Anda di halaman 1dari 19

Pendahuluan

Sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua bagian yakni common law dan civil law, sistem
hukum di Malaysia dan di Indonesia adalah berbeda. Hal ini karena Malaysia menggunakan sistem
hukum anglo saxon (common law) dan Indonesia menggunakan sistem hukum eropa kontinental
(civil law). Perbedaan sistem hukum ini berbeda atas faktor sejarah yaitu penguasaan atau
penjajahan dari 2 kekuasaan besar barat. Malaysia dijajah oleh Inggris dan Indonesia dijajah oleh
Belanda. Kedua negara ini mempunyai sistem hukum yang tersendiri dan kini sistem dan produk
hukum yang dihasilkan masing-masing negara berasal dari hasil negara yang menjajahnya. Negara
Indonesia membawa Hukum yang berasal dari Belanda, hal ini terjadi karena pada zaman
penjajahan, Belanda selama kurang lebih tiga ratus tahun menjajah Indonesia. Dari pengaruh
Belanda, Indonesia membagi antara Hukum Publik dan Hukum Privat akan tetapi masih dalam satu
atap peradilan. Dengan perbedaan tersebut maka timbul suatu metode perbandingan hukum.
Metode perbandingan hukum memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah untuk menemukan
jawaban yang tepat atas permasalahan konkrit saat terdapat perbedaan sistem hukum di berbagai
belahan dunia yang sebenarnya memiliki tujuan hakiki yaitu demi ketertiban dan kedamaian
bermasyarakat di dalam suatu negara.
Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan
berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial
tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Maka diharapkan disaat melihat negara yang
berdasarkan hukum perbedaan sistem tidaklah menjadi masalah jika dapat memberikan kebahagian
bagi masyarakatnya. Sebagian besar sistem hukum di Indonesia dipengaruhi hukum modern yang
dibawa oleh bangsa Belanda. Dengan sifat kekeluargaan serta kecenderungan mengutamakan
bentuk daripada isi, maka sistem hukum di Indonesia kurang memperhatikan kandungan moral dan
kemanusiaan yang berada di dalam sistem hukumnya. Dengan adanya perbandingan sistem hukum
antara Malaysia dan Indonesia diharapkan dapat memberikan sumbangsih perbaikan ataupun
penyempurnaan sistem hukum yang saat ini menjadi tolak ukur ketertiban negara Indonesia.
Melalui tulisan ini kami membahas mengenai perbedaan hukum rumah sakit di Malaysia
dan Indonesia dengan mengambil sub bahasan mengenai:
1. Perizinan rumah sakit, Prasyarat bangunan rumah sakit, Jenis dan klasifikasi rumah sakit,
2. Kewajiban rumah sakit terhadap pasien, Hak atas pasien pelayanan rumah sakit, dan Informed
consent,
3. Tanggung gugat direktur dan pidana bagi rumah sakit.

1. Perizinan Rumah Sakit, Prasyarat Bangunan, dan Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit

1.1 Perizinan Rumah Sakit


Di Indonesia dengan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional secara menyeluruh sejak 1
Januari 2014 yang kemudian bertransformasi menjadi Kartu Indonesia Sehat, tuntutan penyediaan
pelayanan kesehatan nasional secara universal dan berkualitas di tingkat rujukan menjadi semakin
tinggi. Saat ini penyelenggara pelayanan kesehatan rujukan dituntut memberikan pelayanan yang
semakin berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur sesuai dengan harapan dan kebutuhan
masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan upaya penataan administrasi penyelenggaraan pelayanan
publik di rumah sakit yang lebih baik, efektif dan efisien oleh para penyelenggara kebijakan
pelayanan rumah sakit. Dalam rangka menjamin kelancaran pelaksanaan pelayanan kesehatan dan
perlindungan hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit, maka setiap rumah sakit baik milik
pemerintah maupun swasta wajib memiliki izin mendirikan dan izin operasional.
Pengaturan pemberian izin mendirikan dan izin operasional rumah sakit merupakan upaya
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
rujukan bagi masyarakat. Penetapan kelas rumah sakit merupakan salah satu bagian dari klasifikasi
dan penilaian dalam proses ijin mendirikan dan operasional rumah sakit yang telah diamanatkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah
Sakit) dan diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340 tahun
2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit (Permenkes 340/2010) dan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
(Permenkes 56/2014).
Selain ditetapkannya Permenkes 56/2014, pemberian izin operasional dan izin mendirikan
rumah sakit saat ini juga mengalami perubahan sebagai dampak diterbitkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Berdasarkan
hal tersebut, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan berkepentingan terus menerus berupaya
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, melalui penyusunan petunjuk teknis pemberian izin
mendirikan, izin operasional dan penetapan/peningkatan kelas rumah sakit yang telah disesuaikan
dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang ada.
Melalui Petunjuk Teknis Izin Mendirikan, Izin Operasional dan Peningkatan Kelas Rumah
Sakit (Juknis Izin RS), Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
mendelegasikan kewenangan penerbitan Izin Mendirikan dan Izin Operasional:
1. Menteri mendegasikan kewenangan penerbitan izin mendirikan dan izin operasional Rumah
Sakit kelas A dan Rumah Sakit Penanaman Modal Asing (RS-PMA) yang menjadi kewenangan
Pemerintah kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal setelah mendapat
rekomendasi Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Kesehatan yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pembinaan perumahsakitan.
2. Pemerintah Daerah Provinsi mendelegasikan kewenangan penerbitan izin mendirikan dan izin
operasional Rumah Sakit kelas B yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi
kepada Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Kesehatan yang berada di wilayah
Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapat rekomendasi dari kesehatan pada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mendelegasikan penerbitan izin mendirikan dan izin
operasional Rumah Sakit kelas C dan D yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota kepada Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Kesehatan pintu
yang berada di wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi
dari kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Izin Mendirikan Rumah Sakit


Izin mendirikan diberikan untuk mendirikan bangunan baru atau mengubah fungsi
bangunan lama untuk difungsikan sebagai rumah sakit. Pengajuan izin mendirikan paling sedikit 12
(dua belas) bulan sebelum pembangunan rumah sakit, dengan persyaratan; Pemilik atau pengelola
yang akan mendirikan rumah sakit (yang telah memiliki badan hukum rumah sakit) harus
mengajukan permohonan izin mendirikan kepada institusi yang berwenang sebelum dilakukan
pendirian bangunan sesuai dengan klasifikasi rumah sakit dengan melampirkan dokumen
administrasi, yaitu:
1) Surat rekomendasi dari tim ahli bangunan pada Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu
bidang kesehatan atau Dinas Pekerjaan Umum setempat;
2) Surat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan data rasio
kebutuhan jumlah 1 tempat tidur Rumah Sakit per 1000 penduduk dengan batas toleransi
kelebihan 10% dari kebutuhan tempat tidur di Provinsi/Kabupaten/Kota (yang dinyatakan masih
terdapat kekurangan tempat tidur);
3) Fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan, kecuali instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
4) Studi kelayakan (feasibility study) rumah sakit;
5) Master plan;
6) Detail Engineering Design (DED);
7) Dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
8) Fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah atas nama badan hukum pemilik rumah sakit;
9) Izin Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonantie/HO);
10) Surat Izin Tempat Usaha (SITU);
11) Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
12) Untuk RS PMA harus melampirkan izin prinsip PMA.

