Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang
Kapan orang menjadi tua? apakah proses penuaan sebagai akibat fisik yang aus dan
penurunan kemampuan terjadi tanpa adanya perubahan yang mendasar pada sikap individu?.
Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum menemukan
kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan (Cox, 1988, dalam Shirdev
& Levey, 2004). Schaie dan Willis (1992) mengatakan bahwa tahap usia tua akan dialami
oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik
dan psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan pengalaman
masa lalu dan lingkungan sosial budaya mereka. Akibatnya, di berbagai negara akan
mempunyai karakteristik usia lanjut yang berbeda, salah satunya adalah harapan hidupnya.
Saat ini penduduk yang berusia lanjut (> 60 tahun) di Indonesia terus meningkat
jumlahnya bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan akan menyamai jumlah balita yaitu
sekitar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini merupakan
suatu tantangan untuk mempertahankan kesehatan dan kemandirian para lanjut usia agar
tidak menjadi beban bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Dari jumlah itu, sekitar 15%
diantaranya mengalami demensia atau pikun, di samping penyakit degeneratif lainnya seperti
penyakit kanker, jantung, reumatik, osteoporosis, katarak (Prodia, 2007).
Menurut The World Factbook (2002), berbagai negara mempunai variasi yang besar
pada harapan hidup penduduknya. Misalnya di Jepang dan Switzerland usia harapan hidup
hampir mencapai 80 tahun. Kemiskinan, bencana alam, masalah politik dan ekonomi
menyebabkan usia harapan hidup di berbagai negara seperti Bangladesh, Pakistan dan Chad 2
Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010 .
Di negara-negara yang sedang berkembang usia harapan hidup berkisar 10 tahun atau
lebih ada di bawah rata-rata usia harapan hidup penduduk dunia. (dalam Shirdev & Levey,
2004) Usia harapan hidup yang lebih lama akan menyebabkan perubahan yang terjadi pada
struktur dan sistem pada masyarakat dunia. Berbagai permasalahan yang dialami oleh para
orang lanjut usia seperti tersedianya tenaga kerja yang masih potensial, fasilitas untuk
mereka, serta masalah medis dan psikis yang sering dialami (misal: depresi, demensia,
penyakit jantung, darah tinggi).
WHO membagi epidemologi dan prevalensi demensia berdasarkan wilayah geografi di
seluruh dunia menjadi empat bagian yaitu (AMRO [wilayah Amerika], EURO [Eropa],
1
EMRO [Afrika utara dan timur tengah], AFRO [Afrika], SEARO [Asia Selatan] and WPRO
[wilayah Pasifik bagian barat]). Gambar di bawah ini memperlihatkan bagian wilayah di
dunia yang memperlihatkan bukti-bukti penelitian prevalensi demensia. Bagian yang
berwarna merah (Amerika utara, Eropa, Jepang dan Australis) memperlihatkan wilayah yang
melakukan beberapa penelitian tentang demensia yang mempunyai metodologi yang
dianggap berkualitas. Bagian yang berwarna merah muda, adalah penelitian epidemologi
yang kurang mempertimbangkan kualitas dan kuantitas estimasi yang tepat. Bagian yang
berwarna putih merupakan wilayah di dunia yang sama sekali tidak mempunyai penelitian
tentang epidemologi demensia. Sedangkan bagian yang bertitik merah adalah wilayah yang
kurang lebih hanya mempunyai satu penelitian tentang epidemologi demensia. (Final Report,
2005).
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa data-data tentang demensia tidak seluruhnya
dapat diperoleh di berbagai budaya di dunia. Data-data tentang epidemologi dan prevalensi
biasanya hanya pada negara-negara yang mempunyai sejarah metode penelitian yang baik
(bagian berwarna merah). Sebagian dari hasil-hasil penelitian tersebut akan diuraikan
