Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan Gawat Darurat (PPGD) adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang


dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari
kematian. Di luar negeri, PPGD ini sebenarnya sudah banyak diajarkan pada orang-orang
awam atau orang-orang awam khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang
diketahui oleh masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari keperawatan Gawat Darurat ?
2. Bagaimanakah tujuan dari keperawatan Gawat Darurat ?
3. Bagaimana sistem pelayanan Gawat Darurat ?
4. Bagaimana prinsip Gawat Darurat ?
5. Apa saja triage dalam keperawatan Gawat Darurat ?
6. Bagaimana pengkajian pasien Gawat Darurat ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari keperawatan Gawat Darurat
2. Untuk mengetahui tujuan dari keperawatan Gawat Darurat
3. Untuk megetahui bagaimana system pelayanan Gawat Darurat
4. Untuk mengetahui prinsip Gawat Darurat
5. Untuk mengetahui triage dalam keperawatan Gawat Darurat
6. Untuk mengetahui pengkajian pasien Gawat Darurat

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di berikan


pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering
di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan
gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga
harus di pertimbangkan sebagai hedaruratan.

B. Tujuan

1. Mencegah kematian dan kecacatan (to save life and limb) pada penderita gawat darurat,
hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
2. Merujuk penderita gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan
yang Iebih memadai.
3. Menanggulangi korban bencana.

C. Sistem Pelayanan Gawat Darurat

Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk mengatasi kondisi
kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asuhan keperawatan untuk
mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.
Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus memiliki
kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan
pertolongan kedaruratan kepada pesien.

D. Prinsip Gawat Darurat

Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus
dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam,
2
perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini
dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.

Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Kumpulan materi mata
kuliah Gadar:2005) :
a. Gawat darurat

Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak mendapatkan


pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang, koma, trauma
kepala dengan penurunan kesadaran

b. Gawat tidak darurat

Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak memerlukan
tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut

c. Darurat tidak gawat

Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba tetapi tidak mengancam nyawa atau
anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.

d. Tidak gawat tidak darurat

Pasien poliklinik yang datang ke UGD, pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan
sebagainya.

e. Kecelakaan (Accident)

Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya mendadak,
tidak dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik. mental, sosial).

3
E. Triage Dalam Keperawatan Gawat Darurat

Yaitu skenario pertolongan yang akan di berikan sesudah fase keadaan pasien. Pasien-
pasien yang terancam hidupnya harus di beri prioritas utama. Triage dalam keperawatan
gawat derurat di gunakan untuk mengklasifikasian keperahan penyakit atau cidera dan
menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan petugas perawatan kesehatan yang efisien dan
sumber-sumbernya.
Standart waktu yang di perlukan untuk melakukan triase adalah 2-5 menit untuk orang
dewasa dan 7 menit untuk pasien anak-anak.

1. Sistem Triase
a. Spot check
25% UGD menggunakan sistem ini, perawat mengkaji dan mengklasifikasikan pasien
dalam waktu 2-3 menit. Sisten ini memungkinkan identifikasi segera.

b. Komprehensif
Merupakan triase dasar yang standart di gunakan. Dan di dukung oleh ENA
(Emergenci Nurse Association) meliputi:
 A (Airway)
 B (Breathing)
 C (Circulation)
 D (Dissability of Neurity)
 E ( Ekspose)
 F (Full-set of Vital sign)
 Pulse Oximetry
 Trise two-tier
Sistem ini memerlukan orang kedua yang bertindak sebagai penolong kedua yang
bertugas mensortirpasien untuk di lakukan pengkajian lebih rinci.

4
c. Triase Expanded
Sistem ini dapat di tambahkan ke sistem komprohensif dan two-tier mencakup
protokol penanganan:
 Pertolongan pertama (bidai, kompres, rawat luka)
 Pemeriksaan diagnostik
 Pemberian obat
 Tes lab (Darah, KGD, Urinalisis, dll)

d. Triase Bedside
Pasien dalam sistem ini tidak di klasifikasikan triasenya, langsung di tangani oleh
perawat yang bertugas, cepat tanpa perlu menunggu antri

2. Klasifikasi Triase
Menggunakan 4 kategori pengambilan keputusan yaitu dengan menggunakan warna
hartu/status sebagai tanda klasifikasi yaitu Merah (Emergen), kuning (Urgen), hijau (non
Urgen), hitam (Expectant).

