Anda di halaman 1dari 2

Hutan Lestari karena Kearifan Lokal

Masyarakat Adat Karampuang Sinjai


Penulis : Abang Abu

Sining Fabbanua Monroe Keddi Di Karampuang


Mappunnai Jama-Jamang Untu Piarai Nennia
Jagaiki Ale’Sippadato Kenanna Jama-Jamanna
Jagaiki Keluarga, Nasaba Narekko Masolangi
Ale’Majeppu Naseng Masolattoi Atuo Tuonna
Fabbanuae.

Pappaseng diatas jika diterjemahkan, berarti seluruh


penduduk yang tinggal di Karampuang memiliki kewajiban dan tanggung jawab penuh untuk
memelihara dan menjaga kelestarian hutan seperti halnya menjaga keluarganya, sebab kalau hutan
mengalami kerusakan maka penduduk pun akan mengalami kerusakan. Pesan ini menyiratkan bahwa
hutan adalah keluarga mereka, menjaga hutan bagai menjaga keluarga agar hidup mereka bisa berjalan
aman, damai dan sejahtera.
Wilayah Adat Karampuang memiliki total luas 2.579 ha dengan luas hutan adat 1.406,35 ha atau
lebih dari setengah wilayah adat merupakan hutan. Mereka menjaga hutan dengan kearifan lokal yang
mereka miliki yang tersimpan berupa pappaseng dan aturan hukum adat. Masyarakat adat Karampuang
sangat patuh terhadap adat-istiadat, kepercayaan, kosmologi, dan pengetahuan dalam pengelolaan
lingkungan. Mereka mempercayai bahwa setiap sudut didalam lingkungan tersebut ada penunggunya,
maka dari itu perlu dijaga kelestariannya. Masyarakat adat Karampuang menerapkan bentuk pengelolaan
lingkungan secara lestari dengan tujuan supaya kehidupan mereka selalu hidup sejalan dengan alam.
Saling menghormati bukan hanya kepada sesama manusia tetapi lingkungan juga harus tetap dijaga
kelestariannya.
Sistem pengelolaan lingkungan bagi masyarakat adat Karampuang mempunyai cara tersendiri dan
menjadi bagian dari sistem budaya mereka. Dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungannya
masyarakat adat Karampuang memiliki dan menerapkan norma-norma, nilai-nilai atau aturan-aturan
yang telah berlaku turun temurun dalam bentuk pappaseng yang merupakan kearifan lokal setempat.
Pesan-pesan tersebut biasanya dibacakan oleh Gella sebagai suatu bentuk fatwa adat pada saat puncak
acara adat paska turun sawah (mabbissa lompu), dihadapan dewan adat dan warga, sebagai suatu bentuk
ketetapan bersama dan semua warga Karampuang harus mematuhinya.
Beberapa pappaseng terkait pengelolaan hutan dan sumber daya alam adat Karampuang tersebut
adalah:
“Aja’ muwababa huna nareko depa na’oto adeke, aja’to muwababa huna nareko matarata’ni manuke

Artinya yang berarti ‘Jangan memukul tandang buah enau pada saat dewan adat belum bangun, jangan
pula memukul tandang buah enau pada saat ayam sudah masuk kandangnya’ bermakna ‘jangan menyadap
enau dipagi hari dan jangan pula menyadap enau dipetang hari’. Pappaseng di atas merupakan imbauan
terkait keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi
hari dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau,
demikian pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya.
Hutan dalam wilayah adat Karampuang terbagi kedalam hutan keramat dan hutan umum.
Masyarakat Karampuang memperlakukan kedua jenis hutan ini tidak jauh berbeda. Mereka tidak
diperbolehkan menebang pohon apapun dalam hutan keramat. Untuk hutan biasa, masyarakat tetap
dibolehkan menebang pohon untuk kebutuhan hidup seperti membangun rumah tapi harus seijin
pemangku adat. Mereka diizinkan menebang kayu di hutan hanya jika dipergunakan sebagaimana
mestinya dan bukan untuk dijual. Mereka juga hanya diperbolehkan mengambil hasil dari tanaman atau
pohon yang ada didalam hutan tanpa menebangnya, semisal madu atau buah-buahan yang tumbuh di
dalam hutan adat. Apabila ada ditemukan menebang kayu secara ilegal, maka akan menerima sanksi adat
seperti dikucilkan dimana masyarakat lain tidak akan hadir ketika ia melaksanakan hajatan, atau tidak
dilayani oleh pemangku adat dan warga lainnya ketika ada keperluan.
Dalam melestarikan hutan, Masyarakat adat Karampuang menjunjung tinggi bentuk kearifan lokal
sebagai identitas budaya mereka seperti norma/aturan yang berlaku dalam masyarakat seperti aturan adat
dan ajakan (Pappaseng). Oleh karena itu, masyarakat adat Karampuang masih menganggap aturan
tersebut sebagai suatu yang tetap harus dipertahankan karena menyangkut kelangsungan hidup manusia.
Maka dari itu Kearifan lokal penting untuk dilestarikan dengan tujuan menjaga keseimbangan dan
kelestarian hutan.

Sumber:
Muhannis. 2009. Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai. Yogyakarta: Ombak
Sekolah Lapang Karampuang. 2019. Hanuae Karampuang. Huma Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai