Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angina pektoris Tak Stabil (ATS) adalah sindroma klinik yang berbahaya,
merupakan pola angina pektoris yang dapat berubah menjadi infark miokard
ataupun kematian. ATS menarik perhatian karena letaknya pada spektrum
iskemia miokard diantara angina pektoris stabil dan infark miokard, sehingga
merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard.
Tujuan penelitian adalah untuk menentukan faktor-faktor penunjuk prognosis,
mengetahui gambaran insiden infark miokard dan tingkat kematian pada ATS
selama perawatan rumah sakit dan perawatan tindak lanjut

Angina pektoris adalah rasa tidak enak di dada sebagai akibat dari suatu
iskemik miokard tanpa adanya infark. Klasifikasi klinis angina pada dasarnya
berguna untuk mengevaluasi mekanisme terjadinya iskemik. Walaupun
patogenesa angina mengalami perubahan dari tahun ke tahun, akan tetapi pada
umumnya dapat dibedakan 3 tipe angina:

1. Classical effort angina (angina klasik)


Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada keadaan
ini, obstruksi koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya iskemik seperti
waktu istirahat. Akan tetapi bila kebutuhan aliran darah melebihi jumlah
yang dapat melewati obstruksi tersebut, akan tetapi iskemik dan timbul
gejala angina. Angina pektoris akan timbul pada setiap aktifitas yang dapat
meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan atatus inotropik jantung
sehingga kebutuhan O2 akan bertambah seperti pada aktifitas fisik, udara
dingin dan makan yang banyak.
2. Variant angina (angina Prinzmetal)
Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat, akibat
penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian terbaru
menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis akibat spasme koroner baik

1
pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan obstruksi koroner
yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu istirahat jelas
disertai penurunan aliran darah arteri koroner.
3. Unstable angina (angina tak stabil / ATS)
Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina
dekubitus, Angina kresendo. Insufisiensi koroner akut atau Sindroma koroner
pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan yang dapat
berubah seperti keluhan yang bertambah progresif, sebelumnya dengan angina
stabil atau angina pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat
maupun bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard
yang mempunyai ciri tersendiri.
Penderita ATS yang dirawat di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta dalam
periode waktu antara 1 Oktober 1985 sampai 1 Oktober 1987. Dari 114
penderita ATS yang dirawat dalam periode waktu tersebut, terdapat 48
penderita yang memenuhi persyaratan penelitian, terdiri dari 43 laki-laki dan 5
wanita dengan usia antara 43-67 tahun. Kriteria diagnosis ATS adalah angina
pertama kali, angina kresendo, angina saat istirahat dan angina sesudah Infark
Miokard Akut (IMA) tanpa disertai perubahan enzim dan elektrokardiogram
dari IMA. Ketentuan lain adalah adanya perubahan sementara gambaran
elektrokardiogram, yaitu segmen ST, gelombang T atau keduanya sewaktu
angina. Penelitian meliputi 3 fase, yaitu fase akut, rawat dan tindak lanjut.
Setiap kasus mengikuti ketiga fase tersebut. Rangkaian fase akut dan fase rawat
merupakan lama perawatan rumah sakit. Lama fase tindak lanjut: 6-30 bulan
dengan rata-rata: 17.23 ± 6.45 bulan.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membuat rumusan masalah


yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana anatomi dari jantung ?


2. Apa pengertian dari penyakit angina pektoris tidak stabil ?
3. Apa etiologi dari penyakit angina pektoris tidak stabil ?
4. Apa saja klasifikas penyakit angina pektoris tidak stabil ?
5. Apa saja faktor resiko penyakit angina pektoris tidak stabil ?
6. Bagaimana cara menegakkan diagnosa penyakit angina pektoris tidak
stabil ?
7. Apa saja Diagnosa Banding dari penyakit angina pektoris tidak stabil ?
8. Apa pemeriksaan penunjang dari penyakit angina pektoris tidak stabil?
9. Apa saja terapi yang diberikan untuk penyakit angina pektoris tidak
stabil ?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jantung
2.1.1 Anatomi Jantung
Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan
tangan. Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah
dengan kontraksi ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat
ruang, 2 ruang jantung atas dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di
bawahnya dinamakan ventrikel, yang berfungsi sebagai pompa. Dinding
yang memisahkan kedua atrium dan ventrikel menjadi bagian kanan dan kiri
dinamakan septum.

