Anda di halaman 1dari 5

CAUDA EQUINA SYNDROME

Cauda equina merupakan kumpulan akar saraf intradural pada ujung medulla spinalis.
Cauda merupakan bahasa latin dari ekor, dan equina adalah bahasa latin untuk kuda, sehingga
berarti ekor kuda. Medula spinalis adalah kelanjutan medulla oblongata kearah bawah yang
dimulai tepat dibawah foramen magnum dan berakhir pada diskus intervertebralis antara
vertebrae lumbalis pertama dan kedua sebagai struktur yang mengecil yang disebut conus
medullaris, terdiri dari segmen medulla spinalis sakralis. Ini memberi inervasi sensorik ke
“saddle area”, inervasi motorik ke sfingter dan inervasi parasimpatis ke kandung kencing dan
usus bagian bawah, yaitu dari flexura lienalis kiri ke rektum.
Saraf pada region cauda equina meliputi lumbal bagian bawah dan semua akar saraf
sakralis. Nervus splanchnic pelvicus membawa serat parasimpatis preganglionik dari S2-S4
untuk menginervasi musculus detrusor pada kandung kencing. Sebaliknya lower motor
neuron somatic dari S2-S4 menginervasi otot volunter dari sfingter ani eksterna dan sfingter
uretra ke rektum inferior, dan percabangan perineum dari nervus pudendus. Oleh karena itu
akar saraf region cauda equina membawa sensasi dari ekstremitas bawah, somatom perineum,
dan serta motorik yang keluar ke miotom ekstremitas bawah. Lanjutan dari conus yag tipis,
seperti benang yaitu filum terminale merupakan elemen non neuron dalam region cauda
equina yang meluas kebawah menuju coccyx.
Cauda Equina Syndrome (CES) , suatu kelainan neurologis yang jarang ditemukan,
merupakan kombinasi gejala dan tanda akibat kompresi simultan akar saraf lumbosakral
multiple di bawah level conus medullaris. Manifestasi klinis neuromuskular dan urogenital
bervariasi dengan karakteristik gangguannya adalah nyeri punggung bawah, ischialgia
bilateral atau unilateral, kelemahan bilateral atau unilateral ekstremitas bawah, hipestesi atau
anestesi perianal atau tipe sadel, impotensi, bersamaan dengan disfungsi bowel dan bladder.
CES merupakan kasus yang jarang terjadi baik yang diakibatkan oleh trauma maupun
nontrauma. Insidensi CES bervariasi, tergantung pada etiologinya. Prevalensi di antara
populasi umum diperkirakan antara 1:100.000 dan 1:33.000. Penyebab paling umum adalah
herniasi diskus lumbalis. Dilaporkan oleh lebih kurang 1% sampai 10% pasien herniasi
diskus lumbal.
Sindroma cauda equina merupakan kondisi yang serius. Meskipun lesi secara teknik
melibatkan akar saraf dan menunjukkan kerusakan saraf “perifer”, akibat yang ditimbulkan
dapat irreversibel sehingga CES memerlukan tidakan bedah emergensi. Sindroma cauda
equina dianggap sebagai darurat bedah karena jika tidak diobati dapat menyebabkan
kerusakan permanen kontrol usus dan kandung kemih dan kelumpuhan kaki.

Patofisiologi
Sindrom cauda equina disebabkan oleh penyempitan apapun pada canalis spinalis yang
menekan akar saraf di bawah level medula spinalis. Lesi pada cauda equina bersifat LMN
karena radiks yang terkena merupakan bagian dari susunan saraf perifer.
Cauda Equina Syndrome (CES) merujuk pada kondisi dimana terjadi kompresi secara
bersamaan pada akar saraf lumbosakral dibawah level conus medularis, yang menyebabkan
gejala neuromuskuler dan urogenital. Patofisiologi mekanisme terjadinya CES belum
sepenuhnya dipahami. Akar saraf ini rentan terhadap cedera kompresi atau regangan karena
memiliki epineurinum yang tidak berkembang dengan baik. Jika epineurinum terbentuk
sempurna, seperti pada saraf-saraf perifer, akan dapat melindungi saraf dari tekanan atau
tarikan/regangan. Selain itu sistem mikrovaskuler pada akar saraf cauda equina memiliki area
yang relatif hipovaskuler yang terbentuk oleh kombinasi area anastomosis di sepertiga
proksimal akar saraf. Hal tersebut menimbulkan rasionalisasi anatomik terhadap terjadinya
manifestasi neuroiskemik bersamaan dengan perubahan degenerasi.