a. Merah (Emergent)
Yaitu korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera. Yaitu kondisi yang
mengancam kehidupan dan memerlukan perhatian segera.
Contoh:
 Syok oleh berbagai kausa
 Gangguan pernapasan
 Trauma kepala dengan pupil anisokor
 Perdarahan eksternal massif

b. Kuning (Urgent)
Yaitu korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat di tunda
sementara. Kondisi yang merupakan masalah medisyang disignifikan dan

5
memerlukan penata laksanaan sesegera mungkin. Tanda-tanda fital klien ini masih
stabil.
Contoh
 Fraktur multiple
 Fraktur femur/pelvis
 Korban dengan resiko syok (korban dengan gangguan jantung, trauma, obdomen
berat)
 Luka bakar luas
 Gangguan kesadaran/trauma kepala
 Korban dengan status yang tidak jelas.

Semua korban dengan kategori ini harus di berikan infus, pengawasan ketat
terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi dan berikan perawatan sesegera
mungkin.

c. Hijau (Non urgent)


Yaitu kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian
pengobatan dapat di tunda. Penyakit atau cidera minor
Contoh
 Fektur minor
 Luka minor
 Luka bakar minor

d. Hitam (Expectant)
Korban yang meninggal bunia atau yang berpotensi untuk meninggal dunia memakai
sistem empat kelas yaitu :
1. Kelas I : Kritis (mengancam jiwa, ekstremitas, penglihatan atau
tindakan segera)
2. Kelas II : Akut (terdapat perubahan yang signifikan, tindakan segera
mungkin)

6
3. Kelas III : Urgent (signifikan, tikdakan pada waktu yang tepat)
4. Kelas IV : Non Urgent (tidak terdapat resiko yang perlu segera di tangani)
Sistem lima tingkat yaitu :
1. Kritis Segera Henti jantung
2. Tidak stabil 5-15 menit Fraktur mayor
3. Potensial tidak stabil 30-60 menit Nyeri abdomen
4. Stabil 1-2 jam Sinusitis
5. Rutin 4 jam Pengangkatan jahitan

F. Pengkajian Pasien Gawat Darurat

 Standard
Perawat gawat darurat harus melakukan pengkajian fisik dan psikososial di awal dan
secara berkelanjutan untuk mengetahui masalah keperawatan klien dalam lingkup
kegawatdaruratan.

 Keluaran
Adanya pengkajian keperawatan yang terdokumentasi untuk setiap klien gawat
darurat

 Proses
Pengkajian merupakan pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi masalah
keperawatan gawat darurat. Proses pengkajian dalam dua bagian : pengkajian primer
dan pengkajian skunder.

7
Pengkajian primer

8
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah actual/potensial dari
kondisi life threatening (berdampak terhadap kemampuan pasien untuk mempertahankan
hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal
tersebut memungkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
a. Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
b. Breathing dan ventilasi
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure control, dengan membuka pakaian pasien tetapi cegah hipotermi
 Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan
oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
1. Look
 Gerak dada dan perut, tanda distres nafas, warna mukosa, kulit.
 Pada pernafasan yang normal maka antara dada dan perut bergerak bersamaan,
artinya saat dada mengembang maka perut juga mengembang. Hati-hati jika
terjadi sebaliknya atau gerakan dada dan perut yang berkebalikan arah, maka
tanda ini merupakan tanda sebagai obstruksi total dari jalan nafas (see saw).

9
2. Listen
 Gerak udara nafas dengan telinga

3. Feel
 Gerak udara nafas dengan pipi.
 Jika pasien sadar, ajak bicara, jika bicara jelas = tak ada sumbatan
 Berikan oksigen (jika ada), masker 6 lpm
 Jaga tulang leher, baring datar, wajah ke depan, leher posisi netral
 Nilai apakah jalan nafas bebas adakah suara crowing, gargling, snoring
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1. Adanya snoring atau gurgling
2. Stridor atau suara napas tidak normal
3. Agitasi (hipoksia)
4. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5. Sianosis
Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :
a. Snoring
Suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas
oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan
cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari
telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke
atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang
menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut.

10
Gambar pemeriksaan sumbatan jalan nafas di daerah mulut dengan menggunakan teknik
cross finger
b. Gargling
Suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh
cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-
sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk
“menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).

