary

c. Ketersediaan crusher

Perhitungan ketersediaan crusher yang terdiri dari ketersedian mekanis,

ketersediaan fisik, ketersedian penggunaan, penggunaan efektif dan efektifitas

penggunaan unit crusher serta efisiensi maksimum kerja alat.

1) Ketersediaan mekanik

Merupakan suatu cara untuk mengetahui kondisi mekanis yang sesungguhnya

dari alat yang sedang dipergunakan.

2) Ketersediaan fisik (physical Availability)

Ketersediaan fisik merupakan catatan mengenai keadaan fisik alat dari alat

yang sedang dipergunakan. Kesediaan fisik yang umumnya selalu lebih besar dari

pada kesediaan mekanis.

3) Ketersedian penggunaan (Use Of Availability)

Ketersedian penggunaan menunjukan beberapa persen (%) waktu yang di

pergunakan oleh suatu alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat di

pergunakan (tidak rusak)


27

4) Penggunaan efektif (effective Of Utiliation)

Penggunaan efektif menunjukan beberapa persen (%) dari seluruh waktu kerja

yang tersedia dapat di gunakan untuk kerja produktif .

d. Efisiensi kerja

Perhitungan pada efisiensi kerja dari unit crusher yang terdiri dari hambatan

yang dapat dihindari, hambatan yang tidak dapat dihindari, waktu kerja efektif dan

waktu kerja yang tersedia serta efisiensi kerja dari unit peremukan.
28

:Diagram Alir

Adapun tahapan dalam kegiatan penelitian ini yang dilakukan untuk

menyelesaikan masalah studi kasus secara garis besar sebagai berikut:

Mulai

Tahap persiapan

1. Studi literatur
2. Perizinan 1.Surat izin penelitian
3. Persiapan perlengkapan 2. Alat dan bahan penelitian

Pengumpulan Data

Data Sekunder
1. Peta lokasi penelitian
2. Spesifikasi alat crusher Analisis Data
3. Target produksi perusahaan hambatan-hambatan pada crusher
dan efektifitas kerja alat

Data Primer
 Dimensi pada rangkaian unit
crushe, Analisis data
 Hambatan-hambatan pada Menentukan kapasitas produksi
crusher dengan cara menentukan
crusher, waktu kapasita hopper, jaw crusher, belt
 kerja efektif alat conveyor

1
29

Hasil Pengolahan data

Hasil
Kapasitas produksi crusher, hambatan-hambatan
crusher, dan efektifitas kerja alat crusher

Selesai
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peremukan Crushing plant


Kegiatan produksi crushing plant pada unit batugamping (limestone) yang

dilakukan oleh PT. Hoffmen Energi Perkasa, menggunakan serangkaian alat peremuk

yang saling terkait.

1. Dimensi Alat Penampung

Hopper adalah alat pelengkap pada rangkaian unit peremuk yang berfungsi

sebagai tempang penampung material umpan yang berasal dari lokasi penambangan

dengan menggunakan alat bantu whell loader. Material yang akan dihancurkan oleh

crusher primary di tamping ke hopper berbentuk trapezium dan kapasitas tampungan

hopper sebesar 30 m³.

Kapasitas hopper dapat diketahui dari volume hopper, sedangkan volume

hopper dapat diketahui dari pengukuran dimensi hopper di lapangan. Perhitungan

kapasitas hopper dikalikan dengan densitas batugamping sebesar 1,8 ton/m³.

berdasarkan hasil pengukuran di lapangan mendapatkan hasil kapasitas tampungan

hopper sebesar 31,77 ton.