Terdapat tiga variasi CES yang sudah diketahui :


1. CES akut yang terjadi mendadak tanpa didahului problem punggung bawah sebelumnya
2. Defisit neurologis akut (disfungsi bladder) pada pasien yang memiliki riwayat nyeri
punggung dan ischialgia
3. progresi bertahap ke arah CES pada pasien yang yang menderita nyeri punggung kronik
dan ischialgia.
Pada lebih 85% kasus, gejala dan tanda klinis CES berkembang dalam waktu kurang dari 24
jam. Glave dan Macfarlane membagi pasien CES dalan dua stadium dalam hubungannya
dengan fungsi urinari: stadium I, CES dengan retensi dan overflow incontinence; stadium II,
CES inkomplit, dengan ciri penurunan sensasi urinari, hilangnya keinginan untuk berkemih
(pengosongan), pancaran urin tidak baik, dan perlu mengejan agar bisa berkemih.

Manifestasi klinis
Pasien CES sering menunjukkan gejala-gejala yang tidak spesifk, dengan nyeri punggung
yang merupakan gejala yang paling menonjol. Bell et al menunjukkan bahwa didapatkan
akurasi diagnostik antara retensi urin, frekuensi urin, inkontinensia urin, penurunan sensasi
berkemih dan penurunan sensasi perineal dengan hasil MRI yang menunjukkan adanya
prolaps diskus.
Anamnesis yang harus didapatkan dari pasien antara lain:
• Nyeri punggung bawah. Nyeri ini mungkin memiliki beberapa karakteristik yang
mengesankan adanya hal yang berbeda dari strain lumbal pada umumnya. Pasien mungkin
melaporkan adanya trigger yang memperparah, seperti menolehkan kepala.
• Nyeri tungkai atau nyeri menjalar ke kaki yang bersifat akut atau kronik
• Kelemahan motorik ekstremitas bawah unilateral atau bilateral dan/atau abnormalitas
sensorik
• Disfungsi bowel dan bladder
Gejala awal biasanya adalah retensi urin yang diikuti dengan munculnya overflow
incontinence, dan kemudian bisa juga diikuti dengan keluhan inkontinensia alvi. Biasanya
dihubungkan dengan anesthesia/hipestesia tipe sadel
• Gangguan ereksi dan ejakulasi

Nyeri sering berlokasi di punggung bawah. Mungkin didapatkan nyeri tekan setempat
atau nyeri sewaktu diperkusi. Nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan
radikular. Nyeri lokal biasanya nyeri yang dalam akibat iritasi jaringan lunak dan korpus
vertebra. Nyeri radikular umumnya bersifat tajam, seperti tertusuk-tusuk akibat dari kompresi
radiks saraf dorsal. Nyeri radikular diproyeksikan dalam distribusi dermatomal.
Abnormalitas refleks mungkin ada, berupa berkurangnya atau hilangnya refleks
fisiologis. Refleks yang meningkat merupakan tanda adanya keterlibatan medula spinalis
sehingga diagnosis CES bisa disingkirkan. Nyeri menjalar ke kaki (ischialgia) unilateral atau
bilateral merupakan karakteristik CES, diperburuk dengan manuver valsava. Abnormalitas
sensorik mungkin muncul di area perineal atau ekstremitas bawah. Pemeriksaan raba ringan
(light touch) pada area perineal seharusnya dilakukan. Area yang mengalami anestesi
mungkin menunjukkan adanya kerusakan kulit.
Kelemahan otot mungkin timbul pada otot-otot yang mendapatkan inervasi dari radiks
saraf yang terkena. Atrofi otot dapat terjadi pada CES kronik. Tonus sphincter ani yang
menurun atau hilang merupakan karakteristik CES.
Adanya tanda babinski atau tanda-tanda upper motor neuron lainnya menunjukkan
diagnosis selain CES, kemungkinan merupakan kompresi medula spinalis. Penurunan fungsi
bladder dapat dinilai secara empiris dengan kateterisasi urin.
CES harus dipertimbangkan kemungkinannya pada semua pasien yang memiliki
keluhan nyeri punggung bawah dengan inkontinensia bowel atau bladder. Disfungsi bladder
biasanya merupakan akibat dari kelemahan otot detrussor dan areflexic bladder; disfungsi ini
awalnya menyebabkan retensi urin yang kemudian diikuti dengan overflow incontinence
pada stadium selanjutnya. Pasien yang menderita nyeri punggung dan inkontinensia urin
tetapi hasil pemeriksaan neurologisnya normal seharusnya diukur volume residual postvoid-
nya. Volume residual postvoid yang lebih besar dari 100 mL menunjukkan adanya overflow
incontinence dan memerlukan evaluasi lebih lanjut; sedangkan volume kurang dari 100 mL
menyingkirkan diagnosis CES. Refleks anal, yang ditimbulkan dengan mengusap kulit lateral
anus, normalnya menyebabkan kontraksi refleks sphincter ani eksterna. Pemeriksaan rektal
seharusnya dilakukan untuk menilai tonus sphincter ani dan sensibilitas jika ditemukan tanda
atau gejala CES.