4
Batas-batas jantung:

 Kanan : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior (VCI)

 Kiri : ujung ventrikel kiri

 Anterior : atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kiri

 Posterior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis

 Inferior : ventrikel kanan yang terletak hampir horizontal sepanjang diafragma


sampai apeks jantung

 Superior : apendiks atrium kiri.

Darah dipompakan melalui semua ruang jantung dengan bantuan keempat


katup yang mencegah agar darah tidak kembali ke belakang dan menjaga agar darah
tersebut mengalir ke tempat yang dituju. Keempat katup ini adalah katup trikuspid
yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan, katup pulmonal, terletak
di antara ventrikel kanan dan arteri pulmonal, katup mitral yang terletak di antara
atrium kiri dan ventrikel kiri dan katup aorta, terletak di antara ventrikel kiri dan
aorta.

Jantung dipersarafi aferen dan eferen yang keduanya sistem saraf simpatis
dan parasimpatis. Saraf parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui preksus
jantung. Saraf simpatis berasal dari trunkus toraksik dan servikal atas, mensuplai
kedua atrium dan ventrikel. Walaupun jantung tidak mempunyai persarafan
somatik, stimulasi aferen vagal dapat mencapai tingkat kesadaran dan dipersepsi
sebagai nyeri.

5
2.1.2 Fisiologi Jantung

Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah terkait


fungsinya sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu atrium-ventrikel
kiri dan kanan. Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa jantung tersebut,
pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru sedangkan bagian pompa jantung yang
kiri berperan dalam sirkulasi sistemik untuk seluruh tubuh.

Ada 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke


jantung. Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah dari
sirkulasi vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru tersebut ke jantung
sebelah kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan melalui katup trikuspid menuju
ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru melalui katup pulmonal.

2.1.3 Sirkulasi Jantung

a. Sirkulasi Sistemik

Sistem sirkulasi sistemik dimulai ketika darah yang mengandung banyak


oksigen yang berasal dari paru, dipompa keluar oleh jantung melalui ventrikel kiri
ke aorta, selanjutnya ke seluruh tubuh melalui arteri-arteri hingga mencapai
pembuluh darah yang diameternya paling kecil (kapiler)

b. Sirkulasi Pulmonal

Sistem sirkulasi pulmonal dimulai ketika darah yang terdeoksigenasi yang


berasal dari seluruh tubuh, yang dialirkan melalui vena cava superior dan vena cava
14 inferior kemudian ke atrium kanan dan selanjutnya ke ventrikel kanan,
meninggalkan jantung kanan melalui arteri pulmonalis menuju paru-paru (kanan
dan kiri). Di dalam paru, darah mengalir ke kapiler paru dimana terjadi pertukaran
zat dan cairan, sehingga menghasilkan darah yang teroksigenasi. Oksigen diambil
dari udara pernapasan. Darah yang teroksigenasi ini kemudian dialirkan melalui
vena pulmonalis (kanan dan kiri), menuju ke atrium kiri dan selanjutnya memasuki
ventrikel kiri melalui katup mitral (bikuspidalis). Darah dari ventrikel kiri kemudian

6
masuk ke aorta untuk dialirkan ke seluruh tubuh (dan dimulai lagi sirkulasi
sistemik) .

Jadi, secara ringkas, aliran darah dalam sistem sirkulasi normal manusia adalah :
Darah dari atrium kiri → melalui katup mitral ke ventrikel kiri → aorta ascendens
– arcus aorta – aorta descendens – arteri sedang – arteriole → capillary bed →
venule – vena sedang – vena besar (v.cava superior dan v.cava inferior) → atrium
kanan → melalui katup trikuspid ke ventrikel kanan → arteri pulmonalis →
paruparu → vena pulmonalis → atrium kiri

7
2.1.4 Katup Jantung

A. Anatomi Katup Jantung

i. Katup Trikuspid
Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan. Bila
katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan menuju
ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah kembalinya aliran
darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat kontraksi
ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3 daun katup.
ii. Katup Pulmonal
Darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis
sesaat setelah katup trikuspid tertutup. Trunkus pulmonalis bercabang
menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan berhubungan dengan
jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus pulmonalis terdapat
katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka bila ventrikel
kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi, sehingga
memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri pulmonal

8
iii. Katup Bikuspid
Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium kiri
menuju ventrikel kiri. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup pada
saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.
iv. Katup Aorta
Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta.
Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga
darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup pada
saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali
kedalam ventrikel kiri.