29
Tabel 5. Kapasitas hopper

parameter Ukuran
Panjang 4 meter
Lebar 2 meter
Luas atas 8 meter
panjang 4 meter
Lebar 1 meter
Luas bawah 4 meter
Densitas material 1,8 ton/m³
Kapasitas 31,77 ton

Di ketahui dari Tabel 5:


Luas atas = 8 m³
Luas bawah = 4 m³
Tinggi = 3 meter
Menentukan volume hopper:
1
Vh= (8 m³ + 4 m³ +√8 m³ 𝑥 4 m³) 3 m
3

= 17,65 m³
Menentukan kapasitas hopper:
K = 17,65 m³ x 1,8ton/m³
= 31,77 ton
Dari tabel di atas dapat di ketahui bahwa kapasitas dari hopper yang di

gunakan adalah 31,77 ton/m³.

2. Dimensi unit peremuk

Berdasarkan pengamatan di lapangan, kapasitas actual dari crusher primary

diperoleh berdasarkan jumlah material yang di umpan oleh whell loader ke hopper dalam

hitungan hari (tabel 6) dan kapasita teoritis crusher primary di dapatkan berdasarkan

pengukuran di lapangan sebesar 940,85 ton/jam (Tabel 7).

30
Tabel 6. Kapasitas aktual crusher primer berdasarkan jumlah umpan ke hopper

N Waktu Jumlah umpan ke Kapasitas bucket whell Kapasitas


Hari
o kerja hopper loader (ton/jam)
(jam)
1 1 5,5 195 3 106,36
2 2 6,4 185 3 86,72
3 3 9,3 335 3 108,06
4 4 5,1 190 3 111,76
5 5 6,3 193 3 91,9
6 6 6,8 180 3 79,41
7 7 7,01 245 3 104,85

Tabel 7. Kapasitas teoritis crusher primary


Kecepatan Diameter Lebar (m) Jarak antara BJ Kapasitas
Putaran roll (m) roll (ton/m³) (ton/jam)
(rpm) (m)
960 0,4 0,085 0,085 1,8 940,85

Diketahui dari Tabel 7:


Kecepatan putaran = 960 rpm
Diameter roll = 0,4 m
Lebar = 0,085 m
Jarak antar roll = 0,085 m

Berat jenis material = 1,8 ton/m³


Kapasitas teoritis crusher primary adalah
Q = π x 60 x ω x D x L x W x ρ
Q = 3,14 x 60 menit/jam x 960 rpm x 0,4 m x 0,085 m x 0,085 m x 1,8 ton/m³
Q = 940,85 ton/jam
3. Kapasitas belt coveyor

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penentuan luas penampang belt

conveyor yang dilihat dari koefisien area belt conveyor (Ttabel 1) dan lebar belt

31
conveyor, kemiringan belt conveyor, Kecepatan belt conveyor diukur berdasarkan

jarak tempuh dan waktu tempuh unit batugamping melewati belt conveyor.

Perhitungan kecepatan dengan perbandingan jarak tempuh belt conveyor dari ujung

ke ujung dengan waktu tempuh belt conveyor dari ujung alat ke ujung alat lainnya.

Perhitungan kapasitas belt conveyor dilakukan dengan pengukuran di atas, yang

ditunjukan pada tabel di bawah:

Tabel 8. Kapasitas belt conveyor


Kapasita
N Bc Luas Kecepatan Bi
Kemiringan s
o v penampang (m/menit) (ton/m³)
(ton/jam)
1 1 0,031 10 1.8 0,14 193,07
2 2 0,013 12 1.8 0,1 70,02
3 3 0,013 12 1.8 0,1 58,35
4 4 0,007 10 1.8 0,16 49,94
5 5 0,007 10 1.8 0,16 49,94
6 6 0,007 10 1.8 0,12 37,45
7 7 0,013 10 1.8 0,11 55,01
8 8 0,007 8,57 1.8 0,08 24,97
9 9 0,013 10 1.8 0,14 70,01
10 10 0,007 8,57 1.8 0,14 43,69
11 11 0,007 10 1.8 0,14 43,69
12 12 0,007 10 1.8 0,16 59,92
13 13 0,007 9 1.8 0,25 70,22

Diketahui dari Tabel 8:

Koefisien luas penmpang = 0,0295 (Tabel 1)

Lebar belt conveyor = 1,2 m

Maka, luas penampang belt conveyor adalah:

A = K (0,9b – 0,05)²

32
= 0,0295 (0,9 x 1,2 – 0,05)²

= 0,0295 (1,03 m)²

= 0,0295 (1,06 m²)

A = 0,031 m²

Luas penampang melintang muatan = 0,031 m²

Panjang = 28 m

Waktu tempuh = 2,8 m

Kecepatan belt conveyor = 10 m/menit

Berat jenis = 1,8 ton/m³

Koefisien harga yang dipengaruhi oleh kemiringan belt menggunakan persamaan

brisgestone conveyor belt handbook adalah:

Jarak B terhadap permukaan tanah = 5 m

Jarak A terhadap permukaan tanah = 1 m

Jarak A ke B = 28 M

S = arc sin H-AH


IF
S = arc sin 5 m-1 m
28 m
S = 0,14 Commented [SA7]: Ini persamaan apa harus dibuat lebih jelas
Commented [U8R7]: Sudah saya tambahkan pak
Maka kapasitas belt conveyor adalah:

Qt = 3600 x A x V x γ x S

Qt = 3600 detik/jam x 0,031 m² x 10 m/detik x 1,8 ton/m³ x 0,14

Qt = 283.92 ton/jam

33
4. Tahapan rahang peremuk tersier (jaw crusher tertiary) Commented [SA9]: Apa maksudnya ini rahang
Commented [U10R9]: Maksudnya pak, proses peremukannya
Pada tahapan peremuk tersier menggunakan 2 alat screen, yaitu: seperti rahang yang mengunyah

a. Vibrating screen I

Screen digunakan untuk memisahkan ukuran material hasil proses peremukan

yang berdasarkan atas ukuran pada ayakan. Screen ini mempunyai kemiringan

sebesar 30˚ dengan ukuran 5x2 meter. Material yang lebih kecil dari lubang ayakan

dapat lolos dan jatuh pada beltconveyor 9 dan akan diteruskan sebagai produk

lanjutan untuk tahap vibrate II, sedangkan untuk ukuran yang lebih besar atau ukuran

tidak lolos ayakan da akan jatuh di belt conveyor 6 atau belt conveyor penumpah dan

menjadi suplit dgn kelas 2.3 atau suplit dengan ukuran 30 mm.

b. Vibrating screen II

Tahapan ini adalah tahapan lanjutan dari material yang lolos ayak dari vibrate

I. Screen ini mempunyai kemiringan 30˚ dan memiliki 3 lapisan ayak dimana ukuran

masing- masingnya sama besar 5x2 meter, tetapi memiliki lubang ayak yg berbeda-

beda karena telah di atur berdasarkan permintaan ukuran yang di inginkan kemudian

yang akan mengalami proses ayakan ini yaitu material ukuran yang lolos dari vibrate

I, setelah material masuk ke proses pengayakan untuk ayakan pertama akan

menyaring suplit ukuran 25mm dan akan jatuh pada belt conveyor 10, setelah itu

material yang masih lolos dari layar ayakan pertama akan menjadi suplit dengan

ukuran 14 mm dan jatuh pada belt conveyor 11, dan yang terakhir adalah material

34
yang lolos ayakan dari 2 layar vibrate akan menjadi suplit dengan ukuran 0,6mm (abu

batu) dan jatuh pada belt conveyor 12.