Gambar Tehnik finger sweep ( Sapuan Jari )

11
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut
belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya
sehingga hembusan nafas hilang.

Cara melakukannya :

 Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka
mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver
emaresi)
 Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan
sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan
menyapu.

c. Crowing: suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema)
pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift
atau jaw thrust saja.
Lakukan teknik Head lift chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Ingat
tempatkan korban pada tempat yang datar. Kepala dan leher korban jangan terganjal.

 Head lift Chin Lift

Tehnik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera kepala, leher, dan tulang
belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah :

1. Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling dekat dengan dahi
korban).
2. Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi kearah belakang.
3. Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari dagu korban.
Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan dibawah dagu.
4. Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan samapi mulut korban
tertutup. Jika korban anak-anak, jangan terlalu menengadahkan kepala.
5. Pertahankan posisi ini
12
.

Gambar : tangan kanan melakukan Chin lift ( dagu diangkat) dan tangan kiri melakukan
head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas

 Jaw trust

Tehnik ini dapat digunakan selain tehnik diatas. Walaupun tehnik ini menguras
tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk korban dengan cedera tulang
belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah :

1. Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi kepala
korban. Letakkan tangan di kedua sisi kepala korban.
2. Cengkeram rahang bawah korban pada kedua sisinya.jika korban anak-anak,
gunakan dua atau tiga jari dan letakkan pada sudut rahang.
3. Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban keatas.
Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.
4. Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir bagian
bawah dengan kedua ibu jari.

13
Gambar Jaw Trust

Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka
dapat dilakukan :

1. Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan
daerah diantara tulang scapula di punggung

2. Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik
tangan ke arah belakang atas.

14
3. Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara
memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.

 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi :
1. Muntahan
2. Perdarahan
3. Gigi lepas atau hilang
4. Gigi palsu
5. Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
15
Chin lift/jaw thrust
1. Lakukan suction (jika tersedia)
2. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
3. Lakukan intubasi

 Pengkajian Breathing dan ventilasi


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson
& Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.

16
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.

 Untuk menilai seseorang bernafas secara normal dapat dilihat dari berapa kali
seseorang bernapas dalam satu menit, secara umum;

1. Frekuensi/jumlah pernapasan 12-20x/menit (dewasa), anak (20-30x/menit), bayi


(30-40x/menit)
2. Dada sampai mengembang

 Pernapasan dikatakan tidak baik/tidak normal jika terdapat keadaan berikut ini:

1. Ada tanda-tanda sesak napas : peningkatan frekuensi napas dalam satu menit
2. Ada napas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas)
3. Ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut)
4. Warna kebiruan pada sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan
5. Tidak ada gerakan dada
6. Tidak ada suara napas
7. Tidak dirasakan hembusan napas
8. Pasien tidak sadar dan tidak bernapas

 Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan bila pernapasan seseorang terganggu:

 Cek pernapasan dengan melihat dada pasien dan mendekatkan pipi dan telinga ke
hidung dan mulut korban dengan mata memandang ke arah dada korban (max 10
detik)
 Bila korban masih bernapas namun tidak sadar maka posisikan korban ke posisi
mantap (posisikan tubuh korban miring ke arah kiri) dan pastikan jalan napas

17
tetap terbuka; segera minta bantuan dan pastikan secara berkala (tiap 2 menit) di
cek pernapasannya apakah korban masih bernapas atau tidak

Gambar : Posisi mantap

 Jika korban bernapas tidak efektif (bernapas satu-satu, ngap-ngap, atau tidak
bernapas) :
 Aktifkan sistem gawat darurat (bila ada orang lain minta orang lain untuk
mencari/menghubungi gawat darurat)
 Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban dan menopang dagu
korban (head tilt dan chin lift)