9
2.2 Angina Pektoris Tidak Stabil

1. Pengertian Angina Pektoris Tidak Stabil


APTS adalah dimana simptom iskemia sesuai SKA, tanpa terjadi
peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) dengan atau tanpa
perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen ST, inversi
gelombang T dan elevasi segmen ST yang transien.
2. Etiologi Angina Pektoris Tidak Stabil
Penyebab tersering adalah deposit ateroma di jaringan subintima pada
arteri koroner besar dan sedang (aterosklerosis). Aterosklerosis adalah
proses kronis yang progresif dan tiba-tiba muncul dengan karakteristik
berupa penumpukan lemak, elemen fibrosa dan molekul inflamasi pada
dinding arteri koroner. Progresivitas aterosklerosis berhubungan dengan
faktor lingkungan dan genetik dimana faktor tersebut akan berubah menjadi
faktor resiko penyakit jantung koroner
Penyebab angina pektoris tidak stabil adalah menurut Departmen
Kesehatan :
a) Trombus tidak oklusif
pada plak yang sudah ada penyebab paling sering SKA adalah
penurunan perfusi miokard oleh karena penyempitan arteri koroner
sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang
robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat. Pada
kebanyakan pasien, mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi
trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur akan
mengakibatkan infark kecil di distal adalah petanda kerusakan
miokard8.
b) Obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi)
Penyebab agak jarang , yang mungkin sebab oleh spasme fokal
yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina
prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot
polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. Juga bisa
terjadi akibat konstiksi abnormal pada pembuluh darah yang kecil.

10
c) Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ini adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena
spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan
aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah
intervensi koroner perkutan (PCI).
d) Inflamasi dan/atau infeksi
Inflamasi bisa disebabkan oleh/berhubungan dengan infeksi, yang
mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak,
ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak
dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak sehingga terjadi
SKA.
e) Faktor atau keadaan pencetus
Faktor ini merupakan faktor sekunder dari kondisi pencetus diluar
arteri koroner. Penyebab berupa penyempitan arteri koroner yang
menyebabkan terbatasnya perfusi miokard, dan biasanya pasien ini
menderita angina stabil

3. Klasifikasi Angina Pektoris Tidak Stabil


a. Angina pertama kali
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali
dialami oleh penderita dalam priode 1 bulan terakhir.
b. Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1
bulan terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih
lama, timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari biasanya
dan tidak hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita
sebelumnya menderita angina pektoris stabil.
c. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal
yang dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard.
Lama angina sedikitnya 15 menit.

11
d. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA.

Kriteria penampilan klinis tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri atau


bersamabersama tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang
terjadi pada IMA harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan
enzim serial dan pencatatan EKG..

4. Patofisiologi Angina Pektoris Tidak Stabil


Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak
menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2
miokard.
Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun
bersamasama yaitu :
a. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran
koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia,
tirotoksikosis dan pemakaian obatobatan simpatomimetik dapat
meningkatkan kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu
keseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun
dan penyakit sistemik seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan
menurunnya suplai O2 ke miokard.
b. Arterosklerosis
Arteri koroner Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan
cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak
sklerotik yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang
dapat memperberat penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan
sebagian lagi disertai dengan gangguan cadangan aliran darah koroner
ringan atau normal yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner
sementara akibat sumbatan maupun spasme pembuluh darah.

12
c. Agregasi trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis aliran
darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang
akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah
terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah.
d. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik
sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi
mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal.
Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.
e. Perdarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah kemungkinan
mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang
menyebabkan penyempitan arteri koroner.
f. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran koroner
karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban ATS.
Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis
pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan
kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan
trombus pembuluh darah.

