Sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua bagian yakni common law dan civil law, sistem
hukum di Malaysia dan di Indonesia adalah berbeda. Hal ini karena Malaysia menggunakan sistem
hukum anglo saxon (common law) dan Indonesia menggunakan sistem hukum eropa kontinental
(civil law). Perbedaan sistem hukum ini berbeda atas faktor sejarah yaitu penguasaan atau
penjajahan dari 2 kekuasaan besar barat. Malaysia dijajah oleh Inggris dan Indonesia dijajah oleh
Belanda. Kedua negara ini mempunyai sistem hukum yang tersendiri dan kini sistem dan produk
hukum yang dihasilkan masing-masing negara berasal dari hasil negara yang menjajahnya. Negara
Indonesia membawa Hukum yang berasal dari Belanda, hal ini terjadi karena pada zaman
penjajahan, Belanda selama kurang lebih tiga ratus tahun menjajah Indonesia. Dari pengaruh
Belanda, Indonesia membagi antara Hukum Publik dan Hukum Privat akan tetapi masih dalam satu
atap peradilan. Dengan perbedaan tersebut maka timbul suatu metode perbandingan hukum.
Metode perbandingan hukum memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah untuk menemukan
jawaban yang tepat atas permasalahan konkrit saat terdapat perbedaan sistem hukum di berbagai
belahan dunia yang sebenarnya memiliki tujuan hakiki yaitu demi ketertiban dan kedamaian
bermasyarakat di dalam suatu negara.
Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan
berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial
tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Maka diharapkan disaat melihat negara yang
berdasarkan hukum perbedaan sistem tidaklah menjadi masalah jika dapat memberikan kebahagian
bagi masyarakatnya. Sebagian besar sistem hukum di Indonesia dipengaruhi hukum modern yang
dibawa oleh bangsa Belanda. Dengan sifat kekeluargaan serta kecenderungan mengutamakan
bentuk daripada isi, maka sistem hukum di Indonesia kurang memperhatikan kandungan moral dan
kemanusiaan yang berada di dalam sistem hukumnya. Dengan adanya perbandingan sistem hukum
antara Malaysia dan Indonesia diharapkan dapat memberikan sumbangsih perbaikan ataupun
penyempurnaan sistem hukum yang saat ini menjadi tolak ukur ketertiban negara Indonesia.
Melalui tulisan ini kami membahas mengenai perbedaan hukum rumah sakit di Malaysia
dan Indonesia dengan mengambil sub bahasan mengenai:
1. Perizinan rumah sakit, Prasyarat bangunan rumah sakit, Jenis dan klasifikasi rumah sakit,
2. Kewajiban rumah sakit terhadap pasien, Hak atas pasien pelayanan rumah sakit, dan Informed
consent,
3. Tanggung gugat direktur dan pidana bagi rumah sakit.
1. Perizinan Rumah Sakit, Prasyarat Bangunan, dan Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit
Persyaratan
Untuk memperoleh izin operasional, pengelola mengajukan permohonan secara tertulis
kepada pejabat penerbit izin sesuai dengan klasifikasi rumah sakit dengan melampirkan dokumen
administrasi:
1) Izin mendirikan rumah sakit, bagi permohonan Izin operasional untuk pertama kali;
2) Profil rumah sakit, meliputi visi dan misi, lingkup kegiatan, rencana strategi, dan struktur
organisasi;
3) Isian instrumen self-assessment sesuai klasifikasi rumah sakit yang meliputi pelayanan,
sumber daya manusia, bangunan dan prasarana serta peralatan kesehatan;
4) Gambar desain (blue print) dan foto bangunan serta sarana dan prasarana pendukung;
5) Izin penggunaan bangunan (IPB) dan sertifikat laik fungsi;
6) Dokumen pengelolaan lingkungan berkelanjutan;
7) Daftar sumber daya manusia;
8) Daftar peralatan medis dan nonmedis;
9) Daftar sediaan farmasi dan alat kesehatan;
10) Berita acara hasil uji fungsi peralatan kesehatan disertai kelengkapan berkas izin pemanfaatan
dari instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
peralatan tertentu; dan
11) Dokumen administrasi dan manajemen, meliputi: Kepemilikan dan badan hukum, Hospital by
laws, Komite Medik, Komite Keperawatan, Satuan Pemeriksaan Internal, SIP atau surat izin
kerja tenaga kesehatan, SPO kredensial staf medis, SPK – RKK, dan SK hasil kalibrasi alat
kesehatan.
