Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom (kumpulan


gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati (daerah
lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh.
Keluhan ini tidak selalu ada pada setiap penderita. Bahkan pada seorang penderita,
keluhan tersebut dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan merupakan
kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari penyebabnya (Sofro dan Anurogo,
2013).

Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari bahasaYunani, “dys”


yang berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang berarti pencernaan, jika digabungkan
dispepsia memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala
gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia,
contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau distensi.

Kasus dyspepsia didunia mencapai 13 – 40 % dari total populasi setiap tahun.


Hasil study menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oseania, prevalensi
dyspepsia bervariasi antara 5% hingga 43 % (WHO, 2010). Di Indonesia diperkirakan
hampir 30% pasien yang datang ke praktik umum adalah pasien yang keluhannya
berkaitan dengan kasus dispepsia. Pasien yang datang berobat ke praktik
gastroenterologist terdapat 60% dengan keluhan dispepsia (Djojoningrat, 2009).

Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut bagian
atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan bebagai keluhan yang dirasakan
di abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di daerah
epigastrum (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian atas, sering
sendawa, mual, ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia sering juga dipakai sebagai
sinonim dari gangguan pencernaan (Herman, 2004).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani Dys berarti sulit dan pepsi berarti
pencernaan. Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak atau sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan.

Dyspepsia adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari nyeri rasa tidak nyaman di
epigastrum, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang dan sering
bersendawa. Boiasanya berhubungan dengan pola makan yang tidak teratur, makan
makanan yang pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-obatan tertentu, ataupun
kondisi emosional tertentu misalnya stress ( Wibawa, 2006 ).

Keluhan reflaks gastro esophagus klasik berupa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung, kini tidak lagi termasuk dyspepsia. (mansjoer, 2000). Pengertian
dyspepsia terbagi menjadi dua yaitu :

a. Dyspepsia organic

Bila diketahui adanya kelainan organic sebagai penyebabnya , sindroma


dyspepsia organic terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh.

b. Dyspepsia non organic ( dyspepsia fungsional).

Bila tidak jelas penyebabnya, dyspepsia fungsional tampa disertai kelainan atau
gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi dan
endoskopi ( teropong saluran pencernaan).

2.1.1 Epidemiologi

Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri

2
perut setiap minggu dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh
anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke
dokter.13

Penelitian di Bangkok mendapatkan dispepsia fungsional sebesar 62%


pada anak dan remaja berusia diatas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa
tidak nyaman dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan.4 Data statistik
kunjungan pasien baru rawat jalan poliklinik anak Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan tahun 2009 didapati 11 kasus dispepsia dari 1.910 pasien baru, tahun 2010
didapati 12 kasus dispepsia dari 1.894 pasien baru, tahun 2011 didapati 24 kasus
dispepsia dari 1.935 pasien baru. Dari data statistik tersebut dijumpai peningkatan
angka kunjungan pasien dispepsia setiap tahun.14
Seiring dengan bertambah maju ilmu pengetahuan dan alat-alat
kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit saluran pencernaan
yang disebabkan Helicobacter pylori (Hp), maka diperkirakan makin banyak
kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai
perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi dengan
yang tidak terinfeksi Hp. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan
kelainan organik, sedangkan pada usia di atas 4 tahun kelainan fungsional
merupakan penyebab terbanyak.15-17

2.1.2 Sindrom Dispepsia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sindrom adalah himpunan gejala
atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan
tertentu. Sindrom merupakan kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda,
simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul bersamaan.

a. Adapun gejala-gejala (sindrom) dispepsia, yaitu:


b. Nyeri perut (abdominal discomfort)
c. Rasa perih di ulu hati
d. Nafsu makan berkurang
e. Rasa lekas kenyang
f. Perut kembung
g. Rasa panas didada dan perut (Djojoningrat, 2014).

