Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan serta manajemen yang
dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan kita manusia robot
tanpa inisiatif. Meskipun keadaan ini merupakan pendidikan yang umum di Asia,
namun demikian barangkali keadaan di Indonesia adalah yang terparah.
Pendidikan kita sejak dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi berjalan
secara indoktriner.
Dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia yang berjalan selama ini bersifat
sentralistik dimana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan.
Sedangkan sekolah bersifat pasif, hanya menjalankan perintah dan melaksanakan
kebijakan pemerintah pusat. Pengelolaan yang seperti inilah yang menyebabkan
sekolah tidak bisa leluasa dan tidak kreatif dalam mengembangkan potensi yang
ada pada sekolah tersebut. Peran pemerintah pusat yang sangat dominan juga
akhirnya menjauhkan masyarakat dari sekolah. Pendidikan yang tadinya menjadi
bagian penting dan dijadikan alat bagi masyarakat untuk mencapai
kepentingannya, sudah dianggap tidak menjadi milik mereka lagi, sehingga terjadi
kerusakan dalam sekolah, masyarakat tidak mau memperbaiki.
Faktor-faktor penyebab kurangberhasil dalam upaya peningkatan kualitas
pendidikan antara lain karena strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih
bersifat input-oriented dan pengelolaan pendidikan yang sentralistik dan macro-
oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Pola pembinaan pendidikan
demikian kurang efisien dan kurang memberi peluang kepada pihak sekolah untuk
melakukan pemberdayaan diri ke arah kemandirian sekolah.1
Sentralisasi pengelolaan pendidikan telah membuat mutu pendidikan menjadi
terpuruk, terlihat dari program yang mengurutkan kualitas sistem pendidikan atau
PISA di 72 Negara, Indonesia menduduki peringkat 62, artinya masih jauh

1
B. Suryosubroto, Manajemen pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm.
203-204.

1
kualitas pendidikan di Indonesia jika dibandingan Negara tetangga yang telah
menerapkan sistem pendidikan yang baik sehingga dapat memajukan Negaranya.
Dari laporan tersebut pemerintah baru menyadari bahwa kebijakan yang
diberlakukan selama ini tidak berhasil meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia. Bahkan semakin hari mutu pendidikan kita tidak lebih baik.
Bermula dari keprihatinan akan mutu pendidikan inilah pemerintah mencoba
merubah kebijakan yang selama ini diberlakukan dan mencoba untuk menyelami
dimana letak masalahnya yang membuat mutu pendidikan tidak menjadi lebih
baik.
Setelah menyelami akar masalahnya dengan melihat di Negara-Negara maju,
bahwa akar masalahnya adalah kebijakan pemerintah yang sentralistik, sehingga
membuat daerah tidak punya kewenangan untuk mengembangkan potensinya
yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Maka
pemerintah memandang perlu untuk mengotonomikan pendidikan, agar masing-
masing daerah bisa mengembangkan potensinya, sesuai dengan kebutuhan dan
letak geografisnya.

B. Rumusan masalah dari latar belakang di atas yaitu:


1. Apa pengertian dari Desentralisasi Pendidikan ?
2. Bagaimana urgensi dalam Desentralisasi Pendidikan ?
3. Bagaimana prinsip-prinsip dari Desentralisasi Pendidikan ?
4. Bagaimana tujuan dan manfaat dari Desentralisasi Pendidikan ?
5. Apa faktor-faktor yang mendorong terjadinya Desentralisasi Pendidikan ?
6. Bagaimana tipologi kewenangan-kewenangan di sektor Pendidikan yang
dapat didesentralisasikan ?
7. Bagaimana pengaruh Variabel Desentralisasi yang akan Memperkuat
Karakteristik Sekolah yang Efektif ?
8. Bagaimana alur dari Sentralisasi ke Desentralisasi Pendidikan ?
9. Bagaimana Sasaran Desentralisasi Pendidikan di sekolah ?
10. Bagaimana Efektivitas Desentralisasi Pendidikan di Sekolah ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Desentralisasi Pendidikan.