dibawah ini. (Source: Ferri dkk, 2005, dalam Final Report, 2005) Penelitian yang dilakukan
pada tahun 1998 menyatakan bahwa alzheimer menyerang mereka yang berusia di atas 50
tahun, sementara di Indonesia usia termuda yang mengalami penyakit ini berusia 56 tahun.
Kira-kira 5% usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat
setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus
demensia 0.5 - 1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 - 15% atau sekitar
3 - 4 juta orang. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju
Amerika dan Eropa sekitar 50 - 70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15 - 20%
sisanya 15 - 35% disebabkan demensia lainnya. (dalam Wibowo, 2007). Menurut Hendrie
dkk. yang melakukan penelitian di tahun 1995, meskipun faktor genetik memegang peranan
yang penting terjadi demensia, nampaknya faktor lingkungan juga memberikan sumbangan
besar pada faktor resikonya. Faktor lingkungan tersebut berkaitan dengan gaya hidup.
Menurut penulis, gaya hidup yang tidak sehat yang Hartati dan Widayanti, Clock Drawing:
Asesmen untuk Demensia(Studi Deskriptif Pada Orang Lanjut Usia 3 di Kota Semarang) .
merupakan faktor resiko yang utama berbagai penyakit, misalnya stroke, penyakit
jantung, hipertensi, diabetes mellitus. Di sisi lain menurut Final Report dari pemerintah
Australia (2005) penyakit tersebut merupakan faktor resiko besar untuk terjadinya demensia.
Penelitian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya menyatakan bahwa sekitar 70% penderita
stroke mengalami gangguan kognitif (ringan - berat) dan sekitar 25-30% diantaranya
2
berkembang menjadi demensia. Stroke kemungkinan secara langsung menyebabkan
demensia atau stroke merupakan factor presipitasi proses degeneratip pada demensia seperti
pada demensia Alzheimer. (dalam Wibowo, 2007)
Alzheimer kebanyakan menyerang kaum hawa karena hormon wanita lebih cepat
masuk masa menopause ketimbang pria dengan masa andropausenya. Bahayanya, memang
alzheimer lebih banyak hinggap pada wanita daripada pria. Jadi faktor resiko Demensia
Alzheimer (DA) terjadi pada usia lanjut, wanita, trauma kapitis berat, pendidikan rendah dan
menyangkut faktor genetik kasusnya 1 - 5%. (dalam Wibowo, 2007) Sedangkan pada
penelitian Lerner (1999) terlihat bahwa resiko wanita mendapatkan penyakit demensia jenis
Alzheimer lebih dikarenakan angka harapan hidupnya lebih besar daripada pria. Menurutnya
faktor resiko terbesar penyakit demensia adalah usia lanjut, dan jenis kelamin tidak
mempunyai hubungan yang langsung dengan penyakit tersebut.
Demensia vaskuler dan demensia Alzheimer merupakan penyebab utama demensia,
bahkan diantara keduanya sering terjadi bersamaan. Erkinjutti (2005) melaporkan hasil
penelitian patologi melalui proses otopsi, pada 50% penderita demensia Alzheimer terlihat
adanya CVD dan pada 80% penderita demensia vaskuler didapatkan kelainan sesuai dengan
Alzheimer. (dalam Wibowo, 2007)
Dengan bertambahnya umur nampaknya faktor resiko menderita demensia juga akan
meningkat. Orang yang berumur 65 tahun keatas akan mempunyai resiko 11% dan umur 85
tahun keatas resiko semakin besar yaitu 25% - 47%. Selain itu,, bertambah majunya bidang
ilmu farmakologi untuk penderita 4 Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana defenisi demensia ?
2. Bagaimana epideomologi demensia ?
3. Bagaimana Gejalah penyakit Demensia pada lansia ?
4. Bagaimana Kemungkinan penyebab demensia ?
5. Jelaskan Macam – Macam Demensia ?
6. Jelaskan Perubahan Psikiatrik dan Neurologis ?
7. Bagaimana Perjalanan penyakit dan Prognosis pada demensia ?
8. Bagaimana Faktor Psikosial pada demensia ?
9. Bagaimana Diagnosis Banding pada demensia?
10. Jelaskan Tingkah Laku Lansia Yang Mengalami Demensia ?