5. Faktor Resiko Angina Pektoris Tidak Stabil


1. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Usia
Pertambahan usia berkait rapat dengan perubahan pada arteri koroner.
Perubahan utama yang terjadi adalah penebalan tunika intima disertai
tunika media yang mengalami fibrosis. Umur dapat mempengaruhi
faktor lain untuk meningkatkan risiko terhadap penyakit jantung
koroner. Faktor lain seperti tekanan darah tinggi, obesitas dan
peningkatan kadar lemak. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai

13
total kolesterol dan peningkatan LDL disertai penurunan HDL, juga
berhubung dengan pertambahan umur.
2. Jenis kelamin
Pria mempunyai risiko lebih besar dan kecenderungan mendapat
serangan lebih awal dalam kehidupannya kalau dibandingkan wanita.
Setelah menopause, estrogen tidak melindungi wanita, maka angka
kematian pada wanita akibat penyakit jantung koroner meningkat
c. Genetik
Studi mengenai genom berhasil mengidentifikasi SNPs (single
nucleotide polymorphism) berkaitan dengan peyakit jantung koroner,
infark miokard atau keduanya. Gen Ch9p21 SNP adalah gen yang
berperan dalam terjadinya penyakit jantung koroner dan infark
miokard. Anak dari orang tua dengan penyakit jantung koroner lebih
berpotensi terkena penyakit jantung. Baik pria atau wanita yang
memiliki minimum satu orang tua yang memiliki penyakit jantung
koroner beresiko 1,4 - 1,6 kali untuk terkena penyakit jantung koroner.
2. Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi
a) Merokok
Rokok mengandung zat kimia seperti nikotin, karbon monoksida,
ammonia, formaldehida, tar dan lain-lain. Bahan aktif utama adalah
nikotin yang memberi efek akut dan tar memberi efek kronis.
Nikotin menyebabkan efek simpatomimetik pada sistem
kardiovaskuler seperti takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol,
meningkatkan noradrenalin dalam plasma, meningkatkan tekanan
darah, cardiac output naik, dan meningkatkan konsumsi oksigen
sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik, penempelan
platelet dan menurunkan HDL.
b) Kadar Lemak Yang Abnormal (Kolestrol danTrigliserida)
Kolesterol adalah salah satu komponen lemak tubuh yang sangat
penting bagi sel yang sehat. Bila tubuh mengakumulasikannya
dalam jumlah banyak, maka kolesterol akan deposit ke dinding

14
pembuluh darah dan menghambat aliran darah. Ini akan
meningkatkan resiko serangan jantung.
Kolesterol terdiri dari HDL (high density lipoprotein) dan LDL
(low density lipoprotein). HDL berperan membawa kadar lemak
yang tinggi ke dalam jaringan hati untuk dimetabolisme dan
diekskresi dari tubuh. LDL berperan membawa kolesterol ke
jaringan, termasuk arteri koroner. Komponen lain adalah
trigliserida. Kadarnya selalu berpasangan dengan kadar HDL yang
rendah 30. Rasio non-HDL kolesterol, trigliserida dan total
kolesterol dengan HDL kolesterol lebih berhubungan dengan
resiko penyakit jantung koroner dibandingkan dengan hanya LDL
kolesterol.
c) Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi meningkatkan kerja jantung dan
menyebabkan dinding jantung menjadi kaku dan tebal yang
menyebabkan jantung tidak bekerja dengan baik dan
meningkatkan resiko serangan jantung, stroke dan gagal ginjal.
Terdapat dua patofisiologi bagaimana hipertensi menyebabkan
penyakit jantung koroner. Teori pertama adalah, hipertensi
menyebabkan kerusakan pada endotel yang menybabkan
senyawa vasodilator tidak keluar dan membuat penumpukan
oksigen reaktif serta penumpukan faktor -faktor inflamasi yang
mendukung aterosklerosis, trombosis dan penyumbatan
pembuluh darah. Teori kedua, hipertensi menyebabkan
peningkatan afterload yang mengakibatkan hipertropi dari
ventrikel kiri yang menybabkan meningkatnya kebutuhan
oksigen miokardium dan penurunan aliran darah koroner 32.
Orang dengan hipertensi memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk
terkena penyakit jantung koroner dibanding dengan orang yang
normotensi.