Desentralisasi berasal dari bahasa Inggris decentralization yang berarti
pemberian wewenang oleh pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk
mengatur daerahnya sendiri. Desentralisasi ini membicarakan pergeseran
kewenangan dari mereka yang berada di satu tempat atau satu tingkatan Pusat
organisasi-organisasi pendidikan, kepada mereka yang berada ditingkatan lain.
Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin “de”, artinya
lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari
pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1
disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.2
Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang dikemukakan oleh para
ahli sebagai berikut:
1. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan
yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih redah, baik yang menyangkut
bidang legislatif, judikatif, atau administratif.

2. Desentralisasi menurut Soejanto adalah sebagai suatu sistem yang dipakai


dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi, dimana
sebagai kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk
dilaksanakan.

3. Mardiasmo mengartikan Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan


wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga
pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk
privatisasi.

2
Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1, Tentang Desentralisasi.

3
4. Pengertian desentralisasi koswara pada dasarnya mempunyai makna bahwa
melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semula
termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagaian
diserahkan kepada pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangga
sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan
tanggung jawab pemerintah daerah.

5. Desentralisasi atau mendesentralisasi pemerintahan bisa berarti


merestrukturisasikan atau mengatur kembali kekuasaan sehingga terdapat
suatu sistem tanggung jawab bersama antara intitusi-institusi pemerintah
tingkat pusat.3

Dari beberapa konsep diatas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi


merupakan adanya penyerahan wewenang urusan yang semula menjadi
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan
urusan-urusan tersebut.
Sebagai suatu sistem, pendekatan desentralisasi merupakan pendekatan pada
pembangunan yang berwawasan nusantara yang sehat, dengan menggali nilai-nilai
positif maupun sumber-sumber yang potensial dalam masyarakat. Desentralisasi
merupakan pendekatan yang mempercayakan pengelolaan pendidikan kepada
daerah untuk mendesainnya agar dapat efektif dan efisien. Partisipasi dari
masyarakat dalam menumbuhkan kreativitas dan meningkatkan produktivitas
serta sekaligus meningkatkan tanggung jawabnya terhadap pembangunan dan
hasil-hasilnya. Selain itu partisipasi masyarakat akan menumbuhkan kemandirian
dan munculnya tenaga-tenaga penggerak masyarakat.4
Sedangkan pengertian Pendidikan adalah Menurut UU No. 20 Tahun 2003
Tentang Sisdiknas, Pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

3
Sam Chan, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 76.
4
Yana Wardhana, Manajemen Pendidikan untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa (Bandung:
hh, 2009), hlm 17-18.

4
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. 5
Dengan demikian pengertian desentralisasi pendidikan adalah pergeseran
wewenang dalam pengambilan kebijakan mengenai pendidikan dari pemerintahan
pusat kepada pemerintahan daerah, dengan tujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah yang meliputi dari melaksanakan segala tugas pelaksanaan
pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan
kebijakan dan pembiayaan, sebagai antisipasi ketertinggalan mutu pendidikan kita
dengan negara-negara lain terutama di kawasan Asia pada khususnya dan negara-
negara di seluruh dunia pada umumnya dimasa yang akan datang.

B. Urgensi Desentralisasi Pendidikan.


Terjadinya pergantian orde pemerintahan dari Orde Baru kepada Orde
Reformasi,6 telah melahirkan sejumlah perubahan penting dalam tata
pemerintahan Indonesia. Salah satu hal penting yang menandai adanya perubahan
pada Orde reformasi ini adalah adanya pergeseran pola dari negara berstruktur
sentralistis hierarkis menjadi negara terdesentralisasi.
Ketika reformasi bergulir, tuntutan dari reformasi diantarnya adalah
demokratisasi, lahir dari sebuah keinginan untuk menciptakan tatanan demokrasi
yang ideal, maka kemunculan kebijakan otonomi daerah adalah yang tidak bisa
dielakkan. Adanya otonomi daerah adalah sebuah upaya pemerintah pusat dalam
memberikan ruang politik yang lebih luas bagi setiap daerah yang ada di
Indonesia, dengan demikian partisipasi politik di masyarakat pun akan meningkat,
harapannya ketika akan ada ruang politik yang luas bagi masyarakat melalui
kebijakan otonomi daerah, maka akan turut memberikan pengaruh pada
pembangunan disektor lainnya terkhusus di sektor pendidikan yang secara
keseluruhan memasuki segala aspek kehidupan yang terorganisir sebagai salah
satu faktor perkembangan mutu suatu negara.

