(Cor Pulmonal)
PENYAKIT JANTUNG PARU (KOR PULMONAL)
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Menurut Irman Sumantri (2009), Kor pulmonal adalah terjadinya pembesaran dari jantung
kanan (dengan atau tanpa gagal jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang
mempengaruhi struktur atau fungsi dari paru-paru atau vaskularisasinya.
Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi)
yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol
pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan
Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart
disease akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart disease kronik
sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart
disease kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada pulmonary heart
disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Tidak semua pasien PPOK akan mengalami pulmonary heart disease, karena banyak usaha
pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen darah arteri mendekati
normal sehingga dapat mencegah terjadinya Hipertensi Pulmonal. Pada umumnya, makin
berat gangguan keseimbangan ventilasi perfusi, akan semakin mudah terjadi ganguan analisis
gas darah sehingga akan semakin besar terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart
disease. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak akan begitu mempengaruhi
pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang menyebabkan terjadinya Hipertensi
Pulmonal dan pulmonary heart disease. Tuberculosis yang mengenai kedua lobus paru secara
luas akan menyebabkan terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru sehingga
menyebabkan terjadinya pulmonary heart disease. Hipoventilasi alveoli sekunder akibat sleep
apnea syndrome tidak jarang disertai dengan Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart
disease Kronik.
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung dibentuk oleh
sebagian tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat (connective tissue).
Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan
kanan oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbrie) yang berfungsi
sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa)
hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lender
sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Kita dapat
mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada
cibriform plate, didalamnya terdapat ujung dari saraf krania I (nervous olfactorium)
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara
(humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan resonator
suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan
lender, dan enzim lozosim. Vibrissa adalah rambut vestibulum nasi yang bertugas sebagai
penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran (partikel
kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada lapisan lender dan selanjutnya
dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih terdapat bakteri (partikel sangat
kecil), maka enzim lizosim yang menghancurkannya.
Sinus para nasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Dinamakan sesuai
dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis,
dan sinus maxilaris. Sinus berfungsi untuk :
1. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (+ 13 cm) yang letaknya bermula dari
dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan
(kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat digestion (menelan) seperti pada saat
bernafas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu dibelakang hidung (nasi-
faring), belakang mulut (oro-faring), dan belakang (laringo-faring).
1. Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitrlium lined yang
berhubungan dengan faring (di atas) dan trakea (di bawah). Lring terletak di anterior tulang
belakang (vertebra) ke-4
3) Kartilago tiroid : kartilago yang terbesar pada trachea, terdapat bagian yang membentuk
jakun (adams apple).
4) Kartilago krikoid : cicin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago
tiroid).
5) Kartilago aritenoid : digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago
tiroid.
6) Pita suara : sebuah ligament yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan
suara dan menempel pada lumen laring.
1. Trachea
Trachea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang vertebrae torakal ke-7
yang bercabang menjadi dua bronkus. Ujung cabang trachea disebut carina. Trachea bersifat
sangat fleksibel, berotot dan memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf
C. pada cincin tersebut terdapat epitel bersilia tegak yang mengandung banyak sel goblet
yang mensekresikan lender (mucus).
Cabang bronchus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertical daripada
cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam
cabang sebelah kanan daripada cabang bronchus sebelah kiri.
Segmen dan subsegmen bronchus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting masuk ke
setiap paru-paru. Bronchus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkiolus yang
berakhir di alveoli tidak mengandung kartilago. Tidak adanya kartilago menyebabkan
bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak
kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus/lubang kecil yang terletak antar alveoli (kohn pores)
yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernafasan mulai dari trakea sampai bronkiolus terminal tidak mengalami pertukaran
dan merupakan area yang dinamakan anatomical dead space. Banyaknya udara yang berada
dalam area tersebut adalah sebesar 150 ml. awal dari proses pertukaran gas terjadi di
bronkeolus respiratorius.
1. Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim
tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveolus merupakan kantong udara yang
berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorius sehingga
memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveoli terdiri dari bronkhiolus
respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs. Fungsi utama dari unit alveolus adalah
pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler pulmoner dan alveoli.
1. Paru-paru
Paru-pau terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang
iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan
jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekita sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.
Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang sebut mediastinum. Jantung, aorta, vena
cava, pembuluh paru-paru, esophagus bagian dari trachea dan bronchus, serta kelenjar timus
terdapat pada mediastinum.
Sirkulasi pulmoner
Suplai darah ke dalam paru-paru merupakan suatu yang unik. Paru-paru mempunyai dua
sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial
menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi siatemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan
metabolism jaringan paru-paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan
sepanjang dinding posterior bronchus. Vena bronkhialis akan mengalirkan darah menuju
vena pulmonalis.
Kendali pernafasan
Fungsi mekanik pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-pau dinamakan ventilasi.
Mekanisme tersebut dilaksanakan oleh sejumlah komponen factor yang saling berinteraksi.
Factor tersebut mengendalikan proses masuknya udara ke dalam paru-paru agar pertukaran
gas dapat berlangsung. Factor yang dapat mengendalikan pernafasan adalah :
1. Factor local
Kondisi paru itu sendiri dan dinding dada yang mengelilingi paru-paru, dimana keduanya
berperan dalam pompa resiprokatif (timbale balik) yang disebut hembusan nafas.
Sebagai pusat control pernafasan, terdapat daerah ritmik medulla oblongata yang terdiri dari
neuron inspirasi dan ekspirasi.
1. Control pons
1. Kendali korteks
Kendali korteks terbatas yaitu hanya dapat mengubah ritmik sebagai proteksi terhadap paru-
paru.
Olahraga berat menyebabkan penggunaan O2 lebih besar dan poduk CO2 lebih besar pula.
Fisiologi pernafasan
1. ventilasi pulmonal adalah proses keluar masuknya udara dan atmosfer dal alveoli
paru-paru
2. difusi adalah proses pertukaran O2 dan Co2 antara alveoli dan darah
3. transfortasi adalah proses beredarnya gas dalam darah dan cairan tubuh ked an dari
sel-sel
1. difusi gas-gas antara alveolus dengan kapiler paru-paru dan darah sistemik dengan
sel-sel jaringan.
2. Distribusi darah adalah sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveolus-alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik O2 dan CO2 dengan darah
1. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru dikarenakan adanya selisih tekanan udara di
atmosfer dan alveolus dan didukung oleh kerja mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume
rongga dada bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot serratus, otot skaleneus, dan otot interkostalis eksternus berperan
mengangkat iga, sedangkan otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas.
1. Difusi
Stadium kedua proses respirasi mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane antara
alveolus-kapiler yang tipis. Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan O2 dalam atmosfer sama dengan tekanan laut
yakni + 149 mmHg.
Pada waktu O2 diinspirasi dan sampai pada alveolus, tekanan parsial ini mengalami
penurunan sampai sekitar 103 mmHg sebagai akibat dari udara yang tercampur dengan ruang
rugi anatomis pada saluran udara dan dengan uap air.
1. Transportasi
Transportasi gas antar paru-paru dan jaringan meliputi proses-proses berikut ini :
Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri atas paru-paru dan sistem kardiovaskuler.
1. Etiologi
Banyak penyakit yang mempengaruhi paru dan hubungan dengan hipoksemia dapat
menyebabkan kor pulmonal disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
Terutama thrombosis dan embolus paru dan fibrosis akibat penyinaran yang menyebabkan
penurunan elastisitas pembuluh darah paru.
b) Fibrosis paru,
c) Penyakit fibrokistik,
Penyakit neuromuscular
Hipertensi pulmonale primer emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.
(nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id)
1. Klasifikasi
Secara umum kor pulmonal di bagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut
Etiologi : embolus multiple pada paru-paru atau massif yang secara mendadak akan
menyumbat aliran darah dan ventrikel kanan.
