Anda di halaman 1dari 13

COPD (Chronic Obsstructive Pulmonary

Disease)
A. PENGERTIAN
COPD singkatan dari Chronic Obstrutive Pulmonary Disease atau yang biasa disebut
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan
suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan
COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. Sering juga
penyakit ini disebut dengan “Chronic Airflow Limitation (CAL)” dan “Chronic Obstructive
Lung Diseases (COLD)”
Klasifikasi COPD :
a. ASTHMA BRONCHIALE
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri bronchospasme
periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan penyakit yang kompleks
yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.
b. BRONCHITIS KRONIS
Bronchitis akut adalah radang mendadak pada bronchus yang biasanya mengenai trachea dan
laring, sehingga sering dinamai juga dengan “laringotracheobronchitis”. Radang ini dapat
timbul sebagai kelainan jalan nafas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik,
misalnya pada morbili, pertusis, difteri dan typhus abdominalis
a. EMFISEMA PARU
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang
udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO

A. FAKTOR RESIKO
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi
mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya
pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat
banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang
ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis
kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.

a. Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang
sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi α1
antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan
contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok
maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada
beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada
kromosom 2q
b. Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Tipe dari
suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari
besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap pejanan
inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya
asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab
PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan
pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko
menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan
yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah
pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya
menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk
menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat.1,16 Shahab
dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya
insidensi PPOK yang telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi.
PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI
39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak
mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru
didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain.
Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada
penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu
adalah debu-debu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia.
Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi
dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi
NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait
karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada
pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.Polusi udara dalam
ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari
kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu,
polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi
seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogendioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis)
yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK pada
masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat
lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan
hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.
d. Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel
paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun
non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan
menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada
paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap
patogenesis PPOK.
e. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa
waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di
bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa
ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa
studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok
dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang
merupakan perokok saat ini.
f. Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis
dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada
saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus
seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas
sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga
dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur
diatas 40 tahun.
g. Status sosioekonomi dan nutrisi
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor maupun outdoor
dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi
semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.
h. Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu penelitian
pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan
asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK

B. PATOFISIOLOGI
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit
respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar
patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai
dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus
terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-
sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon
dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru
akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi
penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang
pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari
alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar
( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema
atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran
nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan
saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada
bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti
protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang
melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan
akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim.
Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring
derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan
PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan
dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC
chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan
paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan
makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi
pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada
saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses
ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada
tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas. perubahan
gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia,
disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan
destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap
hipertensi pulmonal.
C. TANDA DAN GEJALA
Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
a. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
b. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak.
c. Dispnea.
d. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
e. Anoreksia.
f. Penurunan berat badan dan kelemahan.
g. Takikardia, berkeringat. Hipoksia, sesak dalam dada
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Anamnesis :
Riwayat penyakit ditandai 3 gejala klinis diatas dan faktor-faktor penyebab.
b. Pemeriksaan fisik :
 Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter anteroposterior dada
meningkat).
 Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
 Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak
jantung berkurang.
 Suara nafas berkurang.
c. Pemeriksaan radiologi
 Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-
garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
 Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma
yang rendah yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan
corakan kedistal.
d. Tes fungsi paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan
derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
e. Pemeriksaan gas darah.
f. Pemeriksaan EKG
g. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.
E. KOMPLIKASI
a. Infeksi yang berulang
b. pneumotoraks spontan
c. eritrosit karena keadaan hipoksia kronik
d. gagal nafas
e. kor pulmonal

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN COPD


A. PENGKAJIAN
a. Aktivitas
Gejala : keletihan, kelelahan, malaise, ketidakamampuan melakukan aktifitas sehari-hari, dispnea
saat istirahat atau tidur, ketidakmampuan dalam tidur
Tanda : keletihan, kelemahan umum, gelisah, insomnia
b. Sirkulasi
Tanda : peningkatan Tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung, takikardia, distensi ven
aleher, edema, sianosis, clubbing finger
c. Nutrisi
Gejala : mual, muntah, nafsu makan buruk, penurunan berat badan, atau peningkatan BB arena
edema
Tanda : turgor kulit buruk, edema, penurunan/ peningkatan
d. Higiene
Gegala : penurunan kemampuan
Tanda : kebersihan kurang, bau badan
e. Penampilan Umum
 Kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma
 Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
f. Pengkajian fisik
 Nafas pendek persisten dengan peningkatan dyspnea
 Infeksi sistem respirasi
 Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam.
 Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
 Produksi sputum dan batuk jarang.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Teori (Doengoes, 1999 & NANDA-I 2007-2008)
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d bronkospasme, peningkatan produksi sekret, sekret
tertahan, tebal, sekresi kental.
b. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi,
spasme bronkus, jebakan udara) kerusakan alveoli.
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d Dispena, kelemahan, efek samping
obat, produksi sputum, anorexia, mual/muntah
d. Resiko infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya secret)
tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan peningkatan, pemajangan pada lingkungan)
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, tindakan b/d kurang informasi, tidak
mengenal sumber informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang mengingat/keterbatasan
kognitif.