Keterangan Persyaratan Izin Mendirikan:


1) Studi kelayakan merupakan gambaran kegiatan perencanaan rumah sakit secara fisik dan non
fisik yang terdiri atas:
a) Kajian kebutuhan pelayanan rumah sakit;
b) Kajian kebutuhan lahan, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, dan peralatan
sesuai kriteria klasifikasi Rumah Sakit yang akan didirikan;
c) Kajian kemampuan pendanaan/pembiayaan.
2) Master plan memuat strategi pengembangan aset untuk sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun ke depan dalam pemberian pelayanan kesehatan secara optimal yang meliputi
identifikasi proyek perencanaan, demografis, tren masa depan, fasilitas yang ada, modal dan
pembiayaan;
3) Detail Engineering Design (DED) merupakan gambar perencanaan lengkap rumah sakit yang
akan dibangun yang meliputi gambar arsitektur, persyaratan teknis yang ditetapkan oleh
Menteri;
4) Dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e terdiri atas Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), upaya pemantauan lingkungan
(UPL), atau Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) berdasarkan klasifikasi rumah sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5) Izin Undang-Undang Gangguan (hinder ordonantie/HO) dan/atau surat izin tempat usaha
(SITU), dan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g,
huruf h, dan huruf i diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Prosedur izin mendirikan


1) Pemilik/Pimpinan rumah sakit mengajukan surat permohonan izin mendirikan ditujukan kepada
penerbit izin (Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu bidang kesehatan) dengan
melampirkan persyaratan administrasi;
2) Surat permohonan tembusannya disampaikan kepada:
a) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan
b) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat
c) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
3) Berkas surat permohonan yang telah diterima dilakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen
oleh Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu bidang kesehatan;
4) Penerbit izin harus menerbitkan bukti penerimaan berkas permohonan yang telah lengkap atau
memberikan informasi apabila berkas permohonan belum lengkap kepada pemilik atau
pengelola yang mengajukan permohonan izin mendirikan dalam jangka waktu paling lama 6
(enam) hari kerja sejak berkas permohonan diterima. Dokumen yang belum langkap agar
segera dilengkapi oleh rumah sakit selama waktu 6 (enam) hari;
5) Penerbit izin (Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu bidang kesehatan) memberikan data
dukung kelengkapan berkas permohonan izin mendirikan kepada Direktur Jenderal di
lingkungan Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan
perumahsakitan atau pejabat yang berwenang di Bidang Kesehatan pada Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota;
6) Untuk RS kelas A dan PMA, Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Kesehatan yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan perumahsakitan mendelegasikan
wewenang pembentukan Tim Visitasi pemberian izin mendirikan kepada Direktur di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di Bidang Pembinaan
Perumahsakitan;
7) Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di
Bidang Pembinaan Perumahsakitan mendelegasikan wewenang pembentukan Tim Visitasi
pemberian izin mendirikan kepada Direktur di lingkungan Kementerian Kesehatan yang tugas
dan tanggung jawabnya di Bidang Pembinaan Perumahsakitan;
8) Berdasarkan data dukung kelengkapan berkas permohonan, Direktur di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di Bidang Pembinaan
Perumahsakitan atau pejabat yang berwenang di Bidang Kesehatan pada Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan; Telaah dokumen, Kajian audit, analisa studi kelayakan
bangunan dan dokumen lainnya, Berkoordinasi dengan tim ahli bangunan pada badan/dinas
terkait, Membentuk Tim Visitasi izin mendirikan rumah sakit (kelas A/RS PMA, kelas B, kelas
C, dan kelas D);
9) Berdasarkan penunjukan Tim Visitasi, bertugas: Untuk audit masterplan dan penilaian
kelayakan pembangunan rumah sakit dan sesuai jadwal yang ditentukan Tim Visitasi akan
melaksanakan kunjungan ke rumah sakit untuk melakukan penilaian dokumen dan peninjauan
lapangan;
10) Tim Visitasi harus menyampaikan laporan hasil visitasi kepada Direktur di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di Bidang Pembinaan
Perumahsakitan atau pejabat yang berwenang di bidang kesehatan di tingkat provinsi atau
kabupaten/kota dan umpan balik (feed back) kepada Pemohon yang ditandatangani oleh
Direktur di lingkungan Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pembinaan perumahsakitan atau pejabat yang berwenang di Bidang Kesehatan di tingkat
Provinsi atau Kabupaten/Kota kepada pemohon;
11) Berdasarkan laporan hasil visitasi oleh Tim Visitasi, Direktur di lingkungan Kementerian
Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perumahsakitan menyampaikan
laporan kelayakan pembangunan rumah sakit kepada Direktur Jenderal di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perumahsakitan;
12) Berdasar laporan kelayakan pembangunan, Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian
Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di Bidang Perumahsakitan atau pejabat yang
berwenang di Bidang Kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
menyampaikan surat rekomendasi penerbitan/penolakan izin kepada penerbit izin paling lama
7 (tujuh) hari kerja;
13) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak rekomendasi teknis diterima, penerbit izin
(Badan/Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu bidang kesehatan) harus mengeluarkan surat
penerbitan/penolakan izin sesuai rekomendasi teknis.

Izin Mendirikan RS PMA


Untuk memperoleh izin mendirikan, rumah sakit PMA harus memenuhi persyaratan yang
meliputi:
1) Izin Rumah Sakit PMA/PMDN diberikan oleh Menteri;
2) Harus berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT);
3) Mengadakan kerjasama dengan badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang
perumahsakitan;
4) Izin hanya untuk menyelenggarakan pelayanan rumah sakit;
5) Pelayanan yang diberikan adalah pelayanan spesialistik dan/atau subspesialistik;
6) Lokasi di seluruh Ibu kota Provinsi di Indonesia Timur kecuali Makasar dan Manado;
7) Besaran modal asing maksimal 49%;
8) Rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing (BKPM)/Badan Koordinasi
Penanaman Modal Daerah (BKPMD);
9) Surat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat;
10) Rumah Sakit PMA wajib mengikuti program-program Pemerintah sesuai kebijakan
Kementerian Kesehatan
Izin Operasional dan Peningkatan Kelas
Izin operasional merupakan izin yang diberikan kepada pengelola rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan termasuk penetapan/peningkatan kelas. Pengajuan atau
permohonan perpanjangan izin operasional paling sedikit 7 (tujuh) bulan sebelum izin operasional
habis. Untuk permohonan izin operasional yang baru pertama kali, pemohon harus segera
mengajukan permohonan izin operasional setelah bangunan selesai didirikan dengan persyaratan
telah tersedia minimal 70% dari seluruh pelayanan yang ada sesuai dengan klasifikasi rumah sakit.

Persyaratan
Untuk memperoleh izin operasional, pengelola mengajukan permohonan secara tertulis
kepada pejabat penerbit izin sesuai dengan klasifikasi rumah sakit dengan melampirkan dokumen
administrasi:
1) Izin mendirikan rumah sakit, bagi permohonan Izin operasional untuk pertama kali;
2) Profil rumah sakit, meliputi visi dan misi, lingkup kegiatan, rencana strategi, dan struktur
organisasi;
3) Isian instrumen self-assessment sesuai klasifikasi rumah sakit yang meliputi pelayanan,
sumber daya manusia, bangunan dan prasarana serta peralatan kesehatan;
4) Gambar desain (blue print) dan foto bangunan serta sarana dan prasarana pendukung;
5) Izin penggunaan bangunan (IPB) dan sertifikat laik fungsi;
6) Dokumen pengelolaan lingkungan berkelanjutan;
7) Daftar sumber daya manusia;
8) Daftar peralatan medis dan nonmedis;
9) Daftar sediaan farmasi dan alat kesehatan;
10) Berita acara hasil uji fungsi peralatan kesehatan disertai kelengkapan berkas izin pemanfaatan
dari instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
peralatan tertentu; dan
11) Dokumen administrasi dan manajemen, meliputi: Kepemilikan dan badan hukum, Hospital by
laws, Komite Medik, Komite Keperawatan, Satuan Pemeriksaan Internal, SIP atau surat izin
kerja tenaga kesehatan, SPO kredensial staf medis, SPK – RKK, dan SK hasil kalibrasi alat
kesehatan.
12) Surat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;
13) Surat tanda telah terakreditasi;
14) Untuk pengajuan Izin Peningkatan Kelas harus melampirkan surat tanda akreditasi paripurna
pada klasifikasi rumah sakit sebelumnya.