Gejala : biasanya segera di susul oleh kematian, Terjadi dilatasi dari jantung kanan.
Merupakan jenis kor pulmonal yang paling sering terjadi. Dinyatakan sebagai hipertropi
ventrikel kanan akibat penyakit paru atau pembuluh darah atau adanya kelainan pada torak,
yang akan menyebabkan hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.
Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4
kategori yaitu :
1. Obstuksi
Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic
Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang
penting dan terjadi pada 0.1 – 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli
paru, system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga hemodinamik
paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak
berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukkan
rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah
paru.
1. Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale adalah lupus
eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada
penyakit-penyakit tersebut adanya fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain
menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks
mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya obliterasi
pembuluh paru.
1. Vasokontriksi
1. Idiopatik
Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi pulmonale primer yang di tandai
dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar
lainnya baik pada paru maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya
hipertrofitunikamedia, fibrosistunikaintima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro
thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui Waupun sering di
kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta
infeksi HIV.
1. Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada kor pulmonal berbaring lurus dengan fungsi
pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru meningkat dan relative
tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim paru, peningkatan curah jantung
sebagaimana terjadi pada pengerahan tenaga fisik, maka dapat meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis secara bermakna. Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika volume
paru membesar, seperti pada penyakit COPD, pemanjangan pembuluh paru, dan kompresi
kapiler alveolar.
Pathway
Penyakit paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan pada suatu waktu akan
mempengaruhi jantung serta menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. Kondisi ini sering
kali menyebabkan terjadinya gagal jantung. Beberapa kondisi yang menyebabkan penurunan
oksigenasi paru dapat mengakibatkan hipoksemia (penurunan PaO2) dan hiperkapnea
(peningkatan PaO2), yang nantinya akan mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan
hiperkapnea akan menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonal dan memungkinkan terjadinya
penurunan vaskularisasi paru seperti pada emfisemi dan emboli paru. Akibatnya akan terjadi
peningkatan tahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan menjadikannya hipertensi
pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri paru (arterial mean pressure) adalah 45 mmHg, jika
tekanan ini meningkat dapat menimbulkan kor pulmonal. Ventrikel kanan akan hipertropi dan
mungkin diikuti oleh gagal jantung kanan.
1. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang muncul pada klien dengan penyakit kor pulmonal adalah sebagai berikut.
Informasi yang di dapat bisa berbeda-beda antara satu penderita yang satu dengan yang lain
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.
1. Kor-pumonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang
didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
2. Kor-pulmonal dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak
sputum).
3. Cor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan
jika beraktifitas (exertional syncope).
4. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan
kaki serta cepat lelah.
Gejala predominan pulmonary heart disease yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit
parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan
dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala – gejala
ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.
Tanda- tanda pulmonary heart disease misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi,
ventrikel kanan menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau
epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen.
Gejala- gejala tambahan ialah: Sianosis, Kurang tanggap/ bingung, Mata menonjol
1. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Perluasan hilus dapat dinilai dari perbandingan jarak antara permulaan percabangan pertama
arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dibagi dengan diameter transversal torak.
Perbandingan > 0,36 menunjukkan hipertensi pulmonal.
1. Ekokardiografi
Berguna untuk mengukur massa ventrikel kanan, ketebalan dinding, volume kavitas, dan
fraksi ejeksi.
1. Biopsi paru
Dapat berguna untuk menunjukkan vaskulitis pada beberapa tipe penyakit vaskuler paru
seperti penyakit vaskuler kolagen, arthritis rheumatoid, dan Wegener granulomatosis.
1. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari penatalaksanaan adalah peningkatan ventilasi klien dan mengobati penyakit yang
melatarbelakangi beserta manifestasi dari gagal jantungnya.
Secara umum penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Pada klien dengan penyakit asal COPD dapat diberikan O2 pemberian O2 sangat
dianjurkan untuk memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan tekanan arteri
pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal.