12) Surat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;
13) Surat tanda telah terakreditasi;
14) Untuk pengajuan Izin Peningkatan Kelas harus melampirkan surat tanda akreditasi paripurna
pada klasifikasi rumah sakit sebelumnya.
Di Malaysia, rumah sakit pemerintah dibangun dan dimiliki oleh Kerajaan Malaysia. Rumah
sakit pemerintah bertanggung jawab kepada Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM). Untuk rumah
sakit swasta, Laws of Malaysia Act 586 - Private Healthcare Facilities And Services Act 1998 dalam
Part II - Kontrol Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Swasta subbagian Persetujuan dan Lisensi,
section 3 menyebutkan: Tidak ada seorangpun yang boleh membangun atau memelihara salah satu
dari fasilitas atau layanan kesehatan swasta berikut tanpa persetujuan diberikan berdasarkan section
12 (a) atau mengoperasikan atau menyediakan fasilitas atau layanan tersebut tanpa lisensi yang
diberikan berdasarkan section 19 (a):
(a) rumah sakit swasta
(b) rumah sakit jiwa swasta
(c) klinik rawat jalan swasta
(d) panti jompo
(e) panti psikogeriatri swasta
(f) klinik bersalin swasta
(g) bank darah
(h) pusat cuci darah
(i) panti asuhan swasta
(j) komunitas kesehatan jiwa
(k) fasilitas atau layanan kesehatan swasta atau layanan terkait kesehatan lainnya
(l) tempat perawatan kesehatan swasta yang menggabungkan dua atau lebih fasilitas atau
layanan dalam paragraf (a) hingga (k)
Persetujuan dan perizinan untuk fasilitas pelayanan kesehatan swasta dapat dikeluarkan
untuk kepemilikan tunggal, kemitraan, atau badan hukum perusahaan hal ini diatur dalam section 6
Act 586. Act 586 hakikinya mengatur mengenai persetujuan terhadap lokasi rumah sakit,
membutuhkan waktu kurang lebih 30 hari hingga izin dikeluarkan jika berkas dokumen yang
dibutuhkan sebagai prasyarat terpenuhi, dan kompensasi biaya yang dikeluarkan untuk perizinan
mencapai RM 20.000.
Selanjutnya aturan perizinan mendirikan rumah sakit sampai pada tahapan izin
perencanaan, yang diatur dalam Laws of Malaysia Act 172 – Town and Country Planning Act
1976 yang merupakan undang-undang mengenai perencanaan terhadap kota untuk efisiensi
perkotaan dan mencegah terjadinya urban sprwal yakni proses pengembangan permukiman
perumahan di daerah pinggiran dengan kepadatan penduduk yang rendah dan menyebar serta
bergantung pada kendaraan pribadi. Dalam Act 172 section 5 (1) menjelaskan; setiap otoritas lokal
akan menjadi otoritas perencanaan lokal untuk area otoritas lokalnya. Izin perencanaan rumah sakit
dikeluarkan oleh otoritas lokal dan membutuhkan waktu kurang lebih 30 hari hingga izin dikeluarkan
dengan kompensasi biaya yang dikeluarkan untuk perizinan lebih besar yakni RM 70.000.
