Penyaji:
dr. Balinda
Pembimbing:
dr. Theresia Christin, Sp.S
dr. Achmad Junaidi, Sp.S, MARS
dr. Hanna Marsinta, Sp.Rad
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
2017
i
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus SAH yang pertama kali dilaporkan pada kehamilan adalah pada
tahun 1899. Sejak saat ini, banyak literatur yang membahas kejadian SAH pada
kehamilan hanya berupa catatan atau serial kasus. Frekuensi keseluruhan dari
kejadiannnya sekitar 0,01-0,03%. Hampir 90% terjadi selama kehamilan, sebanyak
2% terjadi pada saat melahirkan, dan sebanyak 8% terjadi setelah melahirkan.
Sepertinya ada kecenderungan terjadi peningkatan frekuensi pada SAH dengan usia
kehamilan yang semakin meningkat, yang kemungkinan diakibatkan oleh
perubahan hemodinamik atau perubahan fisiologis pada kehamilan yang
mempengaruhi pertumbuhan aneurisma atau ruptur.3 Akan tetapi, yang menariknya
adalah menurut telaah artikel yang dilakukan oleh Algra dkk. tahun 2012 bahwa
risiko perdarahan subarakhnoid tidak meningkat selama kehamilan, persalinan, dan
setelah melahirkan (RR 0.40, 95% CI 0.20–0.90; 1 GQ study).4
1
penatalaksanaan pasien dengan adanya penyulit kehamilan pada perdarahan
subarakhnoid.
Pada laporan kasus ini, akan membahas seorang wanita berusia 22 tahun
dengan mengalami perdarahan subarakhnoid non trauma yang terjadi pada saat
kehamilan anak pertama saat usia gestasi 22 minggu. Pada saat usia kehamilan
mencapai usia 38 minggu penderita melahirkan anaknya secara dengan bantuan
forceps pervaginam.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTIFIKASI
Seorang wanita berumur 22 tahun, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, beralamat di
Belitang OKU TIMUR, datang ke bagian Gawat Darurat Neurologi RSMH pada
tanggal 26 Februari 2017, Rekam Medik 994831.
B. ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian Neurologi RSMH diakibatkan oleh nyeri kepala
paling hebat yang dirasakan selama hidupnya sejak 1 hari yang lalu yang terjadi
secara tiba-tiba.
Sejak 1 hari yang lalu, penderita yang sedang beraktivitas mengalami nyeri
kepala yang paling hebat selama hidupnya. Penderita tidak dapat beraktivitas sama
sekali. Nyeri dirasakan terus menerus tidak menghilang dengan pemberian obat
warung. Penderita mengalami muntah sebanyak dua kali. Pederita tidak mengalami
kejang. Penderita tidak mengalami penurunan kesadaran.Tidak ada mulut mengot
dan tidak ada bicara pelo. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada. Ganggguan rasa berupa
baal tidak ada. Penderita dapat mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan
dan isyarat. Penderita masih dapat mengerti isi pikiran orang lain secara lisan
tulisan, dan isyarat. Gangguan Buang Air Besar dan Buang Air Kecil tidak ada.
Riwayat hipertensi tidak ada. Riwayat Diabetes Mellitus tidak ada. Riwayat
sakit jantung tidak ada. Riwayat kontrasepsi oral tidak ada. Riwayat merokok tidak
ada. Riwayat minum alkohol tidak ada. Riwayat narkoba tidak ada. Riwayat demam
tidak ada. Riwayat trauma kepala tidak ada. Riwayat sakit kepala lama tidak ada.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
3
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Umum
Kesadaran : E4M6V5 NRS: 7-8
Temperatur : 36.20C
2. Neurologis
N. I Tidak ada kelainan
N. II Tidak ada kelainan
N. III Pupil bulat, isokor, Reflek Cahaya +/+
diameter pupil ka-ki 3 mm/3 mm
N. III,
IV, VI
4
Fungsi Motorik L Ka L Ki T Ka Tki
Gerakan C C C C
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus N N N N
Klonus - -
Refleks Fisiologis N N N N
Refleks Patologis - - - -
Brudzinsky 1, 2, 3, 4 (+/-/-/-)
3. Obstetri
FUT setinggi pusat (19 cm), ballotement eksterna (+), HIS (-), DJJ 160
x/menit
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hemoglobin 11,4 g/dL Ureum 19 mg/dL
Eritrosit 3.72 106/mm3 Kreatinin 0,44 mg/dL
Leukosit 14.1 103/mm3 Kalsium 8,9 mg/dL
5
Hematokrit 33% Magnesium 2,17 mEq/L
Trombosit 236 103/μL Natrium 142 mEq/L
Diff. Count 0/0/85/11/4 Kalium 3,4 mEq/L
SGOT 15 U/L Klorida 114 mmol/L
SGPT 2 U/L
CT scan Kepala
6
Kesan: Gambaran SAH pada fissura sylvii kanan, falk anterior
Rontgen Thorax
E. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : cephalgia berat, GRM
Diagnosis topik : Ruang subarakhnoid
Diagnosis etiologi : Subarachnoid hemorrhage
DD/ aneurisma,
AVM
7
F. TATA LAKSANA
1. Non Farmakologis
a. Imobilisasi
b. Edukasi (cukup istirahat, cegah stres)
c. Diet BB 1800 kkal
d. Rencana MRI
e. Rencana MRA
2. Farmakologis
a. IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
b. Paracetamol 3 x 1000 mg IV
c. Vitamin B kompleks 1x1 ampul IV
d. Laktulosa 3 x 1 cth
e. Citicholine 3 x 500 mg IV
