Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGENDALIAN SECARA FISIK GULMA DI LAHAN JAGUNG

DI SUSUN OLEH :

OJI SUKANDA

1603015001
AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang maha pengasih lagi maha penyayang atas
segala nikmatnya sehingga makalah inidapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami
juga mengucapkan banyak terimakasih atas segala pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbungan baik materi maupun fikiran.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupum pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengendalian gulma sudah merupakan keharusan pada budidaya jagung, baik


pada tanah yang baru di buka maupun pada tanah yang sudah lama di ushakan. Ini
di sediakan diri sendiri dengan teknologi bercocok tanam yang di gunakan

Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang terpenting di dunia setelah
padi dan gandum. Jagung sebagai salah satu tanaman yang memiliki kandungan
gizi karbohidrat. Di Amerika, jagung juga sebagi sumber pangan dan di Indonesia
seperti di Madura bagai makanan pokok (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Jagung
sebagai bahan pangan, ternak dan industry. lebih 55% kebutuhan jagung dalam
negeri digunakan sebagai pakan, 30% sebagai konsumsi pangan sisanya untuk
kebutuhan industri dan bibit (Kasryno, 2007).

Menurut Badan Pusat Statistik (2015) Propinsi Sumatera Utara Produksi


jagung dengan luas panen 245.773 hektar dengan produksi 1.519.407 ton/ hektar
dan produktivitas rata-rata 62.33 kwintal/hektar. Sedangkan Kabupaten Deli
Serdang adalah dengan luas panen 16.001 hektar dengan produksi 74.324
ton/hektar dan produktivitas rata-rata 46.45 kwintal/hektar. Produktivitas
kabupaten tergolong rendah jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya seperti
Kabupaten Karo adalah dengan luas panen 83.931 hektar dengan produksi 577.924
ton/ha dan produktivitas rata-rata 68.86 kwintal/ha produksi jagung di Deli Serdang
rendahnya disebabkan petani jagung belum memperhatikan cara pengendalian
gulma yang tepat yaitu dengan memperhatikan cara pengendalian. Padahal dengan
memperhatikan gulma tanaman jagung produksinya dapat meningkat, untuk dapat
meningkatkan produksi jagung perlu diperhati-kan faktor aplikasi.

Menurut Pujisiswanto dan Hidayat, (2008) adanya kompetisi antara tanaman


jagung dan gulma mengakibatkan produksi jagung mengalami penurunan sebesar
13 – 51%. Pengendalian gulma harus dilakukan agar gulma dapat ditekan sehingga
hasilnya rendah. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara manual seperti
penyiangan menggunakan cangkul atau bajak, atau secara mekanis menggunakan
alat, mesin, dan secara kimiawi menggunakan herbisida. Dari segi teknis,
penyiangan dengan herbisida tidak berbeda dengan penyiangan secara mekanis.
Takaran dan jenis herbisida yang digunakan bergantung pada jenis gulma,
kepadatan gulma, dan anjuran penggunaan masing - masing herbisida (Akil dan
Dahlan, 2005). Pengendalian 42 hari setelah tanam, yaitu menjelang penyiangan
kedua, dan menjelang panen, jumlah gulma hampir sama di kedua petak (Fadhly
dkk., 2004).

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui cara pengendalian gulma secara fisik pada lahan jagung.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengendalian Gulma secara mekanis

Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu


tercapainya tingkat hasil jagung yang tinggi. Gulma dapat dikendalikan melalui
berbagai aturan dan karantina secara biologi dengan menggunakan organisme
hidup; secara fisik dengan membakar dan menggenangi, melalui budi daya
dengan pergiliran tanaman, peningkatan daya saing dan penggunaan mulsa;
secara mekanis dengan mencabut, membabat, menginjak, menyiang dengan
tangan, dan mengolah tanah dengan alat mekanis bermesin dan nonmesin, secara
kimiawi menggunakan herbisida. Gulma pada pertanaman jagung umumnya
dikendalikan dengan cara mekanis dan kimiawi. Pengendalian gulma secara
kimiawi berpotensi merusak lingkungan sehingga perlu dibatasi melalui
pemaduan dengan cara pengendalian lainnya.