3
11. Bagaimana Peran Keluarga Terhadap anggota Yang Mengalami Demensia?
12. Bagaimana Penatalaksanaan pada demensia ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi demensia ?
2. Untuk mengetahui epideomologi demensia ?
3. Untuk mengetahui Gejalah penyakit Demensia pada lansia ?
4. Untuk mengetahui Kemungkinan penyebab demensia ?
5. Untuk mengetahui Macam – Macam Demensia ?
6. Untuk mengetahui Perubahan Psikiatrik dan Neurologis ?
7. Untuk mengetahui Perjalanan penyakit dan Prognosis pada demensia ?
8. Untuk mengetahui Faktor Psikosial pada demensia ?
9. Untuk mengetahui Diagnosis Banding pada demensia?
10. Untuk mengetahui Tingkah Laku Lansia Yang Mengalami Demensia
11. Untuk mengetahui Peran Keluarga Terhadap anggota Yang Mengalami Demensia?
12. Untuk mengetahui Penatalaksanaan pada demensia ?

4
BAB II
DASAR TEORI

A. Pengertian Demensia
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa
gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu
(disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney,
E. 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa,
melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan
timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat
disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V.
2006). Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala
demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy
body, demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit
lain.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit
Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat
signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004).
Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan
juga penurunan proses berpikir.
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak
organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk
gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.1 Demensia
merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran.
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif serta
terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya
orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa , kemampuan
menilai.

5
Demensia adalah suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual
dan ingatan/memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari
(Brocklehurst and Allen, 1987 dalam Boedhi-Darmojo, 2009).
Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif , dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan
pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak.

B. Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi demensia
sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun
prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia
diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita
jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s
diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk
seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen
pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia
tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang
secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan factor
predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15
hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada
seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5
persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan
berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit
Huntington dan penyakit Parkinson. Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan
mempunyai banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat
pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien
tertentu.

6
C. Gejalah penyakit Demensia pada lansia
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adannya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penderita yang
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas.
Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal,
mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif.
Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu
mereka atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut
dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan
berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa
khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga
merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum
mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh
orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka
menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh
munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini
mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah
keluarga membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah
menjadi hal utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak
semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala
demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu
waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya
ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar
belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan
sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan
tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah
laku pada demensia dapat memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para
anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku
(Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah
delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial,
7
ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-
hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer,
L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun
adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya.
Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia jisim Lewy
(Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal,
demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV)
atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan
penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan
metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat),atau sindrom demensia akibat depresi. dapat dilihat kemungkinan
penyebab demensia :

D. Kemungkinan penyebab demensia.


1. Demensia Degeneratif
 Penyakit Alzheimer
 Demensia frontotemporal
 (misalnya; Penyakit Pick)
 Penyakit Parkinson
 Demensia Jisim Lewy
 Ferokalsinosis serebral idiopatik
 (penyakit Fahr)
 Kelumphan supranuklear yang
 progresif
2. Lain-lain
 Penyakit Huntington
 Penyakit Wilson
 Leukodistrofi metakromatik
 Neuroakantosistosis
3. Kelainan Psikiatrik
 Pseudodemensia pada depresi
 Penurunan fungsi kognitif pada
 skizofrenia lanjut
8
4. Fisiologis
 Hidrosefalus tekanan normal
5. Kelainan Metabolik
 Defisiensi vitamin (misalnya
 vitamin B12, folat)
 Endokrinopati (e.g.,
 hipotiroidisme)
 Gangguan metabolisme kronik
 (contoh : uremia)
6. Tumor
 Tumor primer maupun metastase
 (misalnya meningioma atau tumor
 metastasis dari tumor payudara
 atau tumor paru)
7. Trauma
 Dementia pugilistica,
 posttraumatic dementia
 Subdural hematoma
8. Infeksi
 Penyakit Prion (misalnya
 penyakit Creutzfeldt-Jakob,
 bovine spongiform encephalitis,
 (Sindrom Gerstmann-
 Straussler)
 Acquired immune deficiency
 syndrome (AIDS)
 Sifilis
9. Kelainan jantung, vaskuler dan anoksia
 Infark serebri (infark tunggak
 mauapun mulitpel atau infark
 lakunar)
 Penyakit Binswanger
 (subcortical arteriosclerotic
 encephalopathy)
9
 Insufisiensi hemodinamik
 (hipoperfusi atau hipoksia)
10. Penyakit demielinisasi
 Sklerosis multipel
11. Obat-obatan dan toksin
 Alkohol
 Logam berat
 Radiasi
 Pseudodemensia akibat
 pengobatan (misalnya
 penggunaan antikolinergik)
 Karbon monoksida