f. Asam tranexamat 4 x 1000mg IV
g. Rencana Nimodipin 4x60mg (hari ke 4-21)
8
G. FOLLOW UP
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis Penatalaksanaan
27 Februari- S. nyeri kepala Diagnosis klinis : Non Farmakologis
1 Maret 2017 O. Status Generalis: Gejala Rangsang Meningeal O2 3 liter via nasal canule
E4M6V5 Nyeri kepala IVFD NS 0.9% gtt x/menit makro
TD: 110/70 mmHg Diet cair 1800 kkal
N: 72 x/m Diagnosis topik: Bed Rest Total
RR:20 x/m Ruang subarakhnoid Imobilisasi
Temp: 36,20C Elevasi kepala 300
NRS : 4-5 Diagnosis etiologi: Rencana MRI kepala (2 Maret 2017)
Status Neurologis Perdarahan subarakhnoid DD/ aneurisma, AVM
Rencana MRA kepala (9 Maret
N.III: pupil bulat, anisokor, Reflek Cahaya +/+
2017)
diameter pupil ki-ka 3 mm/3mm Diagnosis Tambahan:
N III, IV, VI : kedudukan bola mata simetris G1 P0 A0 Hamil 20-22 minggu JTH intra uterine
NVII : lipatan dahi simetris, plica nasolabialis simetris
Farmakologis
N VIII : nistagmus (-)
N IX, X : uvula di tengah, refleks muntah (-) IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
N XI : tortikolis (-) Paracetamol 3 x 1000 mg IV
N XII : deviasi lidah (-) Vitamin B kompleks 1x1 ampul IV
Fungsi Motorik LKa LKi TKa Tki Laktulosa 3 x 1 cth
Gerakan C C C C Citicholine 3 x 500 mg IV
Kekuatan 5 5 5 5 Asam tranexamat 4 x 1000mg IV
Tonus N N N N Rencana Nimodipin 4x60mg (mulai
Klonus - - tanggal 28 Februari)
R. fisiologis N N N N
R. patologis - - - - Hasil Laboratorium 1 Maret 2017:
PT: 14,6 detik
Fungsi Sensorik : tidak ada kelainan INR: 1,1
Fungsi Vegetatif : tidak ada kelainan APTT: 28,5
Fungsi Luhur : tidak dapat dinilai Fibrinogen: 439
GRM :Kaku Kuduk (+), D-dimer: 0,44
Brudzinsky 1, 2, 3, 4(+/-/-/-)
Lasseque (-), Kernigs (-)
Gerakan abnormal : tidak ada
Gait : tidak dapat dinilai
Keseimbangan : belum dapat dinilai
9
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis Penatalaksanaan
2-4 Maret S. nyeri kepala Diagnosis klinis : Non Farmakologis
2017 O. Status Generalis: Gejala Rangsang Meningeal IVFD NS 0.9% gtt x/menit makro
E4M6V5 Nyeri kepala Diet cair 1800 kkal
TD: 120/80 mmHg Bed Rest Total
N: 80 x/m Diagnosis topik: Imobilisasi
RR:20 x/m Ruang subarakhnoid Elevasi kepala 300
Temp: 36,80C MRI kepala 2 Maret 2017
NRS : 1-3 Diagnosis etiologi:
Rencana MRA kepala (9 Maret
Status Neurologis Perdarahan subarakhnoid DD/ aneurisma, AVM 2017)
N.III: pupil bulat, anisokor, Reflek Cahaya +/+
diameter pupil ki-ka 3 mm/3mm Diagnosis Tambahan:
N III, IV, VI : kedudukan bola mata simetris G1 P0 A0 Hamil 20-22 minggu JTH intra uterine
Farmakologis
NVII : lipatan dahi simetris, plica nasolabialis simetris
IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
N VIII : nistagmus (-)
Paracetamol 3 x 1000 mg IV
N IX, X : uvula di tengah, refleks muntah (-)
N XI : tortikolis (-) Vitamin B kompleks 1x1 ampul IV
N XII : deviasi lidah (-) Laktulosa 3 x 1 cth
Fungsi Motorik LKa LKi TKa Tki Citicholine 3 x 500 mg IV
Gerakan C C C C Nimodipin 4x60mg (mulai tanggal
Kekuatan 5 5 5 5 28 Februari)
Tonus N N N N
Klonus - -
R. fisiologis N N N N
R. patologis - - - -
10
11
12
Kesan:
Lesi ekstra aksial pada regio parieto-oksipitalis dekstra.
Cenderung SAH kronis, sudah terbentuk feritin dan hemosiderin.
13
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis Penatalaksanaan
5-12 Maret S. nyeri kepala Diagnosis klinis : Non Farmakologis
2017 O. Status Generalis: Gejala Rangsang Meningeal IVFD NS 0.9% gtt x/menit makro
E4M6V5 Nyeri kepala Diet cair 1800 kkal
TD: 90/60 mmHg Bed Rest Total
N: 90 x/m Diagnosis topik: Imobilisasi
RR:20 x/m Ruang subarakhnoid Elevasi kepala 300
Temp: 36,80C MRA tanggal 9 Maret 2017
NRS : 0-1 Diagnosis etiologi:
Status Neurologis Perdarahan subarakhnoid DD/ aneurisma, AVM
N.III: pupil bulat, anisokor, Reflek Cahaya +/+ Farmakologis
diameter pupil ki-ka 3 mm/3mm Diagnosis Tambahan: IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
N III, IV, VI : kedudukan bola mata simetris G1 P0 A0 Hamil 21-23 minggu JTH intra uterine
Paracetamol 3 x 1000 mg IV
NVII : lipatan dahi simetris, plica nasolabialis simetris
Vitamin B kompleks 1x1 ampul IV
N VIII : nistagmus (-)
N IX, X : uvula di tengah, refleks muntah (-) Laktulosa 3 x 1 cth
N XI : tortikolis (-) Citicholine 3 x 500 mg IV TUNDA
N XII : deviasi lidah (-) Nimodipin 4x60mg TUNDA
Fungsi Motorik LKa LKi TKa Tki
Gerakan C C C C
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus N N N N
Klonus - -
R. fisiologis N N N N
R. patologis - - - -
14
Hasil MRA tanggal 13 Maret 2017
Kesan:
Tampak Gambaran AVM pada regio parietalis dextra dengan feeding vessel utama dari arteri cerebri posterior dan sinus
sagitalis superior.
15
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis Penatalaksanaan
13-17 Maret S. - Diagnosis klinis : Non Farmakologis
2017 O. Status Generalis: Gejala Rangsang Meningeal IVFD NS 0.9% gtt x/menit makro
E4M6V5 Nyeri kepala Diet cair 1800 kkal
TD: 100/60 mmHg Bed Rest Total
N: 90 x/m Diagnosis topik: Imobilisasi
RR:20 x/m Ruang subarakhnoid Elevasi kepala 300
Temp: 36,80C
NRS : 0-1 Diagnosis etiologi: Farmakologis
Status Neurologis Perdarahan subarakhnoid DD/ aneurisma, AVM IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
N.III: pupil bulat, anisokor, Reflek Cahaya +/+
Paracetamol 3 x 500 mg PO
diameter pupil ki-ka 3 mm/3mm Diagnosis Tambahan:
Vitamin B kompleks 1x1 ampul IV
N III, IV, VI : kedudukan bola mata simetris G1 P0 A0 Hamil 21-23 minggu JTH intra uterine
NVII : lipatan dahi simetris, plica nasolabialis simetris Laktulosa 3 x 1 cth
N VIII : nistagmus (-) Citicholine 3 x 500 mg IV TUNDA
N IX, X : uvula di tengah, refleks muntah (-) Nimodipin 4x60mg TUNDA
N XI : tortikolis (-) Rawat Jalan tanggal 17 Maret 2017
N XII : deviasi lidah (-)
Fungsi Motorik Lka LKi Tka Tki
Gerakan C C C C
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus N N N N
Klonus - -
R. fisiologis N N N N
R. patologis - - - -
16
Tanggal Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Assesment Penatalaksanaan
OBGYN S. Mau melahirkan dengan riwayat stroke
11 Juli 2017 O. Status present: G1 P0 A0 hamil 38 minggu inpartu kala I fase laten Observasi TVI, DJJ
01.00 KU: sadar JTH preskep IVFD RL gtt xx/menit
TD: 120/80 mmHg (+) AVM dan Riwayat stroke perdarahan Pro terminasi perabdominam cito
N: 80 x/menit Konsul Neurologi
Temp: 36,8 Informed Concent
RR: 20 x/menit
Status objektif:
PL:
FUT 2 jbpst, perdararahan (-), lokhia (+) rubra
Saran:
NEUROLOGI S. Pasien dikonsulkan dari bagian Obgyn dengan G1 P0 A0 Kesan: Tidak ada tatalaksana khusus di bidang neurologi.
11 Juli 2017 hamil aterm inpartu kala I fase laten dengan riwayat stroke Pada saat ini dari pemeriksaan klinis neurologis
01.30 perdarahan. tidak didapatkan defisit neurologis baik fokal
Pada saat ini penderita tidak mengalami kelemahan sesisi maupun global.
tubuh, nyeri kepala tidak ada, muntah tidak ada, penurunan
kesadaran tidak ada, pandangan ganda tidak ada, mulut
mengot dan bicara pelo tidak ada.
O. Status Generalis:
E4M6V5
TD: 110/60 mmHg
N: 90 x/m
RR:20 x/m
Temp: 36,80C
NRS : 0-1
Status Neurologis
N.III: pupil bulat, anisokor, Reflek Cahaya +/+
diameter pupil ki-ka 3 mm/3mm
N III, IV, VI : kedudukan bola mata simetris
NVII : lipatan dahi simetris, plica nasolabialis simetris
N VIII : nistagmus (-)
N IX, X : uvula di tengah, refleks muntah (-)
N XI : tortikolis (-)
N XII : deviasi lidah (-)
17
Fungsi Motorik LKa LKi TKa Tki
Gerakan C C C C
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus N N N N
Klonus - -
R. fisiologis N N N N
R. patologis - - - -
Diagnosis postbedah:
P1 A0 post ekstraksi forsep ai. Arteriovenous malformation
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Subarachnoid Hemorrhage (SAH) adalah perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid (ruangan di antara membran subarakhnoid dan pia mater otak atau
medulla spinalis).6
Arteriovenous malformation atau AVM merupakan kelainan kongenital yang
bisa terdapat di otak maupun medula spinalis, terbentuk dari anyaman abnormal
antara arteri dan vena yang dihubungkan oleh satu atau lebih fistula.7
B. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan subarakhnoid pada kehamilan merupakan kejadian yang jarang
terjadi namun sangat fatal. Data epidemiologi yang akurat mengenai perdarahan
intrakranial pada kehamilan sulit untuk didapatkan. Stroke merupakan komplikasi
dari sekitar 9 sampai 26 kasus per 100.000 penduduk pertahunnya untuk wanita
hamil dan melahirkan. Kehamilan yang berkaitan dengan stroke dapat berupa
etiologi iskemik dan perdarahan, dengan kasus perdarahan sekitar pada 38% kasus.
