Anda di halaman 1dari 9

Minggu, 02 Juni 2013

Makalah Ekonomi Kelembagaan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi tentang Ekonomi Kelembagaan saat ini begitu memperoleh tempat dikalangan pemikir ekonomi
dan sosiologi. Tidak saja di Barat, tetapi kajian yang sama tumbuh di dunia timur, termasuk di Indonesia.
Perkembangan studi ekonomi kelembagaan yang demikian dinamis memunculkan pertanyaan-
pertanyaan mengenai konsep ekonomi kelembagaan itu sendiri, kenapa banyak diminati akhir-akhir ini?
Bagaimana falsafah keilmuannya? Di dunia Barat, sebenarnya kajian kelembagaan bukan sesuatu yang
baru. Di masa lampau setelah Adam Smith memahatkan teori ekonominya pada dinding-dinding sel otak
setiap manusia, maka sejak itu pula muncul perlawanan atau semacam counter atas gagasan yang
disampaikan oleh Smith. Dalam khazanah ilmu ekonomi kelompok penentang itu lazim dikenal dengan
Ekonomi Kelembagaan Lama (Old Institutional Economic). Sebelum membahas tentang ekonomi
kelembagaan, maka perlu diketahui bahwa dalam ilmu ekonomi kelembagaan dikenal juga institusi. Ada
beberapa pengertian institusi yang dikemukakan oleh para ekonom. Salah satunya pengertian yang
paling banyak dipakai adaah pengertian yang dikemukakan oleh Douglas C. North. Ia mendefinisikan
institusi sebagai aturan-aturan (constraints) yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur dan
membentuk interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Aturan-aturan tersebut terdiri dari aturan formal
seperti undang-undang, konstitusi dan aturan informal seperti norma sosial, konvensi, adat istiadat.
Indonesia harusnya banyak belajar dari apa yang telah dialami setelah krisis. Sepertinya sagat sulit untuk
negara ini bagkit dan kembali menata perekonomian yang nyaris ujung tanduk. Namun Indonesia terus
berusaha dan menunjukkan usaha yang keras dalam menata dan membawa perkonomian negara ini ke
arah yang lebih baik. Banyak sistem-sistem baru yang diterapkan oleh Indonesia, banyak pula teori-teori
barat yang diadopsi oleh Indonesia untuk diterapkan sebagai bentuk usaha membawa perekonomian
Indonesia ke arah yang lebih baik. Salah satu ilmu atau teori ekonomi yang ada di Indonesia adalah
mengenai ekonomi kelembagaan. Ekonomi Kelembagaan membahas masalah ekonomi dalam ranah
hubungan ekonomi dan kehidupan sosial serta hubungannya dengan kepemilikan seseorang atau
property right. Ekonomi Kelembagaan di Indonesia berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan.
Namun pengertian pembangunan di Indonesia dewasa ini telah mengalami penyimpangan dari
pengertian normatif. Kini pembangunan ekonomi berkelanjutan, tidak lagi mementingkan korelasi
keharmonisan antar aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Terutama faktor lingkungan. Pembangunan
ekonomi berkelanjutan kini hanya memperioritaskan kemajuan, tidak lagi mempedulikan apa dampak
yang ditimbulkan dari pembanguan tersebut. Bahkan kerusakan yang disisakan oleh usaha
pembangunan yang dilakukan. Menyisakan dampak buruk bagi generasi setelah kita. Apakah dampak
yang ditimbulkan oleh ekonomi berkelanjutan dan pembangunan yang dilakukan di Indonesia sebagai
usaha memajukan perekonomian Indonesia?
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Ekonomi Kelembagaan?

2. Siapa sajakah tokoh Ekonomi Kelembagaan?

3. Bagaimana perkembangan Ekonomi Kelembagaan di Indonesia?

4. Bagaimanakah pemikiran dan paradigma ekonomi kelembagaan?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ekonomi Kelembagaan

Ekonomi Kelembagaan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang Ekonomi dengan tidak
mengabaikan peran aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Ekonomi Kelembagaan
adalah paradigma baru dalam ilmu ekonomi yang melihat kelembagaan (rule of the game) berperan
sentral dalam membentuk perekonomian yang efisien. Ekonomi kelembagaan menekankan pada
pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi dan sosial bekerja (Black,
2002). Salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak
pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial dan adat.
Relefansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam
masyarakat. Barzel (1989) menulis dalam bukunya mengenai Economic of Property Rights, juga oleh
Cheung (1968) yang melakukan study mengenai share cropping di Taiwan. Kedua studi ini membuktikan
bahwa ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights terbukti menjadi handicap dalam
mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan. Bagian lain yang juga penting
dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah sisi lain
atau pendekatan lain yang digunakan untuk menjelaskan aspek ekonomi dari kelembagaan (Black, 2002).
Biaya transaksi mempertimbangkan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi dan antara
aktor (organisasi) yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Biaya transaksi
mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas
terbatas), masalah informasi, biaya negosisasi kontrak dan opportunism. Schmid (1987) di sisi lain
membedakan biaya transaksi atas tiga hal yakni 1) biaya informasi, 2) biaya kontrak, dan 3) biaya
pengawasan atau penegakan hukum. Dalam konteks inilah sering terjadi pemahaman yang keliru
mengenai apa yang dimaksud dengan transaction cost. Transaction cost bukanlah biaya pertukaran atau
salah satu biaya dalam jual beli barang dan jasa (termasuk lahan), namun transaction cost lebih diartikan
sebagai “the cost of establishing and maintaining right” (Allen,1991). Kedua aspek di atas yakni property
rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaaman yang serius dalam
kelembagaan pengelolaan lahan.
Jadi pada intinya, Ekonomi Kelembagaan adalah ekonomi yang menekankan pada hak kepemilikan.
Perekonomian dikembangkan oleh individu atau kelompok yang memiliki sarana atau faktor produksi.
Sehingga mereka memiliki keleluasaan atau wewenang untuk mengatur dan berperan dalam sektor
perekonomia serta pengembangannya. Dalam hal ini pemilik faktor produksi menjadi pelaku
pengembangan perekonomian. Ternyata dalam perakteknya banyak faktor-faktor yang memengaruhi
individu dalam mengambil keputusan seperti faktor sosial, politik dan lainnya. Pada titik ini ekonomi
kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak
antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma
dan keyakinan suatu individu atau komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi
(teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibuat (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset
fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu
untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar.
Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (non-market institution) untuk melindungi agar pasar
tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan jalan mendesain aturan main atau
kelembagaan (institutions).

2.2 Tokoh Ekonomi Kelembagaan

Para penganut Ekonomi Kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk
memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai
satu kesatuan analisis. Berikut merupakan pemikir mazhab ekonomi kelembagaan yang dapat ditelesuri
antara antara lain

1. Thorstein Bunde Veblen (1857-1929).

Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi
masyarakat. Veblen pada intinya mengkritik teori-teori yang digunakan kaum Klasik dan Neo-Klasik yang
model-model teoritis dan matematisnya dinilai biasa dan cenderung terlalu menyederhanakan
fenomena-fenomena ekonomi. Pemikiran-pemikiran Ekonomi Klasik dan Neo-Klasik juga di kritiknya
karena di anggap mengabaikan aspek-aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal
Veblen menilai pengaruh nilai dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat.
Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses
ekonomi. Bagi Veblen keadaan dan lingkungan inilah yang disebut institusi. Institusi yang dimaksudkan
veblen tidak dalam pengertian fisik, tetapi lebih berkaitan dengan nilai norma, kebiasaan, budaya yang
sudah melekat dan mendarah daging dalam masyarakat. Beberapa asumsi yang dianggap Veblen lemah
antara lain :
· Motif ekonomi melatarbelakangi setiap kegiatan. Setiap aktivitas manusia didasarkan atas
perhitungan rasional untung ruginya.

· Mendahulukan kepentingan diri sendiri (Self interest).

· Persaingan akan meningkatkan efisiensi.

· Private property right merupakan sebuah keharusan.

· Teori Ekonomi Klasik mengabaikan faktor-faktor sejarah, sosial dan kelembagaan dalam
membangun struktur ekonomi.

Pandangan Veblen

· Manusia bukan hanya mahkhluk rasional tapi juga makhluk emosional yang memiliki perasaan,
selera, nilai, dan kecenderungan yang terikat dengan budaya.

· Selera, perasaan, nilai dan kecenderungan juga mempengaruhi transaksi ekonomi yang dilakukan
oleh manusia.

· Pilihan-pilihan ekonomi juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan teknologi.

· Dunia ekonomi tidak dapat lepas atau bahkan dipengaruhi oleh faktor sejarah, sosial dan
kelembagaan yang selalu berubah.