5
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
6
Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hlm.
71.

5
Dengan adanya desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, maka pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah serta masyarakat. Peran serta masyarakat dilembagakan dalam bentuk
dewan pendidikan dan komite sekolah. Dewan pendidikan adalah lembaga
mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli dengan
pendidikan. Sedangkan komite sekolah adalah lembaga mandiri orang tua/wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli dengan
pendidikan.7
Seberapa perlukah desentralisasi dibutuhkan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Pertanyaan inilah yang melatar belakangi desentralisasi
pendidikan. Tetapi masalahnya adalah apakah dengan mendesentralisasi
pendidikan akan dengan serta merta mampu meningkatkan mutu pendidikan?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu adanya kesiapan berbagai pihak
baik dari pihak pemerintah, wakil rakyat, pengelola sekolah, orang tua murid dan
seluruh unsur masyarakat yang peduli dengan pendidikan untuk bersama-sama
menyukseskan program desentralisasi pendidikan yang bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Menurut Mohammad Joko Susilo, sedikitnya ada tiga faktor yang
menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan, yaitu:
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan
pendekatan Education, production, function atau input-output analysis
yang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
2. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratis
sentralistis.
3. Minimnya peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan.8
Untuk itu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah-sekolah
perlu adanya kebijakan dari pemerintah yang berpihak kepada kepentingan

7
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 12.
8
Mohammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 17.

6
sekolah, diantaranya adalah pemberian otonomi kepada sekolah untuk
mengembangkan potensi sekolahnya.
Menurut Indra Djati sidi, ada beberapa hal, mengapa desentralisasi
pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan:
1. Akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada
masyarakat masih rendah.
Terlalu kuatnya domonasi pemerintah pusat dalam manajemen mikro
penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara sistematik telah memadamkan
akuntabilitas sekolah kepada masyarakat sekitarnya.

2. Penggunaan sumber daya tidak optimal.


Rendahnya anggaran pendidikan merupakan kendala yang besar. Keadaan
ini diperburuk oleh sistem pengelolaan anggaran yang terpusat. Pemerintah
pusat seringkali mengasumsikan berbagai alat, bahan dan input pendidikan
lainnya yang dibutuhkan sekolah, dan asumsi itu sering kali keliru tidak
sesuai dengan kebutuhan sekolah.

3. Partisipasi masyarakat rendah.


Dalam skala mokro, sekolah memarginalisasi peran serta masyarakat dan
orang tua. Ini terbutkti dengan tidak seimbangnya antara hak dan kewajiban
anggota BP3 dalam manajemen sekolah. Anggota BP3 seharusnya mewadahi
partisipasi masyarakat dan orang tua. Peranannya hanya sebatas sebagai
sumber dana tambahan bagi sekolah.

4. Sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya.


Perubahan yang terjadi di lingkungannya begitu cepat baik perubahan
situasi politik, ekonomi, sosial, budaya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara sekolah mengalami kesulitan dalam mengikuti perubahan tersebut
karena terbelenggu oleh kebijakan dari pusat.9