15
d) Aktivitas fisik yang kurang
Berat badan berlebihan akan meningkatkan kerja jantung karena
meningkatkan jumlah tahanan perifer total sehingga tekanan
darah menjadi tinggi 18. Ini menyebabkan penebalan dinding
ventrikel sehingga meningkatkan massa pada ventrikel terutama
ventrikel kiri. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar
kolesterol dan trigliserida serta menurunkan kadar HDL
Aktivitas fisik yang kurang dapat meningkatkan resiko penyakit
jantung koroner sebanyak 2 kali lipat dan dapat
memperburukkan faktor-faktor resiko yang lain seperti tekanan
darah, kadar kolesterol, trigliserida yang tinggi, diabetes dan
berat badan 18. Seseorang dengan aktivitas fisik sedang yang
intensif selama 150 menit/minggu dan tambahan 300
menit/minggu akan menurunkan resiko penyakit jantung
koroner sebesar 14% dibanding dengan orang yang tidak
melakukan aktivitas fisik.
e) Berat badan berlebihan (obesitas dan overweight)
Obesitas abdominal atau sentral, dapat diukur melalui berat
badan dan juga lingkar pinggang. Obesitas sentral dapat
menyebabkan berbagai hal seperti peningkatan kadar insulin dan
resistensi insulin (diabetes melitus) dimana insulin bisa
menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan
mempengaruhi retensi garam. Berat badan berlebihan akan
meningkatkan kerja jantung karena meningkatkan jumlah
tahanan perifer total sehingga tekanan darah menjadi tinggi 18.
Ini menyebabkan penebalan dinding ventrikel sehingga
meningkatkan massa pada ventrikel terutama ventrikel kiri 37.
Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan
trigliserida serta menurunkan kadar HDL.
Peningkatan 10kg berat badan akan meningkatkan tekanan sistol
sebesar 3mmHg dan tekanan diastol sebesar 2,5mmHg (Artham,

16
et al., 2009) dan setiap peningkatan IMT sebesar 4kg/m²
meningkatkan resiko terkena penyakit jantung iskemik sebesar
26%.
f) Diabetes melitus
Kadar gula dalam darah yang tinggi menyebabkan peningkatan
plak ateromatous pada arteri 18. Kematian pasien diabetes
melitus sering disebabkan serangan sindroma koroner akut
dibandingkan dengan yang tidak memiliki diabetes melitus
dapat meningkatkan resiko menjadi penyakit jantung sebesar 2 kali
lipat .

6. Diagnosa Angina Pektoris Tidak Stabil


Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark
miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan
angina tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik,
dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka jantung
meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat,
diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan
mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q.
Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih
tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki
lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih
rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas
keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI
lebih tinggi.
Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan
UAP adalah perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi
iskemia yang sedang terjadi beserta gejala yang dialami, serta
mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.

17
A. Presentasi klinik.
Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
a. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit.
Dialami oleh sebagian besar pasien (80%)
b. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
c. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif
atau kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi
makin berat; PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM
KORONER AKUT 15 minimal kelas III klasifikasi CCS.
d. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2
minggu setelah infark miokard.
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen,
terutama pada wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling
sering dijumpai adalah awitan baru atau perburukan sesak napas saat
aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut
presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis
kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko tradisional.
Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai
riwayat PJK, terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan
presentasi dari SKA. Keluhan yang sama pada seorang pria berumur
lanjut (>70 tahun) dan menderita diabetes berpeluang menengah
suatu SKA. Angina equivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada
seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil
merupakan presentasi dari SKA (Tabel 3).
B. Pemeriksaan fisik.
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan
diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu,
pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina
(anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan
nyeri dada sebagai representasi SKA (Tabel 3).

18
Elektrokardiogram. Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10
menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan,
perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan
penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau
pemantauan terus-menerus.
EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara
lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai
dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Non diagnostik
4. Normal

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan


diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia
tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan,
oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan
pemasangan sadapan tambahan.

Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan


sugestif untuk diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan
mengukur depresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan
dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm. Depresi segmen ST ≥1
mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI
(tingkat peluang tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombang T menunjukkan tingkat
persangkaan terhadap SKA tidak tinggi (Tabel 3) sehingga diagnosis
yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA
(Gambar 1). Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan
nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan

19
diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di
mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan
marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif SKA,
maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang
tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi


segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka
diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian,
depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada
dan mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat sugestif
diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk
provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak
berulang, EKG tetap nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak
terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang positif meyakinkan
diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau NSTEMI.
Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan
dilanjutkan dengan rawat jalan (Gambar 1)

C. Marka jantung.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung
tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan
troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan
kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis
NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit
melampaui nilai normal atas (upper limit of normal, ULN). Dalam
menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan
angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar
troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah

20
perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2
minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang
dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan
ini dapat menetap hingga 2 minggu (Gambar 2).
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat,
nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di
atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat.
Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI,
peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:
1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
2. Miokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut atau kronik
6. Stroke atau perdarahan subarakhnoid
7. Penyakit kritis,
terutama pada sepsis Apabila pemeriksaan troponin tidak
tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya
saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.