Di Malaysia, rumah sakit pemerintah dibangun dan dimiliki oleh Kerajaan Malaysia. Rumah
sakit pemerintah bertanggung jawab kepada Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM). Untuk rumah
sakit swasta, Laws of Malaysia Act 586 - Private Healthcare Facilities And Services Act 1998 dalam
Part II - Kontrol Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Swasta subbagian Persetujuan dan Lisensi,
section 3 menyebutkan: Tidak ada seorangpun yang boleh membangun atau memelihara salah satu
dari fasilitas atau layanan kesehatan swasta berikut tanpa persetujuan diberikan berdasarkan section
12 (a) atau mengoperasikan atau menyediakan fasilitas atau layanan tersebut tanpa lisensi yang
diberikan berdasarkan section 19 (a):
(a) rumah sakit swasta
(b) rumah sakit jiwa swasta
(c) klinik rawat jalan swasta
(d) panti jompo
(e) panti psikogeriatri swasta
(f) klinik bersalin swasta
(g) bank darah
(h) pusat cuci darah
(i) panti asuhan swasta
(j) komunitas kesehatan jiwa
(k) fasilitas atau layanan kesehatan swasta atau layanan terkait kesehatan lainnya
(l) tempat perawatan kesehatan swasta yang menggabungkan dua atau lebih fasilitas atau
layanan dalam paragraf (a) hingga (k)

Section 12 (a) dan 19 (a) diatas menjelaskan mengenai:


 Section 12 (a) Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan tersebut dengan atau tanpa
syarat atau ketentuan apa pun, setelah menerima dan telah mempertimbangkan permohonan
persetujuan untuk mendirikan atau memelihara fasilitas atau layanan kesehatan swasta selain
klinik medis swasta atau klinik gigi swasta.
 Section 19 (a) Direktur Jenderal akan memiliki keleluasaan untuk memberikan lisensi untuk
mengoperasikan atau menyediakan fasilitas atau layanan kesehatan swasta selain klinik medis
swasta atau klinik gigi swasta, dengan atau tanpa syarat atau ketentuan, dan setelah
pembayaran biaya yang ditentukan setelah menerima dan mempertimbangkan laporan dalam
section 16, yang berisi mengenai;
(1) Setelah menerima permohonan lisensi untuk mengoperasikan atau menyediakan fasilitas
atau layanan kesehatan swasta selain klinik medis swasta atau klinik gigi swasta, Direktur
Jenderal harus menunjuk secara tertulis dua atau lebih orang, yang salah satunya adalah
praktisi medis terdaftar
(a) untuk memeriksa tempat-tempat fasilitas atau layanan kesehatan swasta untuk
memastikan bahwa itu sesuai dengan rencana tata letak bangunan, desain,
konstruksi dan spesifikasi yang terkait dengan persetujuan untuk membangun atau
memelihara;
(b) untuk memeriksa setiap peralatan, peralatan, instrumen, bahan, barang, sampel
atau bahan atau hal lain yang ditemukan di tempat, atau hal-hal yang terhubung
dengannya; dan
(c) untuk memeriksa tempat dari fasilitas atau layanan kesehatan swasta untuk
memastikan bahwa itu sesuai dengan standar atau persyaratan, termasuk inspeksi
buku, catatan, kebijakan, prosedur operasi standar, pedoman praktik klinis atau
manajemen atau hal-hal yang berhubungan dengannya.
(2) Orang-orang yang ditunjuk berdasarkan ayat (1) harus menyampaikan laporan inspeksi
kepada Direktur Jenderal sesegera mungkin.

Selanjutnya perihal Pendaftaran Rumah Sakit dalam section 4, disebutkan:


(1) Tidak ada orang yang boleh mendirikan, memelihara, mengoperasikan atau menyediakan klinik
medis swasta atau klinik gigi swasta kecuali terdaftar di section 27.
(2) Terlepas dari ayat (1), klinik medis swasta atau klinik gigi swasta yang merupakan bagian dari
bangunan fasilitas kesehatan swasta berlisensi dan yang kliniknya terhubung secara
organisasi, administratif dan fisik tidak wajib didaftarkan secara terpisah tetapi harus mematuhi
standar dan persyaratan yang ditentukan.
Section 27 pada ayat 1 section 4 menjelaskan mengenai pemberian sertifikat pendaftaran
dimana, Direktur Jenderal setelah menerima dan mempertimbangkan aplikasi dapat mendaftarkan
klinik medis swasta atau klinik gigi swasta dengan atau tanpa syarat atau ketentuan yang dianggap
perlu dan mengeluarkan sertifikat pendaftaran setelah pembayaran biaya yang ditentukan.
Subbagian Fasilitas atau Pelayanan Kesehatan Swasta yang Tidak Memiliki Izin dan Tidak
Terdaftar adalah merupakan pelanggaran, section 5 menjelaskan mengenai hukuman atau sanksi
yang akan diterima
(1) Orang yang melanggar terhadap section 3 atau 4 harus bertanggung jawab, dengan hukuman:
(a) bagi orang pribadi:
(i) untuk denda yang tidak melebihi tiga ratus ribu ringgit atau dipenjara dengan jangka
waktu tidak lebih dari enam tahun atau keduanya; dan
(ii)untuk pelanggaran yang berkelanjutan, untuk denda yang tidak melebihi seribu
ringgit untuk setiap hari atau bagian dari hari di mana pelanggaran berlanjut setelah
hukuman; dan
(b) bagi badan hukum, kemitraan atau masyarakat:
(i) untuk denda yang tidak melebihi lima ratus ribu ringgit; dan
(ii) untuk pelanggaran yang berkelanjutan, untuk denda yang tidak melebihi lima ribu
ringgit untuk setiap hari atau bagian dari hari di mana pelanggaran berlanjut setelah
hukuman.
(2) Di mana suatu pelanggaran berdasarkan section 3 atau 4 dilakukan oleh suatu badan hukum,
kemitraan atau masyarakat:
(a) dalam hal badan hukum, orang yang bertanggung jawab atas badan hukum;
(b) dalam hal kemitraan, setiap mitra dalam kemitraan;
(c) dalam kasus masyarakat, pemegang kantornya, juga bersalah atas pelanggaran dan akan
bertanggung jawab, berdasarkan hukuman:
(i) untuk denda yang tidak melebihi tiga ratus ribu ringgit atau penjara selama jangka
waktu tidak lebih dari enam tahun atau keduanya; dan
(ii) untuk pelanggaran yang berkelanjutan, untuk denda yang tidak melebihi seribu
ringgit untuk setiap hari atau bagian dari sehari selama pelanggaran berlanjut
setelah hukuman.

Persetujuan dan perizinan untuk fasilitas pelayanan kesehatan swasta dapat dikeluarkan
untuk kepemilikan tunggal, kemitraan, atau badan hukum perusahaan hal ini diatur dalam section 6
Act 586. Act 586 hakikinya mengatur mengenai persetujuan terhadap lokasi rumah sakit,
membutuhkan waktu kurang lebih 30 hari hingga izin dikeluarkan jika berkas dokumen yang
dibutuhkan sebagai prasyarat terpenuhi, dan kompensasi biaya yang dikeluarkan untuk perizinan
mencapai RM 20.000.
Selanjutnya aturan perizinan mendirikan rumah sakit sampai pada tahapan izin
perencanaan, yang diatur dalam Laws of Malaysia Act 172 – Town and Country Planning Act
1976 yang merupakan undang-undang mengenai perencanaan terhadap kota untuk efisiensi
perkotaan dan mencegah terjadinya urban sprwal yakni proses pengembangan permukiman
perumahan di daerah pinggiran dengan kepadatan penduduk yang rendah dan menyebar serta
bergantung pada kendaraan pribadi. Dalam Act 172 section 5 (1) menjelaskan; setiap otoritas lokal
akan menjadi otoritas perencanaan lokal untuk area otoritas lokalnya. Izin perencanaan rumah sakit
dikeluarkan oleh otoritas lokal dan membutuhkan waktu kurang lebih 30 hari hingga izin dikeluarkan
dengan kompensasi biaya yang dikeluarkan untuk perizinan lebih besar yakni RM 70.000.
Laws of Malaysia Act A1333 – National Land Code (Amendment) Act 2008 adalah
undang-undang selanjutnya yang berkaitan dengan perizinan mendirikan rumah sakit, undang-
undang ini dijelaskan mengenai kode pertanahan nasional negara Malaysia (konversi pertanahan)
untuk menyediakan keseragaman dalam sistem penguasaan dan pengelolaan atas lahan. Perizinan
konversi tanah dikeluarkan oleh otoritas terkait dengan pertimbangan menteri atas persetujuan
Dewan Pertanahan Nasional, membutuhkan waktu kurang lebih 30 hari hingga izin dikeluarkan
dengan kompensasi biaya yang dikeluarkan untuk perizinan yakni RM 20.000.
Selain mengenai kontrol terhadap lokasi sesuai dengan undang-undang diatas, perizinan
mendirikan rumah sakit di Malaysia memiliki perizinan terkait persetujuan rencana bangunan di
dalam Penilaian Rencana Bangunan (Building Plan Assessment) yang diatur dalam Laws of
Malaysia Act 133 - Street, Drainage and Building Act 1974 fungsi dari perizinan ini adalah
melindungi kesehatan masyarakat dan kesejahteraan umum terkait struktur konstruksi dan hunian
pada bangunan.

