Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGANTAR PENDIDIKAN
“FAKTOR-FAKTOR PENDIDIKAN”

DOSEN PENGAMPU :

Prof. Dr. Drs. Hamzah B. Uno M.Pd

DISUSUN:

Defrianti Kadir (411418048)

JURUSAN MATEMATIKA

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dalam kesempatan yang berbahagia ini penyusun masih diberikan kemampuan
untuk menyelesaikan tugas makalah tentang faktor-faktor pendidikan. Dalam
menyelesaikan tugas makalah ini, penyusun menggunakan buku panduan dan
google scholar, dimana makalah ini berisi materi-materi tentang anak
berkebutuhan khusus.
Penyusun makalah bermaksud untuk memperdalam pemahaman sebagai
seorang mahasiswa dan melatih kemandirian agar tidak hanya menerima dari
dosen, tetapi harus mengembangkan sendiri dengan cara mencari informasi yang
bersangkutan. Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah
pengantar pendidikan yang telah memberi arahan dalam menyelesaikan makalah
ini. Demikian yang dapat Penyusun sampaikan, apabila terdapat kesalahan kata,
dan kekurangan dalam makalah ini penyusun memohon maaf.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................I
DAFTAR ISI.....................................................................................................II

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................4

1.1.Latar Belakang.............................................................................................4

1.2.Rumusan Masalah........................................................................................4
1.3. Tujuan ........................................................................................................4

BAB 2 PEMBAHASAN...................................................................................5

2.1. Pengertian anak berkebutuhan khusus.......................................................5

2.2. Teori anak berkebutuhan khusus.................................................................9

2.3. Hasil pene;itian anak berkebutuhan khusus..............................................10

2.4. Penerapan pendidikan anak berkebutuhan khusus......................................14

BAB 3 PENUTUP.............................................................................................16

3.1 Kesimpulan..................................................................................................16

3.2 Saran.............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tidak ada orang yang meminta menjadi cacat. Namun menjadi
penyandang cacat pun bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak
individu yang meskipun menjadi penyandang cacat bisa menjadi penerang
hidup bagi teman-teman berkebutuhan khusus lainnya.
Secara kodrati semua manusia mempunyai berbagai macam
kebutuhan, tak terkecuali anak berkebutuhan khusus. Salah satu diantaranya
kebutuhan pendidikan. Dengan terpenuhi kebutuhan akan pendidikan anak
berkebutuhan khusus diharapkan bisa mengurus dirinya sendiri dan dapat
melepaskan ketergantungan dengan orang lain. Tertampungnya anak
berkebutuhan khusus dalam lembaga pendidikan semaksimal mungkin berarti
sebagian dari kebutuhan mereka terpenuhi. Diharapkan lewat pendidikan yang
mereka dapatkan mampu memperluas cakrawala pandangan hidupnya.
Sehingga mampu berfikir secara kreatif, inovatif dan produktif.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa pengertian anak berkebutuhan khusus?
2. Apa teori anak berkebutuhan khusus?
3. Apa hasil penelitian anak berkebutuhan khusus?
4. Bagaimana penerapan pendidikan anak berkebutuhan khusus?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang apa itu anak berkebutuhan
khusus
2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang teori anak berkebutuhan khusus
3. Mahasiswa dapat mengetahui tentang hasil penelitian dari anak
berkebutuhan khusus
4. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana penerapan pendidikan anak
berkebutuhan khusus

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian anak berkebutuhan khusus

Istilah berkebutuhan khusus secara eksplisit ditujukan kepada anak


yang dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata normal
umumnya, dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya
(Efendi,2006).

Berdasarkan pengertian tersebut anak yang dikategorikan


berkebutuhan dalam aspek fisik meliputi kelainan dalam indra penglihatan (tuna-
netra) kelainan indra pendengaran (tuna rungu) kelainan kemampuan berbicara
(tuna daksa). Anak yang memiliki kebutuhan dalam aspek mental meliputi anak
yang memiliki kemampuan mental lebih (super normal) yang di kenal sebagai
anak berbakat atau anak unggul dan memiliki kemampuan mental sangat rendah
(abnormal) yang dikenal sebagai tuna grahita. Anak yang memiliki kelainan
dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam menyesuaikan
perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya. Anak yang termasuk dalam
kelompok ini dikenal dengan sebutan tunalaras.

Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan


dikelompokkan ke dalam kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan
karakteristik sosial.