21
D. Pemeriksaan Noninvasif.
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan
berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau
akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat
iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu,
diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati
hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang
gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin
bagi pasien tersangka SKA. Stress test seperti exercise EKG
yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa
nyeri, EKG istirahat normal dan marka jantung yang negatif.

Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk


menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika
pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.
E. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner).
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai
keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan
segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan
risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan
oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat
penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau
peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan
mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko
tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi

22
koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan
dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang
menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain
eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang
kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus
intrakoroner.

7. Diagnosa Banding Angina Pektoris Tidak Stabil


Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup
jantung (stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri
dada disertai perubahan EKG dan peningkatan marka jantung
menyerupai yang terjadi pada pasien NSTEMI. Miokarditis dan
perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada, perubahan
EKG, peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak dinding
jantung menyerupai NSTEMI. Stroke dapat disertai dengan
perubahan EKG, peningkatan marka jantung, dan gangguan gerak
dinding jantung. Diagnosis banding non kardiak yang mengancam
jiwa dan selalu harus disingkirkan adalah emboli paru dan diseksi
aorta.

23
24
8. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner
A. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya
terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya
konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-
ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut
ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi.
PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau
NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia,
dan selama tidak terdapat indikasi kontra. penyekat beta oral
hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga
diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri selama tidak ada indikasi kontra. penyekat beta pada pasien
dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang
dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi
Kilip ≥III. Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam
praktek klinik dapat dilihat pada tabel 12.
PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT

25
Tabel 12. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA

b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir
diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium
berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
i. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan
dalam fase akut dari episode angina.
ii. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada
berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5
menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra.
iii. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten,
gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama
UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena
tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti

26
menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau
angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).
iv. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah
sistolik 30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat
(<50x/ menit), takikardi tanpa gejala gagal jantung atau
infark ventrikel kanan.
v. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah
mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24
jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi
nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.

Tabel 13. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

C. Calcium channel blockers (CCBs).


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan
sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV
Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB
tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang.
Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan
obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.

27
Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya
memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam
mengatasi keluhan angina.
a) CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi
gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan
penyekat beta.
b) CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien
NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta.
c) CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta
d) CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina
vasospastik
e) Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-
release) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi
dengan penyekat beta.

Tabel 14. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

D. Antiplatelet
a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi
kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis
pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka
panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan

28
b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin
sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan
kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih.
c. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole)
diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin
dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada
pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus
peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam
faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid.
d. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen
dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan
kecuali ada indikasi klinis.
e. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan
risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya
peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini
juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan).
f. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah
300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari.
g. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis
loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP)
direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima
strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor.
h. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg
setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada
pasien yang dilakukan

29
i. IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat
reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-
emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan
penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik
yang tinggi.
j. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk
diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG
begitu dianggap aman.
k. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID
(penghambat COX2 selektif dan NSAID non-selektif)

Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa


memperdulikan jenis stent.

Tabel 10. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

E. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat
reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan
risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan
penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada
pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi
(misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila

30
risiko perdarahan rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan
secara rutin sebelum angiografi atau pada pasien yang mendapatkan
DAPT yang diterapi secara konservatif
F. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet
secepat mungkin.
i. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien
yang mendapatkan terapi antiplatelet.
ii. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko
perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-
keamanan agen tersebut.
iii. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil
keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang
diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan.
iv. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah
fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi
ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan
penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
v. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk
pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila
fondaparinuks tidak tersedia.
vi. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70
detik atau heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya
(dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia .
vii. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian
antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien
dipulangkan dari rumah sakit.
viii. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.