1.2 Prasyarat Bangunan Rumah Sakit


Prasyarat teknis bangunan rumah sakit di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2016 Tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan
Prasarana Rumah Sakit (Permenkes 24/2016) dengan tetap mengacu pada UU Rumah Sakit.
Sedangkan di Malaysia diatur pada Act A1333 dan Act 133 dengan mengacu pada Act 586, Laws
of Malaysia Act 43 - Private Hospital Act 1971, dan Laws of Malaysia Act 50 - Medical Act 1971.
Pembangunan rumah sakit baik di Indonesia ataupun Malaysia tetap mengacu pada aturan
teknis yang berkaitan dengan standar bangunan rumah sakit. Standar yang diberlakukan bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan di rumah sakit dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit,

1.3 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit


Menurut jenis dan klasifikasinya rumah sakit di Indonesia dibagi menjadi:
1. Berdasarkan jenisnya:
a. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan dikategorikan menjadi rumah sakit umum
dan rumah sakit khusus.
b. Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik (rumah
sakit pemerintah) dan rumah sakit privat (rumah sakit swasta).
Rumah sakit juga dapat ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan setelah memenuhi
persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan, ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan Menteri yang membidangi urusan pendidikan. Rumah sakit pendidikan adalah rumah
sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang
pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga
kesehatan lainnya.
2. Berdasarkan klasifikasinya:
a. Rumah sakit umum diklasifikasikan dalam:
i. Rumah sakit umum kelas A;
ii. Rumah sakit umum kelas B;
iii. Rumah sakit umum kelas C;
iv. Rumah sakit umum kelas D.
b. Rumah sakit khusus diklasifikasikan dalam:
i. Rumah sakit khusus kelas A;
ii. Rumah sakit khusus kelas B;
iii. Rumah sakit khusus kelas C.

Di negara Malaysia, rumah sakit menurut jenis dan klasifikasinya dibagi menjadi:
1. Berdasarkan jenisnya:
a. General hospital
b. District hospital
c. Specialized hospital
d. Teaching hospital
e. Clinics
2. Berdasarkan klasifikasinya:
a. Rumah sakit militer
b. Rumah sakit pemerintah
c. Rumah sakit swasta
d. Rumah sakit pendidikan
2. Kewajiban Rumah Sakit terhadap Pasien, Hak Pasien atas Pelayanan Rumah Sakit, dan
Informed Consent

2.1 Kewajiban Rumah Sakit terhadap Pasien


Di Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4
tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien (Permenkes 4/2018), rumah sakit
mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat;
b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya;
d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak
mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban
bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit
sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang
tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. melaksanakan sistem rujukan;
k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan
perundang-undangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
n. melaksanakan etika rumah sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun
nasional;
q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan
tenaga kesehatan lainnya;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam
melaksanakan tugas; dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
Di Malaysia sesuai dengan Malaysian Medical Council (MMC), rumah sakit mempunyai
kewajiban sebagai berikut:
1. Memberikan informasi tentang sifat dari kondisi medisnya dan setiap perawatan yang
diusulkan, investigasi, atau kemungkinan biaya perawatan, investigasi atau prosedur;
2. Memperlakukan pasien dengan hormat terhadap kesusilaan; dan
3. memberikan laporan medis atas permintaan pasien dan pembayaran dengan biaya yang
masuk akal.
4. Pemberian perawatan medis oleh dokter terdaftar di rumah sakit
5. Memperoleh persetujuan yang sah untuk operasi atau prosedur bedah
6. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar dan persyaratan minimum untuk semua
fasilitas kesehatan.

2.2 Hak Pasien atas Pelayanan Rumah Sakit


Berikut adalah hak-hak pasien atas pelayanan kesehatan di rumah sakit di Indonesia dari
beberapa undang-undang yang terkait:
1. Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut pasal 4 hak-
hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
2. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga merupakan undang-
undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur
dalam pasal 52, adalah:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis;
e. mendapatkan isi rekam medis.
3. Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit, yaitu:
a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit;
b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi;
f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di rumah sakit;
h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar rumah sakit;
i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya;
j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga
kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak
mengganggu pasien lainnya;
n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit;
o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya;
p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang dianutnya;
q. menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui
media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia bagi pasien
adalah:
1. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan umum maupun
kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen
dan pelaku usaha (Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen)
2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap undang-undang yang
disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran hak-hak pasien.

Sedangkan hak-hak pasien atas pelayanan kesehatan di rumah sakit di Malaysia menurut
MMC dan Kementerian Kesihatan Malaysia (MKK), adalah:
a. akses ke pelayanan yang disediakan oleh fasilitas;
b. akses ke perawatan yang aman dan sesuai secara medis tanpa memandang ras, budaya, jenis
kelamin, kebangsaan, atau sumber pembayaran;
c. akses ke penerjemah bahasa jika ada hambatan bahasa;
d. perhatian, rasa hormat, privasi dan rahasia dalam perawatan medis;
e. informasi dari identitas praktisi medis dan pemberi perawatan lainnya;
f. informasi yang masuk akal kepada pasien dan selanjutnya tentang investigasi, diagnosis,
perawatan dan prognosis, termasuk setelah perawatan dan hak untuk second opinion;
g. partisipasi dalam membuat keputusan berdasarkan informasi mengenai hak untuk menolak
perawatan yang diusulkan, perawatan eksperimental, partisipasi dalam penelitian dan hak
untuk meninggalkan fasilitas terhadap saran medis;
h. konseling rumah sakit untuk saran medis;
i. aturan dan kebijakan informasi yang berlaku dan relevan;
j. administrasi manajemen nyeri jika perlu;
k. perkiraan tentang biaya perawatan sebelum pemberian saran perawatan;
l. informasi mengenai bantuan keuangan dan lainnya yang mungkin tersedia;
m. penerimaan dan pemeriksaan pernyataan terperinci dari semua biaya;
n. informasi tentang tanggung jawab pasien dan keluarga;
o. akses ke informasi promosi kesehatan untuk memfasilitasi perawatan mereka di fasilitas;
p. akses ke informasi tentang peningkatan kualitas dan kinerja di fasilitas;
q. penyediaan informasi yang relevan tentang pengadaan, proses donasi, dan proses
transplantasi bila diperlukan.