Laws of Malaysia Act A1333 – National Land Code (Amendment) Act 2008 adalah
undang-undang selanjutnya yang berkaitan dengan perizinan mendirikan rumah sakit, undang-
undang ini dijelaskan mengenai kode pertanahan nasional negara Malaysia (konversi pertanahan)
untuk menyediakan keseragaman dalam sistem penguasaan dan pengelolaan atas lahan. Perizinan
konversi tanah dikeluarkan oleh otoritas terkait dengan pertimbangan menteri atas persetujuan
Dewan Pertanahan Nasional, membutuhkan waktu kurang lebih 30 hari hingga izin dikeluarkan
dengan kompensasi biaya yang dikeluarkan untuk perizinan yakni RM 20.000.
Selain mengenai kontrol terhadap lokasi sesuai dengan undang-undang diatas, perizinan
mendirikan rumah sakit di Malaysia memiliki perizinan terkait persetujuan rencana bangunan di
dalam Penilaian Rencana Bangunan (Building Plan Assessment) yang diatur dalam Laws of
Malaysia Act 133 - Street, Drainage and Building Act 1974 fungsi dari perizinan ini adalah
melindungi kesehatan masyarakat dan kesejahteraan umum terkait struktur konstruksi dan hunian
pada bangunan.
Di negara Malaysia, rumah sakit menurut jenis dan klasifikasinya dibagi menjadi:
1. Berdasarkan jenisnya:
a. General hospital
b. District hospital
c. Specialized hospital
d. Teaching hospital
e. Clinics
2. Berdasarkan klasifikasinya:
a. Rumah sakit militer
b. Rumah sakit pemerintah
c. Rumah sakit swasta
d. Rumah sakit pendidikan
2. Kewajiban Rumah Sakit terhadap Pasien, Hak Pasien atas Pelayanan Rumah Sakit, dan
Informed Consent
Sedangkan hak-hak pasien atas pelayanan kesehatan di rumah sakit di Malaysia menurut
MMC dan Kementerian Kesihatan Malaysia (MKK), adalah:
a. akses ke pelayanan yang disediakan oleh fasilitas;
b. akses ke perawatan yang aman dan sesuai secara medis tanpa memandang ras, budaya, jenis
kelamin, kebangsaan, atau sumber pembayaran;
c. akses ke penerjemah bahasa jika ada hambatan bahasa;
d. perhatian, rasa hormat, privasi dan rahasia dalam perawatan medis;
e. informasi dari identitas praktisi medis dan pemberi perawatan lainnya;
f. informasi yang masuk akal kepada pasien dan selanjutnya tentang investigasi, diagnosis,
perawatan dan prognosis, termasuk setelah perawatan dan hak untuk second opinion;
g. partisipasi dalam membuat keputusan berdasarkan informasi mengenai hak untuk menolak
perawatan yang diusulkan, perawatan eksperimental, partisipasi dalam penelitian dan hak
untuk meninggalkan fasilitas terhadap saran medis;
h. konseling rumah sakit untuk saran medis;
i. aturan dan kebijakan informasi yang berlaku dan relevan;
j. administrasi manajemen nyeri jika perlu;
k. perkiraan tentang biaya perawatan sebelum pemberian saran perawatan;
l. informasi mengenai bantuan keuangan dan lainnya yang mungkin tersedia;
m. penerimaan dan pemeriksaan pernyataan terperinci dari semua biaya;
n. informasi tentang tanggung jawab pasien dan keluarga;
o. akses ke informasi promosi kesehatan untuk memfasilitasi perawatan mereka di fasilitas;
p. akses ke informasi tentang peningkatan kualitas dan kinerja di fasilitas;
q. penyediaan informasi yang relevan tentang pengadaan, proses donasi, dan proses
transplantasi bila diperlukan.