2. Wesley Clair Mitchel (1874-1948)

adalah murid, teman dan pengagum Veblen. Ia juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode
kuantitatif dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu karyanya Business Cycle and Their
Causes (1913) dengan menggunakan bermacam data statistik ia kemudian menjelaskan masalah
fluktuasi ekonomi. Selain ikut dalam mendukung dan mengembangkan pemikiran-pemikiran gurunya,
lebih lanjut ia juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan
peristiwa-peristiwa ekonomi. Sesudah perang dunia kedua ia mengorganisir sebuah badan penelitian
“National Bureau Of Economic Research” yang memungkinkan lebih dikembangkanya penelitian-
penelitian tetang pendapatan nasional, fluktuasi ekonomi atau business cycles, perubahan produktifitas,
analisis harga, dan sebagainya.
3. Gunnar Karl Myrdal (1898)

berasal dari Swedia. Gunnar Karl Myrdal banyak menulis buku, antara lain : An America Delima, Value In
Social Theory, Challenge To Affluence, dan Asian Drama : An Inqury Into The Poverty Of Nations. salah
satu pesan myrdal pada ahli-ahli ekonomi ialah agar ikut membuat value judgement. Jika itu tidak
dilakukan struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak realities. Myrdal percaya bahwa
pemikiran institusional sangat di perlukan dalam melaksanakan pembangunan di Negara berkembang.
Myrdal meraih nobel di bidang ekonomi pada tahun 1974 bersama FA Hayek atas jasa-jasanya dalam
menyumbang pemikiran ekonomi, terutama bagi pembangunan Negara berkembang.

4. Joseph A. Schumpeter (1883-1950)

Ia mengatakan bahwa sumber utama kemakmuran bukan terletak dalam domain ekonomi itu sendiri,
melainkan berada diluarnya, yaitu dalam lingkungan dan institusi masyarakat. Lebih jelas lagi, sumber
kemakmuran terletak dalam jiwa kewiraswastaan (entrepreneurship) para pelaku ekonomi yang
mengarsiteki pembangunan.

5. Douglas C. North (1993)

North mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil nyata hanya dengan
memperbaiki kebijaksanaan ekonomi makro belaka. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan
seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi.
Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan hak cipta,
hukum kontrak dan pemilikan tanah. Bagi North institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut
sifat-sifat pemaksaan dari peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang membentuk
interaksi antara manusia secara berulang-ulang. Nama terakhir diatas, North adalah merupakan tokoh
ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economic) yang memperoleh nobel ekonomi pada tahun
1993, demikian juga dengan Ronald H. Coase pada tahun 1991. Nobel yang diperoleh kedua tokoh
tersebut turut menjadi pemicu perkembangan keilmuan ekonomi kelembagaan baru di dunia saat ini.
Pemikir Ekonomi Kelembagaan baru menolak sebagian asumsi ajaran ekonomi klasik atau neoklasik dan
menganggapnya tidak realistis seperti tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost) dan rasionalitas
instrumental (instrumental rationality). Ekonomi klasik yang mengasumsikan bahwa semua manusia
adalah rasional dan bekerja berdasarkan insentif ekonomi ternyata dalam prakteknya banyak faktor-
faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya.
2.3 Pemikiran dan Paradigma Ekonomi Kelembagaan

Mahzab Ekonomi Kelembagaan lama ini menganggap bahwa semua asumsi yang membangun oleh
mazhab ekonomi klasik atau neoklasik merupakan cara berfikir yang fatal. Itulah sebabnya, Ekonomi
Kelembagaan lama ini bekerja diluar mekanisme dan cara pandang pemikiran ekonomi klasik atau
neoklasik sejak ia diploklamirkan. Pada titik ini Ekonomi Kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa
kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain
aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori
modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang
dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan
lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem
ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar
(non-market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak
berujung, yakni dengan jalan mendesain aturan main/kelembagaan (institutions). Ekonomi kelembagaan
mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam sistem dan organisasi ekonomi atau
sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari biasanya bertumbuh spontan seiring dengan
perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat
penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang kehidupan. Dengan demikian,
ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya
dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial humaniora, ekonomi, budaya dan terutama ekonomi
politik. Ilmu ekonomi kelembagaan terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli
ilmu ekonomi dan ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel.
Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi juga pada bidang
keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002). Para penganut ekonomi kelembagaan
percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi,
seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008:
55). Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan
menggunakan metode kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan,
nonprediktif.

1. Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap
fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi
sosial yang lain). Lewat premis partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara
dua hal: (1) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan (2) penelitian kualitatif secara
rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).

2. Kedua, yang dimaksud dengan subyektif disini sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan
penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih mendekatkan diri pada
situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari
sudut pandang “orang dalam” dalam antropologi disebut dengan emic.

3. Ketiga, nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama sekali tidak masuk ke
wilayah prediksi kedepan, tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi,
karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara
utuh proses dibalik sebuah fenomena.

2.4 Perkembangan Ekonomi Kelembagaan di Indonesia

Perkembangan pemikiran ekonomi di Barat turut mempengaruhi studi-studi Ekonomi di Indonesia.