2.3 Informed Consent


Informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran di Indonesia diatur di dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/lII/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam
hukum kedokteran, keduanya membentuk baik hubungan medis maupun hubungan hukum.
Hubungan medis dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya
adalah pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya.
Dalam melaksanakan hubungan antara dokter dan pasien, pelaksanaan antara keduanya
selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar tejadi keharmonisan dalam pelaksanaannya.
Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan menyebabkan ketidak-harmonisan dan
kesimpangsiuran. Pasien sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan kesehatan menyerahkan
sepenuhnya peliharaan dan perawatan kesehatannya kepada seorang dokter di pihak lain. Pada
saat seorang pasien datang kepada dokter dan menyatakan keluhannya, dan dokter bersedia
mendengarkan keluhan pasien, maka di situ sudah terjadi hubungan perikatan antara kedua belah
pihak. Kedatangan pasien ke tempat praktek dokter, rumah sakit, atau sarana kesehatan lainnya
dapat diartikan sebagai usaha untuk mengajukan penawaran kepada dokter untuk dimintai
pertolongan dalam mengatasi keluhan yang dideritanya. Begitu pula sebaliknya, dokter juga akan
melakukan pelayanan medis berupa rangkaian tindakan yang meliputi diagnosa dan tindakan medis.
Hubungan hukum ini selanjutnya disebut transaksi, yang dalam hukum perdata disebut
perjanjian, dan dalam pelayanan kesehatan disebut “perjanjian terapeutik”. Dalam hukum perikatan
dikenal adanya 2 macam perjanjian, yaitu:
a. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji atau sepakat
untuk berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.
b. Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan resultaat atau hasil yang
nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik termasuk dalam inspanningverbintenis atau
perjanjian upaya, karena dokter tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang
dilakukan dokter adalah melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan
pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan penuh kesungguhan dengan
mengerahkan seluruh kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada
standar profesi. Dalam perjanjian terapeutik, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal
khusus. Disini pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan pertolongan sehingga relative
lemah kedudukannya dibandingkan dokter untuk mengurangi kelemahan tersebut telah bertambah
prinsip yang dikenal dengan informed consent, yaitu suatu hak pasien untuk mengizikan
dilakukannya suatu tindakan medis.
Keberadaan informed consent dalam medis semakin merupakan suatu kelengkapan,
keharusan yang dibuat oleh dokter sebelum melaksanakan tindakan medis yang direncaanakan
meskipun ada pengecualian membuat informed consent sebelum tindakan medis pada keadaan-
keadaan tertentu. Setiap pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai hak utama untuk
menentukan apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya. Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), menyatakan bahwa: setiap orang berhak
menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
Pada pasal 16 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/lII/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dijelaskan bahwa:
a. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya
setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
b. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara
tertulis.
Sedangkan informed consent di Malaysia merujuk pada aturan World Health Organization
(WHO), dimana:
1. Pasien dan keluarga diinformasikan mengenai tes, prosedur dan perawatan apa yang
memerlukan persetujuan dan bagaimana mereka dapat memberikan persetujuan dan siapa
selain pasien yang dapat memberikan persetujuan.
2. Ada kebijakan dan prosedur terdokumentasi dengan jelas di rumah sakit:
a. disetujui menyetujui berdasarkan informasi;
b. garis besar prosedur disetujui oleh:
i. pasien;
ii. pasangan, orang tua atau saudara terdekat di mana pasien cacat mental;
iii. orang tua atau wali di mana pasien belum menikah dan berumur di bawah 18 tahun.
3. Persetujuan dapat ditiadakan sesuai dengan hukum yang relevan di mana keterlambatan yang
disebabkan dalam memperoleh persetujuan akan membahayakan nyawa seorang pasien,
asalkan ada konsensus dari dua praktisi medis yang diperoleh dan mereka bersama-sama
menandatangani pernyataan yang menyatakan bahwa penundaan itu akan membahayakan
nyawa pasien.
4. Informed consent diperoleh sebelum operasi, anestesi, penggunaan darah dan produk darah,
dan perawatan dan prosedur berisiko tinggi lainnya, dan informasi yang diberikan harus
didokumentasikan dalam rekam medis.
5. Informed consent diperoleh dari pasien atau anggota keluarga di mana berlaku oleh praktisi
medis yang bertanggung jawab atas prosedur / perawatan dan risiko dan komplikasi telah
dijelaskan kepada pasien atau anggota keluarga.