E. Macam – Macam Demensia:


1. Demensia Tipe Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi
nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51
tahun dengan perjalanan demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer
didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer
biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah
disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.

a.) Faktor Genetik


Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi
kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi
gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai
riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus,
faktor genetic dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut.
Dukungan tambahan tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk
kembar monozigotik, dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada
angka kejadian pada kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan
baik, gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau
transmisi tersebut jarang terjadi.

10
b.) Protein prekursor amiloid
Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21.
Melalui proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amiloid.
Protein beta/ A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida
dengan 42-asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada
kasus sindrom Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor
amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein
prekusor amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang
berlebihan. Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya
sebagai penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak
kelompok studi yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor
amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe
Alzheimer untuk menjawab pertanyaan tersebut.
c.) Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer.
Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar
daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi
gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen
tersebut. Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidal direkomendasikan untuk saat ini,
karena gen tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu
ditemukan pada seluruh penderita demensia.
d.) Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer
menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel
serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer
adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada
korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut
neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer
terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut
neuron tersebut tidak khas ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga
ditemukan pada sindrom Down, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks
Parkinson-demensia Guam, penyakit Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang
dengan usia lanjut. Kekusutan serabut neuron biasanya ditemukan di daerah korteks,
hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.Plak senilis (disebut juga plak amiloid),
11
lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit Alzheimer meskipun plak senilis tersebut
juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam beberapa kasus ditemukan pada proses
penuaan yang normal.
e.) Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer
adalah asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit
Alzheimer. Beberapa penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu
degenerasi spesifik pada neuron kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang
mendukung adanya deficit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi
asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.
f.) Penyebab potensial lainnya
Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit
Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid
membrane menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan
dengan membrane yang normal. Penelitian melalui spektroskopik resonansi molekular
(Molecular Resonance Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi
dalam beberapa otak pasien dengan penyakit Alzheimer.
g.) Familial Multipel System Taupathy dengan presenile demensia
Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial Multipel System
Taupathy, biasanya ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain ditemukan pada
orang dengan penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17.
Gejala penyakit berupa gangguan pada memori jangka pendek dan kesulitan
mempertahankan keseimbangan dan pada saat berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar
40 – 50 detik, dan orang dengan penyakit ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya
gejala. Seorang pasien dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel neuron dan glial
seperti pada Familial Multipel System Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel otak.
Kelainan ini tidak berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan penyakit Alzheimer.

2. Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan
gejalaberpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat
hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh
darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi
parenkhim multiple yang menyebar luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa
12
oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain(
misalnya katup jantung).
a.) Penyakit Binswanger
Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan
ditemukannya infark-infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah korteks
serebri (Gambar 2.4). Dulu dianggap penyakit yang jarang terjadi tapi dengan pencitraan
yang canggih dan kuat seperti resonansi magnetik (Magnetic Resonance Imaging; MRI)
membuat penemuan kasus ini menjadi lebih sering.
b.) Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah
tersebut mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang
merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa specimen
postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab dari penyakit Pick tidak
diketahui.
Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel. Penyakit ini
paling sering pada laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat pertama dengan
penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer. Walaupun stadium
awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi
kognitif lain yang relative bertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya:
hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada penyakit Pick
daripada pada penyakit Alzheimer.
c.) Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)
Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan penyakit
Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala
ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden yang
sesungguhnya tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek
yang menyimpang (adverse effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.
d.) Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia.
Demensia pada penyakit ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan
abnormalitas motorik yang lebih menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih
ringan dibandingkan demensia tipe kortikal. Demensia pada penyakit Huntington
menunjukkan perlambatan psikomotor dan kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang
kompleks, akan tetapi memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan
13
pertengahan penyakit. Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan gambaran
klinis yang membedakannya dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden
depresi dan psikosis, selain gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik.
e.) Penyakit Parkinson
Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme merupakan penyakit pada
ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20
hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan
kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan perlambatan
berpikir pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai
bradifrenia.