9
Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 38

7
Dari beberapa masalah di atas pemerintah mencoba untuk mengubah
kebijakan sistem pendidikan nasional tidak lagi terpusat pada pemerintah pusat.
Pemerintah membagi kewenangan untuk mengatur sendiri pengelolaan pendidikan
pada daerah, karena daerah lebih mengetahui akan kebutuhan sekolahnya masing-
masing.
Dengan demikian peran pemerintah adalah memberikan layanan dan
dukungan kepada sekolah agar proses pendidikan berjalan efektif dan efisien.
Sehingga peran pemerintah yang semula sebagai regulator bergeser menjadi
fasilitator. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan hanya
mencakup dua aspek saja, yaitu: mutu dan pemerataan.
Untuk menjaga mutu pendidikan, pemerintah menetapkan 8 standar yang
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan sebagai penjabaran dari Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, tandar
pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilian pendidikan.10
Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP
Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat
dan propinsi. Pemeritah pusat hanya menangani penetapan standar kompetensi
siswa, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar nasional,
penetapan standar materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan,
persyaratan penerimaan, perpindahan dan sertifikasi siswa, kalender pendidikan
dan jumlah jam belajar efektif. Untuk propinsi, kewenangan terbatas pada
penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dari masyarakat minoritas,
terbelakang dan tidak mampu, dan penyediaan bantuan pengadaan buku mata
pelajaran pokok/modul pendidikan bagi siswa.
Pemerintah menetapkan peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya, melalui olahhati, olahpikir,
olahrasa dan olahraga agar memenuhi daya saing dalam menghadapi tantangan

10
UU No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

8
global. Demikian juga pemerintah akan menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan bagi seluruh siswa dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan
pendidikan yang layak. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam
program wajib belajar 9 tahun.11
Dengan demikian kurikulum pendidikan nasional dikembangkan dengan
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, dengan prinsip deversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah dan peserta didik.

C. Prinsip-prinsip Desentralisasi Pendidikan.


Prinsip otonomi dan desentralisasi Pendidikan sudah dijelaskan dalam GBHN
1999-2004 yang mencakup tujuh hal, yaitu :
1. Perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu.
2. Peningkatan kemampuan akademik, professional dan kesejahteraan tenaga
kependidikan.
3. Pembahasan sistem pendidikan (sekolah dan luar sekolah) sebagai pusat
nilai sikap.
4. Kemampuan dan partisipasi masyarakat.
5. Pembahasan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan
prinsip desentralisasi, otonomi dan manajemen.
6. Peningkatan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah dan masyarakat.
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara
terarah, terpadu, dan menyeluruh.12
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan yaitu:

11
PP Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan
Propinsi.
12
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi
(Jakarta: Buku Kompas, 2002), hlm. 5.

9
1. Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah (provinsi dan distrik).
2. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang
lebih besar di tingkat sekolah.

Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama berkaitan dengan otonomi


daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah.
Sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang kedua yaitu memfokuskan pada
pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan
motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan13.

D. Tujuan dan mafaat dari Desentralisasi Pendidikan.


Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi
berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa
negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan
adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada
pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah
pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau
kepada Dewan Sekolah.
Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah
target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school
resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah dan masyarakat). Hal
ini wajar dilakukan karena:14
1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber
daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
2. Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
dapat menciptakan transparansi dan demonstrasi yang sehat.

13
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 34.
14
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasinya (Jakarta: Grasindo,
2003), hlm 21

10
3. Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya.

Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah


peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar
mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada
reformasi proses belajar-mengajar. Partisipasi Orang tua dalam Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan
keberhasilan dalam belajar.

Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak


negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan
dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal. Desentralisasi meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih
luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah
pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih
besar diberikan pada tingkat sekolah.15

E. Faktor Pendorong Penerapan Desentralisasi Pendidikan.


Ada sejumlah faktor pendorong pelaksanaan desentralisasi pendidikan di
berbagai negara Hendyat Soetopo dalam (NCREL, 1995):
1. Tuntunan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator, bisnis, dan
perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan penilaian
kualitas pendidikan.
2. Adanya anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat
bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
3. Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif
kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beraneka ragam.
4. Penampilan fisik sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat.

15
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 35.

11
5. Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan pendanaan dan
privatisasi.