3
Sebagai Alarm Symtom Dispepsia adalah :

a. Umur > 45 tahun


b. Anorexia
c. PSCA/PSCB atau anemia tanpa diketahui penyebabnya
d. Mual dan Muntah
e. Disfagia/ Odinofagia
f. Ikterus
g. Ditemukan massa abdominal atau limfadenopati
h. Penderita gelisah (psikoneurosis) yang diderita hilang timbul dan lama

2.1.3 Klasifikasi Dispepsia

Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:

1. Dispepsia Organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai


penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer, gastro
esophageal reflux disease, hiperacidity.
Jenis-jenis dispepsia organik yaitu:

a. Tukak pada saluran cerna atas

Keluhan yang sering terjadi nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu
nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti
orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat
menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah
makan atau setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah,
bersendawa, dan kurang nafsu makan

(Hadi, 2005).

b. Gastritis

4
Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang mengiritasi
mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang berlebihan.
Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan
menurun, dan kadang terjadi perdarahan

(Sutanto, 2007).

c. Gastro esophageal reflux disease (GRD)

GRD adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks


(mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa
panas terbakar di dada (heart burn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala
lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum
adates standart mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-
gejala penyakit lain atau ditemukannya radang pada esofagus seperti
esofagitis (Berdanier,

2008).

d. Karsinoma

Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon)


sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri diperut,
bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan
berat badan turun (Hadi, 2005).

e. Pankreatitis

Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di
epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-
tusukdan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke
punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang
beberapa jam kemudian. Perut yang tegang menyebabkan mual dan kadang-
kadang muntah. Rasa nyeri di perut bagian atas juga terjadi pada penderita
pankreatitis kronik. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih,

5
melainkan disertai tanda-tanda diabetes melitus atau keluhan steatorrhoe
(Hadi, 2005).

f. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi

Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan


digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami
keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan
timbulnya diare berlendir (Sudoyo, 2009).

g. Gangguan Metabolisme

Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat


sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual
dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung untuk
mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan di
lambung. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan
nyeri perut dan vomitus (Hadi, 2005).

h. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori

Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari Australia,
Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa
hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang ahli
dalam mengobati penyakit lambung.

Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh


Helicobacter pyloripada lambung dapat menyebabkan peradangan mukosa
lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau
tukak bahkan dapat menjadi kanker (Rani, 2011).

2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU),
bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau
gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi,
dan endoskopi (Mansjoer, 2000). Menurut Friedman (2010) Beberapa hal yang
dianggap menyebabkan dispepsia

6
fungsional antara lain :

a. Sekresi Asam Lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi


asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin
dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau

hiposekresi.

b. Dismotilitas Gastrointestinal

Dismotilitas Gastrointestinal yaitu perlambatan dari masa pengosongan


lambung dan gangguan motilitas lain.

c. Diet dan Faktor Lingkungan

Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia


fungsional. Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu
makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak mengandung
HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor nervus vagus, dimana ada
hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan. Nervus
vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung tetapi efek dari
antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal.

d. Psikologik

Stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan


keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral.

2.1.4 Etiologi

Penyebab dari sindrom dispepsia adalah (Djojoningrat, 2006):

7
a. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti
tukak gaster / duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
b. Obat-obatan: sepertiObat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS),
aspirin, beberapajenisantibiotik, digitalis, teofilindansebagainya.
c. Penyakit pada hepar, pankreas, sistembillier: hepatitis, pankreatitis,
kolesistitiskronik.
d. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan
penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu: dispepsia yang terdapat kasus yang tidak di
apatkan adanya kelainan / gangguan organik yang dikenal sebagai
dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.

2.1.5 Faktor-faktor yang Menyebabkan Dispepsia

Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik dan
fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan di
saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-
lain. Sedangkan penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis
dan faktor intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Abdullah dan
Gunawan, 2012).

Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah :

a. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan bagian


atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).
b. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah

c. (mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).

d. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat lambung terasa
penuh atau bersendawa terus.
e. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya dispepsia,
seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi. Minuman jenis ini dapat
mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.

8
f. Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs(NSAID)
misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven (Rani, 2011).

g. Pola makan

Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak sehingga bila tidak
sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi asam. Tuntutan pekerjaan
yang tinggi, padatnya lalu lintas, jarak tempuh rumah dan kantor yang jauh dan
persaingan yang tinggi sering menjadi alasan para profesional untuk menunda
makan (Rani, 2011).

Menurut Haapalahti (2004) dalam Susanti (2011) ditemukan ada pengaruh pola
makan terhadap dispepsia. Pola makan yang tidak teratur mungkin menjadi predisposisi
untuk gejala gastrointestinal yang menghasilkan hormon-hormon gastrointestinal yang
tidak teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya motilitas gastrointestinal.

2.1.6 Patofisiologi

a. Faktor Genetik

Genetik merupakan faktor predisposisi penderita gangguan


gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat meyebabkan
peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan
dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor
polimorfisme alpha adrenergik yang memengaruhi motilitas dari usus.
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity
adrenal.