31
Tabel 16. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

G. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


i. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel
meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus
dipantau ketat.
ii. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika
terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu
sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang
masih efektif.
iii. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel,
terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi
perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih.
H. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin Inhibitor
angiotensin converting enzyme (ACE)
Berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka
kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan
fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya
efek antiaterogenik.

32
i. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka
panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK).
ii. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua
penderita selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan
dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan
berdasarkan penelitian yang ada.
iii. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien
infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan
mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau
tanpa gejala klinis gagal jantung

Tabel 17. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

I. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor
hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus
diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka
yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat
indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai
sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk
mencapai kadar kolesterol LDL

33
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


a. Nama : Tn. S
b. Usia : 62 tahun
c. Pekerjaan : Karyawan Swasta
d. Agama : Islam
e. Status : Menikah
f. Alamat : Jl. SM. Raja No. 20 A
g. No.RM : 041827
h. MRS : 12-04-2019

3.2 ANAMNESE
a. Keluhan Utama : Nyeri Dada Kiri
b. Telaah :
Os datang bersama istrinya datang ke Rumah Sakit Putri Hijau
karena mengeluhkan nyeri dada secara tiba tiba pada saat sedang
bersantai bersama bersama keluarganya, os mengaku dadanya
seperti tertimpa benda berat, dan juga nyerinya menjalar dari dada
kiri kemudian ke lengan kiri kemudian menjalar lagi ke punggung
kiri. Nyeri dirasakan os selama ≥ 20 menit. Os tidak mengeluhkan
mual dan muntah, BAK normal, BAB normal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat HT (-)
 Riwayat DM (+)
 Riwayat minum OAT : disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat penyakit kuning : disangkal
 Riwayat penyakit asam urat : disangkal
 Riwayat mengkonsumsi obat-obatan : tidak jelas

34
 Riwayat Penyakit Keluarga : tidak jelas
 Riwayat spondilosis : disangkal

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum : Tampak sakit
B. Kesadaran :Compos Mentis (GCS=E:4,M:6,V:5)
C. Vital sign : TD : 120/80 mmHG Nadi : 68x/i
RR : 28x/i Suhu : 36,5ºC

 Kepala: normocephali (+), rambut hitam, tidak mudah dicabut, dan


tersebar merata.
 Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Ptosis (-),pupil
isokor, refleks pupil langsung (+/+) tidak langsung (+/+), oedem
palpebra (-)
 Hidung: deformitas (-), sekret (-), pernafasan cuping hidung(-)
 Mulut : lidah basah, caries dentis (-), faring : hiperemis (-), Tonsil:
T1-T1 hiperemis (-)
 Telinga: auricula normal, deformitas (-), serumen (-/-) nyeri (-).
 Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening(-),
massa (-) JVP (+) 5+2 cmH2O.
Pulmonal Coronal
Inspeksi : Inspeksi :
Pergerakan dinding dada simetris, Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
kelainan bentuk dada (-),
Palpasi : Palpasi :
Sterm fremitus simetris, massa (-) Pulsasi ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Perkusi :
Sonor di kedua lapangan paru Batas Jantung Kanan Atas :
ICS II Linea Parasternalis Dextra
Batas Jantung Kanan Bawah :
ICS V Linea midclavikularis Dextra
Batas Jantung Kiri Atas :
ICS II Linea Parasternalis Sinsitra
Batas Jantung Kiri Bawah :

35
ICS VI Linea axilaris anterior Sinistra
Auskultasi : Aukultasi :
Suara pernapasan : bronkial Bunyi jantung :
Suara tambahan : ronkhi halus I : Penutupan katub mitral dan tricuspid
(+/+) (normal)
II : Penutupan katub aorta danpulmonal
(normal)
HR : 68x/i

 Abdomen
o Inspeksi : Dalam Batas Normal
o Palpasi : nyeri ulu hati (-)
o Perkusi : tymphani
o Auskultasi : Peristaltik normal
 Ekstremitas Atas dan Bawah
Akral Hangat, Oedem tungkai : - / -

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


• Laboratorium: (29/01/2019)
DarahRutin : Hasil Nilairujukan

Hemoglobin 15,47 L: 13-16 g/dl


P: 12-14 g/dl

Eritrosit 4,97 4,50-6,50 . 106µL


Hematokrit 46,0 L: 40-48 %
P: 37-43%

Leukosit 9.210 5-10³/µl

Hitungjenis :