Selain faktor-faktor di atas, apa yang terjadi di Indonesia terdapat sejumlah


faktor yang mendorong desentralisasi di bidang pendidikan, yaitu:

1. Terjadinya tuntutan reformasi di segala bidang, termasuk bidang


manajemen pendidikan.
2. Kurangnya persaingan antar daerah dalam memajukan pendidikan,
karena tuntutan nasional yang seragam.
3. Tuntutan masyarakat untuk mandiri sesuai dengan kemampuan daerah
untuk meneyelenggarakan dan memajukan bidang pendidikan.
4. Ketidaksesuaian tuntutan nasional dengan potensi sumber daya di daerah.
5. Adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat atas
pendanaan, kurikulum, fasilitas, sumber daya manusia dalam
penyelenggaraan pendidikan.
6. Kurangnya kreatifitas daerah, sekolah, dan apalagi dari personel
penyelenggara dan pelaksana pendidikan, akibat rasa takut melanggar
aturan dari pihak atasan.
7. Kurangnya kemandirian lembaga pengelola dan pelaksana pendidikan
karena besarnya ketergantungan kepada pemerintah pusat.16

F. Tipologi kewenangan-kewenangan di sektor Pendidikan yang dapat


didesentralisasikan.
a. Organisasi dan Proses Belajar Mengajar.
a. Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
b. Waktu belajar di sekolah.
c. Penentuan buku yang digunakan.
d. Kurikulum.

16
Hendyat Soetopo, Desentralisasi dan Profesionalisme Manajemen dalam Kerangka
Otonomi Daerah (Malang: Jurnal Ilmiah, hh), hlm. 37-38.

12
e. Metode pembelajaran.

b. Manajemen Guru.
a. Memilih dan memberhentikan Kepala sekolah.
b. Memilih dan memberhentikan Guru.
c. Menentukan gaji Guru.
d. Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada Guru.
e. Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada Guru.

c. Struktur dan perencanaan.


a. Membuka atau menutup suatu sekolah.
b. Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
c. Definisi dari isi mata pelajaran.
d. Pengawasan atas kinerja sekolah.

d. Sumber Daya.
a. Program pengembangan sekolah.
b. Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
c. Alokasi anggaran non-personel.
d. Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.17

Dari pengalaman negara-negara maju (OECD) dan beberapa negara Amerika


Latin yang telah melakukan desentralisasi pendidikan dapat ditarik suatu benang
merah yang memberikan kesimpulan bahwa di negara-negara yang memberikan
kesimpulan bahwa di negara-negara yang tergabung dalam OECD, kewenang-
kewenangan dalam hal: penentuan buku pelajaran, metode pembelajaran,
tanggung jawab dalam pelaksanaan rencana pengembangan sekolah cenderung
berlaku di tingkat sekolah dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

17
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 35-36.

13
Adapun pengamatan di negara-negara Amerika Latin menyimpulkan bahwa
kewenangan dalam menentukan kurikulum ini tetap berada pada pemerintah
pusat, demikian pula dengan kewenangan dalam melaksanakan ujian-ujian yang
diberlakukan secara nasional. Kesimpulan ini berlaku secara umum di negara-
negara Amerika Latin, dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dari masing-masing negara.

G. Variabel Desentralisasi yang Akan Memperkuat Karakteristik Sekolah yang


Efektif.
1. Kepemimpinan.
a. Kepala sekolah dipilih oleh masyarakat dengan menggunakan kriteria
yang transparan.
b. Program pengembangan sekolah disusun pada tingkat lokal.
c. Penggalian dana untuk melaksanakan program-program sekolah.

2. Guru dengan Kualifikasi dan Komitmen Tinggi.


a. Sekolah diberi kewenangan untuk mengubah kurikulum dan proses
pembelajaran.
b. Kepala sekolah diberi wewenang untuk mengevaluasi guru.
c. Sekolah diberikewenangan dan prasarana/dana untuk menentukan
sendiri program pelatihan bagi guru-gurunya.

3. Fokus Pada Proses Pembelajaran.


a. Program pengembangan dan peningkatan kualitas sekolah menekankan
pada aspek peningkatan proses pembelajaran.
b. Keterbukaan informasi mengenai proses pembelajaran yang
dilaksanakan sekolah.

