PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan serta manajemen yang
dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan kita manusia robot
tanpa inisiatif. Meskipun keadaan ini merupakan pendidikan yang umum di Asia,
namun demikian barangkali keadaan di Indonesia adalah yang terparah.
Pendidikan kita sejak dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi berjalan
secara indoktriner.
Dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia yang berjalan selama ini bersifat
sentralistik dimana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan.
Sedangkan sekolah bersifat pasif, hanya menjalankan perintah dan melaksanakan
kebijakan pemerintah pusat. Pengelolaan yang seperti inilah yang menyebabkan
sekolah tidak bisa leluasa dan tidak kreatif dalam mengembangkan potensi yang
ada pada sekolah tersebut. Peran pemerintah pusat yang sangat dominan juga
akhirnya menjauhkan masyarakat dari sekolah. Pendidikan yang tadinya menjadi
bagian penting dan dijadikan alat bagi masyarakat untuk mencapai
kepentingannya, sudah dianggap tidak menjadi milik mereka lagi, sehingga terjadi
kerusakan dalam sekolah, masyarakat tidak mau memperbaiki.
Faktor-faktor penyebab kurangberhasil dalam upaya peningkatan kualitas
pendidikan antara lain karena strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih
bersifat input-oriented dan pengelolaan pendidikan yang sentralistik dan macro-
oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Pola pembinaan pendidikan
demikian kurang efisien dan kurang memberi peluang kepada pihak sekolah untuk
melakukan pemberdayaan diri ke arah kemandirian sekolah.1
Sentralisasi pengelolaan pendidikan telah membuat mutu pendidikan menjadi
terpuruk, terlihat dari program yang mengurutkan kualitas sistem pendidikan atau
PISA di 72 Negara, Indonesia menduduki peringkat 62, artinya masih jauh
1
B. Suryosubroto, Manajemen pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm.
203-204.
1
kualitas pendidikan di Indonesia jika dibandingan Negara tetangga yang telah
menerapkan sistem pendidikan yang baik sehingga dapat memajukan Negaranya.
Dari laporan tersebut pemerintah baru menyadari bahwa kebijakan yang
diberlakukan selama ini tidak berhasil meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia. Bahkan semakin hari mutu pendidikan kita tidak lebih baik.
Bermula dari keprihatinan akan mutu pendidikan inilah pemerintah mencoba
merubah kebijakan yang selama ini diberlakukan dan mencoba untuk menyelami
dimana letak masalahnya yang membuat mutu pendidikan tidak menjadi lebih
baik.
Setelah menyelami akar masalahnya dengan melihat di Negara-Negara maju,
bahwa akar masalahnya adalah kebijakan pemerintah yang sentralistik, sehingga
membuat daerah tidak punya kewenangan untuk mengembangkan potensinya
yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Maka
pemerintah memandang perlu untuk mengotonomikan pendidikan, agar masing-
masing daerah bisa mengembangkan potensinya, sesuai dengan kebutuhan dan
letak geografisnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1, Tentang Desentralisasi.
3
4. Pengertian desentralisasi koswara pada dasarnya mempunyai makna bahwa
melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semula
termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagaian
diserahkan kepada pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangga
sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan
tanggung jawab pemerintah daerah.
3
Sam Chan, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 76.
4
Yana Wardhana, Manajemen Pendidikan untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa (Bandung:
hh, 2009), hlm 17-18.
4
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. 5
Dengan demikian pengertian desentralisasi pendidikan adalah pergeseran
wewenang dalam pengambilan kebijakan mengenai pendidikan dari pemerintahan
pusat kepada pemerintahan daerah, dengan tujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah yang meliputi dari melaksanakan segala tugas pelaksanaan
pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan
kebijakan dan pembiayaan, sebagai antisipasi ketertinggalan mutu pendidikan kita
dengan negara-negara lain terutama di kawasan Asia pada khususnya dan negara-
negara di seluruh dunia pada umumnya dimasa yang akan datang.
5
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
6
Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hlm.
71.
5
Dengan adanya desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, maka pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah serta masyarakat. Peran serta masyarakat dilembagakan dalam bentuk
dewan pendidikan dan komite sekolah. Dewan pendidikan adalah lembaga
mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli dengan
pendidikan. Sedangkan komite sekolah adalah lembaga mandiri orang tua/wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli dengan
pendidikan.7
Seberapa perlukah desentralisasi dibutuhkan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Pertanyaan inilah yang melatar belakangi desentralisasi
pendidikan. Tetapi masalahnya adalah apakah dengan mendesentralisasi
pendidikan akan dengan serta merta mampu meningkatkan mutu pendidikan?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu adanya kesiapan berbagai pihak
baik dari pihak pemerintah, wakil rakyat, pengelola sekolah, orang tua murid dan
seluruh unsur masyarakat yang peduli dengan pendidikan untuk bersama-sama
menyukseskan program desentralisasi pendidikan yang bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Menurut Mohammad Joko Susilo, sedikitnya ada tiga faktor yang
menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan, yaitu:
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan
pendekatan Education, production, function atau input-output analysis
yang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
2. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratis
sentralistis.