Beberapa sarjana-sarjana Indonesia lulusan sekolah Barat yang menaruh perhatian terhadap gagasan ini
dapat dilacak misalnya, Mubyarto, dengan pemikirannya tentang pengembangan ilmu dan pendidikan
ekonomi alternatif yang berpijak pada sistem nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life
economy) masyarakat Indonesia. A.R. Karseno (2004) dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar
di fakultas ekonomi UGM mengemukakan, bahwa selama krisis kita pasar tidak bekerja dengan baik
terdapat dimensi lain yang menolong perekonomian dan krisis, faktor lain itu adalah adanya pranata
yang hidup di masyarakat. Pranata yang mengatur perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Saking kehidupan ekonomi masih berjalan, bahkan menurut pendapatnya teori ekonomi Neo-Klasik
sudah terlalu jauh mengabaikannya. Tetapi tetap saja masalah kita semakin menunjukan bahwa dalam
memahami perekonomian Indonesia ada beberapa hubungan dan penguasaan ekonomi yang harus
menjadi perhatian kita. Ekonomi kebanyakan warga negara Indonesia yang harus dipahami dalam kontek
hubungan individu dan masyarakat, hubungan antara-negara dan masyarakat, serta dipihak lain realitas
pasar dalam kaitanya dengan peran negara dalam urusan fiskal-moneter-investasi-yang cenderung
mendikte pasar. Derajat inilah yang perlu mendapatkan pendalaman dalam memahami kelembagaan
(institusi) dalam kontek mikro dan makro ekonomi Indonesia. Masih dari UGM, Lincolin Arsyad (2005)
dalam penelitiannya Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case
of Village Credit Institution of Bali menemukan kinerja Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Gianyar, Bali
dipengaruhi oleh kelembagaan yang meliputi lembaga formal dan informal. Ia mencatat bahwa
kelembagaan adat memberikan kontribusi dalam kinerja portofolio, leverage, rasio kecukupan modal,
produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan kelayakan keuangan LPD.

Ahmad Erani Yustika (2005) lulusan Georg-August-Universität Göttingen, Jerman dengan disertasi
Transaction Cost Economics of The Sugar Industry in Indonesia dan juga buku teks “Ekonomi
Kelembagaan: Defenisi, Teori, dan Strategi” sehingga tidaklah berlebihan jika Yustika dikategorikan
sebagai salah satu pemikir ekonomi kelembagaan di tanah air. Perkembangan terkini yang perlu dicatat
ialah dimasukkannya mata kuliah ekonomi kelembagaan dalam kurikulum studi pembangunan di fakultas
ekonomi. Karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin popular. Demikian juga pengalaman banyak
negara menunjukkan bahwa kelembagaan (institutions) merupakan determinan utama kesejahteraan
dan pertumbuhan jangka panjang. Negara-negara ataupun kawasan yang lebih makmur dewasa ini
adalah yang memiliki kelembagaan politik dan ekonomi lebih baik di masa lalu (Hall & Jones, 1999; dan
Acemoglu, et.al., 2001). Kemajuan China dan India dewasa ini, dengan segala kekurangannya, bisa
dijelaskan dari aspek kelembagaan ini. Juga negara-negara di Asia yang paling dinamis. Apalagi saat
terjadi gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat ini dimana mainstream ekonomi yang
berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin
dipertanyakan eksistensinya, karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat
sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :

· Ekonomi klasik yang mengasumsikan bahwa semua manusia adalah rasional dan bekerja
berdasarkan insentif ekonomi ternyata dalam prakteknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik
yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya. Pada titik ini ekonomi kelembagaan masuk
untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi
(teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu
individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif),
model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik
(teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku
menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar.

· Ekonomi kelembagaan mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam


sistem dan organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari biasanya
bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja dibuat oleh
manusia. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di
segala bidang kehidupan.

· Gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat ini dimana mainstream ekonomi yang
berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin
dipertanyakan eksistensinya, karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat
sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.

3.2 Saran

Demikianlah makalah dengan judul “Ekonomi Kelembagaan” ini kami buat berdasarkan sumber-sumber
yang ada. Kami juga menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Sehingga
perlulah bagi kami dari pembaca untuk memberikan saran yang membantu agar makalah ini menjadi
lebih baik. Atas perhatian Anda semua, kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2009. Nasionalisme Kita. Kompasiana. Diakses hari Jumat, 19 April 2013.
(http://faisalbasri.kompasiana.com/2009/06/13/nasionalisme-kita/#more-272).

http://baiqdian.wordpress.com/2011/06/15/ekonomi-kelembagaan/

Adiningsih, Sri. 2009. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ekonomi.
Irawan, dan M. Suparmoko. 1987. Ekonomi Pembangunan (Edisi Keenam). Yogyakarta: BPFE Fakultas
Ekonomi UGM

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN

Anda mungkin juga menyukai