Dari kasus perdarahan intrakranial, perdarahan subarakhnoid akibat aneurisma
merupakan penyebab utamanya kemudian dilanjutkan dengan perdarahan
subarakhnoid akibat AVM.3
Kasus pertama perdarahan subarakhnoid pada kehamilan dilaporkan pada tahun
1899. Sejak saat ini, literatur baik berkaitan dengan kejadian dan terapi pada
kehamilan hanya berupa catatan atau serial kasus saja, Frekuensi keseluruhan dari
SAH berkaitan dengan kehamilan adalah sekitar 0,01-0,03%. Sekitar 90% dari SAH
ini terjadi pada saat kehamilan, 2% selama persalinan, dan 8% terjadi pada saat
setelah melahirkan.3 Secara keseluruhan, kejadian rupturnya AVM pada kehamilan
adalah sekitar 1 tiap 10.000 kehamilan.8
19
C. PATOFISIOLOGI
AVM serebral adalah konglomerasi pintasan arteriovenosa yang abnormal
dengan feeding-artery dan draining-vena di dalam parenkim otak yang
menjadikan terjadinya kekurangan jumlah kapiler, aliran darah otak berkecepatan
tinggi yang berturbulensi, dengan demikian merupakan predisposisi terhadap
pendarahan intraserebral dan stroke. Pembuluh darah abnormal tidak memiliki otot
polos, sehingga tidak bisa melakukan autoregulasi. Selain itu, AVM juga
kekurangan arteriol kecil, sehingga berkontribusi pada ketahanan yang relatif
rendah terhadap aliran darah yang merupakan ciri khas AVM. AVM nidus, yang
didefinisikan sebagai jalinan shunt arterienalog abnormal yang terdiri dari lesi,
dapat dihubungkan satu sama lain oleh satu atau lebih fistula. Hubungan langsung
arteri dan vena ini menyebabkan saluran vaskular tekanan tinggi, yang seringkali
dapat menyebabkan pecahnya pembuluh, terutama jika vena menjadi jaringan
fibromuskular yang menebal dan lamina elastis yang tidak kompeten. Sel-sel di
dalam nidus juga dianggap tidak berfungsi. Jika pendarahan telah terjadi di AVM,
maka parenkim otak di sekitarnya akan menunjukkan gliosis dan pewarnaan
hemosiderin.9
Gambar 3.1. Hubungan Arteri dan Vena pada Kondisi Normal dan AVM
Ada beberapa aspek hemodinamik dalam AVM yang relevan dengan integritas
strukturalnya, dan karenanya cenderung terjadi perdarahan. Pertama, cabang dalam
20
AVM lebih cenderung menunjukkan aliran turbulen. Aliran turbulen bermasalah
karena bisa mempengaruhi integritas dinding pembuluh, terutama pada sisi vena
AVM nidus. Selain itu, tegangan tinggi yang ada di lokasi tertentu dalam AVM
dapat menyebabkan pembentukan aneurisma. Aneurisma ini, yang terkandung
dalam pembuluh darah dari AVM, dapat dengan sendirinya pecah dan dengan
demikian secara signifikan meningkatkan kemungkinan perdarahan. Terakhir,
tekanan dalam arteri pemberi makan juga dapat mempengaruhi integritas suatu
AVM. AVM yang berdiameter kurang dari 3 cm sebenarnya terkait dengan
kejadian pendarahan yang jauh lebih tinggi daripada AVM yang besar berukuran
diameter lebih dari 6 cm. Spetzler dkk. menunjukkan bahwa ini mungkin terjadi
karena terdapat tekanan yang lebih tinggi di arteri yang masuk ke dalam nidus
AVM dibandingkan dengan tekanan pada arteri pemberi makan pada AVM yang
besar.9
Peneliti sebelumnya telah mencatat bahwa belum ada gambaran yang jelas
mengenai perubahan hemodinamik yang terjadi di dalam serebrovaskular selama
kehamilan. Penelitian telah menunjukkan bahwa aliran darah melalui arteri serebri
media menurun selama kehamilan, mencapai usia kehamilan minimal 36 minggu.
Namun, ada juga beberapa bukti bahwa pada awal kehamilan (7-19 minggu) aliran
darah dapat meningkat hampir di otak. Kenaikan ini agak berlawanan dengan
perkiraan, mengingat efek vasokonstriksi yang diharapkan dari hypocapnia pada
wanita hamil harus ada pada pembuluh darah serebral. Oleh karena itu terdapat
spekulasi bahwa beberapa vasomediator lain mungkin memiliki efek dominan pada
aliran darah serebral pada awal kehamilan. Selain mediator vasoaktif standar yang
bertanggung jawab untuk autoregulasi, progesteron dan estrogen juga diperkirakan
berperan untuk bertindak sebagai mediator vasoaktif selama kehamilan, dan
mungkin berkontribusi pada efek vasodilator yang terlihat selama masa ini.
Bagaimana perubahan ini secara khusus dapat mempengaruhi hemodinamika AVM
intrakranial khususnya belum dianalisis secara komprehensif dalam literatur.9
Karena setiap perubahan fisiologi kardiovaskular maternal berpotensi terkait
dengan integritas kelainan vaskular serebral, seperti AVM intrakranial, maka
diperlukan pemeriksaan singkat tentang perubahan kardiovaskular selama
21
kehamilan. Selama kehamilan, wanita hamil mengalami tiga perubahan
kardiovaskular. Ini termasuk peningkatan volume darah dan cardiac output (CO)
serta penurunan tekanan darah. Status hipervolemik ibu selama kehamilan adalah
mekanisme adaptif yang memastikan bahwa CO cukup tinggi untuk dapat
mencukupi perfusi ke janin setiap saat dan melindungi ibu terhadap efek kehilangan
darah yang terkait dengan proses persalinan.9
Kenaikan CO juga terjadi selama kehamilan, meskipun ada data yang
bertentangan mengenai apakah kenaikan ini terutama disebabkan oleh kenaikan
stroke volume atau denyut jantung. Lebih dari setengah dari kenaikan ini telah
terbukti terjadi pada usia kehamilan 8 minggu, dan maksimum tercapai pada
minggu ke 32. Persalinan dan nifas juga dikaitkan dengan perubahan CO. Tahap
pertama persalinan telah menunjukkan peningkatan stroke volume yang pada
gilirannya meningkatkan CO. Pada pelebaran serviks maksimal, CO telah terbukti
meningkat sebesar 34%. CO pada akhirnya kembali ke nilai normal dalam periode
postpartum 2 minggu, meskipun tidak mulai menurun sampai 24 jam setelah proses
kelahiran.
Kenaikan CO ini sebenarnya tidak menyebabkan pada peningkatan tekanan
darah sistemik. Total resistensi perifer telah terbukti menurun hingga 70% pada usia
kehamilan 8 minggu. Hal ini menangkal kenaikan CO dan akhirnya hasilnya dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik. Dari berbagai mekanisme ini
disimpulkan bahwa ada kemungkinan bahwa ada beberapa perubahan
kardiovaskular ini dapat mempengaruhi kemungkinan pendarahan AVM pada
wanita hamil.
Berbagai macam faktor diduga meningkatkan terjadinya SAH yang disebabkan
oleh AVM. Dari semua faktor yang diduga penting adalah adanya hipertensi.
Hipertensi pada kehamilan dapat terjadi akibat kondisi spesifik tertentu, eklampsi
dan preeklampsi adalah yang paling sering terjadi. Faktor lainnya yang dipercaya
dapat menyebabkan peningkatan risiko perdarahan adalah kondisi sistemik
termasuk di dalamnya Koagulasi Intravaskular Diseminata, gangguan perdarahan
lainnya, tumor sel germinal, anomali vaskular lainnya, penggunaan obat-obatan
vasoaktif, termasuk kokain.5 Sebaliknya, beberapa peneliti juga mempertanyakan
22
apakah kehamilan dapat meningkatkan risiko ruptur pada AVM yang belum ruptur.