F. Perubahan Psikiatrik dan Neurologis

1. Kepribadian
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan
mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat menonjol
selama 13 perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi tertutup serta
menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang
memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya dan
pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus fraontalis dan temporalis biasanya
mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif.
2. Halusinasi dan Waham
Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien dengan
demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki waham,
terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang sistematis
juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim
ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik.
3. Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan
demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen
pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa
provokasi.

14
4. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan
agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis
lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10
persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia
vaskuler.
Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout), refleks
mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan
neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien
demensia dapat digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE).
Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis
tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit
neurologis fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy,
disartria, dan disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala diatas pada
jenis-jenis demensia lainnya.
5. Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt
Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu
konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan
untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga
terganggu.
Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran
subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya
mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan
intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya
dengan pemeriksa.
Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya
ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh dari
kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar,
ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam
hubungan sosialnya.
6. Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan
terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih tua
15
yang mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara
berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun. Sindrom
tersebut juga muncul pada pasien demensia saat sitmulus eksternal seperti cahaya dan isyarat
interpersonal dihilangkan.

G. Perjalanan penyakit dan Prognosis


Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai
pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering
berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-
jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada
pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20
tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau
dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit
yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer,
rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus
menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien
dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah
dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar
yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat
dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering
dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak,
dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan
jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun
gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi
nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu
dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol,
dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku
psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang
kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan
inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan
bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat
untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada
16
demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan
normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia
bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga
demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia
yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).

H. Faktor Psikosial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh factor
psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin
tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan
demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada
pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan
memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi
dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan
depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.

I. Diagnosis Banding
1. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan
adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler seiring
berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas, kemerosotan yang bertahap tersebut
tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui
pada demensia vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan
patokan adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler.
2. Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi
neurologis fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit).
Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh
mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya iskemia otak
sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa perubahan patologis jaringan
parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami
infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan strategi
klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA
yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit
17
sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik pada batang otak
maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi system karotis mencerminkan gejala-gejala
gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik.
Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah
reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark serebri
pada pasien dengan TIA.
3. Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang
ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan
demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam
perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang
bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.

J. Tingkah Laku Lansia Yang Mengalami Demensia


Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan
panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan.
Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa
mereka berada di tempat yang aman dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya.
Duduklah bersama dalam jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa
dan menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia untuk tidur
kembali.
Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak
memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri maupun orang
lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka juga
merasa mampu mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan.
Memakai pakaian yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada
suhu yang panas.
Seperti layaknya anak kecil terkadang Lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang
sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama
disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam
sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan ditempat yang tidak diketahui oleh Lansia,
memberikan pengaman tambahan pada pintu dan jendela untuk menghindari Lansia kabur
adalah hal yang dapat dilakukan keluarga yang merawat Lansia dengan demensia di
rumahnya.
18
K. Peran Keluarga Terhadap anggota Yang Mengalami Demensia
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita
demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang
mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap
awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya.
Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu
dalam menekan laju kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian Lansia, sehingga
Lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun
diharapkan aktif dalam membantu Lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas
sehari-harinya secara mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin
sebagaimana pada umumnya Lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami
Lansia penderita demensia.
Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap
hari selama hampir 24 jam kita mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah
mengenal dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang
kita lakukan untuk mereka. Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota
keluarga yang menderita demensia. Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak
mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan
gejala yang muncul akibat demensia. Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan selalu
meluangkan waktu untuk diri sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lain
dapat menghindarkan stress yang dapat dialami oleh anggota keluarga yang merawat Lansia
dengan demensia.

L. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi
diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat
dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan
pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran
tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan
hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau
antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah
pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya
19
perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada
dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada
pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat
penting mengingat antagonis reseptor b-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak
berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh
efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk
mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya.
Pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara
umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif,
dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-
gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.