3. Tanggung Guigat Direktur Rumah Sakit dan Pidana bagi Rumah Sakit

Di Indonesia, tidak selamanya layanan medis yang diberikan oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit, dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan semua pihak. Ada kalanya
layanan tersebut terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan malapetaka; seperti
misalnya cacat, lumpuh atau bahkan meninggal dunia. Kalau hal itu terjadi, maka pasien atau pihak
keluarganya sering menuntut ganti rugi. Permintaan ganti rugi ini karena adanya akibat yang timbul,
baik fisik maupun nonfisik. Kerugian fisik (materiel) misalnya dengan hilangnya atau tidak
berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh. Kerugian non fisik (immateriel) adalah kerugian
yang berkaitan dengan martabat seseorang.
Peluang untuk menuntut ganti rugi sekarang ini telah ada dasar ketentuannya. Berdasarkan
Pasal 46 UU Rumah Sakit, menentukan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit.
Ketentuan pasal ini menjadi dasar yuridis bagi seseorang untuk meminta tanggung jawab pihak
rumah sakit jika terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan kerugian. Ketentuan pasal ini
akan dapat menggembirakan bagi siapa saja ataupun khususnya pasien, sebab jika
seseorang/pasien menderita kerugian akibat tindakan kelalaian tenaga kesehatan akan mendapat
ganti rugi. Pengalaman praktik ternyata tidak mudah menggugat kepada rumah sakit. Namun
demikian, ketentuan tentang tanggung jawab rumah sakit ini, sebagai awal titik terang dasar legalitas
bagi masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang diakibatkan atas tindakan kelalaian tenaga
kesehatan di rumah sakit. Undang-undang rumah sakit dibuat dengan tujuan untuk mempermudah
akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dapat memberikan perlindungan
terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, dan sumber daya di rumah sakit,
dan dapat meningkatkan mutu, mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, serta memberikan
kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan pihak rumah
sakit.
UU Kesehatan, mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah kelalaian tenaga
kesehatan pada Pasal 29 dan Pasal 58. Pasal 29 menentukan bahwa dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi. Pasal 58 mengatur, mengenai hak setiap orang untuk menuntut
ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat bahwa penuntutan ganti kerugian ini, baik sebagai
diakibatkan karena kesalahan (kesengajaan) ataupun karena kelalaian dalam pelayanan kesehatan,
dan penuntutan ditujukan kepada seseorang, tenaga kesehatan maupun kepada pihak
penyelenggara kesehatan (rumah sakit). Sementera itu berdasarkan UU Rumah Sakit, penuntutan
kerugian hanya ditujukan kepada pihak rumah sakit, yang diakibatkan secara khusus karena
kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit. Dengan demikian dapat ditafsirkan, bahwa kerugian yang
diakibatkan oleh kesengajaan tenaga kesehatan di rumah sakit, maka tidak dapat dilakukan
penuntutan yang ditujukan kepada rumah sakit. Pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab
jika kerugian tersebut karena kesalahan dalam arti kesengajaan tenaga kesehatan di rumah sakit.
Tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dapat disebut dengan melakukan malpraktik.
Malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dapat berupa malpraktik dibidang medik dan
malpraktik medik. Dikatakan melakukan Malpraktik di bidang medik, yaitu perbuatan malpraktik
berupa perbuatan tidak senonoh (misconduct) yang dilakukan tenaga kesehatan ketika ia
menjalankan profesinya di bidang medik, sedang malpraktik medik yaitu malpraktik yang berupa
adanya kegagalan (failure) dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Di lain pihak,
bentuk-bentuk malpraktik tenaga kesehatan terdiri malpraktik kriminal (criminal malpractice),
malpraktik perdata (civil malpractice) dan malpraktik administrasi (administrative malpractice). Dari
berbagai variasi kelalaian tenaga kesehatan ini, perlu dilakukan penelusuran apakah semua jenis
kelalaian tenaga kesehatan akan menjadi tanggung jawab pihak rumah sakit sebagaimana
dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit. Dengan kata lain dapat dipertanyakan,
bagaimana syarat-syarat kelalaian tenaga kesehatan yang menjadi tanggung jawab pihak rumah
sakit sebagaimana dikehendaki UU Rumah Sakit.
Ketentuan tentang rumah sakit bertanggung jawab atas kerugian pasien akibat kelalaian
tenaga kesehatan ini, dapat menimbulkan implikasi lebih lanjut bagi pihak rumah sakit, tenaga
kesehatan maupun bagi pasien (masyarakat). Rumah sakit perlu mengetahui bentuk kelalaian
tenaga kesehatan yang menjadi tanggung jawab rumah sakit dan bentuk kelalain tenaga kesehatan
yang tidak menjadi tanggung jawab rumah sakit. Implikasi bagi tenaga kesehatan, yaitu tenaga
kesehatan tentunya untuk tetap berhati hati dan tidak gegabah walaupun rumah sakit akan
bertanggungj awab atas kelalaiannya. Terdapat kelalaian tenaga kesehatan yang tetap menjadi
tanggung jawab tenaga kesehatan yang bersangkutan. Implikasi bagi pasien (masyarakat), yaitu
pasein harus mengetahui bahwa telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan
kerugian baginya. Jika pasien tidak mengetahui telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang telah
merugikan dirinya, maka ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit tidak dapat direalisasikan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah
mengenai syarat-syarat kelalaian tenaga kesehatan seperti apa yang menjadi tanggung jawab
rumah sakit berdasar Pasal 46 UU Rumah Sakit; dan implikasi adanya ketentuan rumah sakit
bertanggung jawab hukum atas kerugian pada seseorang yang diakibatkan karena kelalaian tenaga
kesehatan berdasar pada UU Rumah Sakit.. Tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian sama
dengan melakukan malpraktik. Malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dapat berupa
malpraktik medik dan malpraktik dibidang medik. Malpraktik di bidang medik, yaitu malpraktik yang
dilakukan tenaga kesehatan ketika ia menjalankan profesinya di bidang medik. Dalam hal ini, dapat
berupa perbuatan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian
(negligence), ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan
(unreasonable lack of skill), yang mengakibatkan luka, atau menderita kerugian pada pihak yang
ditangani.
Makna malpraktik medik, menurut World Medical Association, adalah medical malpraktic
involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s
condition, ar lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of
an injury to the patient. World Medical Association mengingatkan tidak semua kegagalan medik
adalah malpraktik medik. Jika terjadi peristiwa buruk tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable)
pada saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien,
maka hal ini tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik. Letak perbedaan antara malpraktik di
bidang medik dengan malpraktik medik terdapat unsur kejahatan atau perbuatan yang tidak senonoh
(misconduct) pada malpraktik di bidang medik. Dalam malpraktik medik lebih ke arah adanya
kegagalan (failure) dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Dengan demikian
pengertian malpraktik di bidang medik pengertiannya lebih luas daripada malpraktik medik.
Menurut teori atau doktrin, tindakan malpraktik medis (khususnya bagi dokter), terdiri dari
tiga hal. Pertama, Intensional Profesional Misconduct, yaitu dinyatakan bersalah/buruk berpraktik
jika dokter dalam berpraktik melakukan pelanggaran terhadap standar-standard dan dilakukan
dengan sengaja. Dokter berpraktik dengan tidak mengindahkan standar-standar dalam aturan yang
ada dan tidak ada unsure kealpaan/kelalaian. Kedua, Negligence atau tidak sengaja/kelalaian, yaitu
seorang dokter yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya
pasien. Seorang dokter lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan
kedokteran. Kategori malpraktik ini dapat dituntut, atau dapat dihukum, jika terbukti di depan sidang
pengadilan. Ketiga, Lack of Skill, yaitu dokter melakukan tindakan medis tetapi di luar kepentensinya
atau kurang kompetensinya.
Jika ditinjau dari perspektif hukum maka malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan,
dapat merupakan criminal malpractice, civil malpractice, dan administrative malpractice. Suatu
perbuatan dapat dikategorikan criminal malpractice, karena tindakan malpraktik tersebut memenuhi
rumusan delik (tindak pidana). Syarat-syarat criminal malpractice adalah perbuatan tersebut (baik
positive act ataupun negative act) harus merupakan perbuatan tercela (actus reus); dan dilakukan
dengan sikap batin yang salah (mens rea), yaitu berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan
(recklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice medic merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana, sehingga
saat ini tenaga kesehatan yang melakukan Criminal malpractice medic, sama dengan melakukan
tindak pidana. Criminal malpractice medic dilakukan dengan kesengajaan atau yang dilakukan
dengan kealpaan. Criminal Malpractice medic dalam bentuk kesengajaan (intensional), diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dapat berupa tindak pidana penipuan (Pasal 382
KUHP); tindak pidana pembunuhan yang berupa euthanasia (Pasal 344 KUHP); aborsi (Pasal 348;
Pasal 349 KUHP); membuat tidak jelas asal usul anak (Pasal 277 KUHP); membuka rahasia jabatan
(Pasal 322 KUHP); penghinaan dan penistaan (Pasal 310 – 321 KUHP); pemalsuan surat (Pasal
267, 268 KUHP). Criminal malpractice medic dalam bentuk kealpaan, kecerobohan, berupa:
kelalaian yang menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP); kelalaian yang menyebabkan luka berat
(Pasal 360 KUHP); kelalaian waktu menjalankan jabatan (Pasal 361 KUHP).
Disebut civil malpractice medic jika tidak melaksanakan kewajiban (ingkar janji), yaitu tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Ukuran adanya civil malpraktic
(malpraktik perdata), yaitu: adanya kelalaian medik; tindakan medic tanpa persetujuan (perbuatan
melanggar hukum); tindakan tanpa consent; pelanggaran janji (wanprestasi). Tindakan dokter yang
termasuk dikategorikan civil malpractice antara lain: tidak melakukan (negative act) apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan; melakukan (positive act) apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat; melakukan sesuatu yang menurut kesepakatan
wajib dilakukan tetapi tidak sempurna; dan melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnya dilakukan.
Dikatakan terdapat administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaha
negara. Perlu diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan police power (the power of the state to
protect the health, safety, morals and general welfare of its citizen) yang menjadi kewenangannya,
pemerintah berhak mengeluarkan berbagai macam peraturan di bidang kesehatan; seperti misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk menjalankan profesi medik, batas kewenangan
serta kewajibannya. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan
dapat dipersalahkan. Contoh tindakan yang dapat dikategorikan administrative malpractice antara
lain: menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin lisensi atau izin; melakukan tindakan medik yang tidak
sesuai lisensi atau izin yang dimiliki; melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan lisensi
atau izin yang sudah kadaluarsa; dan tidak membuat rekam medik.
Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter
tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi
agar supaya memperoleh kewenangan untuk itu. Perlu dipahami bahwa tiap-tiap jenis lisensi
memerlukan basic science dan mempunyai batas kewenangan sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan
melakukan tindakan medik melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan.
Seperti telah diuraikan di atas, malpraktik yang dilakukan tenaga kesehatan terdiri
malpraktik dalam bidang medis dan malpraktik medis. Pembagian jenis-jenis malprakti yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan ini, akan menentukan siapa yang bertanggung jawab atas
malpraktik tersebut. Letak perbedaan antara malpraktik di bidang medik dengan malpraktik medik
terdapat unsur kejahatan atau perbuatan yang tidak senonoh (misconduct) pada malpraktik di bidang
medik. Dalam malpraktik medik lebih ke arah adanya kegagalan (failure) dalam memberikan
pelayanan medik terhadap pasien. Dengan demikian pengertian malpraktik di bidang medik
pengertiannya lebih luas daripada malpraktik medic.