3. Tanggung Guigat Direktur Rumah Sakit dan Pidana bagi Rumah Sakit
Di Indonesia, tidak selamanya layanan medis yang diberikan oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit, dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan semua pihak. Ada kalanya
layanan tersebut terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan malapetaka; seperti
misalnya cacat, lumpuh atau bahkan meninggal dunia. Kalau hal itu terjadi, maka pasien atau pihak
keluarganya sering menuntut ganti rugi. Permintaan ganti rugi ini karena adanya akibat yang timbul,
baik fisik maupun nonfisik. Kerugian fisik (materiel) misalnya dengan hilangnya atau tidak
berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh. Kerugian non fisik (immateriel) adalah kerugian
yang berkaitan dengan martabat seseorang.
Peluang untuk menuntut ganti rugi sekarang ini telah ada dasar ketentuannya. Berdasarkan
Pasal 46 UU Rumah Sakit, menentukan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit.
Ketentuan pasal ini menjadi dasar yuridis bagi seseorang untuk meminta tanggung jawab pihak
rumah sakit jika terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan kerugian. Ketentuan pasal ini
akan dapat menggembirakan bagi siapa saja ataupun khususnya pasien, sebab jika
seseorang/pasien menderita kerugian akibat tindakan kelalaian tenaga kesehatan akan mendapat
ganti rugi. Pengalaman praktik ternyata tidak mudah menggugat kepada rumah sakit. Namun
demikian, ketentuan tentang tanggung jawab rumah sakit ini, sebagai awal titik terang dasar legalitas
bagi masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang diakibatkan atas tindakan kelalaian tenaga
kesehatan di rumah sakit. Undang-undang rumah sakit dibuat dengan tujuan untuk mempermudah
akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dapat memberikan perlindungan
terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, dan sumber daya di rumah sakit,
dan dapat meningkatkan mutu, mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, serta memberikan
kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan pihak rumah
sakit.
UU Kesehatan, mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah kelalaian tenaga
kesehatan pada Pasal 29 dan Pasal 58. Pasal 29 menentukan bahwa dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi. Pasal 58 mengatur, mengenai hak setiap orang untuk menuntut
ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat bahwa penuntutan ganti kerugian ini, baik sebagai
diakibatkan karena kesalahan (kesengajaan) ataupun karena kelalaian dalam pelayanan kesehatan,
dan penuntutan ditujukan kepada seseorang, tenaga kesehatan maupun kepada pihak
penyelenggara kesehatan (rumah sakit). Sementera itu berdasarkan UU Rumah Sakit, penuntutan
kerugian hanya ditujukan kepada pihak rumah sakit, yang diakibatkan secara khusus karena
kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit. Dengan demikian dapat ditafsirkan, bahwa kerugian yang
diakibatkan oleh kesengajaan tenaga kesehatan di rumah sakit, maka tidak dapat dilakukan
penuntutan yang ditujukan kepada rumah sakit. Pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab
jika kerugian tersebut karena kesalahan dalam arti kesengajaan tenaga kesehatan di rumah sakit.
Tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dapat disebut dengan melakukan malpraktik.
Malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dapat berupa malpraktik dibidang medik dan
malpraktik medik. Dikatakan melakukan Malpraktik di bidang medik, yaitu perbuatan malpraktik
berupa perbuatan tidak senonoh (misconduct) yang dilakukan tenaga kesehatan ketika ia
menjalankan profesinya di bidang medik, sedang malpraktik medik yaitu malpraktik yang berupa
adanya kegagalan (failure) dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Di lain pihak,
bentuk-bentuk malpraktik tenaga kesehatan terdiri malpraktik kriminal (criminal malpractice),
malpraktik perdata (civil malpractice) dan malpraktik administrasi (administrative malpractice). Dari
berbagai variasi kelalaian tenaga kesehatan ini, perlu dilakukan penelusuran apakah semua jenis
kelalaian tenaga kesehatan akan menjadi tanggung jawab pihak rumah sakit sebagaimana
dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit. Dengan kata lain dapat dipertanyakan,
bagaimana syarat-syarat kelalaian tenaga kesehatan yang menjadi tanggung jawab pihak rumah
sakit sebagaimana dikehendaki UU Rumah Sakit.