1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia,
dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka
menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang
dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya
dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi
mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari
kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang
dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan
akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak
fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi
aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek
fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu
pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan
kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata
struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat. Intervensi
psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut
20
membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan
keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

2. Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi
untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga
harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut
(misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara
umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit
Alzheimer.
Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga
meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan
perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan
kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih
baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia
mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal
(GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun
dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:
a.) Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
b.) Antipsikotika atipik:
 Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
 Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
 Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
 ]Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
 Abilify 1 x 10 - 15 mg
 Anxiolitika
 Clobazam 1 x 10 mg
 Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg

21
 Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
 Buspirone HCI 10 - 30 mg
 Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
 Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
 Antidepresiva
 Amitriptyline 25 - 50 mg
 Tofranil 25 - 30 mg
 Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
 SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1
x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
 Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
 Mood stabilizers
 Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
 Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
 Topamate 1 x 50 mg
 Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
 Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
 Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
 Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak
berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural
and Psychological Symptoms of Dementia):
 Nootropika:
 Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
 Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
 Sabeluzole (Reminyl)
 Ca-antagonist:
 Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
 Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
 Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
 Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
 Pantoyl-GABA

22
 Acetylcholinesterase inhibitors
 Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
 Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
 Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
 Memantine 2 x 5 - 10 mg

3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain


Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat
metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B),
dapat memperlambat perkembangan penyakit ini. 2,5 Terapi pengganti Estrogen dapat
menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian
masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan
alternatif menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek
positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E
tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.

4. Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)


Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting untuk
diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan membuat
payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu1:
a.) Behavioural
 Gangguan perilaku
 Agitasi
 Hiperaktif
 Keluyuran
 Perilaku yang tak adekuat
 Abulia kognitif
 Agresi
 Verbal, teriak
 Fisik

23
b.) Gangguan nafsu makan
 Gangguan ritme diurnal
 Tidur/bangun
 Perilaku tak sopan (sosial)
 Perilaku seksual tak sopan
 Deviasi seksual
 Piromania
c.) Psychological
 Gangguan afektif
 Anxietas
 lritabilitas
 Gejala depresif.
 Depresi berat
d.) Labilitas emosional
 Apati
 Sindrom waham & salah-identifikasi
 Orang menyembunyikan dan mencuri barangnya
 paranoid, curiga
 Rumah lama dianggap bukan rumahnya
 Pasangan / pengasuh
 Palsu
 Tak setia
 Menelantarkan pasien
 Cemburu patologik
 Keluarga/kenalan yang mati masih hidup
 Halusinasi
e.) Visual
 Auditorik.Olfaktoriik. Raba (haptik)

Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin,
dengan penatalaksaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita.
Prinsip utama penatalaksanaan penderita demensia adalah sebagai berikut
1. Optimalkan fungsi dari penderita
 Obati penyakit yang mendasarinya (hipertensi, penyakit parkinson)
24
 Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP
 Akses keadaan lingkungan, kalau perlu buat perubahan
 Upayakan aktivitas mental dan fisik
 Hindari situasi yang menekan kemampuan mental, gunakan alat bantu memori bila
memungkinkan
 Persiapkan penderita bila akan berpindah tempat
 Tekankan perbaikan gizi

2. Kenali dan obati komplikasi


 Mengembara dan berbagai perilaku merusak
 Gangguan perilaku lain
 Depresi
 Agitasi atau agresivitas
 Inkontinensia

3. Upayakan perumatan berkesinambungan


 Re-akses keadaan kognitif dan fisik
 Pengobatan gangguan medic

4. Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarganya


 Berbagai hal tentang penyakitnya
 Kemungkinan gangguan/kelainan yang bisa terjadi
 Prognosis

5. Upayakan informasi pelayanan sosial yang ada pada penderita dan keluarganya
 Berbagai pelayanan kesehatan masyarakat
 Nasihat hukum dan/keuangan

6. Upayakan nasihat keluarga untuk :


 Pengenalan dan cara atasi konflik keluarga
 Penanganan rasa marah atau rasa bersalah
 Pengambilan keputusan
 Kepentingan-kepentingan hukum/masalah etik