4. Bertanggung Jawab Terhadap Hasil Yang Dicapai.

14
a. Kepala sekolah diangkat berdasarkan masa jabatan, perpanjangan masa
jabatan tergantung pada prestasi dalam memenuhi target peningkatan
proses pembelajaran sekolah.18

Misi desentralisasi pendidikan yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat


dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi
daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang, terselenggaranya
sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman, antara lain terserapnya
konsep globallisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan
demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah
setempat, masyarakat dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan
dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal.
Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka
mengembangkan kebudayaan nasional.
Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pemelajaran yang
menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan fisik
maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan alat pemersatu bangsa.

H. Dari Sentralisasi ke Desentralisasi Pendidikan.


Sistem pendidikan yang berlaku sampai saat ini bersifat sangat sentralistis,
yang dimulai dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, hingga peranan
pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru(sekolah negeri): misalnya,
pusat sangat dominan yang menentukan dalam setiap keputusan tentang proses
rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru. Demikian
pula dari aspek keuangan. Gaji guru sekolah negeri ditetapkan dan dibayarkan
pemerintah, meskipun gaji guru SD pengelolaannya dilaksanakan di Provinsi,
sedangkan gaji guru SLTP dan SLTA langsung oleh pusat melalui KPKN.

18
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 37.

15
Dari segi dana di luar gaji yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing
sekolah diberikan dengan cara alokasi dana dari Pusat ke Daerah
(Kabupaten/Kota) berdasarkan jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut.
Mekanisme alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama
untuk setiap sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan
jumlah murid, lokasi, ataupun tingkat kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara
seperti ini jelas mengandung banyak kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi
pemerataan (equity) dalam pengalokasian dana ke masing-masing sekolah.
Sejalan dengan proses desentralisasi yang segera akan diimplementasikan
pemerintah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, dapat
ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam sektor pendidikan dengan mengacu
pada pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota, serta perimbangan keuangan Pusat Daerah sebagai berikut:
1. Kewenangan Pemerintah Pusat:
Melaksanakan kewenangan-kewenangan pemerintah dalam bidang-bidang
Pertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Pradilan, Fiskal/Moneter,
Agama, serta kewenangan bidang pemerintahan lainnya dan atau kebijakan
strategis yang diterapkan dengan peraturan pemerintah.

2. Kewenangan Pemerintah Provinsi:


Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan
Kota yang menjadi tanggung jawab Provinsi, misalnya adalah kewenangan
dibidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, perkebunan, disamping
kewenangan pemerintah tertentu lainnya.

3. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota:


Mencakup seluruh kewenangan Pemerintahan selain kewenangan
Pemerintahan Pusat dan Provinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah Kabupaten dan daerah Kota,
meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan,

16
perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan
pertahanan.

4. Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah:


Di sisi fiskal, perimbangan keuangan Pusat-Daerah menurut UU Nomor 25
Tahun 1999 (UU PKPD) mengatur pembagian keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, dengan mempertimbangkan aspek pemerataan antardaerah,
potensi, kondisi, dan kebutuhan objektif daerah.
Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UU PKPD, meliputi:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
b. Dana Perimbangan.
c. Pinjaman Daerah.
d. Lain-lain Pendapatan yang sah.
Daerah melaksanakan semua kewenangannya yang berkaitan dengan
desentralisasi dengan dibiayai dari anggaran Daerah.19

I. Sasaran Desentralisasi Pendidikan di Sekolah.


Agar desentralisasi pendidikan bisa tercapai dengan baik, maka ada sasaran
desentralisasi yang didasarkan pada pengujian sejumlah reformasi. Desentralisasi
diusulkan dalam rangka:
1. Meningkatkan pendidikan secara langsung.
Misalnya melalui peningkatan jumlah input pendidikan di sekolah,
peningkatan relevansi program atau menyesuaikan isi program dengan
kepentingan lokal, peningkatan inovasi program, peningkatan berbagai
pilihan yang ada bagi para siswa, pengurangan ketidaksamaan akses ke
pendidikan mutu, peningkatan hasil pembelajaran.
2. Meningkatkan penyelenggaraan sistem pendidikan.
Seperti peningkatan efisiensi alokasi sumber daya, peningkatan
penyesuaian program dengan persyaratan tenaga kerja, peningkatan
penggunaan informasi tentang isu, problem atau inovasi.