Ketentuan tentang rumah sakit bertanggung jawab atas kerugian pasien akibat kelalaian
tenaga kesehatan ini, dapat menimbulkan implikasi lebih lanjut bagi pihak rumah sakit, tenaga
kesehatan maupun bagi pasien (masyarakat). Rumah sakit perlu mengetahui bentuk kelalaian
tenaga kesehatan yang menjadi tanggung jawab rumah sakit dan bentuk kelalain tenaga kesehatan
yang tidak menjadi tanggung jawab rumah sakit. Implikasi bagi tenaga kesehatan, yaitu tenaga
kesehatan tentunya untuk tetap berhati hati dan tidak gegabah walaupun rumah sakit akan
bertanggungj awab atas kelalaiannya. Terdapat kelalaian tenaga kesehatan yang tetap menjadi
tanggung jawab tenaga kesehatan yang bersangkutan. Implikasi bagi pasien (masyarakat), yaitu
pasein harus mengetahui bahwa telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan
kerugian baginya. Jika pasien tidak mengetahui telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang telah
merugikan dirinya, maka ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit tidak dapat direalisasikan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah
mengenai syarat-syarat kelalaian tenaga kesehatan seperti apa yang menjadi tanggung jawab
rumah sakit berdasar Pasal 46 UU Rumah Sakit; dan implikasi adanya ketentuan rumah sakit
bertanggung jawab hukum atas kerugian pada seseorang yang diakibatkan karena kelalaian tenaga
kesehatan berdasar pada UU Rumah Sakit.. Tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian sama
dengan melakukan malpraktik. Malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dapat berupa
malpraktik medik dan malpraktik dibidang medik. Malpraktik di bidang medik, yaitu malpraktik yang
dilakukan tenaga kesehatan ketika ia menjalankan profesinya di bidang medik. Dalam hal ini, dapat
berupa perbuatan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian
(negligence), ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan
(unreasonable lack of skill), yang mengakibatkan luka, atau menderita kerugian pada pihak yang
ditangani.
Makna malpraktik medik, menurut World Medical Association, adalah medical malpraktic
involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s
condition, ar lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of
an injury to the patient. World Medical Association mengingatkan tidak semua kegagalan medik
adalah malpraktik medik. Jika terjadi peristiwa buruk tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable)
pada saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien,
maka hal ini tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik. Letak perbedaan antara malpraktik di
bidang medik dengan malpraktik medik terdapat unsur kejahatan atau perbuatan yang tidak senonoh
(misconduct) pada malpraktik di bidang medik. Dalam malpraktik medik lebih ke arah adanya
kegagalan (failure) dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Dengan demikian
pengertian malpraktik di bidang medik pengertiannya lebih luas daripada malpraktik medik.
Menurut teori atau doktrin, tindakan malpraktik medis (khususnya bagi dokter), terdiri dari
tiga hal. Pertama, Intensional Profesional Misconduct, yaitu dinyatakan bersalah/buruk berpraktik
jika dokter dalam berpraktik melakukan pelanggaran terhadap standar-standard dan dilakukan
dengan sengaja. Dokter berpraktik dengan tidak mengindahkan standar-standar dalam aturan yang
ada dan tidak ada unsure kealpaan/kelalaian. Kedua, Negligence atau tidak sengaja/kelalaian, yaitu
seorang dokter yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya
pasien. Seorang dokter lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan
kedokteran. Kategori malpraktik ini dapat dituntut, atau dapat dihukum, jika terbukti di depan sidang
pengadilan. Ketiga, Lack of Skill, yaitu dokter melakukan tindakan medis tetapi di luar kepentensinya
atau kurang kompetensinya.