25
7. Peran keluarga
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita
demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang
mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap
awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya.
Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu
dalam menekan laju kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian lansia, sehingga
lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun
diharapkan aktif dalam membantu lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas
sehari-harinya secara mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin
sebagaimana pada umumnya lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami
lansia penderita demensia.
Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap
hari selama hampir 24 jam mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal
dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang kita lakukan
untuk mereka.
Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita
demensia. Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang
terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala yang muncul
akibat demensia.
Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan selalu meluangkan waktu untuk diri
sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lain dapat menghindarkan stress
yang dapat dialami oleh anggota keluarga yang merawat lansia dengan demensia.
Pada suatu waktu lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan
panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan.
Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa
mereka berada di tempat yang aman dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya.
Duduklah bersama dalam jarak yang dekat, genggam tangan lansia, tunjukkan sikap dewasa
dan menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia untuk tidur
kembali.
Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak
memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri maupun orang
lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka juga
26
merasa mampu mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan.
Memakai pakaian yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada
suhu yang panas.
Seperti layaknya anak kecil terkadang lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang
sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama
disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam
sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan ditempat yang tidak diketahui oleh lansia,
memberikan pengaman tambahan pada pintu dan jendela untuk menghindari lansia kabur
adalah hal yang dapat dilakukan keluarga yang merawat lansia dengan demensia di
rumahnya. (Kusumawati, 2007.

27
BAB III
Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Data subyektif :
a) Pasien mengatakan mudah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi.
b) Pasien mengatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu.

2. Data obyektif :
a) Pasien kehilangan kemampuannya untuk mengenali wajah, tempat dan objek yang
sudah dikenalnya dan kehilangan suasana kekeluargaannya.
b) Pasien sering mengulang-ngulang cerita yang sama karena lupa telah
menceritakannya.
c) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata
yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu
menemukan kata-kata yang tepat.

B. Diagnosa keperawatan
1. Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuronal dan demensia
progresif.
2. Risiko terhadap cedera berhubungan dengan defisit sensori dan motorik
3. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan konfusi, kehilangan kognitif
dan perilaku disfungsi.
4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perawatan anggota keluarga yang
mengalami disfungsi.
5. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kerusakan kognitif & perilaku
disfungsi.
6. Kerusakan komunikasi berhubungan dengan gangguan pendengaran
7. Konfusi kronis berhubungan dengan degenerasi progresif korteks serebri sekunder
akibat demensia

28
C. INTERVENSI KEPERAWATAN :
1. DIAGNOSA KEPERAWATAN : Perubahan proses pikir b/d degenerasi neuronal
dan demensia progresif.
TUJUAN : Setelah diberi askep 3×24 jam diharapkan pasien mampu memelihara fungsi
kognitif yang optimal dengan kriteria :
a. Mempertahankan fungsi ingatan yang optimal.
b. Memperlihatkan penurunan dalam prilaku yang bingung.
c. Menunjukkan respons yang sesuai untuk stimuli taktil, visual dan auditori.
d. Mengungkapkan rasa keamanan dan perlindungan.
e. Menunjukkan orientasi optimal terhadap waktu, tempat dan orang.
INTERVENSI:
1. Kurangi konfusi lingkungan.
 Dekati pasien dengan cara menyenangkan dan kalem.
 Cobalah agar mudah ditebak dalam sikap dan percakapa perawat.
 Jaga lingkungan tetap sederhana dan menyenagkan.
 Pertahankan jadwal sehari-hari yang teratur.
 Alat bantu mengingat sesuai yang diperlukan.
RASIONAL : Stimuli yang sederhana dan terbatas akan memfasilitasi interpretasi dan
mengurangi distorsi input; perilaku yang dapat ditebak kurang mengancam disbanding
perilaku yang tidak dapat ditebak; alat bantu ingatan akan membantu pasien untuk
mengingat.
2. Tingkatkan isyarat lingkungan
 Perkenalkan diri perawat ketika berinteraksi dengan pasien.
 Panggil pasien dengan menyebutkan namanya.
 Berikan isyarat lingkungan untuk orientasi waktu, tempat dan orang.
RASIONAL :Isyarat lingkungan akan meningkatkan orientasi terhadap waktu, tempat dan
orang dan individu akan mengisi kesenjangan ingatan dan berfungsi sebagai pengingat.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko terhadap cedera b/d defisit sensori dan