5. Ketersediaan alat unit peremuk (crusher plant)

Persentase ketersediaan alat dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Ketersediaan alat crusher


w R s PA
Hari MA (%) UA (%) EU (%)
(menit) (menit) (menit) (%)
1 378 618 60 37.95 41.48 86.3 35.8
2 546 240 145 69.47 74.22 79.02 58.65
3 452 60 143 88.28 90.84 75.97 69.01
4 600 60 0 90.91 90.91 100 90.91
5 297 105 253 73.88 83.97 54 45.34
6 300 107 252 73.71 83.76 51.33 37.35
7 274 200 260 57.82 72.76 51.33 37.35

Diketahui dari tabel 8:

MA : Ketersediaan mekanis (mechanical availability)


PA : Ketersediaan fisik (physical availability)
UA : Ketersediaan pemakaian/penggunaan (use of availability)
EU : Penggunaan efektif (efektif utilization)
Jumlah jam kerja (w) = 378 menit
Jumlah jam perbaikan (R) = 618 menit
Jumlah jam menunggu (s) = 60 menit
a. Mechanical availability
w
MA = x100%
w+R
378 menit
MA = x100%
378 menit + 618 menit
MA = 37,95%

35
Ketersediaan mekanis pada unit peremukan untuk hari ke 1 buruk yaitu

37,95% karena waktu yang diperlukan untuk perbaikan dan menunggu selesai

perbaikan akibat kerusakan pada alat crusher berkisar 63% dari waktu kerja alat.

b. Physical availability

w+s
PA = x100%
w+R+s
378 menit + 60 menit
PA = x100%
378menit + 618menit + 60 menit
PA= 41,8%

Ketersediaan fisik pada unit peremukan untuk hari ke 1 buruk yaitu 41%

karena waktu yang hilang karena berbagai alasan, baik karena kerusakan alat atau Commented [SA11]: Maksud dari berbagai alasan ini apa
Commented [U12R11]: Maksud dari berbgai alasan
hambatan lainnya berkisar 69% dari waktu kerja dijadwalkan. pak,banyak waktu hilang karena kerusakan alat dan hambatan
lainya pak

c. Use of availability

w
UA = x100%
w+s

378 menit
UA = x100%
378 menit + 60 menit

UA = 86,3%

Ketersediaan penggunaan/pemakaian alat unit peremuk untuk hari ke 1 yaitu

86% sehingga tingkat penggunaan alat pada saat beroperasi dapat bekerja dengan

baik.

d. Effective of utilization

w
EU = x100%
w+R+s

36
378 menit
EU = x100%
378 menit + 618 menit + 60 menit
EU = 35,8%

Penggunaan efektif merupakan cara yang paling efektif untuk menyatakan

efisiensi kerja dari alat berdasarkan data kerja dari alat di lapangan dan alat tersebut

dapat digunakan sebesar 35,5% dalam keadaan alat tidak dapat digunakan.

Hal ini menunjukan bahwa kondisi mekanik dan fisik peralatan peremukan

selama 7 hari dalam keadaan sedang dan baik, sedangkan penggunaan penggunaan

efektif sedang dan buruk. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat diambil

kesimpulan bahwa peralatan peremuk batugamping PT. Hoffmen Energi Perkasa

masih perlu ditingkatkan guna mencapai sasaran produksi perusahaan yang

diinginkan dan penggunaan efektif alat digunaka seefektif mungkin.

6. Effisiensi Kerja

Effisiensi kerja adalah penilaian terhadap pelaksanaan terhadap suatu

Perkerjaan atau merupakan suatu perbandingan antara waktu yang di pakai untuk

bekerja dengan waktu yang tersdia. Effisiensi kerja akan semakin bersar jika

banyaknya waktu kerja semakin mendekati jumlah yang tersedia. Berkurangnya

waktu kerja efektif akan berpengaruh terhadap produksi alat mekanik tersebut.

Efisiensi kerja merupakan tingkat keberhasilan dalam penggunaan waktu yang yang

tersedia. Tingkat pengalaman dari operator alat sangat bepengaruh terhadap besarnya

37
produksi, dimana operator yang berpengalaman dapat menempatkan dan

menggunakan alatnya secara cepat dan efisien.