Gambar : Buka jalan nafas; mendengar, melihat dan merasakan


hembusan nafas

18
 Pastikan tidak ada sumbatan dalam mulut korban; bila ada sumbatan dapat
dibersihkan dengan sapuan jari-balut dua jari anda dengan kain dan usap dari
sudut bibir sapu ke dalam dan ke arah luar
 Berikan napas buatan dengan menarik napas biasa lalu tempelkan bibir anda
ke bibir korban dengan perantaraan alat pelindung diri (face mask, face shield)
lalu hembuskan perlahan >1 detik sambil jari tangan anda menutup hidung
korban dan mata anda melihat ke arah dada korban untuk menilai pernapasan
buatan yang anda berikan efektif atau tidak (dengan naiknya dada korban
maka pernapasan buatan dikatakan efektif)
 Berikan nafas buatan 2x lalu periksa denyut nadi korban (menggunakan jari
telunjuk dan jari tengah raba bagian tengah jakun, lalu geser ke arah samping
hingga teraba lekukan di pinggir jakun tersebut) didaerah leher seperti pada
gambar; bila tidak ada denyut maka masuk ke langkah CPR

Gambar : Periksa denyut pembuluh darah arteri karotis

 Bila ada denyut nadi maka berikan napas buatan dengan frekuensi
12x/menit/1 tiap 5 detik sampai korban sadar dan bernapas kembali atau
tenaga paramedis datang; dan selalu periksa denyut nadi korban apakah masih
ada atau tidak setiap 2 menit

19
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / at5au oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika
diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.

 Pengkajian Circulation
Sistem sirkulasi atau pompa darah pada tubuh manusia dilakukan oleh jantung.
Jantung terdiri dari empat ruangan, yaitu atrium kanan, atrium kiri, bilik kanan dan
bilik kiri. Jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh.
Pada keadaan henti jantung dimana jantung berhenti berdenyut dan berhenti
memompakan darah ke seluruh tubuh, maka organ-organ tubuh akan kekurangan
oksigen. Organ yang paling rentan untuk terjadi kerusakan akibat kekurangan oksigen
adalah otak. Hal ini disebabkan karena sel-sel otak mengkonsumsi energi yang
berasal dari oksigen saja. Tanpa oksigen, proses hidup sel otak akan terganggu.
Dalam waktu 4-6 menit tanpa oksigen, sel-sel otak akan mulai mengalami kerusakan.
Setelah 8-10 menit sel otak akan rusak permanen.

20
Tindakan resusitasi jantung paru diharapkan dapat membantu mengalirkan
darah ke seluruh tubuh walaupun tidak seoptimal kerja jantung. Untuk membantu
sirkulasi dapat dilakukan kompresi jantung atau kompresi dada.

Tanda-tanda henti jantung


Pada korban yang dicurigai terjadi henti jantung harus diperiksa terlebih dahulu
sebelum dilakukan kompresi jantung. Korban yang mengalami henti jantung sudah
pasti dalam keadaan tidak sadarkan diri. Periksa segera jalan nafas dan apakah ada
usaha bernafas (Breathing). Setelah itu kita periksa denyut jantung dengan meraba
denyut arteri karotis. Dengan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah raba bagian
tengah jakun, lalu geser ke arah samping hingga teraba lekukan di pinggir jakun
tersebut. Rasakan denyut hingga 10 detik. Bila tidak dirasakan sama sekali denyut
jantung lakukan kompresi dada.

Langkah-langkah kompresi jantung :

1. Letakkan korban di tempat yang datar dan keras


2. Bebaskan dada korban dari baju yang dikenakan korban
3. Perlu diingat sebelum melakukan kompresi dada jalan nafas harus dipastikan tetap
bebas
4. Letakkan punggung telapak tangan kanan atau tangan yang dominan tepat di
tengah-tengah tulang dada diantara kedua puting susu.
5. Letakkan tangan yang satu lagi diatas tangan yang dominan tadi.

21
6. Pastikan kedua tangan dapat saling terkait dengan stabil
7. Arahkan bahu agar tepat berada diatas kedua telapak tangan tersebut hingga lengan
menjadi lurus
8. Dengan menggunakan bantuan berat badan, lakukan penekanan ke dada korban
hingga kedalaman 4-5 cm.

9. Lakukan kompresi ini sebanyak 30 kali kemudian diselingi dengan nafas buatan
sebanyak 2 kali. Ini merupakan satu siklus.
10. Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah sudah ada denyut jantung.
Bila belum ada, ulangi kembali siklus.