19
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 38.

17
3. Mengubah sumber daya dan jumlah dana yang tersedia bagi pendidikan.
Misalnya peningkatan jumlah uang secara keseluruhan yang dibelanjakan
untuk pendidikan, penggeseran sumber daya keuangan dari satu kelompok
sosial kekelompok sosial yang lain (selain didalam tingkat pemerintahan).20

Sasaran desentralisasi pendidikan di atas tidak akan efektif jika di lapangan


tidak bisa berjalan dengan baik, untuk itu dalam memaksimalkan keberhasilan
pencapaian sasaran tersebut perlu adanya tindakan konkrit yang dilaksanakan oleh
berbagai pihak yang terlibat dengan pendidikan.

J. Efektivitas Desentralisasi Pendidikan.


Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 19 tahun 2005 tetang
Standar Nasional Pendidikan pasal 49 ayat 1 menjelaskan, Pengelolaan satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen
berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi,
keterbukaan dan akuntabilitas.21
Peraturan pemerintah tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan
tidak lagi berada pada pemerintahan pusat (sentralisasi), wewenang pengelolaan
diberikan pada sekolah masing-masing (desentralisasi).
Kebanyakan desentralisasi mengalami kegagalan dalam mencapai sasaran-
sasaran yang ingin dicapai karena tidak memenuhi satu atau dua kondisi yang
memadai. Bagi sekolah yang mempunyai sumber daya manusia yang baik dan
ditopang dengan dana yang cukup, mungkin kebijakan pemerintah untuk
mendesentralisasikan lembaga pendidikan menjadi angin segar untuk lebih
meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya tanpa ada yang membatasi ruang
geraknya. Tapi sebaliknya bagi lembaga pendidikan yang belum mempunyai
sumber daya yang baik, maka desentralisasi akan menjadi masalah dikemudian
hari.
Desentralisasi pendidikan akan efektif jika ada kesiapan dari pihak-pihak
yang terkait dengan pendidikan, yaitu:

20
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 40.
21
PP Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 49, ayat 1, Tentang Standar Nasional Pendidikan.

18
1. Dukungan Politik terhadap Perubahan.
Dalam pelaksanaan otonomi pendidikan di daerah, sangat dipengaruhi oleh
dukungan politik terhadap perubahan, dimana masyarakat ingin diajak bicara
dan dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan kebijakan-kebijakan sekolah setempat.
Banyak reformasi pendidikan yang gagal karena antusiasme terhadap
perubahan yang dimiliki sejumlah aktor atau stakeholder yang terlalu sedikit.
Mereka yang terlibat dalam pendidikan harus merencanakan program-
program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan. Karena desentralisasi
pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks, maka pihak-pihak yang
berkepentingan harus mengupayakan yaitu:
a. Menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang
konkret.
b. Mengatur sumber daya serta pemanfaatannya.
c. Memillih tenaga-tenaga (sumber daya manusia) yang professional, baik
tenaga guru maupun tenaga karyawan.
d. Menyusun kurikulum yang sesuai, dan
e. Mengelola system pendidikan yang berdasarkan kepada kebudayaan
setempat.22

Bila kelima unsur diatas bisa berjalan dengan baik ditingkat sekolah, maka
desentralisasi pendidikan yang diharapkan oleh pemerintah berjalan dengan
baik pula, demikian sebaliknya.

2. Mereka yang terlibat dalam pendidikan mampu melaksanakan dengan


baik.
Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang terlibat dalam pendidikan?
Mereka yang dimaksud adalah stakeholder, yaitu orang-orang atau golongan
yang memiliki kepentingan bersama dalam suatu tindakan tertentu, dan
konsekuensinya serta yang dipengaruhi olehnya. Stakeholder ini bisa meliputi

22
Ali Priyono, Desentralisasi Pendidikan: Suatu Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Di
Sekolah (Surabaya: hh, 2010), hlm. 3.