9
b. Faktor Psikososial

Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres


adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosi labil memberikan
kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini merupakan akibat
dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah
gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanisme-
neuroendokrin.

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan


fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan karena kecemasan pada diri mereka
dan orang tua terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau kecemasan
dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat
menyebabkan gejala sakit perut berulang.

c. Pengaruh Flora Bakteri

Infeksi Hp menyebabkan dispepsia fungsional. Penyelidikan


epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia
cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp
terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel
neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi
lambung dan menurunkan kadar somatostatin.

d. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan

Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien


dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol
yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti tahun 2000 menunjukkan
keterlambatan esensial pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia
fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure
menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi
akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada
daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi

10
pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang
merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal.11

e. Hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat


gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis
penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme
perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak,
dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan
dengan peningkatan sinyal dari usus
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi
pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen
lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia
fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan
kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas
duodenum.11

Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme


sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak yang
terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang
berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan
periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme sentral. Bagian
kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi stimuli
periperal. 6,11

2.1.7 Manifestasi Klinis

Mansjoer (2001) dalam bukunya membagi klasifikasi klinis secara praktis,


didasarkan atas gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi 3 tipe
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dispepsia), dengan
gejala:

a. Nyeri epigastrium terlokalisasi

11
b. Nyeri hilang setelah makan

c. Nyeri saat lapar

d. Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala dismotilitas (dysmotility-like dispepsia),dengan

gejala:

a. Mudah kenyang

b. Perut cepat terasa penuh saat makan

c. Mual

d. Muntah

e. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia mixed/ gabungan, yang gejalanya gabungan antara nyeri di


ulu hati dan rasa mual, kembung dan muntah tapi tidak ada yang
spesifik atau dominan.
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri
dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras(borborigmi).Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri, pada penderita yang lain, makan
bisa mengurangi nyerinya

2.1.8 Diagnosis
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair
berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung
(Hadi, 2002). Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor,

12
misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu
diperiksa CA 19-9 (Vilano et al, cit Hadi, 2002).

2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan
pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan (Mansjoer, 2007).

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus kecil dan
untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut
kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi
oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai
diagnostik sekaligus terapeutik.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

a. CLO (rapid urea test)


b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian

4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,


urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.

2.1.9 Diagnosa Banding


1. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat menjadi salah satu diagnosis
banding. Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan nyeri abdomen
bagian atas epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun regurgitasi asam.
Kemungkinan lain, irritable bowel syndrome (IBS) yang ditandai dengan nyeri
abdomen (perut) yang rekuren, yang berhubungan dengan buang air besar
(defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung.
2. Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga
timbul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah.
Lebih jauh diabetik radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan
nyeri abdomen bagian atas. Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan
hiperkalsemia juga dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Penyakit
jantung iskemik kadang-kadang timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen
bagian atas yang diinduksi oleh aktivitas fisik.

13
3. Gastritis -- peradangan pada lambung yang bisa disebabkan karena adanya asam
lambung yang berlebihan ataupun adanya infeksi dari kuman H. Pilory
4. Ulkus peptikum -- suatu gambaran kerusakan mukosa sampai pada tingkat
serosa.
5. Kholelitiasis -- adanya batu yang menyumbat pada slura empedu
6. Gastroparesis -- kelainan keterlambatan pengosongan gaster

2.1.10 Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan Primordial

Merupakan pencegahan pada orang-orang yang belum memilik faktor resiko


dispepsia, dengan cara mengenali dan menghindari keadaan/kebiasaan yang dapat
mencetuskan serangan dispepsia, dan untuk menghindari infeksi helicobacter pylori
dilakukan dengan cara menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan gizi, dan
dan penyediaan air bersih (Rani, 2011).

2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Berperan dalam mengolah dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia


pada orang yang sudah memiliki faktor resiko dengan cara membatasi atau
menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sehat seperti, makan tidak teratur,
merokok, mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda, makanan berlemak, pedas, asam,
dan menimbulkan gas di lambung. Berat badan perlu dikontrol agar tetap ideal, karena
gangguan pada saluran pencernaan, seperti rasa nyeri di lambung, kembung, dan
konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang mengalami obesitas. Rajin olahraga dan
manajemen stres juga dapat menurunkan resiko terjadinya dispepsia (Redaksi, 2009).

3. Pencegahan Sekunder

a. Diet mempunyai peran yang sangat penting, dasar diet tersebut adalah makan
sedikit berulang kali, makanan harus mudah dicerna, tidak merangsang
peningkatan asam lambung, dan bisa menetralisir asam HCL.