2. Bronchial hygiene, diberikan obat golongan bronkodilator.
3. Jika terdapat gejala gagal jantung, maka harus memperbaiki kondisi hipoksemia dan
hiperkapnea.
4. Bedrest, diet rendah sodium, dan pemberian diuretic
5. Digitalis, bertujuan untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan denyut
jantung, selain itu juga mempunyai efek digitalis ringan.
6. Komplikasi
1. Sinkope
2. Gagal jantung kanan
3. Edema perifer
4. Kematian
5. Prognosis
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui prognosis pulmonary
heart disease kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi
gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi
kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang
berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun
terakhir.
Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang mendasarinya.
Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil
yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat
fibrosis intertisial harapan juntuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi
yang terjadi subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas
darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.
1. Pencegahan
Menghindari perilaku yang mengarah pada penyakit paru-paru kronis (terutama
merokok) dapat mencegah perkembangan akhir cor pulmonale. Evaluasi seksama
murmur jantung anak dapat mencegah cor pulmonale yang disebabkan oleh cacat
jantung tertentu.
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth)
1. B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Anamnesa,meliputi:
1. Identitas pasien
Kor pulmonal dapat terjadi pada orang dewasa dan pada anak-anak. Untuk orang dewasa,
kasus yang paling sering ditemukan adalah pada lansia karena sering didapati dengan
kebiasaan merokok dan terpapar polusi. Hal ini di dasarkan pada epidemiologi penyakit-
penyakit yang menjadi penyebab kor pulmonal, karena hipertensi pulmonal merupakan
dampak dari beberepa penyakit yang menyerang paru-paru.
Untuk kasus anak-anak, umumnya terjadi kor pulmonal akibat obstruksi saluran napas atas
seperti hipertrofi tonsil dan adenoid.
Jenis pekerjaan yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah para pekerja yang
sering terpapar polusi udara dan kebiasaan merokok yang tinggi.
Lingkungan tempat tinggal yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah
lingkungan yang dekat daerah perindustrian, dan kondisi rumah yang kurang memenuhi
persyaratan rumah yang sehat. Contohnya ventilasi rumah yang kurang baik,hal ini akan
semakin memicu terjadinya penyakit-penyakit paru dan berakibat terjadinya kor pulmonal.
1) Keluhan utama
Pada pasien kor pulmonal, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, sesak,
nyeri dada, batuk yang tidak produktif. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-
keluhan tersebut.
Penyebab kelemahan fisik setelah melakukan aktifitas ringan sampai berat.
Seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan, biasanya disertai sesak nafas.
Apakah kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhan system otot rangka dan apakah
disertai ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
Klien dengan kor pulmonal biasanya memilki riwayat penyakit seperti penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling sering adalah klien
dengan riwayat hipertensi pulmonal.
1) B1 (BREATH)
2) B2 (BLOOD)
3) B3 (BRAIN)
Penglihatan(mata)
4) B4 (BLADDER)
Urin:
- Bau : khas
Oliguria
5) B5 (BOWEL)
6) B6 (BONE)
1. Psikososial
2. Diagnosa keperawatan
3. Perencanaan Keperawatan
1) Pantau frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
tidakmampuan bicara/ berbincang.
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan/atau kronisnya proses
penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernapas. Dorong nafas perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas
untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea dan kerja nafas.
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar
bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan dan diagnosis sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia.
Rasional : Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran
gas pada jalan nafas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan.
Rasional : Bunyi nafas mugkin redup karena aliran udara atau area konsolidasi. Adanya
mengi mengindikasikan secret. Krekel basah menyebar menunjukkan cairan pada
intertisial/dekompensasi jantung.
6) Palpasi fremitus.