1. Kelainan Fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih
organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan
pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara
normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: alat fisik
indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu),
kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi
organ bicara (tunawicara); alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot
dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang
berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan
anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya
lahir tanpa tangan/kaki, amputasi dan lain-lain. Untuk kelinan pada
alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompol tunadaksa. Pengertian
kelainan penglihatan yang perlu intervensi khusus yaitu kelainan yang
dialami anak yang memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu,
atau setelah dikoreksi secara maksimal tidak mungkin
mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang ada dan
umumnya digunakan oleh anak normal/ pramg awas
(Bratanata,1979).
Berdasarkan gradasi ketajaman penglihatannya, kondisi anak yang
berkelainan penglihatan dapat dikelompokkan menjadi:
1.) Kelompok anak berkelainan penglihatan yang masih memiliki
kemungkinan untuk dikoreksi melalui pengobatan atau alat optik.
2) Anak berkelainan penglihatan yang dapat dikoreksi melalui
pengobatan atau alat optik. Anak berkelainan penglihatan yang masih
mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan pengobatan atau alat
optik, biasanya anak dalam kelomopok ini tidak dapat dikategorikan
dalam kasus kelainan penglihatan dalam pengertian pendidikan luar
biasa (pendidikan khusus), sebab mereka dapat dididik tanpa harus
dengan modifikasi atau program khusus. Anak berkelainan
penglihatan yang kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan
pengobatan atau alat optik, tetapi kemampuan untuk mempergunakan
fungsi penglihatannya secara efektif sangat minim, sehingga anak
tidak mampu mengikuti program sekolah normal. Anak berkelainan
penglihatan dalam kelompok yang ke tiga ini adalah anak berkelainan
penglihatan yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan
dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat optik. Akibat
berkelainan penglihatan yang demikian beratnya sehingga kebutuhan
layanan pendidikan hanya dapat dididik melalui saluran lain selain
mata. Pada kasus ini orang sering menyebutnya dengan tunanetra
berat (buta). Terminology tunanetra berat atau buta berdasarkan
rekomendasi dari The White House Conference on Child Health and
Education di Amerika (1970), dijelaskan bahwa seseorang
dikategorikan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya
untuk kepentingan pendidikannya (Kirk,1970; Patton,1991).
Anak berkelainan indra pendengaran atau tunarungu secara medis
dikatakan, jika dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu dan
lain sebab terdapat satu atau lebih organ mengalami gangguan atau
rusak. Akibatnya, organ tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya
untuk menghantarkan dan mempersepsi rangsang suara yang
ditangkap untuk diubah menjadi tanggapan akustik. Secara pedagogis,
seorang anak dapat dikategorikan berkelainan indra pendengaran atau
tunarungu, jika dampak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi
sebagai penghantar dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak
mampu mengikuti program pendidikan anak normal sehingga
memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti tugas
perkembangannya.
Dalam percakapan sehari–hari kondisi anak dengan kelainan
pendengaran diidentikkan dengan istilah tuli. Hal ini dapat diakui
kebenarannya karena tuna pendengaran dapat mengurangi
kemampuannya memahami percakapan lewat pemanfaatan fungsi
pendengarannya. Oleh karena itu, pada penderita tuna pendengaran
berat berarti semakin besar intensitas ketidakmampuannya untuk
menyimak pembicaraan yang memanfaatkan ketajaman
pendengarannya, baik dengan bantuan alat Bantu dengar maupun
tanpa bantuan alat bantu dengar,”….one whose hearing disability
precludes successful processing of linguistic information through
audition, with a bearing aids” (Hallahan & Kauffman, 1986).
Derajat ketunarunguan seseorang biasanya diukur dan dinyatakan
dalam satuan deci-Bell atau disingkat dB. Dilihat dari tingkat
gradasinya secara umum dapat dikategorikan menjadi tunarungu
dalam arti tuli (deaf) dan tunarungu dikatakan tuli jika hasil tes
pendengaran menunjukkan kehilangan kemampuan mendengarnya 70
dB atau lebih menurut ISO (International Standard Organization).
Biasanya penderita dalam kategori tuli ini akan mengalami kesulitan
untuk dapat mengerti atau memahami pembicaraan orang lain
meskipun menggunakan bantuan alat atau tanpa alat bantu dengar.
Sedangkan definisi lemah pendengaran, seseorang dikatakan lemah
pendengaran jika hasil tes pendengaran menunjukkan kehilangan
kemampuan mendengarnya antara 35-69 dB menurut ISO. Biasanya
penderita dalam kategori lemah pendengaran ini tidak terhalang untuk
mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan
menggunakan alat Bantu dengar (Moores, 1978).
Terminologi kelainan bicara atau tunawicara adalah
ketidakmampuan seseorang dalam mengkomunikasikan gagasannya
kepada orang lain (pendengar) dengan memanfaatkan organ
bicaranya, dikarenakan celah langit-langit, bibir sumbing, kerusakan
otak, tunarungu, dan lain-lain (Patton,1991).
Akibatnya, pesan yang telihat sederhana ketika disampaikan
kepada lawan bicara menjadi tidak sederhana, sulit dipahami, dan
membingungkan. Kelainan bicara ini dapat terjadi pada sisi
artikulasi, arus ujaran, nada suara dan struktur bahasanya.
2. Kelainan mental
Anak kelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki
penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi
dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua
arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan
mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih
atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak
mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted),
dan (c) anak genius (extremely gifted).
Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar
dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan, bahwa indeks
kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak
berbakat jika indeks kecerdsannya berada pada rentang 120-140, dan anak
sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada
rentang di atas 140.
Secara umum karakteristik anak dengan kemampuan mental lebih,
disamping memiliki potensi kecerdasan yang tinggi dalam prestasi, juga
memiliki kemampuan menonjol dalam bidang tertentu, antara lain (1)
kemampuan inteletual umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3)
kemampuan berfikir kreatif produktif, (4) kemampuan dalam salah satu
bidang kesenian, (5) kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan
psikososial dan kepemimpinan (Tirtonegoro,1984).
Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita,
yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang
sedemikian rendahnya (di bawah normal ) sehingga untuk meniti tugas
perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus,
terutama di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya.
Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik kehidupan seharihari di kalangan
awam seringkali disalah persepsikan, terutama bagi keluarga yang
mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan anak
tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat
berkembang sebagaimana anak normal lainnya. Harapan semacam ini
wajar saja karena mereka tidak mengetahui karakteristik anak tunagrahita.
Perlu dipahami bahwa kondisi tunagrahita tidak dapat disamakan dengan
penyakit, atau berhubungan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita
suatu kondisi sebagaimana yang ada, “Mental retarted is not disease but a
condition” (Kirk,1970).
Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa
disembuhkan atau diobati dengan obat apapun. The American
Assocoation on Mental Deficiency (AAMD) memberikan justifikasi
tentang anak tunagrahita dengan merujuk pada kecerdasan secara umum
di bawah rata-rata. Dengan kecerdasan yang sedemikian rendah fase
perkembangannya (Hallahan dan Kauffman 1991).
Berdasarkan kapabilitas kemampuan yang bisa dirujuk sebagai dasar
pengembangan potensi, anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi
(a) anak tunagrahita memiliki kemampuan untuk dididik dengan rentang
IQ 5075, (b) anak tunagrahita memiliki kemampuan untuk dilatih dengan
rentang IQ 25- 50, (c) anak tunagrahita memiliki kemampuan untuk
dirawat dengan rentang IQ 25- ke bawah (Hallhan & Kaufman,1991).
Dilihat dari distribusinya, anak yang menyandang kelainan mental,
baik kelainan mental dalam arti supernormal maupun kelainan mental
dalam arti subnormal, komposisinya dalam distribusi normal dapat
disimak pada gambar berikut.menyebabkan anak tunagrahita mengalami
kesulitan dalam penyesuaian sosial pada setiap.
3. Kelainan perilaku sosial
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan,
tatatertib, norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang
dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini , misalnya kompensasi
berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma
maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto, 1979).
Mackie (1957) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam
kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah
laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di
sekolah, dan di masyarakat lingkungannya (dalam Kirk,1970).
Hal yang lebih penting dari itu adalah akibat tindakan atau perbuatan
yang dilakukan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Klasifikasi
anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan perilaku sosial di
antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan
anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan
perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi: (1) tunalaras
emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk
gangguan emosi, (2) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial
sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat
fungsional.