C. Perencanaan Keperawatan.
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret,
sekresi tertahan, tebal dan kental.
 Tujuan : Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk kebutuhan
individu.
 Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas paten dan bunyi napas
bersih/jelas.
 Intervensi :
a. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
Rasional :
Takipnea biasanya ada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama
stress/adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang disbanding inspirasi.
b. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk dan
sandaran tempat tidur.
Rasional :
Peninggian kepala tempat tidur mempermudah pernapasan dan menggunakan gravitasi. Namun
pasien dengan distress berat akan mencari posisi yang lebih mudah untuk bernapas. Sokongan
tangan/kaki dengan meja, bantal dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat
sebagai alat ekspansi dada.
c. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya : mengi, krokels dan ronki.
Rasional :
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tidak
dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas adventisius, misalnya : penyebaran, krekels basah
(bronchitis), bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya bunyi
napas (asma berat).
d. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya : keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress
pernapasan, dan penggunaan obat bantu.
Rasional :
Disfungsi pernapasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses
akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, misalnya infeksi dan reaksi alergi.
e. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.
Rasional :
Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan
jebakan udara.
f. Observasi karakteristik batuk, misalnya : menetap, batuk pendek, basah, bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan jalan napas.
Rasional :
Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau
kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk paling tinggi atau kepala dibawah setelah
perkusi dada.
g. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Rasional :
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan air
hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi
gaster dan tekanan pada diafragma.
h. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin (adrenalin, vavonefrin), albuterol (proventil,
ventolin), terbutalin (brethine, brethaire), isoeetrain (brokosol, bronkometer).
Rasional :
Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti local, menurunkan spasme jalan napas, mengi
dan produksi mukosa. Obat-obatan mungkin per oral, injeksi atau inhalasi. dapat meningkatkan
distensi gaster dan tekanan pada diafragma.
(Doenges, 1999. hal 156).

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi
jalan napas oleh sekret, spasme bronkus).
 Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
keperluan tubuh.
 Kriteria hasil :
 Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 % dank lien tidan mengalami sesak napas.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Intervensi :
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat pengguanaan otot aksesorius, napas bibir,
ketidakmampuan bicara/berbincang.
Respon :
Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan kronisnya proses penyakit.

b. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.


Rasional :
Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir atau danun
telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.

c. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas.
Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai dengan kebutuhan/toleransi individu.
Rasional :
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan laithan napas untuk
menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.
d. Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila diindikasikan.
Rasional :
Kental tebal dan banyak sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas
kecil, dan pengisapan dibuthkan bila batuk tak efektif.

e. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan.
Rasional :
Bunyi napas mingkin redup karena penurrunan aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi
mengindikasikan spasme bronkus/ter-tahannya sekret. Krekles basah menyebar menunjukan
cairan pada interstisial/dekompensasi jantung.

f. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.


Rasional :
Takikardi, disiretmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjuak efek hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung.

g. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
Rasional :
Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia. Catatan ; emfisema koronis, mengatur
pernapasan pasien ditentikan oleh kadar CO2 dan mungkin dikkeluarkan dengan peningkatan
PaO2 berlebihan.
(Doenges, 1999. hal 158).

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada selaput paru-paru.
 Tujuan : Rasa nyeri berkurang sampai hilang.
 Kriteria hasil :
 Klien mengatakan rasa nyeri berkurang/hilang.
 Ekspresi wajah rileks.
 Intervensi :
a. Tentukan karakteristik nyeri, miaalnya ; tajam, konsisten, di tusuk, selidiki perubahan
karakter/intensitasnyeri/lokasi.
Respon :
Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pneumonia, juga dapat timbul komplikasi
seperti perikarditis dan endokarditis.
b. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional :
Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya
bila alasan lain untuk perubahan tanda-tanda vital.
c. Berikan tindakan nyaman, misalnya ; pijatan punggung, perubahan posisi, musik
tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas.
Rasional :
Tindakan non-analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesic.
d. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Rasional :
Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan memberan mukosa,
potensial ketidaknyamanan umum.
e. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
Rasional :
Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
f. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi.
Rasional :
Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/proksimal atau menurunkan
mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/istirahat umum.
(Doenges, 1999. hal 171).

Anda mungkin juga menyukai