Limfosit 11,07 15.20-43.30%

Monosit 5,38 5.50-13.70%

36
Neutrofil 82,71 43.50-73.50%

Eosinofil 0,35 0.80-8.10%

Basofil 0,50 0.20-1.50%

Trombosit 201.600 150-400. 10³/µl

LajuEndapDarah - L :<10mm P: <15mm

MCV 92,6 81-99 fl


MCH 31,1 27,0 – 31,0 pg
MCHC 17,6 31,0 – 37,0 g/dl
RDW 17,6 11,5 – 14,5 %

 Pemeriksaan Kimia Klinik(17/01/2019)

Kimia Klinik : Hasil NilaiRujukan


Ureum 46 < 50 mg/dl
Kreatinin 1,1 L: 0.8-1.3 mg/dl
P: 0.6-1.2 mg/dl
AsamUrat 6 L: < 7 mg/dl
P: < 5.7 mg/dl
GlukosaSewaktu 230 < 200 mg/dl
Cholesterol total 172 <200 mg/dl
HDL Cholesterol 29 >40 mg/dl
LDL Cholesterol 110 <100 mg/dl
Trigliserida 153 <150 mg/dl
Bilirubin Total 0,5 <1 mg/dl
Bilirubin Direk 0,25 <0,3 mg/dl
SGOT 25 L: <35 U/L
P: <31U/L
SGPT 23 L: <45 U/L

37
P: <34U/L

Elektrolit : Hasil NilaiRujukan


Natrium 130 135 – 145 mmol/L
Kalium 2 3.5 – 5.5 mmol/L
Chlorida 96 96 – 106 mmol/L

 EKG 10 - 02 - 2019

Kesan : Sinus Ritme + ST-depresi + T-inversi

38
 FOTO RONTGEN

Kesan : Kardiomegali, Kesuraman di lapangan bawahparu kanan DD/


Bronkopneumonia, Sinus costophrenicus kanan tumpul

1.5 DIAGNOSIS
Unstable Angina Pectoris DD NStemi
1.6 TERAPI
• Bedrest
• O2 8-10 L/i >
• IVFD NaCl 20 gtt/i
• ISDN 1tab sublingual 3x5
• Aspirin 320mg/4x80mg dikunyah saat serangan
• CPG 4 x 75 mg
• Fuosemide 1x40mg

39
1.7 EDUKASI

1. Istirahat
2. Berikan instruksi spesifik tentang obat dan efek sampingnya
3. Belajar untuk rileks dan mengendalikan stress
4. Batasi atau tidak mengkonsumsi alkohol
5. Jika mengalami obesitas turunkan berat badan hingga kisaran normal
6. Anjurkan pada klien untuk menghentikan atau mengurangi aktifitas
selama ada serangan dan istirahat
7. Menjalani diet yang sesuai anjuran dokter
8. Olahraga secara teratur
9. Kontrol tekanan darah teratur.

40
BAB IV
KESIMPULAN

ATS adalah suatu sindrom klinik yang berbahaya dan merupakan tipe
angina pektoris yang dapat berubah menjadi infark ataupun kematian. Pengenalan
klinis ATS termasuk patosiologi, faktor risiko untuk terjadinya IMA serta perjalan
penyakitnya perlu diketahui agar dapat dilakukan pengobatan yang tepat ataupun
usaha pencegahan agar tidak terjadi imfark miokard. Pengobatan bertujuan untuk
mempepanjang hidup dan memperbaiki kualitas hidup baik secara medikal maupun
pembedaan. Prinsipnya menambah suplai O2 ke daerah iskemik atau mengurangi
kebutuhan O2. Pencegahan terhadap faktor risiko terjadinya angina pekrotis lebih
penting dilakukan dan sebaiknya dimulai pada usia muda seperti menghindarkan
kegemukan, menghindarkan stress, diet rendah lemak, aktifitas fisik yang tidak
berlebihan dan tidak merokok.

SARAN
Saran dari penulis agar setiap orang bisa menjaga kesehatannya dengan
baik dan rajin berolah raga serta mengurangi konsumsi makanan yang berlemak
dan tinggi akan kadar kolestrol, agar tidak terjadi obesitas yang menyebabkan
penumpukan plaq lemak di pembuluh darah.

41

Anda mungkin juga menyukai