Sosialisme Marx banyak menulis tentang pandangan hidup yang baru, pandangan
yang semata-mata terdorong oleh cita-cita mulia untuk membela nasib kaum tertindas di
negara-negara industi-kapitalis. Cita cita yang demikian, sama sekali tidak berlawananan
dengan ajaran Islam, sebab islam mengajarkan untuk melaksanakan peri kemanusiaaan,
menegakan keadilan, walaupun arus dengan pengorbanan, memerdekakan budak, menolong
si miskin dan jangan memeras si buruh. Dalam Al-Quran dan Hadist, Islam Nampak jelas
sangat membela, hendak meninggikan nasib kaum lemah, seperti budak dan kaum miskin.
Nabi Muhammad dan Karl Marx memang hidup pada perbedaan waktu yang jauh,
sehingga wajar apabila pada terdapat perbedaan dalam kondisi keadaan masyarakatnya.
Namun Islam dan Sosialisme Marx, keduanya secara jelas menentang yang disebut sebagai
kapitalisme. Sebenarnya di dalam Islam membolehkan umatnya untuk mencari kekayaan
seperti contohnya berdagang, akan tetapi harus pada batas-batas kemanusiaan, tidak
melakukan monopoli yang dilakukan oleh kapitalis supaya dapat mengusai harga pasar. Hal
ini dimaksudkan sebagai usaha dalam menciptakan keadilan di masyarakat.
Akan tetapi konsep Sosialisme Marx yang berdasar pada prinsip materialisme tidak
dapat diterima dalam Islam. Prinsip materialisme yang dianut sosialisme Marx mengajarkan
bahwa semua ideologi(agama, kesusilaan, hokum, politik) dilahirkan oleh keadaan ekonomi.
Berbeda dengan Islam dengan pandangannya yang dinamis, seperti dalam Al-Quran surat Ar-
radd ayat 11, “...,Allah tidak akan mengubah kedaan ummat manusia, kalau mereka sendiri
tidak merubahnya,...”. Kemuliaan bagi seseorang atau bangsa akan timbul apabila dia sendiri
ada usaha untuk mencapainya, dengan kata lain manusia harus berjuang untuk mendapatkan
kemajuan. Tidak mungkin dengan duduk berdoa saja perbaikan nasib akan terjadi kepadanya.
Sebagai contohnya pada kaum buruh, menurut Islam kaum buruh haruslah bangun
bersatu untuk melawan tindak ketidakadilan yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.
Akan tetapi menurut Sosialisme Marx, kaum buruh tersebut harus berjuang bukan untuk
menegakkan keadilan, melainkan untuk merebut kekuasaan politik. Keadilan bukanlah suatu
paham tentang ekonomi, melainkan paham tentang kesusilaan.
Sosialisme Marx menginginkan pada persamaan yang sama rata dan idealis. Setiap
anggota masyarakatnya mempunyai rasa tanggung jawab, disiplin yang sama. Orang yang
sifatnya malas tentunya akan mengganggu berlangsungnya sistem ini. Sekali lagi terdapat
perbedaan pandangan antara sosialisme Marx dan pandangan Islam. Pandangan Islam
menjelaskan bahwa apa yang ada di dunia adalah nyata, dunia yang ada memang disusun
oleh 2 unsur yang berlawanan, kaya-miskin, tinggi-rendah, besar-kecil, pandai-bodoh, rajin-
malas, dsb, adalah merupakan pasangan yang saling memerlukan guna terwujudnya dunia ini.
Akan tetapi pandangan ini bukan berarti Islam bertangan dingin terhadap nasib kaum lemah,
kaum miskin, kaum tertindas.
Kapitalisme sampai pada waktu itu hanya menguntungkan segelintir kelompok tetap
menjadi musuh bersama. Lebih parah kapitalisme tidak memiliki sikap fitantropi
(kedermawanan) terhadap rakyat Indonesia. Maka sosialisme yang digaungkan pejuang
adalah langkah tepat untuk merebut aset-aset Indonesia yang dikuasai Belanda seperti
perkebunan rempah-rempah Indonesia. Terbukti kelak sosialisme Islam ini diejawantahkan
oleh Soekarno dengan menasionalisasi beberapa perusahaan Belanda menjadi milik nasional.
Di Indonesia, sosialisme religius telah dianjurkan sejak awal abad ke-20 oleh tokoh-
tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1905 (bukunya Islam dan Sosialisme) dan K.
H. Agus Salim. H.O.S. Tjokroaminoto memandang sistem kapitalisme yang dibawa oleh
pemerintah Hindia Belanda di Indonesia merupakan bentuk dari “Kapitalisme Murtad”,
sekali pun sistem ini menurut Max Weber lahir dari buaian agama Protestan, yaitu madzab
Calvinis. Tokoh-tokoh Islam lain yang berpikiran seperti itu dapat disebutkan di sini ialah
Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Nurcholis Madjid,
Mubyarto dan lain-lain.
K. H. Agus Salim (1920), tokoh Sarekat Islam yang terkemuka, mengatakan bahwa
gagasan tentang sosialisme tercakup dalam ajaran agama, khususnya Islam. Syafrudin
Prawiranegara (1955) mengatakan bahwa seorang muslim haruslah sekaligus seorang
sosialis. Tidak mengherankan karenanya oleh Kahin menyebut Masyumi sebagai partai Islam
Sosialis, karena tokoh-tokoh sering mengemukakan bahwa sosialisme telah terdapat dalam
ajaran Islam, sebagaimana dalam agama-agama Samawi lain seperti Yahudi dan Kristen
klasik, serta dalam agama Zoroaster, khususnya aliran Mazdak. Perilaku atau kebijakan
ekonomi yang tidak mampu menopang, apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial
dikutuk dengan keras dalam kitab suci agama-agama tersebut