2.2 Teori anak berkebutuhan khusus

A. Teori Menurut Suron dan Rizzo (1979), anak berkebutuhan khusus adalah:
“anak yang memiliki perbedaan dalam keadaan dimensi penting dari
fungsi kemanusiaannya. Mereka adalah secara fisik, psikologis, kognitif,
atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan/kebutuhan dan potensinya
secara maksimal, sehingga memerlukan penanganan yang terlatih dari
tenaga professional.
B. Teori Menurut Frieda Mangunsong (2009), Anak Berkebutuhan Khusus
atau Anak Luar Biasa adalah : "Anak yang menyimpang dari rata-rata
anak normal dalam hal; ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik,
fisik dan neuromaskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan
berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal diatas;
sejauh ia memerlukan modifikasi dari tugas-tugas sekolah, metode belajar
atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk pengembangan
potensi atau kapasitasnya secara maksimal."
C. Teori Menurut Wikipedia, Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah :
"Anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi
atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak
berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena
karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk
pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan
potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi
teks bacaan menjaditulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi
menggunakan bahasa isyarat."

2.3 Hasil penelitian anak berkebutuhan khusus

Penelitian ini dilakukan kepada semua orangtua anak berkebutuhan khusus


yang ada di SDLB N.20 Nan Balimo Kota Solok, dengan jumlah sampel sebanyak
29 orangtua anak berkebutuhan khusus.

Tabel 1.1

Data populasi orangtua siswa di SDLB N.20 Nan Balimo Kota Solok

Jenis Siswa
NO. Kelas Orang tua
Tunarungu Tunagrahita

1. I 1 4 5
2. II 2 3 5
3. III 1 6 7
4. IV 1 1 2
5. V 0 3 3
6. VI 1 6 7
Jumlah 6 23 29
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, terlihat bahwa ada sebanyak 6 anak
tunarungu dan 23 anak tunagrahita dan jumlah orangtua anak 29 orang yang ada
di SDLB N.20 Nan Balimo Kota Solok.

Tabel 4.1 : Kekecewaan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus Dari tabel
4.1 diatas dapat dimaknai bahwa sebanyak 10 orang tua (34,48%) atau hampir
sebagian orangtua sangat kecewa karena anaknya tergolong ABK tidak memenuhi
apa yang diharapkan. Sedangkan sebanyak 19 orangtua (65,51%) sebagian besar
orangtua tidak sangat kecewa karena anaknya tergolong ABK tidak memenuhi
apa yang diharapkan.

Tabel 4.2 : Perasaan orangtua meliputi perasaan bersalah, dan kurang berhati-hati
pada saat mengandung Dari tabel 4.2 diatas dapat dimaknai bahwa sebanyak 13
orangtua (44,82%)atau hampir sebagian orangtua meliputi perasaan bersalah,
mungkin kurang berhati-hati pada saat mengandung anaknya, atau kurang berhati-
hati dalam menggunakan obat. Sedangkan sebanyak 16 orangtua (55,17%) atau
sebagian besar menyatakan tidak diliputi perasaan bersalah, mungkin kurang
berhati-hati pada saat mengandung anaknya, atau kurang berhati-hati dalam
menggunakan obat.

Tabel 4.3 : Orangtua merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab atas
kecacatan anak Dari tabel 4.3 diatas dapat dimaknai bahwa sebanyak 20 orangtua
(68,96%) atau sebagian besar orangtua merasa bersalah, kemudian merasa
bertanggung jawab atas kecacatan atau hambatan anaknya (ABK) dan bersikap
amat melindungi. Sedangkan sebanyak 9 orangtua (31,03%) hampir sebagian
orangtua tidak merasa bersalah, kemudian merasa bertanggung jawab atas
kecacatan atau hambatan anaknya (ABK) dan bersikap amat melindungi. Tabel
4.4 : Orangtua merasa malu kepada anak berkebutuhan khusus Dari tabel 4.4
diatas dapat dimaknai bahwa sebanyak 17 orangtua (58,62%) atau sebagian besar
orangtua merasa malu dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus (ABK).
Sedangkan sebanyak 12 orangtua (41,37%) atau hampir sebagian orangtua tidak
merasa malu dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus (ABK).