3. Minimnya peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan.8
Untuk itu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah-sekolah
perlu adanya kebijakan dari pemerintah yang berpihak kepada kepentingan
7
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 12.
8
Mohammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 17.
6
sekolah, diantaranya adalah pemberian otonomi kepada sekolah untuk
mengembangkan potensi sekolahnya.
Menurut Indra Djati sidi, ada beberapa hal, mengapa desentralisasi
pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan:
1. Akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada
masyarakat masih rendah.
Terlalu kuatnya domonasi pemerintah pusat dalam manajemen mikro
penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara sistematik telah memadamkan
akuntabilitas sekolah kepada masyarakat sekitarnya.
9
Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 38
7
Dari beberapa masalah di atas pemerintah mencoba untuk mengubah
kebijakan sistem pendidikan nasional tidak lagi terpusat pada pemerintah pusat.
Pemerintah membagi kewenangan untuk mengatur sendiri pengelolaan pendidikan
pada daerah, karena daerah lebih mengetahui akan kebutuhan sekolahnya masing-
masing.
Dengan demikian peran pemerintah adalah memberikan layanan dan
dukungan kepada sekolah agar proses pendidikan berjalan efektif dan efisien.
Sehingga peran pemerintah yang semula sebagai regulator bergeser menjadi
fasilitator. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan hanya
mencakup dua aspek saja, yaitu: mutu dan pemerataan.
Untuk menjaga mutu pendidikan, pemerintah menetapkan 8 standar yang
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan sebagai penjabaran dari Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, tandar
pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilian pendidikan.10
Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP
Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat
dan propinsi. Pemeritah pusat hanya menangani penetapan standar kompetensi
siswa, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar nasional,
penetapan standar materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan,
persyaratan penerimaan, perpindahan dan sertifikasi siswa, kalender pendidikan
dan jumlah jam belajar efektif. Untuk propinsi, kewenangan terbatas pada
penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dari masyarakat minoritas,
terbelakang dan tidak mampu, dan penyediaan bantuan pengadaan buku mata
pelajaran pokok/modul pendidikan bagi siswa.
Pemerintah menetapkan peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya, melalui olahhati, olahpikir,
olahrasa dan olahraga agar memenuhi daya saing dalam menghadapi tantangan
10
UU No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
8
global. Demikian juga pemerintah akan menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan bagi seluruh siswa dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan
pendidikan yang layak. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam
program wajib belajar 9 tahun.11
Dengan demikian kurikulum pendidikan nasional dikembangkan dengan
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, dengan prinsip deversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah dan peserta didik.
11
PP Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan
Propinsi.
12
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi
(Jakarta: Buku Kompas, 2002), hlm. 5.
9
1. Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah (provinsi dan distrik).
2. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang
lebih besar di tingkat sekolah.
13
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 34.
14
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasinya (Jakarta: Grasindo,
2003), hlm 21
10
3. Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya.
15
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 35.
11
5. Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan pendanaan dan
privatisasi.
16
Hendyat Soetopo, Desentralisasi dan Profesionalisme Manajemen dalam Kerangka
Otonomi Daerah (Malang: Jurnal Ilmiah, hh), hlm. 37-38.
12
e. Metode pembelajaran.
b. Manajemen Guru.
a. Memilih dan memberhentikan Kepala sekolah.
b. Memilih dan memberhentikan Guru.
c. Menentukan gaji Guru.
d. Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada Guru.
e. Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada Guru.
d. Sumber Daya.
a. Program pengembangan sekolah.
b. Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
c. Alokasi anggaran non-personel.
d. Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.17
17
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 35-36.
13
Adapun pengamatan di negara-negara Amerika Latin menyimpulkan bahwa
kewenangan dalam menentukan kurikulum ini tetap berada pada pemerintah
pusat, demikian pula dengan kewenangan dalam melaksanakan ujian-ujian yang
diberlakukan secara nasional. Kesimpulan ini berlaku secara umum di negara-
negara Amerika Latin, dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dari masing-masing negara.
14
a. Kepala sekolah diangkat berdasarkan masa jabatan, perpanjangan masa
jabatan tergantung pada prestasi dalam memenuhi target peningkatan
proses pembelajaran sekolah.18
18
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 37.
15
Dari segi dana di luar gaji yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing
sekolah diberikan dengan cara alokasi dana dari Pusat ke Daerah
(Kabupaten/Kota) berdasarkan jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut.
Mekanisme alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama
untuk setiap sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan
jumlah murid, lokasi, ataupun tingkat kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara
seperti ini jelas mengandung banyak kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi
pemerataan (equity) dalam pengalokasian dana ke masing-masing sekolah.
Sejalan dengan proses desentralisasi yang segera akan diimplementasikan
pemerintah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, dapat
ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam sektor pendidikan dengan mengacu
pada pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota, serta perimbangan keuangan Pusat Daerah sebagai berikut:
1. Kewenangan Pemerintah Pusat:
Melaksanakan kewenangan-kewenangan pemerintah dalam bidang-bidang
Pertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Pradilan, Fiskal/Moneter,
Agama, serta kewenangan bidang pemerintahan lainnya dan atau kebijakan
strategis yang diterapkan dengan peraturan pemerintah.