19
orang tua, para siswa, anggota masyarakat dan dunia usaha yang peduli
dengan pendidikan.
Stakeholder yang potensial akan memberikan kontribusi dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pihak
sekolah harus mampu melaksanakan program-program yang telah
direncanakan dengan baik. Berhasil tidaknya sebuah program akan tergantung
pada kemampuan dan keterampilan para pelaksana di lapangan.
Menurut Miles dan koleganya, faktor-faktor penyebab keberhasilan
pelaksanaan program yang telah direncanakan di sekolah ada 16 faktor, yaitu:
a. Kepemimpinan.
b. Otonomi sekolah.
c. Kekohesian staf.
d. Program yang baik/cocok.
e. Pembagian kekuasaan.
f. Imbalan bagi staf.
g. Visi.
h. Pengendalian staf.
i. Pengendalian sumberdaya.
j. Kemauan/inisiatif staf.
k. Perkembangan evolusi program.
l. Jaringan luar (eksternal).
m. Penyesuaian diri.
n. Pelaksanaan yang baik’
o. Pelembagaan.
p. Perubahan organisasi.23

Kepala sekolah harus pandai mengorganisasikan para stafnya.


Memberikan dukungan yang besar dan cepat merespon terhadap masalah-
masalah yang muncul serta memecahkan masalah tersebut secara bersama-
sama.
23
Ali Priyono, Desentralisasi Pendidikan: Suatu Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Di
Sekolah, hlm. 4.

20
Berhasil dan tidaknya suatu program akan sangat bergantung dari
kemampuan seorang pimpinan. Adapun ciri-ciri pemimpin yang baik yang
didasarkan atas efesiensi dan efektivitas adalah:
a. Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi.
b. Mementingkan penyelesaian tugas.
c. Energik.
d. Tegar dalam menghadapi masalah.
e. Berani mengambil resiko.
f. Bersifat jujur.
g. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi.
h. Mempunyai kemampuan mengendalikan stress.
i. Mempunyai kemampuan mempengaruhi.
j. Mempunyai kemampuan mengkoordinasi upaya orang lain dalam
pencapaian tujuan.

Sekolah-sekolah yang berada di pelosok-pelosok Desa, dimana sumber


daya Manusianya masih minim, Orang tua murid yang belum sadar penuh
akan pentingnya pendidikan bagi putra-putrinya, akan menjadi kendala bagi
efektifitas desentralisasi pendidikan. Dan ini butuh perhatian yang serius dari
pemerintah agar mampu bersaing dengan sekolah-sekolah yang ada di
perkotaan, dimana tenaga pengajarnya sudah memenuhi kualifikasi sebagai
tenaga pendidik dan para orang tua murid sadar akan pentingnya pendidikan
bagi putra-putrinya. Sehingga efektifitas desentralisasi bisa diharapkan
berjalan dengan baik untuk memperbaiki mutu pendidikan.24

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Desenralisasi

24
Ali Priyono, Desentralisasi Pendidikan: Suatu Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Di
Sekolah, hlm. 5.

21
Adalah penyerahan wewenang urusan yang semula menjadi kewenangan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-
urusan tersebut.
2. Desentralisasi pendidikan
Adalah pergeseran wewenang dalam pengambilan kebijakan mengenai
pendidikan dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, dengan
tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
3. Desentralisasi menciptakan kewenangan-kewenangan di Sekolah yaitu:
a. Organisasi dan Proses Belajar Mengajar.
1) Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
2) Waktu belajar di sekolah.
3) Penentuan buku yang digunakan.
4) Kurikulum.
5) Metode pembelajaran.
b. Manajemen Guru.
1) Memilih dan memberhentikan Kepala sekolah.
2) Memilih dan memberhentikan Guru.
3) Menentukan gaji Guru.
4) Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada Guru.
5) Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada Guru.
c. Struktur dan perencanaan.
1) Membuka atau menutup suatu sekolah.
2) Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
3) Definisi dari isi mata pelajaran.
4) Pengawasan atas kinerja sekolah.
d. Sumber Daya.
1) Program pengembangan sekolah.
2) Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).

22
23

Anda mungkin juga menyukai