Tabel 4.5 : Orangtua khawatir dengan keadaan anak (ABK) Dari tabel 4.5 diatas
dapat dimaknai bahwa sebanyak 15 orangtua (51,72%) atau sebagian besar
orangtua khawatir dengan keadaan anak (ABK) akan dapat mempengaruhi tingkat
kekerabatan Bapak atau Ibu dengan relasi kerja, dengan tetangga, atau dengan
handai taulan lainnya. Sedangkan sebanyak 14 orangtua (48,27%) atau sebagian
kecil tidak khawatir dengan keadaan anak (ABK) akan dapat mempengaruhi
tingkat kekerabatan Bapak atau Ibu dengan relasi kerja, dengan tetangga, atau
dengan handai taulan lainnya.
Tabel 4.6 : Orangtua menerima keadaan anak (ABK) Dari tabel 4.6 diatas dapat
dimaknai bahwa sebanyak 17 orangtua (58,62%) atau sebagian besar orangtua
dapat menerima keadaan anaknya (ABK) sebagaimana adanya dan berusaha untuk
memberi apapun yang terbaik bagi anaknya. Sedangkan sebanyak 12 orangtua
(41,37%) atau hampir sebagian orangtua tidak dapat menerima keadaan anaknya
(ABK) sebagaimana adanya dan berusaha untuk memberi apapun yang terbaik
bagi anaknya.

Tabel 4.7 : Orangtua membawa akibat positif pada anak Dari tabel 4.7 diatas
dapat dimaknai bahwa sebanyak 25 orangtua (86,20%) atau hampir keseluruhan
pola interaksi yang positif antara Bapak atau Ibu dengan anak akan membawa
akibat positif pada anak menyatakan ya. Sedangkan sebanyak 4 orangtua
(13,79%) atau sebagian kecil pola interaksi yang positif antara Bapak atau Ibu
dengan anak membawa akibat positif pada anak menyatakan tidak.

Tabel 4.8 : Orangtua membawa akibat negative pada anak Dari tabel 4.8 diatas
dapat dimaknai bahwa sebanyak 10 orangtua (34,48%) atau hampir sebagian pola
interaksi yang negative antara Bapak atau Ibu dengan anak akan membawa akibat
negative pula bagi si anak menyatakan ya. Sedangkan sebanyak 19 orangtua
(65,51%) atau sebagian besar pola interaksi yang negative antara Bapak atau Ibu
dengan anak akan membawa akibat negative pula bagi si anak menyatakan tidak.
Tabel 4.9 : Orangtua membimbing dan mendidik anak (ABK) Dari tabel 4.9 diatas
dapat dimaknai bahwa sebanyak 18 orangtua (62,06%) atau sebagian besar bentuk
penyesuaian ABK dalam hidupnya sebagian besar tergantung pada penyesuaian
yang sehat dari Bapak atau Ibu dan kemampuan Bapak atau Ibu untuk
membimbing dan mendidik anak (ABK) menyatakan ya. Sedangkan sebanyak 11
orangtua (37,93%) atau hampir sebagian bentuk penyesuaian ABK dalam
hidupnya sebagian besar tergantung pada penyesuaian yang sehat dari Bapak atau
Ibu dan kemampuan Bapak atau Ibu untuk membimbing dan mendidik anak
(ABK) menyatakan tidak.