 Pengkajian Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

22
Dasar-dasar penanganan pada keadaan gawat darurat juga dapat menggunakan sistem
B1-B6
1. B1 ( Breath ) Masalah pernafasan dapat menyebabkankematian dalam 3 menit
2. B2 ( Bleed ) Masalah hemodinamik juga dapat menyebabkan kematian dalam
beberapa menit
3. B3 ( Brain ) Masalah kesadaran dan susunan syaraf
4. B4 ( Bladder ) Masalah urogenital
5. B5 ( Bowel ) Masalah tractus digestivus
6. B6 ( Bone ) Masalah tulang dan kerangka.

 Pengkajian Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien
hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan
pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan
mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

Pengkajian Sekunder
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to
toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien
mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

23
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan
bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat
masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau
kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau
orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena
akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,
maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra
lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
(Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen
ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa
pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?

24
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get rid
of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi
alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun terakhir ini
seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
 Threathened you with physical harm?
 Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih
baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri?
apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi
di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri
dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri
itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri
ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?

25
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-
tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan
darah, berat badan, dan skala nyeri.

Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu

26
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan
di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.

27
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala
penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri
tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit.
Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan

28
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan
suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap
jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya
trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral,
apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan
cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan
(penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri

29
tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen,
asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas
luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan,
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri
tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus
yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography).
Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan
nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali.
Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim
YAGD 118, 2010).

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk
mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau
kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus
musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan
adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat,
karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh
memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua
wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury.
Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin
(pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12

30
kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan
keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,
frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk
analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa
untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi
jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,
jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra
kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah),
mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam,
lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot,
kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat
pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat
dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat
didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila
belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul
adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok
yang dpat berakibat fatal

31
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan
tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai
sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet,
luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.

i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status
neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan
oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan
short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai
terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk
melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih
dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.
Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan
intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus
diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf
(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam

32
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori

Pengkajian Fokus
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,
anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to toe).
Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam
pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa
Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah
Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan
sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling banyak
dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan
dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif.

1. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment)
yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan

33
pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah
seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi
sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI
Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan
 Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis
34
2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita
dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary
survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1. Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan
dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan yang
terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan
hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan
penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus : Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum : Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding)
(Djumhana, 2011).
2. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat
menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang
memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan
atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra bronkus.
Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan
menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau
intra bronkus (Parhusip, 2004).
3. CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi seperti
emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan tingkatan

35
dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara
jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai
kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat mendeteksi lebih
dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya,
2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan
diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur
dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya
(seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4. USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang suara
dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran
struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-20.000 hertz
.Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik.
Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau probe. Obyek
didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap
oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di
layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru
dapat menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan
berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin,
2011)
5. Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang gawat
darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang dipancarkan
akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari suatu katoda. Film
polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien dan
menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi menyebabkan
pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak berwarna putih.
Udara paling sedikit menyerap radiasi, meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga
film nampak berwarna hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan
sangat berbeda-beda menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk

36
dada, abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative,
metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam membantu
diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi adalah
pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini
karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan berbanding
pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).

6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru,
udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan
yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki, harga
pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang memakai alat
pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002).

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa terdiri dari primary assessment,
secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic procedure.
2. Konsep primary assessment merupakan proses evaluasi awal yang sistematis dan
penanganan segera pada pasien dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat, yang
meliputi Airway maintenance, Breathing dan oxygenation, Circulation dan kontrol
perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis singkat dan Exposure
dengan kontrol lingkungan.
3. Konsep secondary assessment yang membahas mengenai proses anamnesis dan
pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan cedera yang
dialami pasien dewasa.
4. Konsep Focused assessment yang membahas mengenai beberapa komponen
apengkajian terfokus yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien
dewasa di gawat darurat.
5. Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses pengkajian gawat
darurat pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG,
dll.

B. Saran
Pada proses pengkajian gawat darurat bisa menggunakan format pengkajian yang telah
disusun oleh kelompok sehingga bisa membantu pengumpulan data terkait keluhan dan
kondisi pasien serta mempercepat pemberian penanganan pada pasien secara tepat.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. http://dokter-medis.blogspot.com/2009/06/pengelolaan-jalan-napas-airway.html
2. http://pertolonganpertama-pertolonganpertama.blogspot.com/2011/01/bantuan-hidup-
dasar.html
3. Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian
Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
4. Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency

39

Anda mungkin juga menyukai