Pada penelitian retrospektif terhadap 451 wanita dengan AVM, terdapat 17
kehamilan dipersulit dengan adanya SAH. Peneliti ini memperkirakan bahwa risiko
ruptur AVM selama kehamilan sekitar 3,5% yang juga ternyata sebanding dengan
dengan risiko terjadinya ruptur pertama pada wanita tidak hamil dengan usia yang
sama. Sehingga disimpulkan bahwa kejadian dari rupturnya AVM tidak berbeda
bila dalam kondisi hamil.5
D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran yang paling sering terjadi pada AVM adalah perdarahan intrakranial,
yang terjadi pada sekitar 50% pasien. Risiko keseluruhan pada perdarahan awal dari
AVM berkisar antara 1-4% per tahunnya, sementara risiko perdarahan selanjutnya
berkisar dari 1% sampai sekitar lebih dari 34%. Lokasi juga memberikan kontribusi
terhadap kencenderungan perdarahan AVM dan komplikasi yang menyertainya,
dengan AVM yang posisinya di infratentorial, parietal, sentral, atau pada fossa
posterior dihubungkan dengan angka kematian yang lebih meningkat bila
dibandingkan dengan lokasi lainnya pada otak. Tahun pertama setelah perdarahan
AVM merupakan periode dengan risiko perdarahan yang cukup harus diwaspadai
dengan angka kemungkinan perdarahan kembali sekitar 6,9%.1 AVM dapat saja ada
dan tanpa menimbulkan gejala (asimtomatik) dan ditemukan secara tidak sengaja
atau dapat juga menimbulkan gejala berupa sakit kepala, kejang atau gejala fokal
lainnya.10
Perdarahan subarakhnoid (SAH) biasanya muncul dengan keluhan klinis sakit
kepala yang tiba-tiba dan sangat hebat (yang biasanya dideskripsikan sebagai nyeri
kepala terhebat selama hidupnya) dan disertai dengan mual, muntah, fotofobia,
nyeri leher, dan kehilangan kesadaran. Beberapa pasien dengan SAH dapat juga
muncul dengan klinis kejang.1 Derajat keparahan gangguan neurologis dan jumlah
perdarahan subarakhnoid pada saat pasien datang adalah prediktor terkuat
komplikasi neurologis dan keluarannya. Oleh karenanya, sangatlah penting bagi
pasien dengan perdarahan subarakhnoid harus diberikan penilaian sesegera
mungkin setelah pasien tiba dan distabilisasi. Terdapat beberapa sistem penilaian
23
yang dipakai, akan tetapi World Federation of Neurological Surgeons
Scale (WFNSS) dan modified Fisher Scale adalah skor yang paling sering
digunakan. Bila kedua skor ini tinggi maka perkiraan keluarannya akan semakin
buruk.1
E. DIAGNOSIS
Tes diagnosis awal untuk pasien yang diduga mengalami SAH adalah CT scan
kepala tanpa kontras. Sensitivitas dari CT scan kepala dilaporkan sebesar 98%
sampai 100% untuk deteksi perdarahan subarakhnoid dalam 12 jam setelah onset
bila dibandingkan dengan lumbal pungsi. Akan tetapi, sensitivitas dari CT scan
akan menurun menjadi 93% pada 24 jam dan 50% pada hari ke tujuh. Karakteristik
24
penampilan dari darah yang terdapat dalam ruangan subarakhnoid adalah
hiperdens. Meskipun MRI dapat sama sensitivitasnya dengan CT scan dalam 2 hari
pertama timbulnya SAH, akan tetapi jarang dilakukan dikarenakan masalah
keberadaannya yang masih jarang. MRI dengan menggunakan potongan sensitif-
hemosiderin (gradient echo dan susceptibility-weighted imaging) atau dengan fluid
attenuated inversion recovery (FLAIR) lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan
bila SAH telah terjadi beberapa hari.1
Paparan terhadap radiasi ionisasi dari CT dan medan magnetik kuat dari MRI,
dengan atau tanpa kontras membawa risiko potensial pada wanita hamil dan bayi
yang dikandungnya. Pilihan modalitas diagnosis untuk mengevaluasi kelainan
neurologi pada pasien hamil harus bertujuan untuk memberikan pelayanan dan
terapi standar terhadap pasien dan tetap meminimalisir risikonya terhadap bayi
yang dikandungnya.11 Dengan pertimbangan usia gestasi, masa konsepsi menuju
implantasi (hari 0-15) merupakan periode dengan risiko tertinggi, dengan
peningkatan risiko keguguran pada minggu ke-4. Selama proses organogenesis
(minggu ke 3-8) terdapat peningkatan risiko malformasi kongenital, retardasi
pertumbuhan sementara, dan kematian. Pada periode yang palin sensitif dari 8
sampai 15 minggu, dosis 12-20 rad (lebih tinggi yang digunakan pada pencitraan
klinis) dihubungkan dengan peningkatan retardasi mental, risiko ini jauh lebih
tinggi bila dibandingkan dengan usia 15-25 minggu, dan usia di atasnya risiko dapat
diabaikan. Kesemua ini berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap hewan.11
25
Tabel 3.1 Perkiraan Efek Radiasi terhadap Fetus Intra Uteri11
Sampai saat ini, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa MRI sampai 3 Tesla
berbahaya bagi fetus. MRI fetal sering digunakan bila tidak didapatkan gambaran
pencitraan fetal dengan ultrasonografi. Sehingga MRI merupakan modalitas
diagnostik pilihan selama kehamilan. Akan tetapi, bila memungkinkan haruslah
dilakukan setelah persalinan.11
Semua pasien dengan CT scan dengan atau tanpa dilakukan lumbal pungsi
haruslah dilakukan pencitraan lanjutan dengan menggunakan Ct angiografi (CTA)
atau Digital Substraction Angiography (DSA) untuk mengetahui sumber
26
perdarahan. DSA dipertimbangkan sebagai baku emas untuk mengetahui sumber
perdarahan (terutama aneurisma). CTA memiliki sensitivitas sekitar 90%-97% dan
sensitifitasnya sekitar 93%-100%, tergantung pada teknik, ketebalan dan algoritma
yang memprosesnya. Keputusan untuk melakukan CTA atau DSA dikembalikan
pada ketersediaan sumber daya pada intitusi. MRI harus dilakukan pada kasus yang
diduga malformasi vaskular pada otak, batang otak, dan medulla spinalis.1
F. TERAPI
Pada kasus perdarahan subarakhnoid ada beberapa rekomendasi yang
diterbitkan oleh AHA/ASA. Rumah Sakit dengan volume rendah (didefinisikan
sebagai orang yang memiliki kasus kurang dari 10 setiap tahunnya harus
27
mempertimbangkan merujuk pasien ke Rumah Sakit yang dengan volume tinggi
(lebih dari 35 kasus SAH setiap tahunnya), dengan memiliki fasilitas bedah saraf,
spesialis endovaskular, dan pelayanan neurointensif yang multidisiplin (Kelas 1,
level B). Pengaturan tekanan darah untuk mengurangi risiko perdarahan ulang
belum mendapatkan kesepakatan, tetapi dipercaya bahwa penurunan tekanan darah
hingga kurang dari 160 mmHg cukup bermanfaat (Kelas IIa, level C).