Tabel 4.10 : Ketergantungan fisik dan emosionil ABK dibandingkan dengan


ketergantungan anak non ABK Dari tabel 4.10 diatas dapat dimaknai bahwa
sebanyak 25 orangtua (86,20%) atau hampir keseluruhan ketergantungan secara
fisik dan emosionil ABK pada Bapak atau Ibu, sering kali semakin tinggi,
dibandingkan dengan ketergantungan anak non ABK menyatakan ya. Sedangkan
sebanyak 4 orangtua (13,79%) atau sebagian kecil Ketergantungan secara fisik
dan emosionil ABK pada Bapak atau Ibu, sering kali semakin tinggi,
dibandingkan dengan ketergantungan anak non ABK menyatakan tidak.
 Kesimpulan
Persepsi orangtua terhadap reaksi atau sikap yang terjadi dalam
menerima kehadiran anak berkebutuhan khusus (ABK). Tidak jarang anak
yang membenci orang tuanya, bahkan tidak mengacuhkan sama sekali, hal
itu terjadi disebabkan oleh kesalahan orang tua yang kurang memberikan
perhatian, kasih sayang kepada mereka. Sebelum mendapatkan seorang
anak, maka para calon orang tua harus memahami tugas dan tanggung
jawabnya terlebih dahulu.
Berdasarkan hasil analisis sebagian besar orangtua dapat
menghilangkan cara bersikap negatif kepada ABK. Seperti mengabaikan
anak ABK, kurang memberi perhatian, dan kasih sayang kepada anak,
kurang berkomunikasi kepada anak, dan lain-lain. Sikap orangtua yang
seperti ini harus dihilangkan dengan cara memberikan cukup waktu
kepada anak, perhatian kepada anak, dan memberi kasih sayang kepada
anak, dan jika orangtua nya sibuk dalam pekerjaan beri lah sedikit waktu
untuk anak untuk bermain bersama dengan orangtua nya.
Berdasarkan hasil analisis data hampir sebagian orangtua sadar
bahwa anaknya tergolong dalam ABK, dan orangtua harus bisa menerima
hambatan atau kecacatan kepada anak. Karena kekurangan kepada anak
kita itu adalah suatu cobaan dari Sang Kuasa agar kita bisa menerima
keadaan anak di dunia ini. Sebagai orangtua harus bisa dapat membuka
mata hati bahwa ABK itu adalah anak mereka. Dan anak ABK itu adalah
anak kandung, darah daging, dan anugerah dari Tuhan yang mahal harga
nya untuk kita dan harus kita jaga dan kita rawat dengan bagus. Sebagian
besar orangtua ABK memenuhi kebutuhan ABK nya seperti kebutuhan
makan, minum, pakaian dan perumahan. Dan juga kebutuhan jasmani,
rohani, ataupun emosional seorang ABK. ABK juga ingin diperhatikan,
ingin dipuji, ingin disapa dengan baik, dan diperlakukan dengan elusan
atau kemanjaan dari orang sekitar anak. ABK jarang diakui sebagai
anggota keluarganya, karena keluarga sangat malu mempunyai anak
seorang ABK. Dan juga anggota keluarga menginginkan anak apa yang
diharapkan(mempunyai anak yang normal, dan sehat). Sebagian besar
orangtua sadar bahwa anaknya tergolong dalam ABK. Bapak atau Ibu
menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi anak (ABK). ABK juga
layak mendapatkan pendidikan sama seperti dengan anak normal lainnya.
Perbedaannya adalah ABK ditempatkan disekolah dasar luar biasa
sedangkan anak normal ditempatkan disekolah dasar. Di sekolah dasar
juga ada ABK yaitu dikatakan sekolah inklusi agar ABK bisa mengauli
teman-temannya yang normal dan juga agar mereka tidak tersisihkan dari
yang lain.Sebagian besar orangtua setuju apabila sekolah atau pihak lain
yang berturun tangan dalam bidang pendidikan khusus terutama dalam
bidang pendidikan luar biasa. Dengan adanya program bimbingan kepada
orangtua ABK dapat berfungsi sebagai langkah terapi ketidak stabilan
emosi para orangtua ABK atas kehadiran anaknya. Orangtua harus tau
bahwa ABK itu bukanlah anak yang bodoh, tetapi mereka mempunyai IQ
dibawah rata-rata dengan anak yang normal pada umumnya.

2.4 Penerapan pendidikan anak berkebutuhan khusus

Mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun karakteristik


perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain
memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang
khusus. Hal ini sematamata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak
berkelainan. Oleh karena itu, melalui pendekatan dan strategi khusus dalam
mendidik anak berkelainan, diharapkan anak berkelainan: (1) dapat menerima
kondisinya, (2) dapat melakukan sosialisasi dengan baik, (3) mampu berjuang
sesuai dengan kemampuannya, (4) memiliki ketrampilan yang sangat dibutuhkan,
dan (5) menyadari sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Tujuan lainnya
agar upaya yang dilakukan dalam rangka habilitasi maupun rehabilitasi anak
berkelainan dapat memberikan daya guna dan hasil guna yang tepat.
Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat dijadikan
dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan, antara lain sebagai berikut:

1. Prinsip kasih sayang


Prinsip kasih sayang pada dasarnya adlah menerima mereka
sebagaimana adanya, upaya yang perlu dilakukan untuk mereka: (a) tidak
bersikap memanjakan, (b) tidak bersikap acuh tak acuh terhadap
kebutuhannya, dan (c) memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan
anak.
2. Prinsip layanan individual
Pelayanan individual dalam rangka mendidik anak berkelainan
perlu mendapatkan porsi yang lebih besar, oleh karena itu, upaya yang
perlu dilakukan untuk mereka selama pendidikannya : (a) jumlah siswa
yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6 orang dalam setia kelasnya, (b)
pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran dapat bersifat fleksibel, (c)
penataan kelas harus dirancang dengan sedemikian rupa sehingga guru
dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah, dan (d) modifikasi alat
Bantu pengajaran.
3. Prinsip kesiapan

Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan.


Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan
diajarkan, terutama pengetahuan prasyarat, baik prasyarat pengetahuan,
mental dan fisik yang diperlukan untuk menunjang pelajaran berikutnya.

4. Prinsip keperagaan
Alat peraga yang digunakan untuk media sebaiknya diupayakan
menggunakan benda atau situasi aslinya, namun anabila hal itu sulit
dilakukan, dapat menggunakan benda tiruan atau minimal gambarnya.
5. Prinsip motivasi
Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan
pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkelainan.
Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang
ditekankan pada pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan
mengesankan jika mereka diajak ke kebun binatang.
6. Prinsip belajar dan bekerja kelompok
Arah penekanan prinsip belajar dan bekerja kelompok sebagai
anggota masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya,
tanpa harus merasa rendah diri atau minder dengan orang normal. Oleh
karena itu, sifat seperti egosentris atau egoistis pada anak tunarungu
karena tidak menghayati perasaan, agresif, dan destruktif pada anak
tunalaras perlu diminimalkan atau dihilangkan melalui belajar dan bekerja
kelompok. Melalui kegiatan tersebut diharapkan mereka dapat memahami
bagaimana cara bergaul dengan orang lain secara baik dan wajar.
7. Prinsip ketrampilan
Pendidikan ketrampilan yang diberikan kepada anak berkelainan,
selain berfungsi selektif, edukatif, rekreatif dan terapi, juga dapat dijadikan
sebagai bekal dalam kehidupannya kelak.
8. Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap
Secara fisik dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang
baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang baik
serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa”Pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan phisik, emosional, mental dan
sosial’.
Ketetapan tersebut bagi anak berkebutuhan khusus sangat berarti
karena memberi landasan yang kuat bahwa mereka memperoleh
kesempatan yang sama seperti anak normal lainnya dalam hal pendidikan
dan pengajaran. Karena dengan memanfaatkan sisa potensi yang dimiliki
anak perlu didorong untuk mengembangkan dirinya sehingga kelak dapat
hidup mandiri seperti layaknya orang normal. Untuk itu guru maupun
orang tua perlu memahami kebutuhan dan potensi anak walaupun
inteligensi mereka tidak berbeda dengan anak normal kecuali anak tuna
grahita tetapi karena ketidak lengkapan kemampuan yang dimiliki tentu
dalam pembelajaran membutuhkan fasilitas yang berbeda. Agar tidak
memberatkan guru maka anak berkebutuhan khusus perlu dimasukkan ke
sekolah khusus atau dalam kelas inklusi. Kelas inklusi akan lebih
memberikan makna bagi anak jika hanya menampung anak yang
mengalami kelainan yang sejenis saja.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami sampaikan adalah penggunaan
metode life skill education dapat berpengaruh terhadap keterampilan
vokasional siswa tunagrahita. Oleh karena itu disarankan kepada :
1. Guru
Guru wajib membuat dan melaksanakan program penelitian
tindakan kelas dikelas masingmasing dengan melihat
ketenuanketentuan yang kita simpulkan diatas dan guru harus
berpegang pada kompetensi paedagogik yang berlandaskan pada
prinsipprinsio pada anak tunagrahita, jika prinsip beljar diterapkan
disekolah maka tuntutan kompetensi bagi guru akan terpenuhi.
2 Sekolah
Sekolah hendaknya memberi kesempatan pada guru untuk
melakukan penelitian tindakan kelas di kelasnya dan sekolah
mefasilitasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M., 1999, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta,


Rineka Cipta.
Delphie, B.,2006, Pembelajaran Anak Berkebutuhan khusus, Bandung, Adi Tama.
Efendi,M., 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta, Bumi
Aksara.
Hamzah B. Uno., 2013. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, UNWIDHA
Klaten.
Sumantri, S., 2006, Psikologi Anak Luar biasa, Bandung, Aditama.
Smith, D., 2006, Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua, Bandung, Nuansa.
Depdikbud, 1983, Analilsa Pendidikan, Jakarta.
Suara Merdeka, Penanaman Alat Bantu Dengar dikembangkan di Singapura,
Selasa, 14 Maret 2006
Kompas, Jalan bagi orang berkebutuhan Khusus, Kamis,22 Maret 2012

Anda mungkin juga menyukai