Rasional : Penurunan getaran fibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
Rasional : Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hypoxia, GDA memburuk
disertai bingung/ somnolen menunjukkan disfungsi sersbral yang berhubungan dengan
hipoksemia.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktifitas. Berikan lingkungan yang tenang dan kalem. Batasi
aktifitas pasien atau dorong untuk tidur/ istirahat dikursi selama fase akut. Mungkinkan
pasien melakukan aktifitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
Rasional : Selama distress pernapasan berat/akut/refraktori pasien secara total tak mampu
melakukan aktifitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea. Istirahat diselingi aktifitas
perawatan masih penting dari program pengobatan. Namun, program latihan ditujukan untuk
meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat
meningkatkan rasa sehat.
Rasional : Tachycardia, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
10) Kolaborasi
Rasional : Paco2 biasanya meningkat (bronchitis, enfisema) dan pao2 secara umum menurun,
sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar. Catatan: paco2 “normal”
atau meningkat menandakan kegagalan pernapasan yang akan datang selama asmatik.
b) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
c) Berikan penekanan SSP (misal: ansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
Tujuan :
o Memperbaiki atau mempertahankan pola pernapasan normal
o Pasien mencapai fungsi paru-paru yang maksimal.
Kriteria hasil :
2) Auskultasi daerah paru, catat area yang menurun/tidak adanya aliran udara, adanya
suara tambahan seperti crekels, wheezing.
Rasional : penurunan aliran udara timbul pada area yang konsolidasi dengan cairan. Suara
nafas bronchial (normal di atas bronkus ) dapat juga. Ronki , krecels, weezing terdengar pada
saat inspirasi dan atau ekspirasi sebagai respon dari akumulasi cairan.
4) Ajarkan teknik napas dalam dan atau pernapasan bibir atau pernapasan diafragmatik
abdomen bila diindikasikan
Rasional : Membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan napas kecil, memberika
pasien beberapa kontrol terhadap pernapasan, membantu menurunkan ansietas.
Kriteria hasil :
Intervensi :
5) Kolaborasi :
Rasional : Agar pasien mau memenuhi diet yang disarankan untuk kebutuhan nutrisi dalam
metabolisme.
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan asupan gizi klien melalui sampel darah
5) Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein untuk klien.
Rasional : Untuk bisa lebih tepat memberikan diet kepada pasien sesuai zat gizi dan kalori
yang dibutuhkan.
Rasional : Menambah nafsu makan dan membersihkan kuman-kuman yang ada dalam mulut,
sehingga makanan yang klien makan akan terasa lebih nikmat
Rasional : bedrest akan memelihara selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolic, memelihara energy untuk penyembuhan.
4) Bantu klien untuk mengambil posisi yang nyaman untuk beristirahat dan atau tidur.
Rasional : klien mungkin merasa nyaman dengan kepala dalam keadaan elevasi, tidur di kursi
atau istirahat pada meja dengan bantuan bantal
5) Ajarkan klien bagaimana meningkatkan rasa control dan mandiri dengan kondisi yang
ada
Rasional : Dengan ahli gizi,perawat dapat menentukan jenis-jenis makanan yang harus
dikonsumsi untuk memaksimalkan pembentukan energy dalam tubuh pasien
4. Evaluasi
1. Prinsip Etik
1) Otonomi
Otonomi berarti kebebasan setiap individu untuk memilih rencana kehidupan dan cara
bermoral mereka sendiri
2) Kebaikan ( beneficience )
Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan
otonomi
Rentang dari bahaya yang tidak berarti sampai menguntungkan orang lain dengan melakukan
yang baik
Dalam kondisi klinis sering sulit menggambarkan garis antara bahaya yang tidak berarti
dengan melakukan yang baik.
contoh : perawat yang memberikan imunisasi pada bayi memberi suatu derajat bahaya yaitu
nyeri namun tindakan ini juga benificient karena tindakan ini mencegah bahaya serius
penyakit anak
4) Keadilan ( justice )
Menuntut perlakuan yang adil dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan klien
5) Kesetiaan ( fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang
lain.
Contoh : Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien.
Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang perawat untuk mempertahankan komitmen
yang dibuatnya kepada pasien.
6) Kejujuran ( veracity )
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran.
Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada
setiap klien
1. Legal
Dalam kasus cor pulmonal peran perawat sebagai advokat yaitu harus bertanggung
jawab membantu klien dan keluarga dalam hal inform concern atas tindakan– tindakan medis
maupun tindakan – tindakan keperawatan yang akan dilakukan.
Selain itu, perawat juga harus mampu mempertahankan dan melindungi hak – hak
klien serta memastikan bahwa kebutuhan klien yang berhubungan dengan status
kesehatannya terpenuhi.
6. Pendidikan Kesehatan
(SAP)
Sasaran : Bp. X
Waktu : 30 Menit
1. D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
1. E. Kegiatan Penyuluhan
Evaluasi
Mendengarkan dengan
penuh perhatian
Menyimpulkan
Salam penutup
3. Penutup Mendengarkan 10 Menit
Menjawab salam
1. F. Media
1. G. Sumber/Referensi
2. Doenges, E. Marilynn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
3. FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
1. H. Evaluasi
Formatif:
1. Klien dapat menjelaskan pengertian penyakit Cor Pulmonal
2. Klien mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit Cor Pulmonal
3. Klien dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit Cor Pulmonal
4. Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan penyakit Cor Pulmonal
5. Klien mampu menjelaskan Patofisiologi penyakit Cor Pulmonal
Sumatif:
Pembimbing Penyuluh
7. Jurnal
B. Source
Department of Cardiovascular Medicine, Lady Davis Carmel Medical Center, Haifa, Israel;
The Heart Failure Center, Lin medical Center, Haifa, Israel. Electronic address: barakzmd @
gmail. com.
C. Abstract
BACKGROUND:
The term “obesity paradox”, refers to lower mortality rates in obese patients, and is evident in
various chronic cardiovascular disorders. There is however, only scarce data regarding the
clinical implication of obesity and pulmonary hypertension (PH). Therefore, in the current
study, we evaluated the possible prognostic implications of obesity in PH patients.
METHODS:
We assessed 105 consecutive PH patients for clinical and hemodynamic parameters, focusing
on the possible association between Body Mass Index (BMI) and mortality. Follow-up period
was 19 ± 13 months.
RESULTS:
Sixty-one patients (58%) had pre-capillary PH and 39 patients (37%) out-of-proportion post-
capillary PH. During follow-up period, 30 patients (29%) died. Death was associated with
reduced functional-class, inverse-relation with BMI, higher pulmonary artery and right atrial
pressures, pulmonary vascular resistance and signs of right ventricular failure. In multivariate
analysis, obesity (BMI ≥ 30 kg/m²), was the variable most significantly correlated with
improved survival [H.R 0.2, 95% C.I 0.1-0.6; p = 0.004], even after adjustment for baseline
characteristics. Obese and very-obese (BMI ≥ 35 kg/m²) patients had significantly less
mortality rates during follow-up (12% and 8%, respectively) than non-obese patients (41%),
p = 0.01. The tendency of survival benefit for the obese vs. non-obese patients was
maintained both in the pre-capillary (10% vs. 46% mortality, p = 0.008) and disproportional
post-capillary PH patients (11% vs. 40% mortality, p = 0.04).
CONCLUSIONS:
Obesity was significantly associated with lower mortality in both pre-capillary and
disproportional post-capillary PH patients. It seems that in PH, similarly to other chronic
clinical cardiovascular disease states, there may be a protective effect of obesity, compatible
with the “obesity paradox”.
Daftar Pustaka
Irman, Sumantri. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
Nuzurul . 2012. Asuhan Keperawatan Cor Pulmonal. Diakses Tanggal 29 November 2012
Jam 20.00 Wib Http://Nuzulul-Fkp09.Web.Unair.Ac.Id/Artikel_Detail-35530-
Kep%20Respirasi-Askep%20Cor%20Pulmonal.Html
Pubmed. 2012. Jounal Cor Pulmonal. Diakses Tgl 2 Desember 2012 Jam 22.00 Wib
Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pubmed/23199841