14
b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida, antagonis reseptor H2,
penghambat pompa asam (proton pump inhibitor= PPI), sitoprotektif,
prokinetik, dan kadang dibutuhkan psikoterapi, atau psikofarma (obat anti
depresi atau cemas) untuk penderita yang berhubungan dengan faktor kejiwaan
seperti cemas, dan depresi (Redaksi, 2009).
c. Bagi yang berpuasa untuk mencegah kambuhnya sindrom disepsia, sebaiknya
menggunakan obat anti asam lambung yang bisa diberikan saat sahur dan
berbuka untuk mengontrol asam lambung selama berpuasa.
Berbeda dengan dispepsia organik, bila si penderita berpuasa kondisi

asam lambungnya akan semakin parah. Penderita boleh berpuasa setelah


penyebab sakit lambungnya diobati terlebih dahulu (Mansjoer, 2000).

4. Pencegahan Tersier

a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi


penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia
terhadap masalah yang dihadapi.
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di
rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat
(Declan, 2001).

2.1.11 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin muncul pada dispepsia, diambil dari ulkus peptikum,
yaitu perdarahan gastrointestinal, stenosis pilorus, dan perforasi

2.1.12 Penatalaksanaan

Pada pasien muda (usia kurang dari 40 tahun) dengan dispepsia tanpa disertai
gejala alarm dapat diobati secara empiris dengan penghambat pompa proton atau proton
pump inhibitors (PPI), dengan atau tanpa prokinetik selama 2-3 minggu. PPI harus
diberikan dalam dosis omeprazole atau rabeprazole (20 mg), atau lanzoprazole (30 mg),
atau pantoprazole atau esomeprazole (40 mg) perhari. Endoskopi dianggap tidak
diperlukan karena keganasan dalam kelompok ini relatif rendah. Pilihan lain adalah

15
dengan melakukan tes non-invasif terhadap H.Pylori (urea nafas atau antigen tinja) dan
mengobatinya sesuai hasil tes.

Prokinetik disarankan digunakan pada dispepsia tipe dismotilitas, antagonis reseptor dopamin:
metoklopramide, domperidon (10 mg TDS) dapat digunakan. Antidepresan amitriptilin 25 mg
menjelang tidur juga dapat membantu. Bila disertai kecemasan dapat juga diberi lorazepam.
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan
yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Hp, Itoprid, PPI, dan terapi
psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti adalah antasida, antispasmodik,
bismuth, terapi diet, terapi herbal, reseptor AH2, misoprostol, golongan prokinetik,
selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan. Penanganan dispepsia
fungsional dapat dilakukan dengan non farmakologi dan farmakologi.
Pasien dengan dispepsia fungsional harus terlebih dahulu dipastikan mereka tidak
memiliki penyakit serius setelah penyelidikan minimum. Konsumsi, obat, terh berlebihan, rokok,
dan alkohol dapat menyebabkan gastritis sehingga harus dihindari. Diet seperti makan dalam
jumlah kecil namun sering, makan dengan sedikit air, makanan pedas (cabe) juga dapat membantu
penyembuhan.

a. Non farmakologi

Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan


cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologi. Gejala dapat
dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi,
alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu
mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan yang
terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan seharihari menjadi
beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi
relaksasi dan terapi perilaku.

b. Farmakologi

Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu :

a. Antasida

16
b. Antikolinergik

c. Antagonis reseptor H2

d. PPI

e. Sitoprotektif

f. Golongan prokinetik

g. Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas)

a. Reseptor Antagonis H2 (AH2)

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik


atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah
famotidin, ranitidin, simetidin dan nizatidin.7 Obat cepat diserap setelah
pemberian per oral. Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis
dan konsentrasi.
Penghambat reseptor AH2 secara kompetitif manghambat aksi histamin
pada reseptor histamine H2 pada sel parietal lambung. Sel parietal memiliki
reseptor untuk histamin, asetilkolin dan gastrin, yang semuanya dapat
merangsang sekresi asam hidroklorida ke dalam lumen gaster.

Penghambat reseptor H2 menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh


reseptor histamin. Efek penghambat reseptor H2 pada sekresi asam tergantung
pada dosis dan konsentrasi.

Reseptor AH2 kecil pengaruhnya terhadap otot polos lambung dan


tekanan sfingter esophagus yang lebih bawah. Sekresi gastrointestinal yang lain
tidak banyak berkurang. Terdapat perbedaan potensial yang sangat jelas dari
efikasinya dibanding obat lain dalam mengurangi sekresi asam.

b. Famotidin

Famotidin merupakan antagonis reseptor H2 yang bersifat long-acting.


Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan duapuluh lebih poten
daripada simetidin. Famotidin cepat diserap dan mencapai kadar puncak di
plasma kira- kira dalam 1 sampai 3 jam setelah penggunaan oral, masa paruh

17
eleminasi 3 sampai 8 jam dan bioavaibilitas 40% sampai 50%. Metabolit utama
adalah famotidin S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis
ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh
eliminasi dapat melebihi 20 jam.

Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan
konsentrasi. Famotidin diberikan dengan dosis 0.5 mg/kgBB/dosis dua kali sehari
dengan dosis maksimal 40 mg/hari selama dua minggu.
Efek samping famotidin biasa ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit
kepala, pusing, konstipasi dan diare.
c. Sikofarmakoterapi
Terapi ini khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia fungsional, memberi
hasil yang cukup memuaskan terutama untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala/keluhan. Pada kasus ini terapi dengan anti depresan atau anti anxietas dapat
membantu mengurangi gejala klinis.

Preparat dan dosis anti depresan yaitu sebagai berikut (Tarigan, 2003) :

a. Siklik antidepresan:

Anti depresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine dan memiliki
sedikit kegunaan. Digunakan sejak tahun 1950. Trisiklik seperti amitriptiline,
imipramine, trimipramine, dan dispramine dengan dosis 150-300 mg/hari.
Amoxapine dan trazodone dosis efektif secara klinis 150-600 mg/hari. Efek
samping yang sering dijumpai: sedasi, mulut kering, konstipasi dan hipotensi
postural.

b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)

MAOI memiliki kekurangan dimana pasien harus diet bebas tiramine, untuk
menghindari krisis hipertensi, yang disebut reaksi keju (“chese-reaction”).

c. Selective Serotonin re-uptake Inhibitors (SSRI)

Yang termasuk SSRI adalah fluoxetin, fluvoxamine, sertraline, citalopram dan


paroxetine.

18
Gambar 1.1 Penatalaksanaan Dispepsia
Dikutip sesuai aslinya dari: Gastroenterology and Hepatology: A Clinical
Handbook (2008)

19
2.1.13 Prognosis

Prognosis tidak diketahui, dan para pasien ini sebaiknya dipantau untuk
mengetahui kemungkinan timbulnya komplikasi seperti penyakit tukak peptik dan
esofagitis refluks (Schwartz, 2005).

20
KESIMPULAN

Dyspepsia adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari nyeri rasa tidak nyaman di
epigastrum, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang dan sering
bersendawa. Boiasanya berhubungan dengan pola makan yang tidak teratur, makan
makanan yang pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-obatan tertentu, ataupun
kondisi emosional tertentu misalnya stress.

Dengan pola makan yang teratur dan memilih makanan yang seimbang dengan
kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makanan
yang berkadar tinggi, cabai, alcohol dan pantang merokok. Bila harus makan obat karna
sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala maka minum obat secara wajar dan tidak
menggangu fungsi lambung.

21
DAFTAR ISI

Avey, P. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta, Erlangga.


Djojoningrat, D. 2006a. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B;
Alwi, I; Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid1. Edisi ke-4. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Djojoningrat, D. 2006b. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Dalam: Sudoyo,
A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2006.Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid1. Edisi ke-4. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Hadi, S. 2002. Gastroenterologi. Bandung, P.T. Alumni.
Harahap, Y. 2007. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska
Medan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara. USU Digital
Library. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14681 [diakses tanggal 20
maret 2012].
Muyassaroh, A. 2009. Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik Pada Pasien Tukak
Peptik (Peptic Ulcer Disease) Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Islam
Kustati Surakarta Tahun 2008. Skripsi.
http://etd.eprints.ums.ac.id/6175/1/K100050217.pdf [diakses tanggal 19 maret
2012]
Schwartz, M.W. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta, EGC.
Tarigan, C.J. 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional Dan
Dispepsia Organik. Tesis, Universitas Sumatera Utara. USU Digital
Library.http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6365 [diakses tanggal 23
februari 2012].