16
perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan
pertahanan.
19
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 38.
17
3. Mengubah sumber daya dan jumlah dana yang tersedia bagi pendidikan.
Misalnya peningkatan jumlah uang secara keseluruhan yang dibelanjakan
untuk pendidikan, penggeseran sumber daya keuangan dari satu kelompok
sosial kekelompok sosial yang lain (selain didalam tingkat pemerintahan).20
20
Arbangi. dkk, Manajemen Mutu Pendidikan, hlm. 40.
21
PP Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 49, ayat 1, Tentang Standar Nasional Pendidikan.
18
1. Dukungan Politik terhadap Perubahan.
Dalam pelaksanaan otonomi pendidikan di daerah, sangat dipengaruhi oleh
dukungan politik terhadap perubahan, dimana masyarakat ingin diajak bicara
dan dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan kebijakan-kebijakan sekolah setempat.
Banyak reformasi pendidikan yang gagal karena antusiasme terhadap
perubahan yang dimiliki sejumlah aktor atau stakeholder yang terlalu sedikit.
Mereka yang terlibat dalam pendidikan harus merencanakan program-
program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan. Karena desentralisasi
pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks, maka pihak-pihak yang
berkepentingan harus mengupayakan yaitu:
a. Menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang
konkret.
b. Mengatur sumber daya serta pemanfaatannya.
c. Memillih tenaga-tenaga (sumber daya manusia) yang professional, baik
tenaga guru maupun tenaga karyawan.
d. Menyusun kurikulum yang sesuai, dan
e. Mengelola system pendidikan yang berdasarkan kepada kebudayaan
setempat.22
Bila kelima unsur diatas bisa berjalan dengan baik ditingkat sekolah, maka
desentralisasi pendidikan yang diharapkan oleh pemerintah berjalan dengan
baik pula, demikian sebaliknya.
22
Ali Priyono, Desentralisasi Pendidikan: Suatu Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Di
Sekolah (Surabaya: hh, 2010), hlm. 3.
19
orang tua, para siswa, anggota masyarakat dan dunia usaha yang peduli
dengan pendidikan.
Stakeholder yang potensial akan memberikan kontribusi dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pihak
sekolah harus mampu melaksanakan program-program yang telah
direncanakan dengan baik. Berhasil tidaknya sebuah program akan tergantung
pada kemampuan dan keterampilan para pelaksana di lapangan.
Menurut Miles dan koleganya, faktor-faktor penyebab keberhasilan
pelaksanaan program yang telah direncanakan di sekolah ada 16 faktor, yaitu:
a. Kepemimpinan.
b. Otonomi sekolah.
c. Kekohesian staf.
d. Program yang baik/cocok.
e. Pembagian kekuasaan.
f. Imbalan bagi staf.
g. Visi.
h. Pengendalian staf.
i. Pengendalian sumberdaya.
j. Kemauan/inisiatif staf.
k. Perkembangan evolusi program.
l. Jaringan luar (eksternal).
m. Penyesuaian diri.
n. Pelaksanaan yang baik’
o. Pelembagaan.
p. Perubahan organisasi.23
20
Berhasil dan tidaknya suatu program akan sangat bergantung dari
kemampuan seorang pimpinan. Adapun ciri-ciri pemimpin yang baik yang
didasarkan atas efesiensi dan efektivitas adalah:
a. Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi.
b. Mementingkan penyelesaian tugas.
c. Energik.
d. Tegar dalam menghadapi masalah.
e. Berani mengambil resiko.
f. Bersifat jujur.
g. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi.
h. Mempunyai kemampuan mengendalikan stress.
i. Mempunyai kemampuan mempengaruhi.
j. Mempunyai kemampuan mengkoordinasi upaya orang lain dalam
pencapaian tujuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Desenralisasi
24
Ali Priyono, Desentralisasi Pendidikan: Suatu Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Di
Sekolah, hlm. 5.
21
Adalah penyerahan wewenang urusan yang semula menjadi kewenangan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-
urusan tersebut.
2. Desentralisasi pendidikan
Adalah pergeseran wewenang dalam pengambilan kebijakan mengenai
pendidikan dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, dengan
tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
3. Desentralisasi menciptakan kewenangan-kewenangan di Sekolah yaitu:
a. Organisasi dan Proses Belajar Mengajar.
1) Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
2) Waktu belajar di sekolah.
3) Penentuan buku yang digunakan.
4) Kurikulum.
5) Metode pembelajaran.
b. Manajemen Guru.
1) Memilih dan memberhentikan Kepala sekolah.
2) Memilih dan memberhentikan Guru.
3) Menentukan gaji Guru.
4) Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada Guru.
5) Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada Guru.
c. Struktur dan perencanaan.
1) Membuka atau menutup suatu sekolah.
2) Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
3) Definisi dari isi mata pelajaran.
4) Pengawasan atas kinerja sekolah.
d. Sumber Daya.
1) Program pengembangan sekolah.
2) Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
22
23