Tabel 9. Efisiensi kerja alat unit peremukan


Har
Waktu kerja Whd Whtd Wt We Ek
i ke
08.00-12.00
12.00-13.00
1 80 310 720 330 45.8333
13.00-15.00
18.00-19.00
08.00-15.00
12.00-13.00
2 50 285 720 385 53.4722
15.00-22.00
18.00-19.00
08.00-15.00
12.00-13.00
3 85 77 720 558 77.5
15.00-22.00
18.00-19.00
08.00-15.00
11.00-13.00
4 115 297 720 308 42.7778
15.00-22.00
18.00-19.00
08.00-15.00
12.00-13.00
5 90 250 720 380 52.7778
15.00-22.00
18.00-19.00
08.00-15.00
12.00-13.00
6 75 233 720 412 57.2222
15.00-22.00
18.00-19.00
08.00-15.00
12.00-13.00
7 62 237 720 421 58.4722
15.00-22.00
18.00-19.00

38
Keterangan :

Wt = Waktu yang tersedia

We = Waktu efektif

Whd = Hambatan yang dapat dihindari

Whtd = Hambatan tidak dapat dihindari Commented [SA13]: Tata cara menulis yang banyak harus
diperbaiki
Commented [U14R13]: Sudah saya perbaiki pak
Diketahui dari Tabel 9:

Waktu kerja yang tersedia = 720 menit

Waktu hambatan yang dapat dihindari = 80 menit

Waktu tidak dapat dihindari = 310 menit

Waktu kerja efektif alat adalah:

We = Wt – (Whd + Whtd)

We = 720 menit – (80 menit + 310 menit )

We = 720 menit – 390

We = 330 menit

sehingga efisiensi waktu kerja adalah:

𝑤𝑒
Ek = 𝑥100%
𝑤𝑡

330
EK = x 100%
720

EK = 45,83%

39
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑒𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓
Efisiensi kerja= 100%
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎

B. Upaya untuk mengurangi hambatan yang terjadi pada crushing plant

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan upaya-upaya untuk mengurangi

kehilangan waktu atau hambatan-hambatan yang terjadi pada saat peremukan batuan

batugamping adalah sebagai berikut:

1. Memanaskan alat sebaiknya dilakukan sebelum jam kerja dimulai (lebih awal)

2. Pengisian bahan bakar dilakukan sebelum jam pulang kerja.

3. Pembersihan roller-roller pada belt conveyor diusahakan dilakukan pada waktu

produksi telah selesai.

4. Usahakan sebelum alat beroperasi alat angkut whell loader dan material lainya

siap untuk umpan ke hopper.

5. Melumasi bagian-bagian yang berputar seperti roda bearing pada crushing

primary dan secondary, idler pada setiap belt conveyor sebaiknya dilakukan pada

waktu produksi telah selesai beroperasi.

6. Ukuran umpan yang akan dilakukan peremukan harus dipersiapkan sesuai

dengan kebutuhan ukuran diameter hopper sehingga tidak terjadi kemacetan.

7. Sebelum alt crusher dioperasikan terlebih dahulu dilakukan pengecekan tiap-tiap

alt sehingga alat bisa dioperasikan sebaik-baiknya dan tidak mengurangi waktu

produktif dan efisiensi kerja alat sesungguhnya.

40
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kapasitas aktual crusher primary setiap hari berbeda-beda tergantung umpan

yang masuk ke dalam hopper dan kapasits teoritis crusher primery sebesar

940,85 ton/jam, serta produktivitas crusher tergantung pada efisiensi kerja alat

pada saat beroperasi beserta dengan hambatan-hambatan yang terjadi. Produksi

batugamping PT. Hoffmen Energi Perkasa tidak mencpai trget perusahaan karena

disebabkn rendahnya kapasitas setiap alat unit peremuk dan hambatan-hambatan

pada setiap alat yang perlu diperhatiakan setiap hari sebelum alat beroperasi.

2. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jam kerja efekti pada unit peremukan

adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan waktu kerja efektif dengan cara mengurangi hambatan-

hambatan yang dapat dihindari dan meminimalisir yang dapat dihindari,

supaya dengan berkurangnya waktu yang hilang akibat hambatan maka

waktu kerja efektif dapt ditingkatkan dan target produksi perhari bisa dicapai

atau melebihi target produksi.

B. Saran

1. Sebaiknya dilakukan pengecekan rangkaian unit crusher plant sebelum crusher

plant dioperasikan untuk menghindari kerusakan alat pada saat operasi berjalan.

2. Pada waktu istrahat para pekerja harus masuk dan istrahat kerja pada tepat waktu.

3. Alat unit crushing plant perawatanya harus ditingkatkan lagi.

41
Daftar Pustaka

Afrinal., dan Gusman, M., 2016, Analisis Regresi Multivariat Parameter Hambatan
Produktivitas Crushing Plant Dalam Upaya Peningkatan Target Produksi,
Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Negeri Padang, Jurnal Bina
Tambang, Vol. 3, No. 4 ISSN:2302-3333
Dores., Solihin., dan Widayati, S., 2018, Evaluasi Kinerja Crushing Plant Untuk
Mencapai Target Produksi Andesit, Prosiding Teknik Pertambangan
Universitas Islam Bandung, Vol. 4, No. 2
Fauzie, A. A., Komar, S., dan Mukiat., 2009, Upaya Peningkatan Target Produksi
Batu Kapur, Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Wijaya.
Hidayatullah, M. S., Syahrudin., dan Herlambang, Y., 2012, Kajian Teknis Alat
Peremuk Untuk Mencapai Target Produksi Batu Granit, Fakultas Teknik
Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Tanjungpura Pontianak.
Husna, B. I., Syahrudin., Herlambang, Y., 2012, Analisis Teknis Produktivitas
Crushing Plant Shan Bao Batuan Granodiorit Untuk Mencapai Target
Produksi, Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas
Tanjungpura Pontianak.
Pirantawan, A., 2014, Kajian Alat Peremuk Batuan (Stone Crusher), Fakultas Teknik,
Universitas Palangka Raya.
Putri, F. E., dan Abdullah, R., 2015, Kajian Teknis Produktivitas Dan Efisiensi Kerja
Belt Conveyor Dalam Pengiriman Limestone Dan Silicastone Ke Storage
Indarung, Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Negeri Padang, Jurnal
Bina Tambang, Vol. 3, No.3 ISSN: 2302-333
Rinaldi,R.V., Pulungan, L., dan Solihin., 2018, Evaluasi Kinerja Unit Alat Crusher
Plant Batugamping, Prodi Teknik Pertambangan, Universitas Islam Bandung,
Vol. 4, No. 2
Siahaan, S. T. E., Nurhakim., Mustapa, A., dan Prakoso, Y., 2015, Evaluasi
Produktivitas Belt Conveyor Dalam Peningkatan Target Produksi
Pengapalan Batubara, Program Studi Teknik Pertambangan, Universitas
Lambung Mangkurat, Jurnal GEOSAPTA Vol. 1, No. 1
Sujiman., dan Yakin, A., 2018, Kajian Tentang Produksi Crusher Pada Unit
Pengolahan, Jurnal Geologi Pertambangan Vol. 1, No. 23

42
30

Syam, M.A., Zaenal., dan Pulungan, L., 2015, Kajian Kerja Alat Crushing Plant
Untuk Memenuhi Target Produksi Batubara, Prosiding Teknik Pertambangan,
Universitas Islam Bandung ISSN: 2460-6499
Titisari, A. D., dan Hendrawan, A., 2017, Genesa Batugamping Merah Di Daerah
Suing Dan Sekitarnya, Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada
Yulia, F. E., Kopa, R., dan Anaperta, Y. M., 2018, Evaluasi Kinerja Crushing Plant
Dan Belt Conveyor Dalam Pengolahan Dan Pengiriman Limestone Ke
Storage Indarung, Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Negeri Padang.

Anda mungkin juga menyukai