Secara tradisional petani mengendalikan gulma dengan pengolahan tanah


konvensional dan penyiangan dengan tangan. Pengolahan tanah konvensional
dilakukan dengan membajak, menyisir dan meratakan tanah, menggunakan
tenaga ternak dan mesin. Untuk menghemat biaya, pada pertanaman kedua petani
tidak mengolah tanah. Sebagian petani bahkan tidak mengolah tanah sama sekali.
Lahan disiapkan dengan mematikan gulma menggunakan herbisida. Pada
usahatani jagung yang menerapkan sistem olah tanah konservasi, pengolahan
tanah banyak dikurangi, atau bahkan dihilangkan sama sekali. Pada tanah
Podzolik Merah Kuning (PMK) Lampung, hasil jagung tanpa olah tanah masih
tetap tinggi hingga musim tanam ke-10 (Utomo 1997).

Pembajakan dan penggaruan dapat secara berangsur dikurangi dan diganti


dengan penggunaan herbisida atau pengelolaan mulsa dari sisa tanaman dan
gulma dalam sistem pengolahan tanah konservasi. Keter-sediaan herbisida juga
memungkinkan pemanfaatan lahan marjinal dan lahan miring yang bersifat sangat
rapuh terhadap pengolahan tanah konvensional. Penggunaan herbisida
memungkinkan penanaman jagung pada barisan tanaman tanpa olah tanah.

Pada tanah Inceptisol Wolangi yang bertekstur gulma pada pertanaman tanpa
olah tanah lebih sedikit daripada yang diolah secara konvensional, yang tercermin
dari bobot gulma yang lebih ringan. Pada tanah Ultisol Bulukumba yang
bertekstur lempung berdebu, 21 hari setelah tanam yaitu menjelang penyiangan
pertama, gulma pada petak tanpa olah tanah lebih sedikit dibanding pada petak
yang diolah secara konvensional. Sebelum penanaman jagung, gulma di petak
tanpa olah tanah dikendalikan dengan penyemprotan herbisida, sedang di petak
olah tanah konvensional, dikendalikan dengan pengolahan tanah. Pada 42 hari
setelah tanam, yaitu menjelang penyiangan kedua, dan menjelang panen, jumlah
gulma hampir sama di kedua petak (Fadhly et al. 2004). Menurut Roberts dan
Neilson (1981) serta Schreiber (1992), jumlah benih gulma berkurang jika
pengendaliannya menggunakan Herbisisda.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pengendalian secara fisik atau mekanis yaitu dengan cara langsung


mengambil atau mencabut atau memotong langsung pada gulma Secara
tradisional petani mengendalikan gulma dengan pengolahan tanah konvensional
dan penyiangan dengan tangan. Pengolahan tanah konvensional dilakukan dengan
membajak, menyisir dan meratakan tanah, menggunakan tenaga ternak dan
mesin.

3.2. Saran

Semoga makalah yang saya buat, dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
para pembaca. Terutama untuk lebih mengetahui informasi mengenai cara
pengendalain gulma secara fisik di lahan jagung.
DAFTAR PUSTAKA

Fadhly dkk., 2004. Pengaruh Cara Penyiangan Lahan dan Pengendalian Gulma Terhadap
pertumbuhan Dan Hasil Jagung Pada Tanah Bertekstur Berat. Seminar Mingguan
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 18 Juni 2004, p:14.

Kasryno, F., E. Pasandaran, Suyamto dan M.O. Adyana. 2007. Gambaran Umum Ekonomi
Jagung Indonesia Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, p 474-497.

Anda mungkin juga menyukai