Mempertahankan status euvolemia dan volume sirkulasi darah direkomendasikan
untuk mencegah terjadinya delayed cerebral ischemia (Kelas I, Level B).
Penggunaan antikonvulsan profilaksis dapat dipertimbangkan pada periode setelah
perdarahan akut (Kelas IIb, Level B). Penggunaan rutin antikonvulsan tidak
direkomendasikan (Kelas III, Level B). Kontrol agresif terhadap demam dengan
target temperatur normal dengan menggunakan sistem modulasi standar atau lebih
canggih dapat dipertimbangkan pada fase akut SAH (Kelas IIa, Level B).
Manajemen glukosa ditujukan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia dapat
dipertimbangkan sebagai manajemen perawatan kritis umum pda pasien dengan
SAH (Kelas IIb, Level B). Heparin-induced thrombocytopenia dan deep venous
thrombosis merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi seteah SAH.
Identifikasi awal dan terapi sangat direkomendasikan, tetapi dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk mengidentifikasi paradigma skrining yang ideal (Kelas I, Level
B). Nimodipin oral harus diberikan pada semua pasien dengan SAH (Kelas I, Level
A). Mempertahankan euvolemia dan volume sirkulasi darah normal
direkomendasikan untuk mencegah terjadinya delayed cerebral ischemia (Kelas
I, Level B). Hipervolemia profilaksis atau angioplasti balon sebelum terjadinya
spasme angiografi tidak direkomendasikan (Kelas III, Level B). Transcranial
Doppler dianggap baik sebagai monitor vasospasme pada arteri (Kelas IIa, Level
B). Induksi hipertensi direkomendasikan pada pasien dengan delayed cerebral
ischemia kecuali tekanan darah meningkat atau kondisi jantung tidak
memungkinkan (Kelas I, Level B).
Empat pendekatan terapeutik telah berkembang sebagai tata laksana malformasi
arteriovenosa adalah: operasi, radiosurgery, embolisasi, dan perawatan konservatif.
Kurangnya konsensus tentang pilihan pengobatan, dan spesialisasi dokter yang
28
pertama kali melihat pasien dengan malformasi arteriovenosa sering kali
menentukan manajemen. Masalah utama yang mempersulit pengambilan keputusan
klinis adalah variasi antara malformasi arteriovenosa di otak sehubungan dengan
ukuran, lokasi, dan anatomi vaskular yang terperinci.7
Gambaran anatomis spesifik dari malformasi arteriovenosa merupakan dasar
dari beberapa skala penilaian yang umum digunakan dan telah divalidasi sebagai
alat prediksi keluaran klinis. Skala yang paling banyak digunakan adalah skala
penilaian Spetzler-Martin, pada awalnya dikembangkan untuk memprediksi hasil
pengobatan bedah mikro namun juga dapat digunakan untuk memprediksi hasil
bedah radiologis. Skala ini terdiri dari lima tingkatan menggabungkan poin untuk
tiga fitur malformasi arteriovena: diameter (<3 cm [1 poin], 3 sampai 6 cm [2 poin],
atau> 6 cm [3 poin]), adanya drainase vena dalam (1 poin), dan keterlibatan lokasi
penting seperti motorik, sensorik, bahasa, dan korteks visual atau ganglia basalis (1
poin). Nilai lebih rendah (poin total lebih rendah) menunjukkan risiko terapi yang
lebih rendah. Prediksi hasil bedah radiologi yang lebih akurat pun telah dicapai
dengan Skala AVM Radiosurgery Virginia (VRAS). VRAS menetapkan satu dari
lima nilai berdasarkan ukuran volume (<2 cm3 [0 poin], 2 sampai 4 cm3 [1 poin],
atau> 4 cm3 [2 poin]), lokasi penting (1 poin), Dan riwayat perdarahan serebral (1
poin). Malformasi arteriovenosa kelas 1 memiliki 0 poin, dan malformasi kelas 5
memiliki 4 poin.
Risiko yang terkait dengan pemilihan terapi malformasi arteriovenosa serebral
harus dipertimbangkan dengan risiko bila tanpa adanya intervensi atau konservatif.
The Randomized Trial of Unruptured Brain Arteriovenous Malformations
(ARUBA), yang secara acak membagi 226 pasien dengan malformasi arterienosa
serebral yang belum ruptur menjadi kelompok yang diamati saja dan kelompok
yang dilakukan intervensi (radiosurgery, embolisasi, atau operasi). Penelitian ini
dihentikan lebih awal oleh dewan pengawas keselamatan National Institutes of
Health karena banyaknya pengamatan saja dibandingkan dengan intervensi. Uji
coba telah dikritik karena data tidak dianalisis sesuai dengan jenis intervensi, faktor
spesifik pasien yang dapat memprediksi risiko yang terkait dengan intervensi, atau
risiko ruptur yang diantisipasi berdasarkan karakteristik lesi. Percobaan ini
29
mengkonfirmasi tingkat ruptur tahunan 2,3% pada kelompok yang diobservasi saja
namun tidak melakukan tindakan bedah untuk pasien dengan malformasi
arteriovenosa grade 1 atau 2, yang merupakan kandidat terbaik untuk operasi.
Mungkin kritik terkuat dalam percobaan ini adalah bahwa tindak lanjut rata-rata
hanya 33 bulan, periode yang terlalu singkat untuk menilai risiko pecahnya jangka
panjang atau efek terapeutik radiosurgery yang lengkap. Dalam pemilihan berbagai
jenis pengobatan untuk malformasi arteriovenosa serebral adalah hal yang
kompleks dan harus dipandu oleh karakteristik spesifik lesi vaskular. Skala
Spetzler-Martin merangkum karakteristik ini, yang terkait dengan keluaran yang
telah dicapai dengan setiap pilihan terapi.7
Gambar 3.3 Skala Spetzler Martin untuk AVM dan Keluaran Klinisnya Setelah
Terapi Bedah7
30
melakukan reseksi AVM yang telah ruptur namun dapat dioperasi pada saat
kehamilan dan hasilnya baik untuk ibu dan anaknya.9
31
Gambar 3.5 Algoritma manajemen pasien dengan perdarahan subarakhnoid
pada kehamilan5
32
BAB IV
PEMBAHASAN
33
kriteria klinis dari Hunt and Hess maka termasuk grade II dikarenakan didapatkan
adanya sakit kepala dengan intensitas sedang sampai berat dengan tanpa ditemukan
adanya defisit neurologis. Kehamilan tampaknya tidak mengubah presentasi klinis
pada SAH. Sekitar sepertiga pasien muncul dengan defisit neurologis yang parah
dengan penurunan kesadaran hingga koma. Pasien dengan kesadaran yang masih
baik biasanya mengeluhkan sakit kepala tiba-tiba yang hebat yang biasanya disertai
dengan muntah. Terdapat defisit neurologis fokal terutama bila terdapat perdarahan
intraserebral. Gejala awalnya dapat menyerupai eklampsi atau preeklampsi.3
Dilakukannya CT scan kepala sesegera mungkin pada pasien merupakan pilihan
utama dalam mendiagnosis suatu SAH. Ada keraguan dalam menggunakan CT scan
dibandingkan dengan MRI pada pasien dengan kondisi hamil, akan tetapi dari
beberapa jurnal MRI dianggap tidak sensitif dalam melihat perdarahan pada fase
akut.3 Lumbal pungsi dengan pemeriksaan spektofometrik cairan otak untuk
bilirubin akan memberikan hasil yang pasti mengenai keberadaan dari darah pada
kavum subarakhnoid.3 Pada penderita ini tidak dilakukan lumbal pungsi
dikarenakan diagnosis telah dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
klinis dan hasil CT scan kepala.
Setelah didapatkan diagnosis SAH, maka pemeriksaan selanjutnya diarahkan
untuk mengetahui penyebab yang mendasarinya. Diagnosis untuk melihat adanya
kelainan berupa aneurisma atau kelainan yang lainnya dapat diperoleh dengan
menggunakan DSA atau CT angiografi. Akan tetapi pemeriksaan ini harus
dilakukan dengan memperhatikan keamanan pasien dan bayinya dari radiasi
ionisasi.3 Pada pasien ini kemudian dipertimbangkan untuk menjalani MRI kepala
dan dilanjutkan dengan MRA kepala dikarenakan dianggap aman bagi kondisi
pasien yang sedang dalam kehamilan. Pada hasil MRI dan MRA kepala didapatkan
adanya gambaran AVM pada regio parietalis dextra dengan feeding vessel utama
dari arteri cerebri posterior dan sinus sagitalis superior
Pendekatan terapi pada SAH yang terjadi pada kehamilan adalah terapi
antiepilepsi, nimodipine, antiedema, terapi antihipertensi, dan terapi untuk operatif
sama dengan pasien yang tidak hamil.13 Mortalitas yang tinggi pada perdarahan
subarakhnoid bersumber dari komplikasi yang sering ditemukan selama perawatan
34
pasien. Komplikasi yang sering ditemukan yaitu perdarahan ulang, delayed
cerebral ischemia, hidrosefalus, dan komplikasi sistemik lainnya. Pada pasien ini,
terapi yang diberikan untuk mengatasi nyeri kepala adalah analgetik berupa
parasetamol 3 x1000 mg IV yang aman untuk kehamilan. Untuk mencegah risiko
terjadinya perdarahan berulang maka digunakan terapi anti fibrinolitik. Risiko
perdarahan ulang pada SAH dengan kehamilan mencapai 30%.5 Penggunaan terapi
antifibrinolitik digunakan untuk mencegah lisis dari bekuan darah yang belum
pecah, terapi pada pasien ini yang diberikan berupa asam tranexamat dengan dosis
4x1000 mg secara intravena selama 5 hari. Untuk pencegahan iskemia serebral
yaitu dengan pengobatan antagonis kalsium yaitu nimodipin. Pemberian nimodipin
oral berkontribusi pada stabilnya status neurologis dan secara umum memperbaiki
keluaran klinis yang disebabkan oleh kemungkinan terjadinya vasospasme. Sebuah
meta analisis pada pasien dengan SAH pada 10 penelitian (2.756 pasien) yang
menggunakan nimodipin dalam waktu 10 hari dapat menurunkan risiko neurologis
iskemik dan memperbaiki keluaran klinis dalam 3 bulan pertama.14 Tinjauan
Cochrane menunjukkan bahwa antagonis saluran kalsium hanya memberikan
pengurangan 5,1% pada risiko hasil buruk. Nimodipin telah terbukti teratogenik
pada hewan, namun sebuah penelitian prospektif dan multisenter tentang
keterpaparan antagonis saluran kalsium pada trimester pertama kehamilan
menunjukkan tidak ada peningkatan risiko malformasi kongenital mayor, dan
nifedipin dan amlodipin biasanya digunakan pada kehamilan untuk hipertensi tanpa
ada bukti yang menunjukkan efek janin yang merugikan. Meskipun disarankan oleh
beberapa peneliti untuk secara rutin diberikan untuk semua wanita hamil dengan
SAH, namun tetap berhati-hati untuk memberikan nimodipine hanya pada pasien
dengan volume darah subarachnoid yang besar, yang berisiko tinggi mengalami
vasospasme. Pada pasien ini, pemantauan hemodinamik hati-hati diperlukan untuk
memastikan bahwa hipotensi tidak membahayakan perfusi plasenta.3 Maka pada
pasien ini pemberian nimodipin sempat dihentikan pada tekanan darah sistolik
kurang dari 100 mmHg agar perfusi plasenta tidak terganggu. Selain itu pasien ini
diberikan laktulosa untuk mencegah terjadinya konstipasi.