Jika ditinjau dari perspektif hukum maka malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan,
dapat merupakan criminal malpractice, civil malpractice, dan administrative malpractice. Suatu
perbuatan dapat dikategorikan criminal malpractice, karena tindakan malpraktik tersebut memenuhi
rumusan delik (tindak pidana). Syarat-syarat criminal malpractice adalah perbuatan tersebut (baik
positive act ataupun negative act) harus merupakan perbuatan tercela (actus reus); dan dilakukan
dengan sikap batin yang salah (mens rea), yaitu berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan
(recklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice medic merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana, sehingga
saat ini tenaga kesehatan yang melakukan Criminal malpractice medic, sama dengan melakukan
tindak pidana. Criminal malpractice medic dilakukan dengan kesengajaan atau yang dilakukan
dengan kealpaan. Criminal Malpractice medic dalam bentuk kesengajaan (intensional), diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dapat berupa tindak pidana penipuan (Pasal 382
KUHP); tindak pidana pembunuhan yang berupa euthanasia (Pasal 344 KUHP); aborsi (Pasal 348;
Pasal 349 KUHP); membuat tidak jelas asal usul anak (Pasal 277 KUHP); membuka rahasia jabatan
(Pasal 322 KUHP); penghinaan dan penistaan (Pasal 310 – 321 KUHP); pemalsuan surat (Pasal
267, 268 KUHP). Criminal malpractice medic dalam bentuk kealpaan, kecerobohan, berupa:
kelalaian yang menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP); kelalaian yang menyebabkan luka berat
(Pasal 360 KUHP); kelalaian waktu menjalankan jabatan (Pasal 361 KUHP).
Disebut civil malpractice medic jika tidak melaksanakan kewajiban (ingkar janji), yaitu tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Ukuran adanya civil malpraktic
(malpraktik perdata), yaitu: adanya kelalaian medik; tindakan medic tanpa persetujuan (perbuatan
melanggar hukum); tindakan tanpa consent; pelanggaran janji (wanprestasi). Tindakan dokter yang
termasuk dikategorikan civil malpractice antara lain: tidak melakukan (negative act) apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan; melakukan (positive act) apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat; melakukan sesuatu yang menurut kesepakatan
wajib dilakukan tetapi tidak sempurna; dan melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnya dilakukan.
Dikatakan terdapat administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaha
negara. Perlu diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan police power (the power of the state to
protect the health, safety, morals and general welfare of its citizen) yang menjadi kewenangannya,
pemerintah berhak mengeluarkan berbagai macam peraturan di bidang kesehatan; seperti misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk menjalankan profesi medik, batas kewenangan
serta kewajibannya. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan
dapat dipersalahkan. Contoh tindakan yang dapat dikategorikan administrative malpractice antara
lain: menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin lisensi atau izin; melakukan tindakan medik yang tidak
sesuai lisensi atau izin yang dimiliki; melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan lisensi
atau izin yang sudah kadaluarsa; dan tidak membuat rekam medik.
Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter
tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi
agar supaya memperoleh kewenangan untuk itu. Perlu dipahami bahwa tiap-tiap jenis lisensi
memerlukan basic science dan mempunyai batas kewenangan sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan
melakukan tindakan medik melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan.
Seperti telah diuraikan di atas, malpraktik yang dilakukan tenaga kesehatan terdiri
malpraktik dalam bidang medis dan malpraktik medis. Pembagian jenis-jenis malprakti yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan ini, akan menentukan siapa yang bertanggung jawab atas
malpraktik tersebut. Letak perbedaan antara malpraktik di bidang medik dengan malpraktik medik
terdapat unsur kejahatan atau perbuatan yang tidak senonoh (misconduct) pada malpraktik di bidang
medik. Dalam malpraktik medik lebih ke arah adanya kegagalan (failure) dalam memberikan
pelayanan medik terhadap pasien. Dengan demikian pengertian malpraktik di bidang medik
pengertiannya lebih luas daripada malpraktik medic.