Diagnosis
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dalam penelusuran diagnosis CES adalah:
• X-foto polos. Tidak banyak membantu dalam diagnosis CES tapi mungkin dapat dilakukan
dalam kasus-kasus cedera akibat trauma atau penelusuran adanya perubahan destruktif pada
vertebra, penyempitan diskus intervertebralis atau adanya spondilosis, spondilolistesis
• CT dengan atau tanpa kontras. Myelogram lumbar diikuti dengan CT
• MRI. Berdasarkan kemampuannya untuk menggambarkan jaringan lunak, MRI umumnya
merupakan tes yang disukai dokter dalam mendiagnosis CES. MRI direkomendasikan untuk
seluruh pasien yang memiliki gejala urinari yang baru muncul yang berhubungan dengan
nyeri punggung bawah dan ischialgia.
• Ultrasonografi mungkin bisa digunakan untuk estimasi volume residual post-void
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, kimia darah,
gula darah puasa, sedimentation rate, dan sifilis dan lyme serology. Pemeriksaan cairan
serebrospinal juga dapat dilakukan jika didapatkan tanda meningitis.

Tatalaksana
Pada sebagian kasus, CES merupakan indikasi untuk dilakukan operasi dekompresi
secepatnya; laminektomi yang diikuti dengan retraksi cauda equina secara hati-hati (untuk
menghindari komplikasi meningkatnya gangguan neurologis) dan diskectomy pada penderita
CES yang disebabkan oleh herniasi diskus merupakan tindakan pilihan. Waktu yang tepat
dilakukan tindakan dekompresi belum sepenuhnya disepakati. Umumnya, pasien CES yang
dilakukan operasi dalam 24 jam sejak timbul gejala awal dipercaya akan mencapai perbaikan
neurologis yang lebih baik secara signifikan. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan tidak
ditemukannya perbaikan outcome secara signifikan pada pasien yang dioperasi dalam waktu
24 jam dibandingkan dengan pasien-pasien yang dioperasi dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pembedahan yang dilakukan secara elektif dibandingkan
pembedahan emergensi tidak mengganggu perbaikan neurologis. Meskipun begitu, sebagian
besar peneliti merekomendasikan tindakan operasi dekompresi secepat mungkin setelah
munculnya gejala untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh perbaikan neurologis
komplit.

Medikamentosa
• Agen vasodilator
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa agen vasodilator memiliki efek terapetik yang
signifikan terhadap CES. Dalam sebuah penelitian eksperimental menyebutkan bahwa
pengobatan sistemik dengan OP-1206 α-CD, suatu analog prostaglandin E1, dapat secara
signifikan meningkatkan aliran darah dan menurunkan hiperalgesia thermal yang diinduksi
oleh cedera konstriksi saraf pada tikus.

• Agen anti-inflamasi
Agen anti-inflamasi, meliputi steroid dan NSAID, mungkin efektif pada pasien dengan
penyebab inflamasi dan sudah banyak digunakan dalam pengobatan nyeri punggung, tapi
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa obat-obat tersebut memberikan manfaat yang
signifikan. Regimen steroid yang biasa dipakai adalah deksametason dengan dosis awal 10
mg secara intravena, diikuti 4 mg secara intravena diberikan setiap enam jam. Deksametason
umumya diberikan intravena pada dosis 4 sampai 100 mg.
NSAID telah terbukti berguna untuk mencegah kalsifikasi jaringan lunak, osifikasi
heterotopik dan perlengketan. Beberapa peneliti juga menegaskan resiko potensial
penggunaan steroid. Pernah dilaporkan bahwa penggunaan agen antiinflamasi mungkin
menghambat penyembuhan dan seringkali menimbulkan pembentukan abses.

Anda mungkin juga menyukai