35
Terapi pada pasien dengan perdarahan akibat AVM tanpa mengalami
penurunan kesadaran dikatakan jauh lebih sulit. Pertimbangan dilakukannya terapi
definitif di awal untuk AVM yang mengalami ruptur didasarkan pada kekhawatiran
tingginya angka perdarahan ulang yang secara bermakna berhubungan langsung
dengan morbiditas dan mortalitas. Alternatif lainnya adalah dengan
mempertimbangkan risiko perdarahan ulang yang lebih kecil sehingga
mempertimbangkan terapi konservatif selama masa kehamilan dan
mempertimbangkan dilakukannya operasi untuk eksisi setelah dilakukan
persalinan. Pendekatan 'garis tengah' merekomendasikan pendekatan konservatif
untuk orang-orang yang dianggap memiliki lesi berisiko tinggi dan lesi yang tidak
dapat dioperasi, sedangkan orang-orang yang dengan AVM yang dapat diterapi atau
dengan risiko rendah dapat direncanakan untuk tindakan lanjutan/operatif di masa
depan. 5 Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukannya tindakan konservatif
selama masa kehamilan dikarenakan berdasarkan skala Spetzler Martin pasien ini
memiliki risiko tinggi untuk dilakukan tindakan operatif yaitu dengan ukuran nidus
> 6 cm. Pasien direncanakan untuk dikonsulkan ke Bedah Saraf setelah persalinan.
Sekitar sepertiga pasien yang belum mendapatkan terapi untuk AVM
melahirkan dengan metode sectio caesaria, ini berdasarkan adanya kekhawatiran
perubahan hemodinamik otak yang berlebihan selama proses persalinan. Tetapi hal
ini belum dapat dibuktikan. Alternatifnya, persalinan dengan tanpa sectio caesria
dapat dihindari dengan mempersingkat kala II persalian dengan menggunakan
anestesi epidural dan teknik forsep, hal ini dilakukan untuk menghindari fluktuasi
hemodinamik dan perfusi serebral. Beberapa studi retrospektif menyatakan bahwa
persalinan non caesar juga sama amannya dengan caesar.5 Akan tetapi, beberapa
peneliti lainnya tidak setuju dengan pendapat ini, yang menyatakan lebih baik
dilakukan persalinan perabdominam.9 Pada pasien ini, pada usia kehamilan 38
minggu pasien datang ke IGD RSMH dengan keluhan mau melahirkan, penderita
diperiksa kembali status neurologisnya dan tidak ditemukan adanya defisit
neurologis baru. Pasien direncanakan untuk dilakukan terminasi perabdominam
akan tetapi dikarenakan pembukaan sudah lengkap maka kelahiran diputuskan
36
dilakukan secara pervaginam dengan bantuan forcep, baik ibu dan anak dalam
kondisi baik.
Pada wanita dengan riwayat ruptur AVM (dalam 1 tahun) direkomendasikan
mendapatkan terapi definitif bila risiko terapinya ditimbang cukup rendah (Bila
grade AVMnya 1 atau 2). Lesi grade 3 yang ruptur adalah hal yang cukup
problematik karena tingginya tingkat perdarahan ulang jika tidak diterapi. Bila ada
aneurisma pecah yang terkait, risiko perdarahan lebih tinggi lagi, dan obliterasi
pembuluh darah endovaskular yang segera pada pembuluh darah yang menyertai
aneurisma biasanya dilakukan. Malformasi arteriovenosa yang ruptur tanpa titik
perdarahan yang diketahui jelas dipertimbangkan untuk dilakukan pendekatan
multimodal, dengan embolisasi pra operasi diikuti oleh reseksi bedah mikro atau
radiosurgery stereotactic.7
Data pada 11 juta pasien dengan kehamilan yang dipersulit dengan SAH yang
didapatkan antara tahun 1995 sampai 2008 didapatkan bahwa SAH paling sering
terjadi pada saat persalinan atau sesaat sebelum atau setelah melahirkan. SAH yang
disebabkan bukan oleh aneurisma lebih sering didapatkan dibandingkan yang
disebabkan oleh aneurisma, dan dihubungkan dengan prognosis yang lebih baik.15
37
BAB V
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
4. Algra AM, Klijn CJM, Helmerhorst FM, Algra A. Female risk factors for
subarachnoid hemorrhage A systematic review. 2012.
6. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, et al. An updated definition of stroke
for the 21st century: A statement for healthcare professionals from the
American heart association/American stroke association. Stroke.
2013;44(7):2064-2089. doi:10.1161/STR.0b013e318296aeca.
9. Agarwal N, Guerra JC, Gala NB, et al. Current treatment options for
cerebral arteriovenous malformations in pregnancy: A review of the
literature. World Neurosurg. 2014;81(1):83-90.
doi:10.1016/j.wneu.2013.01.031.
11. Bove RM, Klein JP. Neuroradiology in women of childbearing age. Contin
Lifelong Learn Neurol. 2014;20(1):23-41.
doi:http://dx.doi.org/10.1212/01.CON.0000443835.10508.2b.
39
12. J.N. W. Subarachnoid haemorrhage in pregnancy. Br Med J.
1953;1953(4815):869-871. doi:770386356
[pii]\n10.1080/01443610601062630.
40