Tanggung Jawab Rumah Sakit atas Kelalaian Tenaga Kesehatan


Berdasarkan Kamus besar bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah: “Keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan
dan sebagainya)”. Menurut Black’s Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti,
antara lain: an obligation one is bound in law or justice to perform, condition of being responsible for
a possible or actual loss, dan condition which creates a duty to perform an act immediately or in the
future.
Pengertian tanggung jawab mengandung unsur–unsur: kecakapan, beban kewajiban, dan
perbuatan. Seseorang dikatakan cakap hukum jika sudah dewasa dan sehat pikirannya. Bagi badan
hukum dikatakan cakap jika dinyatakan tidak dalam keadaan pailit oleh putusan pengadilan. Unsur
kewajiban mengandung makna sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan. Jadi
sifatnya harus ada atau keharusan. Unsur perbuatan mengandung arti segala sesuatu yang
dilakukan. Dengan demikian tanggung jawab adalah: “Keadaan cakap menurut hukum baik orang
atau badan hukum, serta mampu menanggung kewajiban terhadap segala sesuatu yang dilakukan”.
Penyelenggaraan manajemen kesehatan di rumah sakit, terdapat pengelolaan yang berkaitan
dengan tiga hal yang merupakan tanggung jawab rumah sakit secara umum. Tiga hal tersebut yaitu:
pengelolaan rumah sakit yang berkaitan dengan personalia, pengelolaan rumah sakit yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas, dan pengelolaan yang berkaitan dengan duty of care.
Oleh karena itu, penyelenggaan kegiatan rumah sakit, terdapat kegiatan-kegiatan yang
menimbulkan tanggung jawab pengelolaan atau manajemen rumah sakit dan tanggung jawab para
tenaga profesional kesehatan di rumah sakit, yang terdiri: tanggung jawab pengelola rumah sakit
dan tanggung tenaga kesehatan (dokter, perawat). Penyelenggaraan pengelolaan/manajemen
rumah sakit, harus memperhatikan mutu pelayanan kesehatan dalam deklarasi internasional tentang
human right dan social welfare (Piagam PBB 1945 dan United Declaration Human Right 1948) dan
dikembangkan dalam Declaration of Helsinki 1964, yang kemudian disempurnakan dan diperbaharui
oleh hasil kongres “The 29” of World Medical Assembly, Tokyo 1975” yang dikenal dengan nama
Helsinki Baru 1976. Penyelenggaran kegiatan manajemen rumah sakit, sejak tahun 1976 harus
melaksanakan dasar filosofi hukum dan doktrin pengembangan “Standar profesi dan akreditasi
pelayanan kesehatan”. Berdasarkan kesepakatan PBB, UDHR, Helsinki, WMA, Tokyo 1975,
manajemen rumah sakit harus memiliki lima norma moral yang asasi, yaitu: the right to information,
the right to self determination, the right to health care, the right to protect of privacy, the right to
second opinion.
Kelima norma kesehatan tersebut menjadi tanggung jawab wajib bagi manajemen rumah
sakit dan bersifat hakiki yang menjadi nilai norma pelayanan kesehatan di rumah sakit. Hubungan
rumah sakit dan pasien serta dokter sudah menjadi standar Internasional yang tercakup dalam
“Hospital Patient’s Charter 1979, yang di dalamnya tediri dari tiga norma moral, yaitu: menghormati
pasien, standar profesi, dan fungsi dan tanggung jawab sosial untuk pelayanan kesehatan rumah
sakit. Pengelolaan rumah sakit harus selalu mengedepankan norma-norma tersebut di atas sesuai
dengan standar internasional yang mengacu pada “Hospital Patient’s Charter 1979” yang diperluas
dengan keberlakuan dengan “The Declaration of Lisbon 1981”, yang mengatur berkaitan dengan
berbagai hak dan kewajiban pasien dan dokter atau rumah sakit.
Berdasarkan UU Rumah sakit, rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua kerugian
yang menimpa seseorang sebagai akibat dari kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit,
sebagaimana ditentukan pada Pasal 46 UU Rumah Sakit. Ketentuan Pasal 46 ini menjadi dasar
yuridis bagi seseorang untuk meminta tanggung jawab pihak rumah sakit jika terjadi kelalaian tenaga
kesehatan yang menimbulkan kerugian. Dan dapat ditafsirkan beberapa hal:
1. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap kerugian, sebatas akibat dari kelalaian tenaga
kesehatan di rumah sakit.
2. Rumah sakit tidak bertanggung jawab semua kerugian seseorang, jika ternyata terbukti tidak
ada tindakan kelalaian dari tenaga kesehatan di rumah sakit.
3. Rumah sakit tidak bertanggung jawab terhadap tindakan kesengajaan tenaga kesehatan yang
menimbulkan kerugian seseorang bukan menjadi tanggung jawab rumah sakit.
4. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap tindakan kelalain tenaga kesehatan, jika kelalaian
tersebut dilakukan dan terjadi di rumah sakit.
Lebih lanjut untuk menentukan sejauh mana tanggung jawab rumah sakit terhadap tindakan
kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit, secara teoritik dilihat dari pelbagai aspek, seperti: Pola
hubungan terapeutik, Pola hubungan kerja tenaga kesehatan di rumah sakit, Rumah sakit sebagai
korporasi, dan Jenis malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Satu persatu akan diuraian
tentang aspek-aspek yang menjadi dasar pemikiran rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian
tenaga kesehatan di rumah sakit.
Dasar pembenaran/relevansi rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian tenaga
kesehatan (khususnya dokter), dapat pula dilihat dari aspek kondisi hubungan terapeutik (hubungan
kepentingan medis) antara pasien dengan rumah sakit. Pola hubungan terapetik di rumah sakit dapat
dalam bentuk hubungan pasien dan rumah sakit dan pola hubungan pasien dan dokter. Jika pola
hubungan terapetik antara pasien dan rumah sakit, maka kedudukan rumah sakit sebagai pihak yang
memberikan prestasi, sementara dokter hanya berfungsi sebagai employee (sub-ordinate dari rumah
sakit) yang bertugas melaksanakan kewajiban rumah sakit. Dalam bahasa lain, kedudukan rumah
sakit adalah sebagai principal dan dokter sebagai agent. Sedangkan pasien berkedudukan adalah
sebagai pihak yang wajib memberi kontraprestasi. Hubungan seperti ini biasanya berlaku bagi rumah
sakit milik pemerintah yang dokter-dokternya digaji secara tetap dan penuh, tidak didasarkan atas
jumlah pasien yang telah ditangani ataupun kualitas serta kuantitas tindakan medik yang dilakukan
dokter.
Dengan adanya pola hubungan terapeutik ini (hubungan pasien–rumah sakit), maka jika
terdapat kerugian yang diderita oleh pasien karena kelalaian dokter (tenaga kesehatan), maka dalam
hal ini rumah sakit yang bertanggung jawab. Rumah sakit, baik yang dikelola oleh pemerintah
maupun swasta, merupakan organisasi yang sangat komplek. Di tempat ini banyak berkumpul
pekerja professional dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan peralatan yang
digunakan. Semakin besar dan canggih suatu rumah sakit semakin komplek pula permasalahannya.
Oleh sebab itu tidaklah mudah menentukan tanggung jawab rumah sakit. Selain pola hubungan
terapetik dan pola hubungan kerja tenaga medik, penyebab terjadinya kerugian itu sendiri juga
sangat menentukan sejauh mana rumah sakit harus bertanggung gugat.
Untuk kerugian yang disebabkan oleh peralatan medik maupun non-medik dapat
dibebankan kepada rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Contoh, apabila
pasien jatuh dari tempat tidur karena bednya patah sehingga mengakibatkan patah tulang kakinya
maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab rumah sakit. Oleh sebab itu rumah sakit harus
melakukan kontrol yang ketat terhadap semua peralatan, utamanya peralatan medik. Terhadap
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan medical treatment, tentunya sangat tergantung pada
status dokter yang bersangkutan. Apabila kedudukannya sebagai attending physician maka rumah
sakit tidak bertanggung gugat atas kesalahan dokter. Namun jika status dokter di rumah sakit
sebagai employee, maka berdasarkan doctrin of vicarious liability, tanggung gugatnya dapat
dialihkan kepada rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa rumah sakit pemerintah yang semua
tenaga medik maupun non-medik bekerja sebagai employee maka tanggung gugat dari ke empat
hal di atas sepenuhnya menjadi tanggung gugat institusi tersebut, dengan catatan, untuk rumah sakit
pemerintah yang melaksanakan program swadana masih diperlukan klarifikasi konsep sehingga
implikasi hukumnya menjadi jelas. Persoalannya bukan saja tidak adil tetapi juga tidak logis
membebankan tanggung gugat kesalahan medik seluruhnya kepada pihak rumah sakit, sementara
dokter yang juga menikmati jasa medik berdasarkan presentase dapat bebas dari tanggung gugat
atas kesalahannya sendiri.
Rumah sakit sebagai badan hukum (korporasi) dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan
atas tindakan-tindakan malpraktik tenaga kesehatan di rumah sakit, berdasarkan ajaran-ajaran atau