22
LAPORAN KASUS
Status Pasien
Nama : TRI RETNO WULANDARI
No.RM : 056876
Tanggal masuk : 31/07/2018
Dokter : dr. Bambang, Sp.PD

I. Identitas Pribadi
1. Nama pasien : TRI RETNO WULANDARI
2. Umur : 52 Tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Status : Menikah
5. Pekerjaan : IRT
6. Alamat : Jln. Pelita Desa Baru Perumahan VIII
7. Agama / Suku : Islam/Jawa

II. Riwayat Penyakit Saat Ini

Keluhan Utama:
Mual dan muntah
Telaah :
Seorang perempuan datang ke RSU Putri Hijau dengan keluhan mual muntah
yang sudah dialami os kurang lebih 1minggu, mual tiap kali makan, isi
muntahannya adalah makanan yang baru saja di makan oleh os, nyeri ulu hati
yang sudah sering dirasakan oleh os dan memberat ketika terlambat makan, nyeri
tekan epigastrium (+), dada terasa terbakar, badan lemas, os tampak pucat, kedua
kaki terasa berat.
Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita : DM
Riwayat Penyakit dalam Keluarga : Tidak Ada
Riwayat Penggunaan Obat : Metformin
Riwayat Alergi Obat : Tidak ada

23
Riwayat Pekerjaan :-

PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum
1. Kesan Sakit : Sakit Sedang
2. Sensorium : Compos Mentis
3. Kuantitatif : GCS 15 ( Eye : 4, Motorik : 6, Verbal : 5 )
4. Nadi : 80 x/i
5. Pernafasan : 24 x/i
6. Temperatur : 36,3 °C
7. TekananDarah : 140/80 mmHG

B. Kulit
1. Sianosis :-
2. Ikterus :-
3. Pucat :-
4. Turgor : Dalam Batas Normal
5. Edema :-
6. Kesan : Dalam Batas Normal

C. Rambut : Dalam Batas Normal

D. Kepala : Normal
1. Wajah : Normal
2. Dismorfik : Tidak

E. Mata
1. Palpebra : Edema (-)
2. Konjungtiva : Pucat (-), Hyperemis (-), Sekret (-)
3. Sklera : Ikterus (-)
4. Pupil : Isokor (+)

24
5. Refleks Cahaya : +/+

F. Hidung : Dalam Batas Normal

G. Mulut
1. Bibir : Dalam Batas Normal
2. Gusi : Dalam Batas Normal
3. Palatum : Dalam Batas Normal
4. Lidah : Dalam Batas Normal
5. Tonsil : Dalam Batas Normal
6. Faring : Dalam Batas Normal

H. Telinga : Dalam Batas Normal

I. Leher
1. Kelenjar Getah Bening : Dalam batas normal
2. Kaku kuduk : Negatif

J. Thoraks
Paru
1. Inspeksi : Simetris kanan = kiri
2. Palpasi : Stem fremitus kedua lapang paru
3. Perkusi : Sonor kedua lapang paru
4. Auskultasi : Vesikular kedua lapang paru

Jantung
1. Auskultasi : BJ I & II Normal

K. Abdomen
1. Inspeksi : Soepel dan simetris, distensi (-)

25
2. Palpasi : Nyeri Tekan Epigastriu, (+), Ascites (-), Hepar
Lien dbn
3. Perkusi : Timpani
4. Auskultasi : Peristaltik (+) normal

L. Ekstremitas : Akral hangat, Oedema : (-/-), CRT : < 2 detik


1. Superior : Dalam batas normal
2. Inferior : Dalam Batas Normal

M. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. Anus/ Rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan

O. P. Neurologis : Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

1. Darah (02 juni 2018)


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Darah rutin:
Hemoglobin 11,31 P: 12-14 g/dL
Hematokrit 33,9 P: 37-43%
Leukosit 9.920 5-10.103/uL
Trombosit 412.800 150-400.103/uL
Hit. jenis
- Limfosit 32,08 15,20-43,30 %
- Monosit 9,36 5,50-13,70
- Neutrofil 56,80 43,50-73.50
- Eosinofil 1,22 0,80-8,10
- Basofil 054 0,20-1,50
LED 23 <10
Glukosa sewaktu 96 <200 mg/dL
Ureum 14 <50
kreatinin 1,9 0,6-1,2

26
2. EKG : dalam batas normal

DIAGNOSIS BANDING
1. DM Tipe II + Dyspepsia
2. Dyspepsia Fungsional
3. GERD

DIAGNOSIS
DM Tipe II + Dyspepsia

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
1. IVFD RL
2. Antasida 3x1
3. Ondan 1 Amp/8jam
4. ranitidine 1 amp/12jam
5. cetrorolac 1amp/12jam

27

Anda mungkin juga menyukai