motorik.
TUJUAN : Setelah diberi askep 3×24 jam diharapkan pasien mampu mempertahankan
keselamatan fisik dengan kriteria :
a. Mematuhi prosedur keselamatan.
b. Dapat bergerak dengan bebas dan mandiri disekitar rumah.
29
c. Mengungkapkan rasa keamanan dan terlindungi.
INTERVENSI KEPERAWATAN :
1. Kendalikan lingkungan.
 Singkirkan bahaya yang tampak jelas.
 Kurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur..
 Pantau regimen medikasi.
 Ijinkan merokok hanya dalam pengawasan.
 Pantau suhu makanan.
 Awasi semua aktivitas diluar rumah.
RATIONAL :Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi risiko cedera dan
membebaskan keluarga dari kekhawatiran yang konstan.
2. Ijinkan kemandirian dan kebebasan maksimum.
 Berikan kebebasan dalam lingkungan yang aman.
 Hindari penggunaan restrain.
 Kerika pasien melamun, alihkan perhatiannya.
 Simpan tag identifikasi pada pasien.
RATIONAL :Hal ini akan memberikan pasien rasa otonomi.Restrain dapat meningkatkan
agitasi.Pengalihan perhatian difasilitasi oleh kehilangan ingatan segera.Nama dan nomor
telpon akan memfasilitasi kembalinya dengan aman pasien yang sedang melamun.
3. Kaji adanya hipotensi ortostatik
RATIONAL :Dapat menyebabkan cedera
4. Ajarkan klien bergerak dari posisi tidur ke berdiri secara bertahap
RATIONAL :Mencegah terjadinya hipotensi ortostatik yang dapat menyebabkan cedera
5. Ajarkan latihan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
RATIONAL :Dengan meningkatnya kekuatan otot akan mencegah terjadinya cedera

30
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai
gangguan
kesadaran Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Demensia
yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases)
Perubahan psikiatrik dan neurologis pada pasien demensia meliputi kepribadian, halusinasi
dan waham,mood, perubahan kognitif, reaksi Katastrofik, Sindrom Sundowner. Demensia
dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat
klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
III. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada
usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering
berakhir dengan kematian. Diagnosis Banding meliputi Demensia tipe Alzheimer lawan
demensia vaskuler, demensia vaskuler lawan transient ishemic attacks , delirium, depresi,
skizofrenia, proses penuaan yang normal, gangguan lainnya (retardasi mental, gangguan
,depresi berat). Penatalaksanaan pasien demensia meliputi Terapi pada demensia meliputi
psikososial, farmakoterapi, terapi dengan menggunakan pendekatan lain, Behavioural And
Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD)

B. Saran
Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan diagnosisnya
membutuhkan ketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
harus diingat penatalaksanaan pada pasien demensia bukan hanya farmakologi tetapi bersifat
holistic yang juga mencakup psikososial dan Behavioural And Psychological Symptoms Of
Dementia (BPSD)

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, Marilynn. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC
2. Watson, Roger. (2003). Perawatan pada Lansia. Jakarta : EGC
3. Darmojo, Boedhi. R. (2004). Geriatri – Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi ke-3.
Jakarta : FKUI
4. Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari :
http://www.idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.
5. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga
University Press. 2005.193
6. Freund, B., Gravenstein, S., Ferris, B., Burke, B.L. & Shaheen, E. (2005). Drawing
clocks and driving cars : use of brief tests of cognition to screen driving competency
in older adults, J Gen Intern Med, 20, 240–244.
7. Henderson, M., Scot, S. & Hotopf, M., (2007). Use of the clock-drawing test in a
hospice population, Palliative Medicine 2007; 21: 559–565 .
8. Kusumoputro, (2007). Kelemahan Kognisi Ringan sebagai Awal Pikun Alzheimer
pada Lanjut Usia, (diambil tgl 20 Oktober 2007) http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0307/01/opini/401780.htm
9. http://huseinmakhrudy.blogspot.com/2013/06/a.html

32

Anda mungkin juga menyukai