doktrin pembenaran korporasi dibebani pertanggungjawaban sebagai berikut:
7. doctrine of strict liability. Menurut ajaran ini, pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada
yang bersangkutan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada
pelakunya. Ajaran ini disebut pula absolute liability (pertanggungjawaban mutlak). Ajaran ini
diterapkan terhadap perbuatan- perbuatan yang sangat merugikan kepentingan publik
(masyarakat pada umumnya).
8. doctrine of vicarious liability. Ajaran ini diambil dari hukum perdata dalam konteks
pertanggungjawaban melawan hukum yang diterapkan pada hukum pidana. Ajaran ini disebut
pula sebagai ajaran pertanggungjawaban pengganti. Seorang pimpinan bertanggungjawab
atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam
rangka pekerjaannya. Hal ini memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena
perbuatan-perbuatan melawan hukum dari mereka itu menggugat majikannya agar membayar
ganti rugi. Dengan ajaran ini, maka korporasi dimungkinkan bertanggungjawab atas perbuatan
yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapapun yang
bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Penerapan doktrin ini dilakukan setelah dapat
dibuktikan terdapat subordinasi antara majikan dan orang yang melakukan tindak pidana
tersebut, dan perbuatan yang dilakukan dalam lingkup tugas pegawai yang bersangkutan.
9. doctrin of delegation. Pendelegasian wewenang oleh majikan kepada bawahannya merupakan
alasan pembenar bagi dapat dibebankannya pertanggungjawabkan pidana kepada majikannya
atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya yang memperoleh pendelegasian
wewenang itu.
10. doctrine of identification. Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat
mempertanggungjawabkan pidana kepada suatu korporasi harus mampu diidentifikasi siapa
yang melakukan tindak pidana tersebut. Jika tindak pidana dilakukan personil yang memiliki
kewenangan untuk bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut, maka
pertanggungjawaban dibebankan kepada korporasi.
11. doctrine of aggregation. Doktrin ini mengajarkan bahwa seseorang dianggap mengagregsian
(mengkombinasikan) semua perbuatan dan semua unsur mental/sikap dari berbagai orang
yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan untuk dapat memastikan bahwa
semua perbuatan dan unsur mental tersebut adalah suatu tindak pidana seperti seakan-akan
semua perbuatan dan unsure mental itu telah dilakukan oleh satu orang saja.
12. reactive corporate fault. Doktrin ini mengajarkan bahwa korporasi yang menjadi terdakwa diberi
kesempatan oleh pengadilan untuk melakukan sendiri pemeriksaan, siapa yang dianggap
paling bersalah dan tindakan apa yang telah diberikan perusahaan kepada orang yang
dianggap bersalah. Jika laporan perusahaan atau korporasi cukup memadai, maka korporasi
dibebaskan dari pertanggungjawaban. Namun apabila laporan korporasi dianggap tidak
memadai oleh pengadilan, maka baik korporasi maupun para pimpinan puncak akan dibebani
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah pengadilan itu.
UU Rumah Sakit dibuat untuk lebih memberikan kepastian dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, maupun memberikan perlindungan bagi masyarakat dan perlindungan bagi
sumber daya di rumah sakit. UU Rumah Sakit juga merupakan genderang pembuka bahwa rumah
sakit terbuka bagi masyarakat untuk digugat jika masyarakat merasa dirugikan karena tindakan
kelalaian tenaga kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari dari ketentuan ini, maka rumah sakit akan
melakukan beberapa hal.
a. membentuk seperangkat pembantu direktur seperti komisi hukum, untuk menangani aspek-
aspek hukum yang berhubungan dengan urusan kesalahan profesi atau berbagai
penyimpangan sebagai keadaan darurat (noodtoestand),
b. melakukan akreditasi terhadap sumber-sumber daya tenaga profesi dan daya kerja kesehatan.
Akreditasi dilaksanakan secara terbuka bagi masyarakat untuk kepentingan peningkatan
pelayanan kualitas pelayanan kesehatan,
c. memenuhi hak-hak asasi pasien yang terdiri dari hak informasi, hak untuk memberikan
persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua, dan
d. melaksanakan doktrin kesehatan yaitu pengadaan rekam medis (medical record), mengadakan
hak persetujuan tindakan medis (informed concent) dan penertiban rahasia kedokteran
(medical secrecy). Hal ini dilakukan untuk menentukan kejelasan dan standarisasi bentuk
formulasinya yang beraneka ragam, serta dengan pengecualiannya. Kejelasan dalam hal
rekam medis diperlukan sehingga diketahui cara-cara yang telah dilakukan dan akan kelihatan
tindakan kelalaian yang telah terjadi ataupun telah terjadi tindakan akibat adanya resiko medis.
secara psikologis ketentuan ini dapat mempengaruhi tenaga kesehatan di dalam memberikan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat dapat bertindak kurang hati-hati bahkan dapat
seenaknya. Tenaga kesehatan bertindak demikian, karena beranggapan jika ada kelalaian
akan menjadi tanggung jawab rumah sakit. Kesan ini dapat di pahami, karena kita sering
melihat dalam praktik pelayanan kesehatan pada rumah sakit pemerintah. Tindakan tenaga
kesehatan dalam bentuk criminal malpractice, maka akan tetap dipertanggung jawabkan pada
tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Simpulan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
Pertama, rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan kelalaian tenaga kesehatan di
rumah sakit, yang menyebabkan kerugian pada seseorang/pasien, dengan dasar: (a) secara yuridis
normatif hal ini merupakan penerapan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata, dan Pasal 46 UU Rumah
Sakit, dan Standar profesi dan akreditasi pelayanan kesehatan secara internasional; (b) secara
yuridis doktrinal, rumah sakit bertanggungjawab atas kelalaian tenaga kesehatan dengan adanya
doktrin respondeat superior, dan rumah sakit bertanggungjawab terhadap kualitas perawatan (duty
to care); dan (c) secara yuridis teoritis, rumah sakit sebagai korporasi, maka berlaku asas vicarious
liability, hospital liability, corporate liability, sehingga maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate
(employee).
Kedua, rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian tenaga kesehatan yang termasuk
jenis malpractik medik, sedangkan akibat kelalaian tenaga kesehatan yang termasuk jenis criminal
malpractice, tenaga kesehatan yang bersangkutan tetap dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga, implikasi ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit bagi rumah sakit yaitu rumah sakit
akan melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dan mengadakan rekam medik serta
persetujuan tindakan medis secara jelas bagi pasien. Implikasi ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit
bagi tenaga kesehatan, yaitu tenaga kesehatan akan tetap tidak gegabah karena terdapat malpraktik
yang tetap menjadi tanggung jawabnya. Implikasi pagi pasien/masyarakat, yaitu pasien akan tidak
mudah bagi pasien untuk melakukan gugatan ganti kerugian kepada rumah sakit, karena ternyata
terdapat kondisi-kondisi yang menyebabkan tidak semua tindakan kelalaian tenaga kesehatan
merupakan tanggung jawab pihak rumah sakit.
Secara eksplisit tidak ada perbedaan jauh antara tanggung gugat direktur dan pidana bagi
rumah sakit di Malaysia. Peradilan di Malaysia sangat menarik karena sistem hukum di Malaysia
adalah kemajemukan sistem hukum dan jaminan konstitusional negara terhadap hukum Islam dan
hukum agama lain dan adanya dualisme peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran norma Islam
dan kasus-kasus pelanggaran norma sipil, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 3 ayat (1)
Pelembagaan Persekutuan Malaysia bahwa “Islam ialah agama bagi Persekutuan; tetapi agama-
agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana Bahagian Persekutuan”.
Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum kebiasaan
common law system. Tradisi ini berdiri di tengah-tengah sistem hukum Islam (yang dilaksanakan
oleh pengadilan Syariah) dan hukum adat berbagai kelompok penduduk asli. Malaysia adalah
negara multi-etnis, multikultural, dan multi-agama. Sistem hukum nasional mencerminkan
masyarakat yang heterogen yang telah dipengaruhi dan dibentuk oleh eksternal serta budaya asli.
Hal menarik berikutnya adalah dalam bidang kesehatan melalui Malaysian Medical Council
(MMC) dan Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM), Malaysia menerapkan sistem yang ketat dalam
perizinan pembangunan rumah sakit, perizinan operasional rumah sakit, registrasi dan sertifikasi
tenaga medis, dan keuangan rumah sakit. Sehingga sedikit kemungkinan bagi rumah sakit dan
tenaga medis di Malaysia untuk melakukan kelalaian medis.

Anda mungkin juga menyukai